Title:
Coffee
Shop
Scriptwriter:
NanaJji
(@nana.novita)
Cast(s):
Oh
Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Jeon Jungkook [BTS]
Genre:
Romance. Hurt.
Duration:
Vignette
Rating:
Teen
Song-fic
of BAP’s “Coffee Shop”
Summary:
Melupakanmu adalah hal yang kini sedang kulakukan.
Tapi semua seakan percuma karena kedai kopi itu.
Lagi-lagi aku gagal.
.
.
.
I open my eyes to the morning sunlight
I look at the time on my phone
I put on the clothes I laid out last night
And I hurry out the door
By myself, I hum along to the song I like to listen to
everyday
By myself, I walk in between these familiar buildings
Hari minggu yang membosankan. Tak begitu banyak hal yang
bisa kulakukan hari ini. Semua tugas sekolah bahkan sudah ku kerjakan hari
kemarin dan sekarang aku hanya bisa duduk di taman belakang rumahku sambil
mendengarkan Myungsoo oppa bermain
gitar dan teriakan-teriakan histeris Taehyung oppa yang mengumpat dengan game-nya.
Mencoba bergabung dengan Myungsoo oppa, sudah pernah kucoba. Ia langsung mengusirku dan berkata bahwa
aku mengganggu. Menyebalkan, ia memang sering begitu. Dan bersama Taehyung oppa, kurasa aku yang tak bisa
bergabung. Aku tak bisa bermain game,
alhasil aku pasti kalah dan ia selalu memberiku hukuman yang berat, seperti
menjadi pembantunya dalam seminggu. Menyusahkan.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi keluar. Entah kemana,
aku hanya malas diam di rumah. Andai saja Yooji tidak sedang pergi ke Busan
bersama Jimin oppa, mungkin aku akan
pergi ke rumahnya, bermain disana. Jimin oppa
kadang bahkan lebih mengertiku di bandingkan Taehyung oppa. Oppa ku yang satu
itu sangat aneh.
Tanpa merasa, ternyata aku sudah cukup jauh melangkah.
Aku tak tahu ini dimana, tapi kurasa aku begitu mengenal daerah itu.
Gedung-gedung yang tak begitu tinggi dan sebuah taman bermain di ujung jalan
sana. Yah, aku mengingatnya.
Jalan ini, gedung itu, dan taman bermain disana. Dulu aku
sering melewatinya, berlari-lari di sepanjang jalan ini dengan tawa lepas
bersama Oh Sehun. Mengingatnya lagi. Kenapa aku tak bisa berhenti mengingatnya?
Bahkan setelah aku berusaha keras, ia dengan mudahnya muncul di pikiranku.
Aku melewati taman bermain itu. Melihat anak-anak bermain
dengan senangnya disana. Dan tatapanku terpaku pada ayunan berwarna biru tua
itu. Dulu aku dan Sehun sering duduk berdua disana. Berbagi cerita dan
lelucon-lelucon ringan. Bahkan setelah semua kisah kami harus berakhir
tiba-tiba, aku menangis di ayunan itu.
Monday, Tuesday, everyday
I get by and I am well
I meet up with a lot of friends
These days, a lot of things make me laugh
Summer, winter, spring, and fall
Time goes so fast
But why I am at the same place, waiting for you?
Hampir satu tahun berlalu, tapi aku masih ingat secara
rinci kejadian itu. Dari awal senyum kami bertemu hingga tangisku yang
mengiringi kepergiannya dari sisiku. Cukup lama hingga aku bisa tersenyum lagi
setelahnya. Dengan berpikir tentang orang-orang terkasih di sekitarku, tak
hanya ia, aku mulai bangkit. Kelurgaku dan sahabat-sahabatku, mereka selalu
berusaha untuk membuatku tersenyum. Aku tak ingin mengecewakan mereka.
Selama ini mungkin aku memang tampak baik-baik saja di
hadapan mereka, tapi sesungguhnya tidak. Aku masih sering menangis di tengah
malam, mengingat semua kenanganku ketika aku sendiri. Sampai sekarangpun, aku
masih berharap untuk kehadiran Oh Sehun disisiku. Ingin seperti dulu, dimana
hari-hariku di penuhi dengannya. Semua perhatiannya, tatap matanya, dan senyum
manis itu, aku menginginkannya lagi.
Tidak, aku membutuhkannya. Dia seakan candu bagiku.
