Langsung ke konten utama

[Oneshot] Just Right

Title:
Just Right
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Cast(s):
Kim Soojin [OC] || Jeon Jungkook [BTS]
Genre: Hurt. Angst. Friendship. A lil’bit romance.
Duration: Oneshot
Rating: Teen
Song-fic of GOT7’s “Just Right”
Summary:
Tak perlu mengeluh ini dan itu. Kau tetap cantik sebagaimana dirimu.
.
.
.

Mirror, mirror please tell her
Scale, please tell her too
That she doesn’t need to change anything
That she’s pretty and perfect just as she is right now
Just be happy, don’t worry
Don’t look for your flaws
Instead of mirror, just look into my eyes
Instead of the scale, just get on my back

Bel istirahat sudah berbunyi, seperti biasa aku melangkahkan kaki menuju kelas sebelah untuk menemui seseorang yang katanya adalah sahabatku. Namun tidak seperti biasanya dimana ia yang lebih dulu mengajakku untuk pergi makan di kafetaria, hari ini gadis itu malah duduk santai di bangkunya.
“Kau membawa bekal?” tanyaku ketika melihatnya yang mengeluarkan sebuah kotak makan dan botol minum berwarna pink. Dia duduk di bangkunya sambil menatapku dengan senyum. Aku membuka lebih dulu kotak makannya itu, sedikit penasaran dengan bawaannya karena ku tahu gadis itu sama sekali tak bisa memasak. “Kau membawa makanan ternak?” tanyaku begitu mendapati potongan wortel, brokoli, tomat, dan sayuran lain yang masih mentah menghuni kotak makannya.
“Itu salad, Kook,” jawab Soojin sambil meraih bekal makanannya dariku. Kuraih botol minumnya yang menampakkan cairan berwarna jingga. Namun lagi-lagi alisku harus berkedut ketika mendapati isi di dalamnya. Jus wortel.
“Ada angin apa kau membawa bekal seperti ini?” tanyaku sambil menyerahkan botol minumnya dengan wajah jijik. Soojin tampak menghembuskan napas melihat makanan di hadapannya. Jelas sekali ia tampak keberatan memakan semua itu. “Kalau tidak ingin memakannya tidak usah kau paksakan. Siapa yang menyuruhmu membawa bekal seperti itu? Myungsoo hyung?” tanyaku heran. Ia tak begitu suka dengan sayuran, jadi sangat aneh ketika ia membawa bekal penuh dedaunan itu. Atau mungkin saja kakaknya itu sedang mencoba resep baru dan menggunakan Soojin sebagai korban percobaan.
Soojin menggeleng polos. Ia menyumpit sepotong brokoli yang tampak begitu segar. Aku memperhatikannya baik-baik. Dan seperti dugaanku, baru sedikit ia menggigiti brokoli itu, ia langsung menyepahnya. “Sudah ku katakan jangan di makan,” ujarku lagi. Soojin kembali meletakkan sumpitnya dan kali ini ia menatapku tajam. “Ada apa?”
“Kook, apa kacamata ini membuatku tampak begitu buruk? Jelek? Kutu buku?” Aku terdiam mendengar pertanyaan Soojin. Tidak, sama sekali tidak. Aku tak pernah melihatnya seperti itu. “Aku lelah, Kook. Aku tidak bisa terlihat seperti gadis lain yang mempunyai mata indah karena kacamata ini. Ketika orang-orang berkata bahwa orang pintarlah yang berkacamata, aku bahkan tidak pintar untuk di kategorikan seperti itu.”
Sebulir air mata menuruni pipi Soojin. Aku tak berani bersua apapun, karena aku tahu itu hanya akan membuatnya menangis semakin keras. “Ya, aku harus tetap memakan semua ini karena aku benci dengan kacamata ini, aku muak menggunakannya, Kook.”
Bulir-bulir air mata terus saja berjatuhan, gadis itu mulai sesenggukkan dengan mulut yang penuh akan sayur-sayuran mentah itu. Aku tahu Soojin sedang memaksakan diri untuk memakan semua itu, tapi aku tak bisa berbuat apa. Ia tetap menangis sambil mengunyah satu per satu sayuran bekalnya.

