Title:
In The Summer
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Cast(s):
Choi Junhong / Zelo [BAP] || Kim Soojin [OC]
Support
Cast(s): Choi Youngjae [GOT7] || Oh Hayoung [APINK] || Kim
Chanmi [AOA] || Park Yooji [OC] || Jeon Jungkook [BTS]
Genre:
Drama. School-life. Hurt. Romance.
Duration:
Oneshot
Rating:
Teen
Summary:
Ku
buka mataku mencoba tuk melihat kenyataan.
Namun
bayangmu menutupi dengan ilusi dan delusi yang membutakan.
.
.
.
Memang musim panas. Tapi bolehkah aku katakan bahwa
musim panas ini paling panas yang pernah aku rasakan? Karena orang-orang tampak
biasa saja dan aku jadi ragu. Ku teguk sekali lagi air mineral di dalam botol.
Aku harus membawa itu setiap saat untuk menghindari dehidrasi akibat panas yang
tak karuan ini.
Mungkin akan baik-baik saja jika aku menghabiskan
waktuku di dalam rumah dengan pendingin ruangan, bukan malah menyusuri jalan di
bawah panas terik matahari di siang ini. Ku lirik jam tanganku yang menunjukkan
pukul satu siang. Biarlah aku terlambat, toh,
aku hanya ingin menengok hasil kerja bawahanku. Bukan bermaksud untuk sombong,
tapi sebagai ketua panitia untuk acara seni musim panas ini, aku telah
mengorbankan banyak waktuku hanya untuk mengurusi semua itu. Meski telah ada
sub-sub bagian untuk masing-masing kepanitiaan, aku harus tetap turun langsung
untuk mengawasi kerja mereka.
Aku memasuki sebuah ruangan kosong yang cukup luas.
Beruntunglah di dalam sana ada pendingin ruangannya. Aku sama sekali tak bisa
membayangkan bagaimana anak-anak itu bisa bekerja jika tak ada pendingin
ruangan disana, mungkin mereka sudah seperti berada di sauna. Aku menghampiri
kumpulan orang-orang yang berkumpul di tengah ruangan. Mataku menangkap sesuatu
yang aneh disana, satu-satunya gadis yang ikut duduk melingkar diantara para
lelaki itu.
Divisi perlengkapan. Salah satu divisi terpenting
dan terberat dalam acara ini. Dan sejauh ini, baru pertama kali aku melihat
seorang gadis bergabung di dalamnya. “Hai!” sapaku mencoba terlihat ramah,
meski dengan panas ini aku merasa sangat terganggu. “Bagaimana kerja kalian?
Maaf jika aku terlambat.”
“Tidak apa, Junhong-ah. Kami baru saja memulai rapatnya,” jawab Choi Youngjae yang
menjadi ketua divisi perlengkapan. Dapat kurasakan semua mata kini menatap
kearahku, mereka semua tahu bahwa aku ketua panitia, tapi aku sama sekali tak
tahu siapa saja mereka, jadilah aku melempar pandanganku ke sekeliling untuk
memperhatikan setiap wajah anggota divisi perlengkapan. Dan tatapanku pun
terhenti pada gadis itu. Cantik, manis, sama sekali tak tampak bahwa ia
mencerminkan divisi perlengkapan yang terkenal keras.
“Jadi apa rencana kalian untuk hari ini?” tanyaku
sudah layaknya seperti ketua yang sesungguhnya. Aku pun sebenarnya tak ingin
tampak bossy, tapi tugasku memaksaku
untuk bertindak seperti itu. “Pentasnya tinggal tiga hari lagi, kalian harus
bekerja keras.”
“Hari ini kami akan membuat semua properti panggung
dan dekorasinya. Ya, ini semua begitu melelahkan, kami bahkan sudah berencana
akan bergadang dua hari ini,” keluh Youngjae. “Yasudahlah. Kita harus bekerja
dengan cepat. Ingat pembagian tugas kalian, kan? Sekarang mulai kerjakan!”
intruksi Youngjae kepada semua anggotanya.
