Title:
Just
Right
Scriptwriter:
NanaJji
(@nana.novita)
Cast(s):
Kim
Soojin [OC] || Jeon Jungkook [BTS]
Genre:
Hurt. Angst. Friendship. A lil’bit romance.
Duration: Oneshot
Rating:
Teen
Song-fic
of GOT7’s “Just Right”
Summary:
Tak perlu mengeluh ini dan itu. Kau tetap cantik
sebagaimana dirimu.
.
.
.
Mirror, mirror please tell her
Scale, please tell her too
That she doesn’t need to change anything
That she’s pretty and perfect just as she is right now
Just be happy, don’t worry
Don’t look for your flaws
Instead of mirror, just look into my eyes
Instead of the scale, just get on my back
Bel istirahat sudah
berbunyi, seperti biasa aku melangkahkan kaki menuju kelas sebelah untuk
menemui seseorang yang katanya adalah sahabatku. Namun tidak seperti biasanya dimana
ia yang lebih dulu mengajakku untuk pergi makan di kafetaria, hari ini gadis
itu malah duduk santai di bangkunya.
“Kau membawa
bekal?” tanyaku ketika melihatnya yang mengeluarkan sebuah kotak makan dan
botol minum berwarna pink. Dia duduk
di bangkunya sambil menatapku dengan senyum. Aku membuka lebih dulu kotak
makannya itu, sedikit penasaran dengan bawaannya karena ku tahu gadis itu sama
sekali tak bisa memasak. “Kau membawa makanan ternak?” tanyaku begitu mendapati
potongan wortel, brokoli, tomat, dan sayuran lain yang masih mentah menghuni
kotak makannya.
“Itu salad, Kook,” jawab Soojin sambil meraih
bekal makanannya dariku. Kuraih botol minumnya yang menampakkan cairan berwarna
jingga. Namun lagi-lagi alisku harus berkedut ketika mendapati isi di dalamnya.
Jus wortel.
“Ada angin apa kau
membawa bekal seperti ini?” tanyaku sambil menyerahkan botol minumnya dengan
wajah jijik. Soojin tampak menghembuskan napas melihat makanan di hadapannya.
Jelas sekali ia tampak keberatan memakan semua itu. “Kalau tidak ingin
memakannya tidak usah kau paksakan. Siapa yang menyuruhmu membawa bekal seperti
itu? Myungsoo hyung?” tanyaku heran.
Ia tak begitu suka dengan sayuran, jadi sangat aneh ketika ia membawa bekal
penuh dedaunan itu. Atau mungkin saja kakaknya itu sedang mencoba resep baru
dan menggunakan Soojin sebagai korban percobaan.
Soojin menggeleng
polos. Ia menyumpit sepotong brokoli yang tampak begitu segar. Aku
memperhatikannya baik-baik. Dan seperti dugaanku, baru sedikit ia menggigiti
brokoli itu, ia langsung menyepahnya. “Sudah ku katakan jangan di makan,”
ujarku lagi. Soojin kembali meletakkan sumpitnya dan kali ini ia menatapku
tajam. “Ada apa?”
“Kook, apa kacamata
ini membuatku tampak begitu buruk? Jelek? Kutu buku?” Aku terdiam mendengar
pertanyaan Soojin. Tidak, sama sekali tidak. Aku tak pernah melihatnya seperti
itu. “Aku lelah, Kook. Aku tidak bisa terlihat seperti gadis lain yang
mempunyai mata indah karena kacamata ini. Ketika orang-orang berkata bahwa
orang pintarlah yang berkacamata, aku bahkan tidak pintar untuk di kategorikan
seperti itu.”
Sebulir air mata
menuruni pipi Soojin. Aku tak berani bersua apapun, karena aku tahu itu hanya
akan membuatnya menangis semakin keras. “Ya, aku harus tetap memakan semua ini
karena aku benci dengan kacamata ini, aku muak menggunakannya, Kook.”
Bulir-bulir air
mata terus saja berjatuhan, gadis itu mulai sesenggukkan dengan mulut yang
penuh akan sayur-sayuran mentah itu. Aku tahu Soojin sedang memaksakan diri
untuk memakan semua itu, tapi aku tak bisa berbuat apa. Ia tetap menangis
sambil mengunyah satu per satu sayuran bekalnya.