No matter how much I take you apart
And look and look at you
I can’t find that part of yourself that you think isn’t pretty

Sore itu, aku baru saja bangun dari tidur siangku yang nyenyak. Aku berjalan menuju balkon kamarku untuk menikmati sore yang indah dan mengamati jalan kecil di depan rumahku. Baru saja aku hendak meregangkan badan ketika netraku menemukan Soojin yang sedang berolahraga di halaman depan rumahnya.
Aku langsung menuruni tangga dan menuju rumahnya yang tepat berada di depan rumahku. Aku berjalan perlahan menghampiri Soojin. Gadis itu sama sekali tak sadar dengan kehadiranku yang sudah berdiri tak jauh di sampingnya. Ia tampak begitu kesulitan memutar hulahup di pinggangnya, benda itu terus saja memutar melorot ke bawah. Soojin berkali-kali mengambil hulahup yang jatuh lalu mencoba memutarnya lagi.
Aku hanya memandang Soojin aneh. Ia sama sekali tak suka dengan olahraga dan kini di sore yang masih begitu terik ini, ia melakukan pemanasan di depan rumahnya. Lama melihat Soojin yang masih berkutat dengan kegagalan hulahupnya, aku duduk di kursi santai di belakang gadis itu. Memperhatikannya sambil menikmati biskuit yang ada di atas meja.
Sepuluh menit lebih, Soojin akhirnya lelah dengan kegagalannya. Ia membiarkan hulahupnya jatuh ke tanah lalu menendang benda itu dengan kesal. Setelahnya ia duduk di atas rumput di tempat yang masih sama saat ia berlatih hulahup. Aku menghampiri Soojin lalu duduk di sebelahnya.
“Kau sudah datang daritadi?” tanya Soojin begitu mendapati kehadiranku. Terdengar jelas napas satu-satu gadis itu di telingaku. Aku pun ikut menghela napas lalu menatapnya serius.
“Ada apa lagi? Kau bertingkah aneh belakangan ini.” Aku sungguh tak mengerti dengan pikiran Soojin saat ini. Melihat badannya yang sudah kurus dan posturnya yang tinggi, tentu saja membuatku heran. “Kau sudah kurus, apa kau mau nanti hanya tulangmu saja yang tersisa?” ucapku dengan sedikit sindiran. Ayolah, apalagi yang ia inginkan dengan badannya? Gadis lain bahkan susah payah menguruskan badan dan Soojin sudah mendapatkannya secara cuma-cuma.
Soojin berdiri dari duduknya lalu berdiri di hadapanku. “Itulah masalahku, Kook,” ujarnya lemah. “Kau lihat badanku ini? Kurus tinggi tapi tak berbentuk, hanya lurus seperti tiang listrik yang berdiri di tepi jalan.”
Aku memperhatikan Soojin dari bawah sampai ke atas lalu menggelengkan kepala. “Seperti ini saja sudah bagus menurutku,” ujarku jujur lalu menarik tangan Soojin untuk kembali duduk di sebelahku. “Memangnya badan seperti apa lagi yang kau inginkan, hm?” tanyaku lembut pada Soojin. Gadis itu hanya menundukkan kepalanya dengan wajah sedih sambil sesekali membenarkan posisi kacamatanya.
“Kau lihat badanmu, Kook? Bahkan hanya untuk mengangkat sendok pun, ototmu akan terlihat. Ini sama halnya seperti itu. Ketika laki-laki ingin mempunyai otot ataupun abs di perutnya. Perempuan juga ingin mempunyai bentuk badan yang bagus,” jelas Soojin yang membuatku langsung terdiam. Jujur, dulu aku juga sempat berpikiran seperti itu. Namun bahkan tanpa melakukan latihan untuk otot-ototku, aku sudah mendapatkannya dengan berlatih menari.
Alhasil aku tak bisa menjawab apapun lagi. Aku kalah telak oleh penjelasan Soojin. Yang gadis itu katakan memang benar, tapi aku masih tak bisa terima dengan keluhannya itu. Sungguh, di mataku ia sudah tampak bagus dengan badannya saat ini. Soojin hanya menunduk, memperhatikan tangan kami yang kini bersebelahan. Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tapi aku memiliki firasat buruk tentang itu.
“Bahkan warna kulitku lebih gelap dari Taehyung oppa. Kau tahu sendiri, kan? Gadis-gadis selalu tampak cantik karena kulit putih bersihnya. Dan aku ingin seperti mereka.”
Ayolah, Kim Soojin. Keluhan macam apa lagi itu? Kulit itu sangat cocok untukmu. “Untuk apa lagi kau mengharapkan kulit putih pucat seperti itu? Kau tahu, bahkan artis-artis wanita banyak yang menggelapkan kulitnya.” Kini giliranku yang memberikan penjelasan pada Soojin, berharap dengan begitu ia akan berhenti mengeluhkan sesuatu di dirinya.
“Tapi aku bukanlah artis yang tetap terlihat cantik tak peduli apapun warna kulit mereka. Aku hanya seorang gadis biasa dengan segala kekuranganku, Kook.” Aku bisa mendengar rasa kesedihan dari ucapan Soojin. Ia masih menunduk sedaritadi.
Soojin-ah, sekali ini saja, bisakah jangan kau lakukan ini padaku? Setiap aku melakukan argumen yang bahkan sangat aku yakini, aku seketika bisa luluh dan merasa bahwa akulah yang salah hanya karena satu kalimat balasan darimu. Tidak bisakah kau melihat ketulusan ucapanku? Kumohon jangan mengeluh tentang kekuranganmu, karena di mataku sendiri aku tak pernah menemukan semua kekurangan itu di dirimu.
“Aku hanya ingin bisa tampil cantik seperti gadis lain, Kook.”