Seketika semuanya menyebar di ruangan itu, segera
mengambil tugas mereka masing-masing. Sekali lagi aku meneguk air mineral itu.
Bahkan setelah mengbrol sedikit dengan Youngjae dengan cepat aku merasakan
haus. Sungguh rasanya aku ingin cepat pulang dan berendam di bak mandi.
Setelahnya aku berkeliling melihat kerja para divisi
perlengkapan. Pekerjaan mereka cukup banyak dan menguras tenaga. Memotong kayu,
memakunya, menempel ini dan itu, banyak sekali. Sampai langkahku kembali
terhenti pada gadis itu. Ia bekerja dengan beberapa anggota laki-laki dan ia
tampak begitu serius dengan pekerjaannya. Membuat desain tulisan serta properti
lain sebagai dekorasi panggung, terdengar sederhana, tapi tak semudah itu.
Aku kemudian mendudukkan diri di sampingnya. Melihat
ia yang begitu terampil memotong gabus yang membentuk huruf-huruf cantik,
terlihat tak begitu menjadi beban untuknya. Tapi setelah melihat keringat di
sekitar wajahnya, kurasa itu memang sangat berat.
“Minumlah,” ujarku tanpa sadar telah menyodorkan
botol air mineral yang sedaritadi aku bawa. Gadis itu menatapku terkejut barang
beberapa sekon, sebelum akhirnya senyum tipis mengembang di wajahnya.
“Gomawo,
sunbae. Tapi aku sudah membawa minum,” ujarnya lembut sambil menunjuk botol
minum warna biru yang terletak di deretan ransel di pojok ruangan. Aku
tersenyum kaku lalu menarik botol minum itu kembali.
Cukup lama aku mendiamkan diri di kelompok itu,
mendengar percakapan mereka, dan melihat hasil kerja mereka yang menakjubkan.
Nama gadis itu Soojin, itu kesimpulan yang aku dapat setelah perbincangan itu
berlalu cukup lama. Mungkin tak salah jika Soojin masuk ke dalam divisi ini,
banyak ide-ide seni untuk dekorasi yang ia utarakan, dan melihat bagaimana
kinerjanya dalam semua pekerjaan berat itu, aku sungguh terheran. Ia bahkan
mampu mengerjakan semua itu semudah teman laki-laki yang lain mengerjakannya.
Lama waktu berlalu dan ternyata malam sudah semakin
larut. Kami kembali duduk melingkar demi memberikan evaluasi atas kerja kami
hari ini. Semua sudah tampak begitu lelah, tak heran karena hari ini
menghasilkan banyak hal. Lima puluh persen pekerjaan telah rampung, kerja yang
maksimal.
“Baiklah. Karena setengah pekerjaan kita sudah
selesai, jadi kupikir kita tidak perlu bergadang untuk malam ini. Kita bisa
pulang sekarang dan besok pagi kembali untuk mengerjakan sisanya,” kembali
Youngjae berujar kepada seluruh anggotanya. Semua anggota tampak begitu senang,
tak terkecuali aku. Benar-benar melelahkan, padahal aku tak banyak membantu.
Dan pulang dengan segera seperti berkah hujan yang turun di musim kering.
Semuanya segera bubar dan pulang ke rumah
masing-masing. Tapi aku tidak bisa pulang begitu saja, masih ada percakapan
kecil yang harus ku lakukan dengan Youngjae. Memastikan bahwa semua pekerjaan
bisa di selesaikan besok dan acara lusa akan berjalan dengan lancar.
Setelah perbincangan berat itu, aku segera
melangkahkan kaki menuju halte bus terdekat. Ketika halte bus itu sudah ada di
depan mataku, aku melihat Soojin tak cukup jauh dari sana. Ia berjalan sendiri
di tengahnya malam. Langkahnya sedikit menjinjit, memperlihatkan bagaimana
senangnya ia saat itu. Senang? Heran bukan? Aku sendiri tak mengerti, bahkan
setelah semua pekerjaan keras yang ia lakukan hari itu, ia melangkah dengan
riang sendirian tanpa rasa takut karena malam akan semakin larut.