No matter how much I take you apart
And look and look at you
I can’t find that part of yourself that you think isn’t pretty
Sore itu, aku baru
saja bangun dari tidur siangku yang nyenyak. Aku berjalan menuju balkon kamarku
untuk menikmati sore yang indah dan mengamati jalan kecil di depan rumahku.
Baru saja aku hendak meregangkan badan ketika netraku menemukan Soojin yang
sedang berolahraga di halaman depan rumahnya.
Aku langsung
menuruni tangga dan menuju rumahnya yang tepat berada di depan rumahku. Aku
berjalan perlahan menghampiri Soojin. Gadis itu sama sekali tak sadar dengan
kehadiranku yang sudah berdiri tak jauh di sampingnya. Ia tampak begitu
kesulitan memutar hulahup di pinggangnya, benda itu terus saja memutar melorot
ke bawah. Soojin berkali-kali mengambil hulahup yang jatuh lalu mencoba
memutarnya lagi.
Aku hanya memandang
Soojin aneh. Ia sama sekali tak suka dengan olahraga dan kini di sore yang
masih begitu terik ini, ia melakukan pemanasan di depan rumahnya. Lama melihat
Soojin yang masih berkutat dengan kegagalan hulahupnya, aku duduk di kursi
santai di belakang gadis itu. Memperhatikannya sambil menikmati biskuit yang
ada di atas meja.
Sepuluh menit
lebih, Soojin akhirnya lelah dengan kegagalannya. Ia membiarkan hulahupnya
jatuh ke tanah lalu menendang benda itu dengan kesal. Setelahnya ia duduk di
atas rumput di tempat yang masih sama saat ia berlatih hulahup. Aku menghampiri
Soojin lalu duduk di sebelahnya.
“Kau sudah datang
daritadi?” tanya Soojin begitu mendapati kehadiranku. Terdengar jelas napas
satu-satu gadis itu di telingaku. Aku pun ikut menghela napas lalu menatapnya
serius.
“Ada apa lagi? Kau
bertingkah aneh belakangan ini.” Aku sungguh tak mengerti dengan pikiran Soojin
saat ini. Melihat badannya yang sudah kurus dan posturnya yang tinggi, tentu
saja membuatku heran. “Kau sudah kurus, apa kau mau nanti hanya tulangmu saja
yang tersisa?” ucapku dengan sedikit sindiran. Ayolah, apalagi yang ia inginkan
dengan badannya? Gadis lain bahkan susah payah menguruskan badan dan Soojin
sudah mendapatkannya secara cuma-cuma.
Soojin berdiri dari
duduknya lalu berdiri di hadapanku. “Itulah masalahku, Kook,” ujarnya lemah.
“Kau lihat badanku ini? Kurus tinggi tapi tak berbentuk, hanya lurus seperti
tiang listrik yang berdiri di tepi jalan.”
Aku memperhatikan
Soojin dari bawah sampai ke atas lalu menggelengkan kepala. “Seperti ini saja
sudah bagus menurutku,” ujarku jujur lalu menarik tangan Soojin untuk kembali
duduk di sebelahku. “Memangnya badan seperti apa lagi yang kau inginkan, hm?” tanyaku lembut pada Soojin. Gadis
itu hanya menundukkan kepalanya dengan wajah sedih sambil sesekali membenarkan
posisi kacamatanya.
“Kau lihat badanmu,
Kook? Bahkan hanya untuk mengangkat sendok pun, ototmu akan terlihat. Ini sama
halnya seperti itu. Ketika laki-laki ingin mempunyai otot ataupun abs di perutnya. Perempuan juga ingin
mempunyai bentuk badan yang bagus,” jelas Soojin yang membuatku langsung terdiam.
Jujur, dulu aku juga sempat berpikiran seperti itu. Namun bahkan tanpa
melakukan latihan untuk otot-ototku, aku sudah mendapatkannya dengan berlatih
menari.
Alhasil aku tak
bisa menjawab apapun lagi. Aku kalah telak oleh penjelasan Soojin. Yang gadis itu
katakan memang benar, tapi aku masih tak bisa terima dengan keluhannya itu.
Sungguh, di mataku ia sudah tampak bagus dengan badannya saat ini. Soojin hanya
menunduk, memperhatikan tangan kami yang kini bersebelahan. Aku tak tahu apa
yang sedang ia pikirkan, tapi aku memiliki firasat buruk tentang itu.
“Bahkan warna
kulitku lebih gelap dari Taehyung oppa.