Everything about you is just right
So relax, stop worrying
You can believe what I’m saying 100%
So you can erase all of you worries 100%

“Kita mau kemana?” tanyaku akhirnya setelah setengah jam berlalu dan aku terus mengikuti langkah Soojin. Sepulang sekolah, gadis itu memintaku untuk menemaninya, namun ia tak berkata akan kemana. Jadilah sekarang aku hanya bertanya-tanya sambil terus melangkahkan kakiku di sebelahnya.
Langkah Soojin membawa kami ke pusat perbelanjaan. “Aku ingin membeli sesuatu,” jawabnya sambil terus menuntun langkah kami ke tempat tujuannya. Ya, aku tahu itu, Soojin-ah. Memangnya untuk apa lagi kita datang ke tempat ini?
Sepanjang perjalanan yang tak ku tahu akan berujung dimana, banyak sekali orang berlalu-lalang. Uh, aku benci dengan keramaian ini. Kalau saja bukan karena Soojin, mungkin aku sudah lari meninggalkan gadis itu.
Kami berhenti di sebuah toko. Disana berderet pakaian, tas, sepatu seluruhnya serba wanita dengan model lengkap. Soojin langsung saja memilih-milih pakaian yang di gantung rapi. Aku hanya mengikuti langkah gadis itu dengan penuh tanya. Memangnya akan ada acara apa sampai ia harus membeli baju baru? Entahlah, pikiran gadis itu selalu tak bisa ku tebak, sama seperti kakaknya−Kim Taehyung.
“Kook, ini bagus tidak?” tanya Soojin sambil menempelkan sebuah pakaian di badannya. Aku menggeleng cepat. “Kalau ini bagaimana?” tanyanya lagi sambil menunjukkan baju lain dengan model sama namun warna berbeda. Aku kembali menggeleng lalu menghampirinya.
“Memangnya kau mau kemana memakai dress seperti itu? Itu terlalu pendek untukmu.” Aku meraih kedua pakaian itu lalu menaruhnya lagi di tempat awal. “Yang ini bagus, seperti model yang selalu kau pakai.” Aku menjulurkan sebuah dress selutut kepada Soojin, namun gadis itu langsung tampak cemberut.
“Tapi, Kook. Itu model yang sekarang banyak di gunakan para gadis. Rok pendek yang memperlihatkan kaki jenjang mereka.” Soojin mengambil lagi dress yang baru saja aku letakkan, namun dengan cepat aku menghalanginya.
“Kakimu sudah tampak jenjang tanpa perlu kau memperlihatkannya.” Aku menggiring Soojin untuk berpindah dari gantungan pakaian itu. Aku tahu mungkin ia memang ingin membeli dress-dress mini itu, tapi sungguh aku tak suka melihat Soojin memakainya. Bukankah itu terlalu terbuka?
Aku memperhatikan Soojin yang kini sudah berdiri di hadapanku dengan menggunakan sebuah sepatu. Aku tak tahu kapan ia sampai di tempat sepatu itu, bahkan sudah sempat memakainya. “Kook, sepatu ini bagus, kan?” Soojin memperlihatkan sepatu yang membalut kakinya. Cantik. Sepatu itu sangat cantik di kakinya.
Aku mendongak dan menemukan mata Soojin tepat ada di mataku. Sepatu itu telah membuatnya hampir menyamai tinggiku. Kurasa kali ini aku akan menggeleng lagi. “Kau sudah tinggi, tak perlu lagi memakai heels seperti itu, kan?”
Wajah Soojin cemberut seketika. Ia langsung duduk lalu melepaskan sepatu di kakinya dengan kecewa. “Aku bahkan tak cocok untuk menggunakan barang-barang bermerek seperti itu,” ujarnya.
Aku menghampirinya lalu duduk di samping gadis itu. Sungguh, maksudku bukan seperti yang ia katakan. “Bukan tidak cocok, Jinie-ya. Tapi kau tak membutuhkan barang-barang itu. Dengan dirimu yang seperti biasanya itu sudah tampak sangat bagus.” Aku meminggirkan sepatu heels yang tadi Soojin kenakan lalu menaruh sepatu converse biru yang tadinya ia pakai.
“Jangan mencoba menghiburku, Kook. Tapi, terima kasih. Aku sudah merepotkanmu dengan meminta menemaniku,” ujar Soojin setelah selesai memakai sepatunya lalu berjalan lebih dulu keluar toko.
Kali ini aku hanya mampu mengikutinya jauh di belakang. Aku tahu ia butuh waktu sendiri saat ini. Tapi dengan jujur ku katakan, semua kalimatku tadi sama sekali bukan untuk menghiburnya. Aku mengatakan kebenaran yang ada di otakku, juga tentang apa yang aku rasakan akannya.