Aku terpaku di tempatku sambil memperhatikan
langkahnya yang semakin menjauh. Sampai bus berhenti di sebelahku dan aku
mengabaikannya. Entah mengapa, langkahku malah mengikuti gadis itu. Soojin, si
gadis aneh yang untuk pertama ku temui spesiesnya di sekitarku.
.
.
.
Hari ini adalah hari jumat, seharusnya aku libur
karena tak ada satu pun mata kuliah untuk hari ini. Tapi dengan terpaksa aku
harus bangun pagi dan berangkat ke kampus. Memangnya bisa apa lagi? Aku harus
mengurus semua persiapan untuk acara pensi besok.
“Junhong-ah!!”
Bahkan baru saja ku menginjakkan kaki di gedung itu,
seseorang sudah memanggil namaku. Terdapat kumpulan kecil disana, jadilah aku
menghampiri mereka. “Bagaimana? Apa semuanya lancar?” tanyaku basa-basi pada
Hayoung yang merupakan ketua divisi acara.
Wajah gadis itu tampak suram, firasatku mulai
berkata tak enak. “Ada sedikit masalah,” ujarnya pelan. Aku segera mengambil
napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Dan diskusi panjang pun kulakukan
bersama Hayoung. Nyatanya tak hanya perlu diskusi panjang, tapi aku harus
kesana kemari untuk menghubungi berbagai pihak yang bersangkutan atas masalah
ini.
“Junhong-ah,
bagaimana bintang tamunya? Kenapa tidak ada kejelasan seperti ini? Kami tidak
bisa menyediakan konsumsi jika seperti ini, kau tahu sendiri dana kita sangat
pas-pasan.” Kembali satu protes aku terima dari ketua divisi konsumsi, Kim
Chanmi.
“Tenang dulu, aku sedang menunggu konfirmasi dari
bintang tamu kita. Ku pastikan ini tidak akan lebih dari jam tiga sore, jadi
kau bisa memesan konsumsinya setelah itu,” ujarku masih dengan telepon yang
menempel di telinga. Tak ada jawaban dari seberang sana, menyebalkan.
“Park Yooji!” panggilku pada seorang anak dari
divisi medis. “Bisa kau beritahukan pada ketua divisimu untuk menyiapkan obat
untuk penderita asma, juga tabung oksigen. Sepertinya kita akan memerlukan
itu,” intruksiku panjang padanya.
“Baik, sunbae.
Apa ada yang lain lagi?” tanyanya sambil membuat catatan di kertas kecil yang
selalu ia bawa. Aku berpikir sejenak, mungkin ada sesuatu yang di perlukan lagi.
“Oh ya, ingat tandu. Sesuatu yang buruk bisa saja
terjadi, kita harus mencegahnya sedini mungkin.” Yooji mengangguk lalu pergi
untuk mencari ketua divisinya. Aku masih berdiri di tempat yang sama sedaritadi
dengan ponsel tak bisa lepas dari tanganku.
Satu jam lagi menuju jam tiga sore, tapi masih belum
ada pihak dari bintang tamu yang menghubungiku. “Junhong-ah!” Hayoung memanggil namaku sambil berlari kecil. Gadis itu
berhenti dengan napas satu-satu. “Barusan pihak bintang tamu sudah
mengubungiku, acaranya akan tetap berjalan seperti rencana awal kita.”
Huh, aku menghembuskan napas lega. Sangat lega. “Apa
kau bisa langsung hubungi Chanmi, katakan padanya untuk menyediakan konsumsi
seperti perkiraan awal.” Hayoung mengangguk lalu kembali berlari kearah timur.
Aku ingin mencegahnya karena sebelumnya ku lihat Chanmi berjalan kearah utara,
tapi yasudahlah, ia sudah terlampau jauh.