Tanpanya aku tak mampu lagi menghayal tentang kebahagiaan, hanya penderitaan
yang tampak di mataku. Dengannyalah aku mampu bahagia. Jadi berkali-kali sudah
ku memohon pada Tuhan untuk mengembalikan canduku itu. Sayangnya, Beliau tak
juga mengabulkannya.
Aku melewati taman bermain itu setelah terpaku lama
disana. Apapun itu, ingin semua memori itu kembali, tak hanya tersimpan di
pikiranku, tetapi tampil nyata di depan mataku. Aku menghela napas berat.
Percuma, semua yang ku pikirkan, semua yang ku inginkan. Semua itu seperti
mimpi di dalam mimpi, abu-abu tak terjamah.
Setelah melewati jalan penuh kenangan itu, aku memutuskan
untuk mengambil jalan yang tak ku ketahui. Tentu saja berusaha menghindari
semua kemungkinan yang bisa saja mempertemukanku dengan Oh Sehun. Meski sangat
ingin bertemu dengannya, tapi kurasa aku tak sanggup. Bagaimana jika ia
mengacuhkanku? Tidak mengenaliku? Bahkan hal terburuk dari itu, bagaimana jika
sedang bersama kekasihnya kini? Itu hanya akan menyakiti diriku sendiri.
The coffee shop that we used to go to
Our coffee shop
I’m blankly sitting here, where I can smell your scent
I still can’t forget you
Tapi semua itu sungguh sia-sia. Sejauh apapun aku mencoba
melangkah, membawa pikiran serta hatiku untuk menjauh dari laki-laki itu, pada
akhirnya aku kembali pada kenangan kami.
Seperti saat ini, meskipun jalan yang jauh berbeda telah
ku ambil, pada akhirnya aku sampai disini. Berdiri di depan kedai kopi bergaya vintage. Aroma kopi menguar bahkan
sampai di tempatku berdiri di luar kedai. Aroma yang sama di setiap minggunya
kala aku mengunjungi kedai itu bersama Oh Sehun.
Tanpa ragu, aku melangkah memasuki kedai itu. Aroma kopi
tercium semakin kuat. Americano,
macchiato, latte, espresso, mocha, dan bau-bauan khas kopi yang
menenangkan. Bunyi lonceng terdengar begitu ku membuka pintu. Suasana di dalam
sana masih sama, bahkan aku mengingat suasana nyaman itu dengan baik.
Aku duduk di bangku dekat jendela. Tempat dimana aku
biasa duduk dengan Oh Sehun. Melihat bangku dan meja kayu ini mengingatkanku
saat pertama kali Sehun mengajakku ke kedai ini. Waktu itu baru seminggu kami
mengenal dan ia mengajakku untuk kemari. Terlalu gugup ketika kami berhadapan,
tanpa ku sadari aku menyeruput kopi ku yang masih panas. Benda itu jatuh
setelahnya. Membasahi meja dan pakaianku. Aku tersenyum. Sangat memalukan
ketika Sehun mulai membantuku mengelap pakaianku yang basah. Begitu cerobohnya
aku saat itu.
Bunyi lonceng terdengar lagi. Sepasang pengunjung
memasuki kedai. Aku terpaku setelahnya. Oh Sehun, laki-laki itu muncul di balik
pintu dengan seorang gadis di sampingnya. Aku teringat akan ucapan teman
sekelasku−Sohyun−beberapa waktu lalu. “Oh
Sehun dan Lee Hyemin menjadi sepasang kekasih!” proklamasi Sohyun di kelas
dengan siswi-siswi lain yang suka bergosip. Jadi gadis itu yang bernama Hyemin.
Lee Hyemin, lagi-lagi nama itu terngiang di telingaku.
Jika di bandingkan dengannya, aku bukanlah apa-apa. Gadis dengan segala
kemodernan serta kemewahan sepertinya tentu tak sebanding dengan gadis rumahan
sederhana sepertiku. Dunia bisa runtuh jika itu terjadi.
Kini mereka berdua telah duduk beberapa bangku di
depanku, tepat di depan mataku. Aku pun tak mampu berbuat apa lagi. Hanya bisa
memandang kearah mereka dengan perasaan pilu. Tak salah jika Sehun
meninggalkanku demi Hyemin. Yang salah adalah aku yang masih berharap akan
kehadiran laki-laki itu. Ya, aku yang salah.
“Sudah kuduga kau ada disini.”
