Langsung ke konten utama

[Vignette] Believe


Title:
Believe
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Cast(s):
Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC]
Genre: Psychology. Romance. Frienship.
Duration: Vignette
Rating: PG-17
Summary:
Kepercayaan itu sesungguhnya tak pernah ada.
.
.
.

Aku tak pernah percaya. Sekalipun.
Tidak, tidak. Pernah sekali. Oleh orang yang sangat ku percaya. Ia mengkhianatiku.
Dulu sekali, saat aku masih kecil, ketika aku baru bisa mencerna makna dari sebuah dongeng. Aku memiliki seorang sahabat. Satu-satunya orang yang aku percaya kala itu. Bahkan aku tak bisa mempercayai orang tuaku karena mereka sudah lama meninggal.
Hari itu, ia marah padaku, entah karena alasan apa. Aku tak mengerti. Jadi, dia menjauh dariku. Tak sengaja aku melangkah masuk ke kelas. Tak sepenuhnya masuk, karena aku masih berdiri di ambang pintu kala aku mulai mendengar suaranya.
“Kalian tahu? Jungkook tak pernah membuat tugas sekolahnya sendiri, ia selalu mencontek punyaku.”
Aku muak. Aku marah.
“Dan ia tak pernah benar-benar mempunyai uang jajan. Jadi, ia selalu meminta padaku. Kalian tahu sendiri kan, orang tuanya sudah meninggal.”
Dan aku meninggalkannya sejak saat itu. Tak pernah menyapa ataupun bertukar tatap. Dan setelahnya, aku benar-benar sendiri. Sampai saat ini.
Kata bisa terucap. Janji bisa terungkap. Tapi mulut bisa berbohong. Apalagi bibir. Terutama lidah. Ayolah, itu tak bertulang. Itu sebabnya orang-orang mudah untuk bersilat lidah. Maka berani ku katakan, bahwa semua hanya kebohongan besar.
Sebab itu, aku tak pernah percaya pada siapapun. Termasuk pada diriku sendiri. Kadang jiwa di dalam diriku memberontak. Layaknya hari ini.
Aku bangun di pagi yang cerah. Nyanyian-nyanyian burung kecil masih terdengar dari atap rumahku. Di luar masih gelap. Begitupun lampu-lampu rumah yang menyala terang. Aku suka bangun di pagi yang larut ini. Hanya sedikit orang yang dapat menikmati keindahan alam di pagi seperti ini. Dan aku salah satunya.
Aku menyingkap tirai lalu membuka jendela. Kurasakan angin sejuk berhembus tenang−terselip bau masakan Cina yang di buat oleh Bibi Wang, tetanggaku−membuatku menghirup oksigen pagi itu seperti candu.
Aku harus mengabadikan pagi ini dalam satu jepretan. Maka aku melangkah menuju meja belajarku untuk mengambil kamera. Namun langkahku terhenti ketika melewati cermin yang tertempel di lemari. Ku amati wajahku. Ada yang berbeda. Sebuah plester luka menghuni dahiku. Oh, aku tahu ini ulah siapa.
“Hei! Bangunlah!” Aku membangunkannya. Bisa ku dengar erangan-erangan kecil yang keluar dari mulutnya.
“Apa?” tanyanya. Aku yakin ia belum sepenuhnya bangun.
“Pergi kemana kau tadi malam?” tanyaku sarkastis. Aku tak suka ia mulai berbohong padaku.
“Oh, tidak! Kau sudah melihatnya?” Bergegas ia bangun dari tidurnya dan menunjuk pantulan diriku di cermin.
“Menurutmu, mengapa aku bertanya?” Aku masih menatap kearah cermin. Berkomunikasi dengannya memang sedikit sulit.
“Maaf. Aku hanya bosan diam saja. Jadi aku keluar untuk bermain basket di taman. Banyak sekali anak seumuran kita yang bermain disana, jadi aku bergabung−“
“Dan kau melukai keningku?!”
“Tidak. Itu juga keningku.”
“Terserah. Yang pasti tetap aku yang akan menanggung segalanya.”
.
.
.
Aku melangkah dengan malas. Ia terus saja mengoceh sepanjang perjalanan. Benar-benar menyebalkan.
“… rumah itu menyeramkan. Banyak tumbuhan jalar dan daun-daun kering, benar-benar tak−“
“Bisakah kau diam?!”