Aku akhirnya bisa mendudukkan diriku sambil
bersandar di tembok untuk melepas lelah. Sambil duduk, kembali aku melihat draft kegiatan serta keseluruhan hal
yang harus sudah terlengkapi untuk acara pensi besok. Sampai pada sekumpulan
orang-orang lewat di hadapanku. Para anggota perlengkapan.
“Kalian mau kemana?” tanyaku yang langsung berdiri
melihat mereka yang sibuk membawa properti. Youngjae menghampiriku dan
membiarkan anak buahnya melanjutkan membawa barang-barang.
“Kami mau membawa beberapa properti ini ke tempat
pensi,” ujarnya sambil sibuk memeluk beberapa potongan kayu.
“Memangnya semua pekerjaan kalian sudah selesai?” tanyaku
heran. Aku ingat kalau seharian ini aku belum mengintai pekerjaan mereka,
hingga aku pun tak tahu sudah sampai mana kemajuan yang mereka buat.
“Masih cukup banyak. Kami hanya ingin memasang ini
sedikit demi sedikit,” ujarnya lagi dan berlalu dari hadapanku. Kulihat hanya
beberapa anak perlengkapan yang ikut membawa properti itu, jadilah aku kembali
memasuki ruang berpendingin kemarin. Huh,
gara-gara banyak masalah yang terjadi hari ini, aku sampai melupakan bagaimana
panasnya hawa di luar. Dan setelah semuanya selesai, bahkan panas itu terasa
lebih menyengat.
Dan entah telah yang ke berapa kali, lagi-lagi
pandanganku terpaku pada Soojin. Gadis itu masih sibuk dengan pekerjaannya
seperti hari kemarin. Aku bingung kata apa yang bisa kugunakan untuk mendeskripsikan
gadis itu. Dia tampak begitu feminim, bahkan dengan menggunakan setelan kaos, jeans, dan converse high nya, juga tak lupa dengan rambut hitam panjangnya
yang ia ikat satu dan anak-anak rambutnya yang menyembul keluar. Ia tampak
cantik, hanya dengan sesederhana itu.
Aku tak menghampiri Soojin, hanya duduk di kejauhan
sambil memperhatikan gadis itu. Sama sekali tak ku dengar keluhan yang keluar
dari bibirnya. Ia sangat fokus, melakukan pekerjaannya tanpa banyak bicara.
Hanya sesekali aku mendengar suaranya ketika ia berdiskusi dengan anggota
divisi perlengkapan lain.
Hari itu berjalan cukup cepat hingga malam pun tak
terasa telah di depan mata. Semua divisi telah pulang saat sore, tinggallah
divisi perlengkapan yang masih sibuk bekerja sampai waktu menunjukkan pukul
sembilan malam dan aku mengumpulkan mereka semua.
“Bagaimana, Youngjae-ya?” tanyaku yang secara tidak langsung memberikan kesempatan pada
Youngjae untuk menjelaskan. Kami kembali duduk membentuk lingkaran sebagaimana
biasanya jika sedang berkumpul. Dan kini Soojin tepat duduk di depanku,
membuatku tak bisa berhenti untuk memperhatikannya.
“Ya, seperti yang kau dengar kemarin. Hari ini kami
akan bergadang untuk menyelesaikan semua properti untuk di pasang. Jadi setelah
ini kami semua akan pergi ke tempat acara,” jelas Youngjae dengan wajahnya yang
sudah tampak lesu, begitu pula dengan anggota lain yang wajahnya sempat
kuperhatikan satu per satu.
“Baiklah. Tapi sepertinya untuk Soojin lebih baik
kau pulang saja, sebagai gantinya aku yang akan membantu kalian semua.”
Kalimat itu mengakhiri evaluasi dan semua anggota
sibuk mempersiapkan diri beserta semua barang bawaan sebelum menuju tempat
acara. Saat itu pula, Soojin datang menghampiriku.
“Sunbae, gomawo.