Kau tahu sendiri, kan? Gadis-gadis selalu tampak cantik karena kulit putih
bersihnya. Dan aku ingin seperti mereka.”
Ayolah, Kim Soojin.
Keluhan macam apa lagi itu? Kulit itu sangat cocok untukmu. “Untuk apa lagi kau
mengharapkan kulit putih pucat seperti itu? Kau tahu, bahkan artis-artis wanita
banyak yang menggelapkan kulitnya.” Kini giliranku yang memberikan penjelasan
pada Soojin, berharap dengan begitu ia akan berhenti mengeluhkan sesuatu di
dirinya.
“Tapi aku bukanlah
artis yang tetap terlihat cantik tak peduli apapun warna kulit mereka. Aku
hanya seorang gadis biasa dengan segala kekuranganku, Kook.” Aku bisa mendengar
rasa kesedihan dari ucapan Soojin. Ia masih menunduk sedaritadi.
Soojin-ah, sekali ini saja, bisakah jangan kau
lakukan ini padaku? Setiap aku melakukan argumen yang bahkan sangat aku yakini,
aku seketika bisa luluh dan merasa bahwa akulah yang salah hanya karena satu
kalimat balasan darimu. Tidak bisakah kau melihat ketulusan ucapanku? Kumohon
jangan mengeluh tentang kekuranganmu, karena di mataku sendiri aku tak pernah
menemukan semua kekurangan itu di dirimu.
“Aku hanya ingin
bisa tampil cantik seperti gadis lain, Kook.”
Everything
about you is just right
So
relax, stop worrying
You
can believe what I’m saying 100%
So
you can erase all of you worries 100%
“Kita mau kemana?”
tanyaku akhirnya setelah setengah jam berlalu dan aku terus mengikuti langkah
Soojin. Sepulang sekolah, gadis itu memintaku untuk menemaninya, namun ia tak
berkata akan kemana. Jadilah sekarang aku hanya bertanya-tanya sambil terus
melangkahkan kakiku di sebelahnya.
Langkah Soojin
membawa kami ke pusat perbelanjaan. “Aku ingin membeli sesuatu,” jawabnya
sambil terus menuntun langkah kami ke tempat tujuannya. Ya, aku tahu itu,
Soojin-ah. Memangnya untuk apa lagi
kita datang ke tempat ini?
Sepanjang
perjalanan yang tak ku tahu akan berujung dimana, banyak sekali orang
berlalu-lalang. Uh, aku benci dengan
keramaian ini. Kalau saja bukan karena Soojin, mungkin aku sudah lari
meninggalkan gadis itu.
Kami berhenti di
sebuah toko. Disana berderet pakaian, tas, sepatu seluruhnya serba wanita
dengan model lengkap. Soojin langsung saja memilih-milih pakaian yang di
gantung rapi. Aku hanya mengikuti langkah gadis itu dengan penuh tanya.
Memangnya akan ada acara apa sampai ia harus membeli baju baru? Entahlah,
pikiran gadis itu selalu tak bisa ku tebak, sama seperti kakaknya−Kim Taehyung.
“Kook, ini bagus
tidak?” tanya Soojin sambil menempelkan sebuah pakaian di badannya. Aku
menggeleng cepat. “Kalau ini bagaimana?” tanyanya lagi sambil menunjukkan baju
lain dengan model sama namun warna berbeda. Aku kembali menggeleng lalu
menghampirinya.
“Memangnya kau mau
kemana memakai dress seperti itu? Itu
terlalu pendek untukmu.” Aku meraih kedua pakaian itu lalu menaruhnya lagi di
tempat awal. “Yang ini bagus, seperti model yang selalu kau pakai.” Aku
menjulurkan sebuah dress selutut
kepada Soojin, namun gadis itu langsung tampak cemberut.
“Tapi, Kook. Itu
model yang sekarang banyak di gunakan para gadis. Rok pendek yang
memperlihatkan kaki jenjang mereka.” Soojin mengambil lagi dress yang baru saja aku letakkan, namun dengan cepat aku
menghalanginya.
“Kakimu sudah
tampak jenjang tanpa perlu kau memperlihatkannya.” Aku menggiring Soojin untuk
berpindah dari gantungan pakaian itu. Aku tahu mungkin ia memang ingin membeli dress-dress mini itu, tapi sungguh aku
tak suka melihat Soojin memakainya. Bukankah itu terlalu terbuka?
Aku memperhatikan
Soojin yang kini sudah berdiri di hadapanku dengan menggunakan sebuah sepatu.