Aku seketika menghentikan langkahku. Ingin sekali rasanya aku memukul kepalanya. Namun, itu tak akan pernah aku lakukan. Andai aku tak harus menanggung sakitnya juga, ku pastikan sudah melakukannya sejak dulu, bahkan lebih parah dari itu.
“Hai!”
Aku menoleh. Seorang gadis berdiri sejauh lima meter di hadapanku dengan senyum yang mengembang manis. Aku tak mengenalnya. Tapi diri ini malah membalas sapaan itu. “Hai! Kau sekolah disini juga?” Oh, baiklah, bukan aku yang menjawab, tapi anak nakal itu. Dia pasti mengenal gadis itu ketika diam-diam membawa tubuhku pergi ketika aku tertidur.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum dengan manis. Aku hanya bisa terdiam heran mendengar ia dan gadis itu bercakap-cakap. Sama sekali aku tak menyangka bahwa ia bisa berteman dengan seorang gadis yang manis. Ternyata ia cukup baik dalam hal menarik hati wanita. Jelas-jelas gadis itu menatapnya dengan mata berbinar.
“Jungkook-ah, sampai bertemu nanti siang!” Gadis itu−kalau tidak salah dengar, namanya Soojin−melambaikan tangannya pada kami, lalu memasuki kelasnya yang cukup jauh dari kelasku.
“Jadi kau berencana untuk menemuinya lagi?” Aku bertanya sambil terus membawa langkah kami menuju kelas. Ia menunjukkan wajah bersalahnya. Ya, memang seharusnya begitu kan? Seenaknya saja ia menggunakan tubuhku lalu berkeliaran mencari teman?
“Kau pasti tidak mengijinkannya, bukan? Kau bahkan tak menyukai hal yang disebut dengan ‘pertemanan’, aku tahu itu.” Dia sudah tahu tapi tetap saja melanggarnya. Bukankah itu menyebalkan?
“Lalu?” tanyaku sarkastis. Sama sekali tak akan aku berikan ijin padanya untuk melakukan hal berbau sosial. Aku membencinya.
“Kita buat sebuah perjanjian. Aku tidak akan pernah menggunakan tubuhmu lagi tanpa ijin, tapi biarkan aku menggunakannya saat bertemu dengan Soojin.” Sebuah kesepakatan. Ia mulai membuat hal-hal semacam itu.
“Memangnya apa yang bisa aku dapat dari itu? Sama sekali tidak menguntungkanku, bukan? Bisa saja kau diam-diam menggunakan tubuhku tanpa aku ketahui,” ujarku penuh keraguan. Sudah ku katakan sebelumnya, kan? Bahwa aku tak akan pernah percaya pada siapapun, termasuk diriku sendiri.
Aku melanjutkan langkah kami tanpa menghiraukan kata-katanya yang memohon ini dan itu demi seorang gadis bernama Soojin. Apalah yang ia mau, aku tak pernah mengiyakan. Tak penting untukku.
“Apapun yang kau ingin, aku akan melakukannya,” mohonnya sekali lagi. Aku lelah, mendengar segala kalimat panjang lebarnya. Aku hentikan langkah dan akhirnya menghembuskan napas lelah. Baiklah, mungkin ini tak ada salahnya.
“Apapun yang aku inginkan?” Dan ia mengiyakan. “Baiklah. Kau tak bisa menolak lagi, apapun yang aku inginkan.”
.
.
.
Seharusnya aku tahu bahwa semua ini akan terjadi, mengingat perjanjian kami kemarin. Ya, jadi disinilah aku. Duduk di sebuah bangku taman bersebelahan dengan gadis bernama Soojin itu. Mendengar obrolan panjang yang sama sekali tak aku mengerti.
“Terkadang aku merasa perlu duduk sendiri sambil membaca buku di bandingkan berkumpul dengan teman dan bergosip.”
“Aku juga.”
Jawaban itu muncul dari diriku, bukan darinya yang sedaritadi sibuk mengobrol dengan Soojin. Aku hanya ingin menanggapi dan memecah kebosananku. Tapi semua menjadi di luar ekspektasiku. “Benarkah? Buku apa yang suka kau baca?”