Tapi aku merasa kurang nyaman, hanya karena aku satu-satunya perempuan disini,
dan karena itu aku mendapat perlakuan yang berbeda,” ujarnya dengan wajah
kecewa.
Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya. Meskipun
dengan wajah kelelahan seperti itu, dia tetap ingin bekerja. “Ani, bukan seperti itu. Tapi tugasmu
sejauh ini sudah selesai dan, ya, kau bisa pulang lebih dulu.”
Soojin hanya mengangguk pasrah, mungkin sebenarnya
ia juga lelah tapi malu mengakuinya. “Baiklah, sunbae. Besok pagi-pagi sekali aku akan langsung pergi ke tempat
acara,” ujarnya, lalu dengan lemas melangkah keluar ruangan sambil sibuk
mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Beberapa meter langkah yang ia rajut, dapat
kulihat langkahnya kembali menjinjit dan senyum kecil terukir di wajahnya.
Gadis yang lucu.
.
.
.
Aku tak mampu memegang janjiku. Semalam terpaksa aku
pulang dan tidak jadi menginap seperti anggota perlengkapan yang lain. Semua
itu berkat keparnoan yang ibuku
rasakan akibat cerita-cerita hantu yang sering di sampaikan tetangga baru di
sebelah rumahku. Dan ketika kemarin ayah harus pergi ke Jepang untuk mengurus
pameran lukisannya disana, aku terpaksa pulang untuk menemani ibu di rumah.
Berbeda sekali dengan Soojin yang bahkan membuktikan
ucapannya kemarin. Bahkan setelah aku sudah datang sangat pagi, sekitar pukul
lima, gadis itu sudah duduk di depan panggung, mengurusi segala properti yang
belum selesai di tempel kemarin malam.
Aku menghampirinya yang saat itu hanya sendiri tanpa
anggota perlengkapan yang lain, jadilah aku bertanya. “Kemana anggota yang
lain?” tanyaku sebagai basa-basi. Soojin seketika mendongakkan kepalanya dan
memberikan senyum tipis.
“Anggota lain sedang menempel properti di pintu
masuk dan lorong menuju panggung untuk pameran fotonya, sunbae,” jawab Soojin lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
Aku meninggalkan Soojin untuk mencari anggota
perlengkapan lain, mengawasi apa saja yang telah mereka lakukan. Lalu setelah
itu aku kembali ke panggung, mengitarinya yang telah diisi oleh alat-alat
musik. Sesekali aku melirik kearah Soojin dan ia masih terus menyibukkan diri
dengan pekerjaannya. Sampai setengah jam kemudian aku meliriknya lagi, namun
kali ini ia hanya duduk terdiam sambil melihat kearah panggung, tak sengaja
tatap kami bertemu, dan senyum simpul itu kembali kuterima darinya.
Soojin berdiri dari duduknya lalu pergi meninggalkan
pekerjaannya tergeletak begitu saja. Ku langkahkan kakiku menuju tempat Soojin
sebelumnya lalu meneliti semua kertas yang sedaritadi sibuk Soojin pegang.
Pekerjaan sudah selesai. Pastilah sekarang gadis itu menghampiri anggota lain
untuk membantunya.
Tak berselang beberapa lama, aku menyusul gadis itu
menuju kumpulan anggota lain yang sibuk memasang kain hitam sebagai tempat
pameran foto akan di pajang. Ia sibuk membantu anggota lain untuk memasang
bingkai-bingkai foto itu di dinding.
“Soojin-ah!”
Tiba-tiba saja Youngjae yang ada di sebelahku memanggil gadis itu. Soojin
langsung saja menghampiri kami dengan wajah bingung.
“Ya. Ada apa, sunbae?”
tanyanya polos. Dengan jarak yang cukup dekat ini dapat kulihat beberapa bulir
keringat menghuni dahinya. Rambut panjang yang biasanya ia biarkan terurai
begitu saja, kali ini ia kuncir kuda dengan sedikit berantakan, hingga
anak-anak rambutnya mencuat keluar.