I’d find a flaw if it there was even a flaw that I could see
You dazzle, you have nothing missing
Do you know how pretty you are in my eyes? I want you
Just as you are, you are the only one

Aku berlarian sambil sesekali melihat jam tanganku. Ini sudah pukul delapan malam, untuk apa Soojin memintaku bertemu malam-malam seperti ini? Sedari pagi kuhubungi gadis itu tapi ia tak sekalipun menjawabnya. Bahkan kedua kakaknya, Taehyung hyung dan Myungsoo hyung tak mengetahui keberadaan gadis itu. Kemana saja perginya ia sampai malam seperti ini??
Aku sampai di taman tak jauh dari rumah kami dengan napas terengah-engah karena berlari. Mengedarkan pandanganku untuk mencari keberadaan Soojin. Dan seperti biasa, ia duduk di bangku dekat air mancur. Namun aku melangkahkan kakiku kearahnya dengan ragu. Ada yang berbeda dari gadis itu. Apa ia benar-benar Soojin?
“Kenapa lama sekali, Kook?” Ya, itu benar Soojin. Ia kini berdiri di hadapanku dengan senyum mengembang cerah. Tapi berbeda dengannya, aku bahkan hanya mampu menahan napas. Gadis itu berbeda, sungguh berbeda.
“Dimana kacamatamu?” tanyaku langsung. Ia tak memakai kacamatanya di tengah malam seperti ini. Apa ia gila? Bagaimana ia bisa pulang nantinya? Meskipun sekarang ada aku disini, tapi bagaimana kalau aku tidak ada? 
“Aku memakai softlens, Kook,” jawabnya dengan senyuman yang tak sedikitpun runtuh. Mendengar jawaban Soojin membuatku memperhatikan gadis itu dari bawah hingga atas. Seluruhnya berubah. Dress mini itu, heels itu, dan−
“Apa yang kau lakukan dengan rambutmu?” Aku mengusap rambut Soojin. Biasanya perlu waktu lebih lama untuk tanganku sampai pada ujungnya, namun kali ini lebih singkat. Soojin memotong rambut panjang sepinggulnya hingga kini sedikit lebih panjang di bawah bahunya. Dan rambut yang biasanya berwarna hitam legam itu kini tampak kecokelatan.
“Aku memotong dan memberinya warna. Seperti kebanyakan orang sekarang.”
Lagi-lagi kalimat itu. Bisakah ia tak mengatakannya? Aku menyukainya, bukan ia yang seperti orang lain. Berhentilah melakukan perubahan pada dirimu, Jinie-ya.
“Sayang sekali, padahal aku menyukai rambut hitam panjangmu. Kau tidak kasihan memotongnya?” Raut Soojin langsung berubah, aku tahu ia tak rela memotong rambutnya. Ia merawat rambut itu dengan begitu baik dan dengan mudah salon memotongnya. “Dan apa yang kau kenakan saat ini? Bukankah sudah ku katakan bahwa semua itu tidak perlu?” Aku marah. Aku tak ingin melihat Soojin seperti ini. Aku tidak suka melihatnya yang mencoba untuk terlihat seperti orang lain. “Apa menurutmu perkataanku selama ini tak ada artinya?”
“Kook…” Soojin meraih tanganku dengan rasa bersalah. Aku tahu mungkin tak sepantasnya aku marah padanya. Siapalah aku yang hanya berstatus sebagai teman gadis itu. Aku melepas tangan Soojin lalu meninggalkan gadis itu. “Kook!!” Sampai panggilang Soojin akhirnya menghentikan langkahku beberapa meter di depannya. Aku bisa mendengar suara serak dan bergetarnya, Soojin pasti akan menangis setelah ini.
“Aku hanya ingin seperti gadis-gadis lain yang banyak mempunyai teman, mengobrol tentang fashion terbaru, dan begitu percaya diri dengan pakaian mahal serta wajah cantik mereka! Kau bahkan tahu, Kook. Satu-satunya temanku selama ini hanyalah dirimu!
Dengan jelas ku dengar suara Soojin berujar lirih. Ingin rasanya aku membalikkan badan dan meraih gadis itu dalam pelukanku. Tapi aku tak bisa. Selama ini aku sudah cukup menerima semua egomu, namun kali ini aku tak bisa menerimamu yang seperti ini. Aku hanya ingin dirimu, Soojin-ah.