Sebuah suara menyapa telingaku seiring dengan hilangnya
pandanganku terhadap keberadaan Sehun serta Hyemin. Jungkook kini duduk tepat
di depanku, menghalangi pemandangan yang sedaritadi ku lihat dengan tinggi
badannya. Selalu seperti ini, Jungkook selalu muncul di saat aku ingin sendiri
dengan semua kenanganku bersama Sehun.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Jungkook lagi.
Pertanyaan basa-basi. Ku kira aku tak perlu menjawabnya. Tidak terlalu penting.
“Kau tahu, meminum terlalu banyak kopi tak bagus untuk kesehatanmu,” ujar
Jungkook. Seperti dokter pribadiku saja.
Aku meletakkan cangkir kopiku di atas meja lalu menatap
Jungkook. “Untuk apa kau mencariku?” Satu suapan cake ku masukkan ke dalam mulutku dan mengunyahnya pelan. Rasanya
begitu manis, namun terasa begitu terbalik dengan perasaanku saat ini. Pahit.
Lama Jungkook tak menjawab, ia hanya menatapku lekat
dengan mata besarnya itu. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan? Selalu datang
tiba-tiba ketika secara tak sengaja aku bertemu dengan Sehun, seolah mencariku,
namun ketika kutanya, ia selalu tak dapat menjawab. Aneh.
“Tak bisakah kau berhenti berkutat dengan masa lalumu?”
Aku menatap Jungkook seketika, begitu terkejut dengan
pertanyaannya. Selama ini tak pernah ada lagi yang berkata seperti itu, mereka
tahu aku sudah baik-baik saja, meski sebenarnya aku hanya berakting. Tapi
pertanyaan Jungkook tadi, kenapa ia bisa tahu?
“Aku baik-baik saja, Kook.” Aku tersenyum simpul pada
laki-laki itu, mencoba untuk meyakinkannya bahwa aku tak seperti yang ia
katakan.
“Mungkin orang lain akan mudah percaya padamu, tapi
jangan kau coba berbohong padaku, Jinie-ya.”
Kali ini Jungkook menatapku dengan serius. Tatapan itu tampak berbeda dari
biasanya atau mungkin aku yang baru benar-benar memperhatikan tatapan itu?
Aku diam, tak bisa lagi menjawab pertanyaan Jungkook,
karena semua yang ia katakan benar adanya. Usahaku untuk menutupi perasaan ini
akhirnya gagal karena Jeon Jungkook. Sungguh, apa sebenarnya yang ia inginkan?
“Kumohon biarkan aku membantumu melupakan Oh Sehun.”
Our memories still remain
So without knowing, like a habit, I came here
Your silky hair, your white t-shirt and sneakers, your
coy walk
I see you in my dreams but it doesn’t make my heart rush
anymore
Just like how the strong coffee aroma disappears
You have faded as well, I’ve become indifferent
I was perfectly fine as I walked into this coffee shop
I’m used to it, the caramel scent that comes from your
body, right?
Tiga bulan berlalu dan aku duduk di tempat yang sama
untuk kesekian kali. Kedai kopi itu. Disana aku duduk di bangku dan meja kayu
yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Menyeruput latte-ku dengan perlahan. Menikmati suasan nyaman kedai itu seperti
candu.
Lagi-lagi candu. Membuatku kembali teringat akan Oh
Sehun. Dulu memang ia yang menjadi candu di hidupku, tapi kali ini semua sudah
berbeda. Canduku kali ini adalah aroma kopi ini, aku tak bisa berhenti
menghirupnya meski hanya sekejap.
“Berapa kali harus ku katakan, jangan minum kopi terlalu
sering.”
Dan satu lagi canduku saat ini, yaitu laki-laki di
hadapanku. Jeon Jungkook. Aku tersenyum mendengar kalimatnya. Selalu itu yang
ia ucapkan di setiap aku mulai memasuki kedai kopi ini. Ia tak suka aku berada
disini. Aku tak tahu mengapa. Mungkin ia khawatir jika aku akan bertemu Sehun
lagi? Mungkin.
“Hanya kali ini, Kook. Aku ingin sekali minum kopi.” Aku
kembali menyeruput latte-ku,
sementara Jungkook sibuk menikmati macchiato-nya.
Setelah semua kebingungan yang kualami, akhirnya aku menemukan jawaban atas
keanehan Jungkook. Menemukan ketulusan dari setiap tindakannya untukku.
“Kali ini saja, tapi kau selalu mengatakannya
berkali-kali. Apa alasan itu patut aku terima?” Aku mengangguk semangat.
Jungkook hanya tersenyum simpul, di usapnya puncak kepalaku dengan lembut.