“Pekerjaanmu sudah selesai, jadi kau ku beri waktu
untuk istirahat sekaligus makan siang sampai jam satu. Ingat sampai jam satu,”
ulang Youngjae penuh penekanan. Soojin pun tersenyum dengan sangat manis
“Gomawo,
sunbae,” ujarnya sambil menundukkan sedikit tubuh tingginya. Setelahnya
Youngjae langsung pergi untuk mengkoordinir anggota lain, Soojin masihlah
berdiri di depanku dengan ponsel yang sibuk ia mainkan.
“Soojin-ah,” panggilku tanpa tahu mengapa. Gadis itu
langsung menengok kearahku dengan tatap tanya. Arght, apa yang kulakukan?! Mengapa aku memanggilnya bahkan tanpa
tahu harus mengatakan apa?! Soojin masih terus menatapku dengan bingung. “Hmm, kau mau makan dimana?” Aish, pertanyaan apa itu Choi Junhong!?
Gadis itu diam sejenak, sebelum akhirnya ia menjawab
pertanyaanku dengan wajah bingungnya. “Mungkin hanya di sekitar daerah sini, sunbae. Wae?” Dan dia bertanya, apa lagi
yang harus aku jawab? Bodoh kau, Choi Junhong.
“N-nanti k-kembali lagi kesini,” ujarku tergagap.
Matilah aku sekarang.
“Nde, sunbae.
Aku akan kembali secepatnya.” Setelah mengucapkannya, Soojin lalu bergegas
pergi. Pasti gadis itu kebingungan. Tentu saja. Sebuah basa-basi yang tak
bermutu itu aku lontarkan padanya. Dan apa itu tadi? Menyuruhnya untuk segera
kembali? Memangnya aku siapa? Sudahlah, lupakan semua itu, Junhong-ah. Anggap saja bahwa semua itu perintah
dari seorang ketua panitia. Ya, seperti itu.
.
.
.
Soojin kembali secepat kilat siang tadi. Aku yakin
ia tak sempat beristirahat sedikit pun kala itu. Acara untuk internal pun selesai tepat pukul lima.
Ada satu jam sebelum open gate
dilakukan untuk acara konsernya dan dapat kulihat kini Soojin sibuk bergegas
dengan ranselnya. Sama seperti anak-anak lain. Gadis itu pasti akan pulang
untuk makan dan membersihkan diri.
Acara malam itu berhenti sejenak. Aku tidak pulang,
begitupula dengan semua ketua divisi. Anggaplah ini sebagai suatu tanggung
jawab dan pengorbanan yang aku lakukan. Aku pun memasuki ruang panitia dan
berencana untuk beristirahat sejenak disana. Beruntung sekali jika ruang
panitianya juga di lengkapi dengan pendingin ruangan. Waktu setengah jam kurasa
cukup untuk tidur barang sejenak.
Tanpa sadar, aku terlelap dengan begitu nyenyak,
sampai suara berisik di ruangan itu pun akhirnya membangunkanku. Aku segera
melihat arlojiku. Baru setengah enam, tapi ruangan itu sudah ramai oleh
beberapa panitia. Dan sekali lagi pandanganku terhenti pada gadis itu. Soojin. Ia
tengah sibuk berbincang dengan kawan-kawannya sambil tertawa renyah. Gadis itu
mudah sekali tertawa, suatu kesimpulan yang aku tarik setelah beberapa mengenal
dan tanpa sengaja memperhatikannya.
Sampai sekarang pun aku masih belum bisa mengerti. Mengapa
tatapku begitu mudah terhenti pada sosok gadis tinggi berambut panjang itu? Mengapa
pula setiap kata yang keluar dari mulutnya mampu mengalihkan perhatianku? Seperti
sekarang ini. Aku bahkan hanya bisa terduduk diam sambil memperhatikannya
membuat jokes dengan teman-temannya.
“Junhong-ah!”
