Paradigma
.
.
Dan akhirnya
semua itu tak berjalan sesuai dengan yang ku kira.
.
.
.
Selama ini, orang yang ku temui tampak baik-baik
saja. Sejalan dengan kesukaanku, aktivitasku, intinya tak banyak yang berbeda,
dan aku senang dengan mereka. Namun saat ini aku menyadari bahwa tak semua
orang baik. Yang tampak baik, belum tentu memiliki sifat yang baik juga,
begitupula sebaliknya.
Setelah dua belas tahun menjalani masa sekolah dan
bertemu “orang-orang baik” itu, kini aku menginjakkan kakiku di ranah universitas.
Dan disinilah akhirnya aku menemukan kenyataan bahwa sesungguhnya dunia itu
kejam.
Memilih universitas yang jauh dari rumah−sangat jauh
bahkan−mau tak mau menuntutku untuk hidup mandiri, tak lagi bergantung pada
orang tua ataupun sanak saudara, namun hanya diriku dan teman-teman di
sekitarku.
Teman-teman, ya, hanya teman-teman. Kata itu
terdengar begitu ambigu di telingaku. Apakah patut mereka di sebut teman? Tapi
merekalah orang-orang yang ada di sekitarku dan hampir setengah waktuku dalam
sehari kulewati bersama mereka.
Mengecewakan. Sekali lagi kutegaskan bahwa mereka
mengecewakan. Bukan orang-orang baru, tapi teman lama. Ada yang memang aku
kenal sejak SMA, bahkan yang kutahu sejak masih SD, meski tak begitu kenal.
Awalnya aku senang. Mempunyai teman yang ku kenal di
daerah yang bahkan tak ku kenal sama sekali. Namun jika sudah seperti ini,
kurasa mengenal orang baru terdengar lebih baik.
“Aku kesal dengannya,” ceritaku pada Fara. Diantara
teman-temanku yang lain, ia yang paling ku kenal sejauh ini. Dan cerita pun
berlanjut, bagaimana aku merasa kesal karena teman sekamarku yang aku tahu sejak
SD itu.
Namanya Ira. Dia gadis yang polos−tampaknya. Tapi
nyatanya tak seperti itu. Setelah beberapa minggu aku menjalani hari dengan
keberadaannya, aku akui bahwa dia menyebalkan. Nada bicaranya yang mulai tak
ramah dan suka menyuruh ini-itu, sikap sok pintarnya yang seringkali menjadi
egois, bagaimana cara dia menyindirku sehingga aku tampak begitu buruk di mata
orang-orang, dan hal-hal kecil lainnya yang tak bisa ku jabarkan disini.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku mendiamkannya
begitu saja. Lebih baik menjaga jarak di bandingkan aku harus terlibat lebih
jauh dan menerima sakit yang lebih dalam lagi.
Satu lagi temanku yang cukup dekat, namanya Tantri.
Orangnya mengasikan, namun terkadang suka membuat kami kesal. Terkadang ia
marah karena suatu alasan yang tidak jelas. Dan belakangan ini, aku malah lebih
merasa nyaman dengannya.
Entahlah, hubunganku dengan Fara tak begitu baik
beberapa hari ini. Ketika awal-awal aku menceritakan kekesalanku tentang Ira,
ia tampak terima-terima saja dengan emosiku yang menggebu-gebu karena kesal.
Tapi semakin lama, kurasa Fara membela Ira. Ya, dia mulai menggunakan kata-kata
‘tapi’ saat menimpali ceritaku. Dia membelanya. Karena itu, kuputuskan untuk
menjaga jarak dengan mereka berdua. Itu terdengar lebih baik di bandingkan
dengan aku yang harus tersulut emosi setiap bersama mereka, bukan?
Dan disinilah aku akhirnya, duduk berdua bersama
Tantri. Terkadang ia masih tetap menyebalkan, tapi entah mengapa aku mampu
mentolerirnya. Sesungguhnya disini, Fara pernah bercerita padaku. Bagaimana ia
sangat kesal dengan Tantri dan ingin jauh-jauh darinya. Aku setuju, tapi kurasa
Tantri tidak seburuk itu, Ira masih lebih buruk disini. Masalah Tantri hanyalah
tentang emosinya yang tak mampu ia kendalikan. Marah tak jelas karena suatu hal
yang kecil. Sisanya, ia sangat baik.
Tapi kedekatanku dengan Tantri tak berjalan lama. Entah
alasan apa yang membuatnya menjauhiku. Ya, menjauhiku tanpa sebab. Dan kalian
tahu apa? Ia kini malah dekat dengan Fara. Masih ingat bukan tentang Fara yang
membencinya? Tapi bahkan kini ketika aku sudah tak dekat dengannya, ia malah
mendekati Tantri. Ya, mungkin ia membutuhkan teman. Meskipun membenci Tantri,
tapi setidaknya Fara dapat memanfaatkannya.
Dan seperti itulah akhirnya. Kebersamaan kami yang
pada awalnya sangat harmonis, kini penuh dengan kesunyian. Semakin sibuk dengan
urusan masing-masing. Semakin sibuk akan keegoisan masing-masing. Dan kebahagiaan
pribadi pun menjadi prioritas mereka.
Mungkin disini kalian melihatku sebagai orang yang
baik, karena yang kuceritakan itu adalah keburukan temanku, ataupun hanya
sebagian kecil dari keburukan orang-orang di luar sana. Tapi sesungguhnya tak
seperti itu. Jujur, aku tidaklah baik.
Aku menceritakan keburukan Ira pada kawan-kawanku,
hingga mendiaminya seolah-olah ia tak pernah ada di hidupku, menuduh Fara telah
membela Ira, memanfaatkan kedekatanku dengan Tantri karena aku mulai tidak
nyaman dengan Fara.
Jadi, intinya aku sama dengan mereka. Tidak baik,
menurut orang-orang, namun menurut diriku sendiri itu baik. Bukankah selalu
begitu? Seperti sebuah siklus yang tak ada ujungnya. Penilaian orang tak bisa
di percaya, itu semua terlalu subjektif dan mengada-ngada.
Lalu, apa kita masih perlu hidup dalam semua
paradigma tak tentu itu??
Pikirkan kembali.
.
.
.
END
YouTube.com - The best videos for - Videodl.cc
BalasHapusVideos youtube to mp3 on YouTube.com · YouTube.com · YouTube.com · YouTube.com · YouTube.com · YouTube.com.