Aku tak tahu kapan ia sampai di tempat sepatu itu, bahkan sudah sempat
memakainya. “Kook, sepatu ini bagus, kan?” Soojin memperlihatkan sepatu yang
membalut kakinya. Cantik. Sepatu itu sangat cantik di kakinya.
Aku mendongak dan
menemukan mata Soojin tepat ada di mataku. Sepatu itu telah membuatnya hampir
menyamai tinggiku. Kurasa kali ini aku akan menggeleng lagi. “Kau sudah tinggi,
tak perlu lagi memakai heels seperti
itu, kan?”
Wajah Soojin
cemberut seketika. Ia langsung duduk lalu melepaskan sepatu di kakinya dengan
kecewa. “Aku bahkan tak cocok untuk menggunakan barang-barang bermerek seperti
itu,” ujarnya.
Aku menghampirinya
lalu duduk di samping gadis itu. Sungguh, maksudku bukan seperti yang ia
katakan. “Bukan tidak cocok, Jinie-ya.
Tapi kau tak membutuhkan barang-barang itu. Dengan dirimu yang seperti biasanya
itu sudah tampak sangat bagus.” Aku meminggirkan sepatu heels yang tadi Soojin kenakan lalu menaruh sepatu converse biru yang tadinya ia pakai.
“Jangan mencoba
menghiburku, Kook. Tapi, terima kasih. Aku sudah merepotkanmu dengan meminta
menemaniku,” ujar Soojin setelah selesai memakai sepatunya lalu berjalan lebih
dulu keluar toko.
Kali ini aku hanya
mampu mengikutinya jauh di belakang. Aku tahu ia butuh waktu sendiri saat ini.
Tapi dengan jujur ku katakan, semua kalimatku tadi sama sekali bukan untuk
menghiburnya. Aku mengatakan kebenaran yang ada di otakku, juga tentang apa
yang aku rasakan akannya.
I’d
find a flaw if it there was even a flaw that I could see
You
dazzle, you have nothing missing
Do
you know how pretty you are in my eyes? I want you
Just
as you are, you are the only one
Aku berlarian
sambil sesekali melihat jam tanganku. Ini sudah pukul delapan malam, untuk apa
Soojin memintaku bertemu malam-malam seperti ini? Sedari pagi kuhubungi gadis
itu tapi ia tak sekalipun menjawabnya. Bahkan kedua kakaknya, Taehyung hyung dan Myungsoo hyung tak mengetahui keberadaan gadis itu. Kemana saja perginya ia
sampai malam seperti ini??
Aku sampai di taman
tak jauh dari rumah kami dengan napas terengah-engah karena berlari.
Mengedarkan pandanganku untuk mencari keberadaan Soojin. Dan seperti biasa, ia
duduk di bangku dekat air mancur. Namun aku melangkahkan kakiku kearahnya
dengan ragu. Ada yang berbeda dari gadis itu. Apa ia benar-benar Soojin?
“Kenapa lama
sekali, Kook?” Ya, itu benar Soojin. Ia kini berdiri di hadapanku dengan senyum
mengembang cerah. Tapi berbeda dengannya, aku bahkan hanya mampu menahan napas.
Gadis itu berbeda, sungguh berbeda.
“Dimana
kacamatamu?” tanyaku langsung. Ia tak memakai kacamatanya di tengah malam
seperti ini. Apa ia gila? Bagaimana ia bisa pulang nantinya? Meskipun sekarang
ada aku disini, tapi bagaimana kalau aku tidak ada?
“Aku memakai softlens, Kook,” jawabnya dengan
senyuman yang tak sedikitpun runtuh. Mendengar jawaban Soojin membuatku
memperhatikan gadis itu dari bawah hingga atas. Seluruhnya berubah. Dress mini itu, heels itu, dan−
“Apa yang kau
lakukan dengan rambutmu?” Aku mengusap rambut Soojin. Biasanya perlu waktu
lebih lama untuk tanganku sampai pada ujungnya, namun kali ini lebih singkat.
Soojin memotong rambut panjang sepinggulnya hingga kini sedikit lebih panjang
di bawah bahunya. Dan rambut yang biasanya berwarna hitam legam itu kini tampak
kecokelatan.
“Aku memotong dan
memberinya warna. Seperti kebanyakan orang sekarang.”