If you just stay the way you are now
I want nothing more, so don’t change anything
Don’t worry about anything
Because I like everything about you
Don’t change anything about yourself
Just as you are, just stay as you are

Aku sedang asik mengerjakan tugas kala ponselku bergetar kencang di atas meja. Sebuah panggilan. Aku melihat nama si penelepon sebelum akhirnya menjawab sambungan itu. “Halo? Ada apa, hyung?” tanyaku pada Taehyung hyung. Namun terasa aneh kala yang ku dengar setelahnya bukan suara Taehyung hyung.
“Halo, Jungkook-ah. Apa kau tahu Soojin pergi kemana?” Suara Myungsoo hyung menjawab dari seberang. Aku melirik jam di dinding kamarku, pukul sepuluh malam dan gadis itu belum pulang. Apa yang ia lakukan?
Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu. Tapi tenang saja, hyung. Soojin pasti pulang sebentar lagi,” jawabku mencoba menenangkan kedua kakak Soojin itu. Sambungan telepon terputus, aku langsung meraih jaketku di atas tempat tidur lalu berlari keluar kamar. Bagaimanapun caranya, aku harus menemukan Soojin. Ayolah, kemana lagi perginya gadis itu?
Berkali-kali aku mencoba menghubungi ponselnya namun tak ada jawaban, begitupula dengan belasan pesan yang aku kirim. Soojin sama sekali tak membalasnya. Aku merutuk kesal dalam hati. Mungkin semua ini salahku.
Sejak kejadian Soojin mengubah seluruh penampilannya, aku jarang sekali berada di dekat gadis itu. Ia benar-benar melakukan apa yang ia ingin. Berkumpul dengan gadis-gadis yang cukup terkenal di sekolah, menghabiskan waktu bersama mereka, dan meninggalkanku sendiri, seperti waktu itu aku meninggalkannya di taman.
Aku berhenti berlari. Mengambil napas secepat mungkin untuk mengisi paru-paruku. Aku menatap jalanan kosong di depanku. Sama sekali tak tahu harus membawa kakiku kemana demi menemukan Soojin. Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Hyemin−ya katakan saja ia adalah salah satu orang populer di sekolah−yang belakangan ini sering bersama Soojin.
“Soojin?” Terdengar suara cempreng Hyemin dari seberang setelah aku menanyakan keberadaan Soojin. “Hei, apa kalian melihat Soojin? Bukankah tadi dia ada disini?” Hyemin kini bertanya pada teman-temannya. Apa maksud gadis itu? Ia bahkan tak tahu keberadaan Soojin yang ada bersamanya. “Sepertinya ia sudah pulang,” jawab Hyemin santai lalu memutuskan sambungan telepon begitu saja.
Argghtt!!!” teriakku frustasi. Sangat kesal aku dengan sikap Hyemin, sama sekali tak menghargai orang lain. Dan memang seperti itulah para gadis populer itu. Menyebalkan! “Aih, kemana lagi perginya Soojin?” Dengan pelan ku langkahkan kakiku menyusuri jalan, entah aku akan kemana. Aku hanya bisa berdoa agar segera bertemu dengan Soojin.
Aku melewati taman tempat biasa kami bertemu dan menghabiskan waktu. Kembali aku teringat akan ucapan Soojin waktu itu. Aku sungguh tak mengerti mengapa ia menjadi seperti itu. Sebelumnya ia bahkan tak pernah mengeluh, namun tiba-tiba saja seperti itu. Apa sebenarnya yang sedang ia pikirkan?
Samar-samar aku mendengar suara tangis yang teredam oleh suara air mancur yang bergemericik. Dan lagi-lagi, masih di tempat yang sama, akhirnya aku menemukan Soojin. Duduk sendiri sambil tertunduk dalam tangis. Aku segera menghampiri Soojin dan membiarkan gadis itu menangis di dalam pelukanku. Jika melihatnya bersedih seperti ini, rasanya sama saja denganku yang sedang mengalami masalah. Aku tak bisa melihat Soojin menangis, entah mengapa rasanya begitu sakit untukku.