Aku terkesiap mendengar panggilan itu. Pelakunya baru saja memunculkan
kepalanya di daun pintu, seketika semua mata di ruangan itu pun beralih padaku.
“Kau sudah bangun?” Hayoung berlari kecil menghampiriku yang masih terduduk
dengan bingung. Ayolah, masih setengah jam lagi, tapi ia menghampiriku seakan
ada keadaan gawat darurat. Aku hanya mampu menggelengkan kepala.
“Ada apa?” tanyaku dengan wajah bosan. Bukannya langsung
menjawab, tapi Hayoung malah memperlihatkan deretan giginya padaku. “Ada apa???”
tanyaku lagi, semakin malas lagi dengan wajahnya yang seakan siap
mentertawakanku. “Ah, sudahlah. Kau menyebalkan,”
ujarku setelah lama tak ada jawaban dari Hayoung lalu melangkah menuju luar ruangan.
“Wae? Kenapa
kau memperhatikan Soojin seperti itu?” Skak
mat. Aku segera menghentikan langkahku dan menatap Hayoung penuh tuntutan. Aku
tidak salah dengar, bukan? “Jangan mencoba untuk mengelak, aku sudah
jelas-jelas melihatnya dengan baik.”
“Lalu?” tanyaku santai dan secara tidak langsung
sudah membenarkan ucapannya. Mau bagaimana lagi, aku sudah tertangkap basah
oleh Hayoung.
“Apa kau menyukainya?” Dan satu lagi pertanyaan
mematikan. Aku terdiam, sama sekali tak mampu menjawabnya. Hayoung terus saja
menatapku dan terpaksa aku hanya menjawab dengan hendikkan bahu. Setelahnya ia tampak
menghembuskan napas lelah. Raut wajahnya pun berubah seketika. “Ku beritahu
padamu, Junhong-ah. Gadis itu,
Soojin, dia sudah memiliki kekasih.”
Ya, seharusnya aku tahu. Tidak, aku memang
seharusnya tidak menepis kenyataan itu. Bagaimana aku masih berpikir bahwa
laki-laki yang selalu datang menjemputnya, mengajaknya makan siang bersama,
bahkan setia menunggu gadis itu hingga kegiatan selesai, aku masih menepis
dugaan bahwa laki-laki itu adalah kekasihnya, masih berpikir bahwa gadis itu ‘sendiri’
saat ini.
Ck. Kenapa aku tampak begitu menyedihkan? Bahkan dengan
semua kenyataan itu di hadapanku, aku masih berharap untuk Soojin, dan berdiri
dengan bodoh di tempatku saat ini. Memperhatikan gadis itu yang tersenyum untuk
laki-laki lain. Acara malam ini sudah selesai dan untuk yang kesekian kali, aku
menemukan Soojin bersama laki-laki itu, laki-laki yang layak di sebut sebagai
kekasihnya. Ya, kekasihnya.
Tengah malam lewat sudah, namun laki-laki itu masih
setia menunggu kepulangan Soojin. Kini aku mengerti, alasan Soojin mampu terus
tersenyum manis meski dengan kondisi badan yang melelahkan adalah laki-laki
itu.
“Kook!” Soojin berlarian menuju laki-laki itu dengan
senyuman yang mengembang manis. Laki-laki itu memberikan pelukan sekilas pada
Soojin. Kalau boleh ku katakan dengan jujur, bahwa aku iri saat ini. Ingin sekali
aku berlari menghampiri mereka dan menarik Soojin ke sisiku.
Tapi, memangnya siapa aku? Aku tidak memiliki
otoritas apapun atas gadis itu. Itu sebabnya aku masih berdiri mematung di
tempatku, membiarkan mereka berdua pergi dengan kisah romannya, dan meninggalkanku
sendiri dengan kebodohanku, kebodohan perasaanku yang tak tahu diri ini. Perasaan
yang bahkan mencoba menutupi segala kenyataan yang tak mampu di pungkiri.
.
.
.
END
Komentar
Posting Komentar