Lagi-lagi kalimat
itu. Bisakah ia tak mengatakannya? Aku menyukainya, bukan ia yang seperti orang
lain. Berhentilah melakukan perubahan pada dirimu, Jinie-ya.
“Sayang sekali,
padahal aku menyukai rambut hitam panjangmu. Kau tidak kasihan memotongnya?” Raut
Soojin langsung berubah, aku tahu ia tak rela memotong rambutnya. Ia merawat
rambut itu dengan begitu baik dan dengan mudah salon memotongnya. “Dan apa yang
kau kenakan saat ini? Bukankah sudah ku katakan bahwa semua itu tidak perlu?”
Aku marah. Aku tak ingin melihat Soojin seperti ini. Aku tidak suka melihatnya
yang mencoba untuk terlihat seperti orang lain. “Apa menurutmu perkataanku
selama ini tak ada artinya?”
“Kook…” Soojin
meraih tanganku dengan rasa bersalah. Aku tahu mungkin tak sepantasnya aku
marah padanya. Siapalah aku yang hanya berstatus sebagai teman gadis itu. Aku
melepas tangan Soojin lalu meninggalkan gadis itu. “Kook!!” Sampai panggilang
Soojin akhirnya menghentikan langkahku beberapa meter di depannya. Aku bisa
mendengar suara serak dan bergetarnya, Soojin pasti akan menangis setelah ini.
“Aku hanya ingin
seperti gadis-gadis lain yang banyak mempunyai teman, mengobrol tentang fashion terbaru, dan begitu percaya diri
dengan pakaian mahal serta wajah cantik mereka! Kau bahkan tahu,
Kook. Satu-satunya temanku selama ini hanyalah dirimu!”
Dengan jelas ku
dengar suara Soojin berujar lirih. Ingin rasanya aku membalikkan badan dan
meraih gadis itu dalam pelukanku. Tapi aku tak bisa. Selama ini aku sudah cukup
menerima semua egomu, namun kali ini aku tak bisa menerimamu yang seperti ini.
Aku hanya ingin dirimu, Soojin-ah.
If you just stay the way you are now
I want nothing more, so don’t change anything
Don’t worry about anything
Because I like everything about you
Don’t change anything about yourself
Just
as you are, just stay as you are
Aku sedang asik
mengerjakan tugas kala ponselku bergetar kencang di atas meja. Sebuah
panggilan. Aku melihat nama si penelepon sebelum akhirnya menjawab sambungan
itu. “Halo? Ada apa, hyung?” tanyaku pada
Taehyung hyung. Namun terasa aneh
kala yang ku dengar setelahnya bukan suara Taehyung hyung.
“Halo, Jungkook-ah. Apa kau tahu Soojin pergi kemana?”
Suara Myungsoo hyung menjawab dari
seberang. Aku melirik jam di dinding kamarku, pukul sepuluh malam dan gadis itu
belum pulang. Apa yang ia lakukan?
Aku menggelengkan
kepala. “Aku tidak tahu. Tapi tenang saja, hyung.
Soojin pasti pulang sebentar lagi,” jawabku mencoba menenangkan kedua kakak
Soojin itu. Sambungan telepon terputus, aku langsung meraih jaketku di atas
tempat tidur lalu berlari keluar kamar. Bagaimanapun caranya, aku harus
menemukan Soojin. Ayolah, kemana lagi perginya gadis itu?
Berkali-kali aku
mencoba menghubungi ponselnya namun tak ada jawaban, begitupula dengan belasan
pesan yang aku kirim. Soojin sama sekali tak membalasnya. Aku merutuk kesal
dalam hati. Mungkin semua ini salahku.
Sejak kejadian Soojin
mengubah seluruh penampilannya, aku jarang sekali berada di dekat gadis itu. Ia
benar-benar melakukan apa yang ia ingin. Berkumpul dengan gadis-gadis yang
cukup terkenal di sekolah, menghabiskan waktu bersama mereka, dan
meninggalkanku sendiri, seperti waktu itu aku meninggalkannya di taman.
Aku berhenti
berlari. Mengambil napas secepat mungkin untuk mengisi paru-paruku. Aku menatap
jalanan kosong di depanku. Sama sekali tak tahu harus membawa kakiku kemana
demi menemukan Soojin. Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Hyemin−ya katakan
saja ia adalah salah satu orang populer di sekolah−yang belakangan ini sering
bersama Soojin.
“Soojin?” Terdengar
suara cempreng Hyemin dari seberang setelah aku menanyakan keberadaan Soojin.