Lama waktu terlewati dengan hanya tangisan gadis itu yang memecah sunyi. Soojin melepaskan pelukannya padaku lalu menghapus air matanya dengan asal. “Maafkan aku, Kook. Seharusnya aku mendengar kata-katamu. Aku tak bisa lagi berpura-pura bahagia ketika aku bersama para gadis-gadis itu. Aku sama sekali tak mengerti dengan pembicaraan mereka, terkadang mereka hanya mementingkan diri mereka dengan segala kemewahannya. Aku bahkan tak bisa mengerti apa makna pertemanan untuk mereka. Apakah hanya sebatas berkumpul untuk memamerkan barang-barang mahal? Setidaknya seperti itu yang aku temukan selama ini.”
Soojin tersenyum kaku. Sebelumnya mungkin aku sangat menyesal karena telah membiarkan Soojin berubah dan berteman dengan para gadis populer itu. Tapi yang kurasakan saat ini adalah rasa syukur. Setidaknya dengan seperti itu, Soojin dapat mengerti bahwa apa yang selama ini tampak begitu indah di matanya tak seperti yang ia lihat. Dan semua kekurangan yang ia keluhkan, bahkan lebih baik dari yang ia pikir.
Ku tarik dagu Soojin untuk mendongak dan menatap mataku. Pelan kuusap bekas air matanya dengan senyum simpul. Sebelah tanganku meraih sesuatu di kantong jaketku dan mengenakannya pada Soojin. Kacamatanya.
“Kacamata ini? Darimana kau mendapatkannya, Kook?” tanya Soojin terheran. Aku hanya mengendikkan bahuku lalu tersenyum kecil. Waktu itu aku mengambilnya di tempat sampah ketika Soojin dengan semena-mena membuang kacamata itu.
“Aku tahu suatu saat kau pasti memerlukannya lagi,” ucapku lalu kembali memeluk Soojin. Gadis itu membalas pelukanku dan tersenyum hangat.
“Terima kasih, Kook.”
Aku mengangguk sekilas sambil mengelus lembut rambut Soojin yang sudah tak seperti dulu lagi. Mengingat semua perubahan Soojin, sepertinya mulai besok aku harus mengatur rencana untuk mengembalikan Soojin seperti dulu lagi.
Aku menyukai Soojin sebagaimana dirinya. Bukan dirinya yang mencoba untuk menjadi orang lain. Hanya tetap menjadi dirinya seperti biasa, itu sudah cukup untuk membuatku tak bisa berhenti mencintainya.
.
.
.

END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Vignette] Only Hope

Title:  Only Hope Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Yooji [OC] || Kim Yugyeom [GOT7] || Kim Namjoon [BTS] Genre: Romance. Friendship. Hurt. Duration: Vignette Rating: Teen Summary: Salahku yang terlalu berharap padamu

[Oneshot] Brother and Sister Complex

  Title: Brother and Sister Complex Author: Na n aJji (@nana.novita) Length: Oneshot Genre: Romance, family, friendship Main Casts: Kim Myung Soo (INFINITE) || Kim Soo Jin (OC) Rating: PG-15 Summary: Seperti sebuah napza. Berawal dari sebuah kebersamaan, hingga akhirnya membuatnya menjadi candu.

[Vignette] Biscuit

Title: BISCUIT Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Kim Jongin [EXO] Genre: Comedy. Friendship. Duration: Vignette Rating: G Summary: Haruskah ia memberitahu Soojin tentang apa yang ingin ia beli? . “ Oppa sungguh ingin membeli itu?” tanya Soojin tak percaya. Sehun hanya dapat mengangguk dengan polos. . . .