“Nanti kau bisa insomnia, kau selalu seperti itu.”
“Tidak apa, setidaknya ada kau yang akan selalu menjawab
teleponku meski tengah malam sudah lewat.”
Sometimes I want to ask you how your today was today
Now I’m good at eating greasy pasta
How about you? Do you still not like pickles?
I’m eventually getting used to life without you, it’s
pretty decent
When I hear about you, I can laugh now
I lean against the sunny window and put in my earphones
Pintu kedai terbuka seiring dengan suara lonceng di
atasnya. Suara itu terlalu familiar
di telingaku tapi aku tak pernah bosan untuk mendengarnya. Seorang laki-laki
muncul di balik pintu kaca itu dengan topi yang sedikit menutupi wajahnya.
Laki-laki itu tinggi dan aku merasa tak asing dengan perawakannya.
Oh Sehun. Dialah laki-laki itu. Datang sendiri tanpa
seorang pendamping di sebelahnya. Apa ia sudah putus dengan Hyemin? Entahlah,
aku tak pernah lagi menguping gosip-gosip yang di lakukan Sohyun di kelas.
Setelah memesan, laki-laki itu membalikkan badannya. Tanpa sengaja tatap
kami bertemu. Sehun tampak lebih kurus sekarang, terdapat lingkar hitam di
bawah matanya. Apa ia baik-baik saja? Harinya seberat itu kah hingga ia berdiri
dengan keadaan menyedihkan seperti itu?
Beberapa detik bertemu pandang, Sehun langsung memilih
duduk di bangku yang sangat jauh dariku. Ia mulai menyeruput kopinya. Espresso, aku yakin itu rasa yang
sekarang ia kecap di lidah. Rasa kesukaannya, aku ingat itu. Juga dengan semua
kenangan kami, yang indah hingga buruk, aku mengingatnya. Tapi semua itu hanya
kubiarkan menghuni ingatanku tanpa membiarkannya lagi untuk menguasai hatiku.
Biarkanlah semua itu berlalu, aku sudah baik-baik saja sekarang.
Jungkook memperhatikanku yang sedaritadi menatap Sehun.
Aku tahu ia pasti khwatir tentang keteguhan hatiku saat ini. “Aku baik-baik
saja, Kook.” Satu kalimat itu lagi yang kuucapkan kepada Jungkook. Laki-laki
itu tersenyum, entah kenapa ia langsung yakin begitu saja ketika aku mengucapkannya.
Tidak seperti dulu yang begitu ragu dan mengatakan bahwa aku hanya berakting.
Aku dan Jungkook sibuk berbincang panjang lebar di sertai
dengan tawa di sela-selanya. Sepenuhnya aku sudah tidak ada rasa terhadap
Sehun. Hanya saja beberapa kali aku pernah bertanya pada diriku. Bagaimana keadaan Sehun saat ini? Apakah hari-harinya
berjalan dengan baik? Karena aku disini baik-baik saja, jadi aku juga ingin
melihatnya seperti itu.
Ingin sekali saat kami tak sengaja bertemu, aku bertegur
sapa dengannya. Berbagi beberapa kalimat sebelum kami harus berpisah karena urusan masing-masing. Tapi kini bahkan
berbagi senyumpun kami tak bisa. Apa ia sungguh sudah melupakanku?
Di sela tawaku bersama Jungkook, mataku tiba-tiba saja
terusik oleh sesuatu di ujung sana. Sehun berdiri dari duduknya lalu pergi
meninggalkan café. Sempat melirik
kearahku barang beberapa detik. Wajahnya datar, tak mengekspresikan apapun.
“Permisi, ini ada sebuah titipan dari laki-laki yang tadi
duduk di ujung sana,” ucap seorang pelayan yang menghampiri aku dan Jungkook.
Aku langsung saja menerima sebuah robekan kertas itu lalu melirik kearah tempat
duduk yang di tunjukkan oleh si pelayan. Tempat duduk Sehun sebelumnya. Tak ada
lagi orang yang duduk disana setelah Sehun. Pastilah laki-laki itu yang
menitipkan surat ini untukku.
Aku menatap Jungkook, bertanya padanya apa aku bisa
membuka kertas itu. Dan Jungkook mengangguk sebagai jawaban. Perlahan aku buka
kertas itu dan menemukan sebuah kata tertulis disana. Dengan tulisan tangan
Sehun yang sangat aku ingat.
“Maaf.”
.
.
.
FIN
Komentar
Posting Komentar