“Hei, apa kalian melihat Soojin? Bukankah tadi dia ada disini?” Hyemin kini
bertanya pada teman-temannya. Apa maksud gadis itu? Ia bahkan tak tahu
keberadaan Soojin yang ada bersamanya. “Sepertinya ia sudah pulang,” jawab
Hyemin santai lalu memutuskan sambungan telepon begitu saja.
“Argghtt!!!” teriakku frustasi. Sangat
kesal aku dengan sikap Hyemin, sama sekali tak menghargai orang lain. Dan
memang seperti itulah para gadis populer itu. Menyebalkan! “Aih, kemana lagi perginya Soojin?”
Dengan pelan ku langkahkan kakiku menyusuri jalan, entah aku akan kemana. Aku
hanya bisa berdoa agar segera bertemu dengan Soojin.
Aku melewati taman
tempat biasa kami bertemu dan menghabiskan waktu. Kembali aku teringat akan
ucapan Soojin waktu itu. Aku sungguh tak mengerti mengapa ia menjadi seperti itu.
Sebelumnya ia bahkan tak pernah mengeluh, namun tiba-tiba saja seperti itu. Apa
sebenarnya yang sedang ia pikirkan?
Samar-samar aku
mendengar suara tangis yang teredam oleh suara air mancur yang bergemericik.
Dan lagi-lagi, masih di tempat yang sama, akhirnya
aku menemukan Soojin. Duduk sendiri sambil
tertunduk dalam tangis. Aku segera menghampiri Soojin dan membiarkan gadis itu
menangis di dalam pelukanku. Jika melihatnya bersedih seperti ini, rasanya sama
saja denganku yang sedang mengalami masalah. Aku tak bisa melihat Soojin
menangis, entah mengapa rasanya begitu sakit untukku.
Lama waktu
terlewati dengan hanya tangisan gadis itu yang memecah sunyi. Soojin melepaskan
pelukannya padaku lalu menghapus air matanya dengan asal. “Maafkan aku, Kook.
Seharusnya aku mendengar kata-katamu. Aku tak bisa lagi berpura-pura bahagia
ketika aku bersama para gadis-gadis itu. Aku sama sekali tak mengerti dengan
pembicaraan mereka, terkadang mereka hanya mementingkan diri mereka dengan
segala kemewahannya. Aku bahkan tak bisa mengerti apa makna pertemanan untuk
mereka. Apakah hanya sebatas berkumpul untuk memamerkan barang-barang mahal? Setidaknya
seperti itu yang aku temukan selama ini.”
Soojin tersenyum
kaku. Sebelumnya mungkin aku sangat menyesal karena telah membiarkan Soojin
berubah dan berteman dengan para gadis populer itu. Tapi yang kurasakan saat
ini adalah rasa syukur. Setidaknya dengan seperti itu, Soojin dapat mengerti
bahwa apa yang selama ini tampak begitu indah di matanya tak seperti yang ia
lihat. Dan semua kekurangan yang ia keluhkan, bahkan lebih baik dari yang ia
pikir.
Ku tarik dagu
Soojin untuk mendongak dan menatap mataku. Pelan kuusap bekas air matanya
dengan senyum simpul. Sebelah tanganku meraih sesuatu di kantong jaketku dan
mengenakannya pada Soojin. Kacamatanya.
“Kacamata ini?
Darimana kau mendapatkannya, Kook?” tanya Soojin terheran. Aku hanya
mengendikkan bahuku lalu tersenyum kecil. Waktu itu aku mengambilnya di tempat
sampah ketika Soojin dengan semena-mena membuang kacamata itu.
“Aku tahu suatu
saat kau pasti memerlukannya lagi,” ucapku lalu kembali memeluk Soojin. Gadis
itu membalas pelukanku dan tersenyum hangat.
“Terima kasih,
Kook.”
Aku mengangguk
sekilas sambil mengelus lembut rambut Soojin yang sudah tak seperti dulu lagi.
Mengingat semua perubahan Soojin, sepertinya mulai besok aku harus mengatur
rencana untuk mengembalikan Soojin seperti dulu lagi.
Aku menyukai Soojin
sebagaimana dirinya. Bukan dirinya yang mencoba untuk
menjadi orang lain. Hanya tetap menjadi dirinya seperti biasa, itu sudah cukup
untuk membuatku tak bisa berhenti mencintainya.
.
.
.
END
Komentar
Posting Komentar