Terdiam sejenak, tanpa ada jawaban. Aku tahu ia tak suka membaca buku, tentu saja ia tak mampu menjawabnya. “Oh, aku suka membaca ‘Dunia Sophie’ karya Josten Gardner,” jawabku akhirnya. Ya, meskipun aku terkesan menarik diri dari semua pergaulan, namun aku sangatlah tertarik tentang hal-hal mendasar yang menjadi tanda tanya besar bagiku. Apa itu manusia? Benarkah ada Tuhan? Semua pertanyaan seperti itu. Karena tak pernah ada yang bisa kupercaya. Jadi terkadang jawaban dari buku itu pun belum bisa memuaskanku. Semua terlalu susah di mengerti, kehidupan ini, kenapa bisa ada kehidupan??
“Yang benar saja?! Itu buku kesukaanku!!” teriak Soojin kali ini. Ia tampak begitu senang. Seperti memenangkan lotre miliaran saja. “Ini benar-benar langka. Biasanya jarang sekali yang suka membaca buku berat seperti itu. Terkadang saat aku menawarkan orang untuk membacanya, ia malah ketakutan. Aku tak mengerti.”
“Itu karena sejak kecil mereka sudah di tanamkan suatu kepercayaan yang pasti. Dan setelah mereka membaca sedikit buku itu, mereka takut akan kepercayaan mereka yang beralih karena isi buku tersebut yang terkadang membuat kita kembali bertanya-tanya tentang segala hal di dunia ini.”
Tak ada suara sedikitpun yang terdengar untuk merespon jawaban panjangku. Aku menengok kearah Soojin dan ikut terdiam. Gadis itu memperhatikanku dalam diam, sampai beberapa detik kemudian, senyuman tipis yang begitu manis ia tunjukkan. Tunggu dulu. Manis? Apa aku baru saja mengatakan hal itu? Tidak, tidak. Pasti aku salah dalam pemilihan kata-kata. Selama ini aku tak pernah menilai orang dengan kata itu, bahkan tidak pernah mencoba untuk menilai orang lain. Aku terlalu apatis.
“Bolehkah aku terkejut? Pikiranku sungguh persis seperti itu,” ujarnya lalu dengan wajah takjub. Aku hanya tersenyum miring. Apa yang sedang gadis ini coba lakukan? Hanya pemikiran seperti itu, memangnya sangat langka? Atau hanya aku yang tak pernah tahu situasi di luar sana?? “Jungkook-ah…”
Eo.”
Tidak, tidak. Jangan katakan bahwa aku telah menjawab panggilannya. Tidak pernah, bahkan seumur hidupku. Semua panggilan atas diriku tak pernah ku respon dengan suara, hanya tatap mata. Ya, selalu seperti itu.
“Kurasa kita berdua cocok.”
“Hah?!!”
.
.
.
“Kau tertarik dengan Soojin?”
Aku masih begitu lelah ketika pertanyaan tak masuk akal itu di utarakannya. “Kau cemburu?” tanyaku balik dengan senyuman miring. “Karena ia lebih tertarik padaku di bandingkan kau?” Aku melempar tubuhku ke atas kasur. Hari yang melelahkan. Hanya gara-gara gadis itu dan semua perjanjian bodoh yang aku lakukan dengan ‘si pemeberontak’ tubuhku. Obrolan panjang itu bahkan tak bisa berhenti. Menyebalkan.
Tubuhku terduduk di buatnya. Ia bahkan tak memberiku kesempatan untuk beristirahat sebentar saja. Heran, kenapa ia jadi sangat berani seperti ini? Biasanya ia selalu takut padaku. “Asal kau ingat bahwa di matanya kau dan aku adalah sama. Dan ingat perjanjian kita,” ujarnya tegas.
“Perjanjian? Perjanjian bahwa aku mengizinkanmu untuk menemuinya? Hanya menemuinya, bukan? Tak ada yang menyebutkan bahwa aku tak boleh ikut campur. Dan kau juga harus ingat, janji untuk mengikuti kata-kataku. Sepertinya kau mulai lupa soal itu.”
Aku tersenyum penuh kemenangan. Tentu saja ia tak mampu berkata-kata lagi, ia kalah telak. Dan memang harus seperti itu. Aku tak pernah membiarkan sesuatu hal yang merugikanku terjadi.
Aku menghadap cermin besar dan menatap dalam kesana. Terlihat pantulan diriku dan dirinya. “Baiklah, jadi apa yang kau ingin aku lakukan?” tanyanya dengan nada rendah. Meski terdengar biasa, namun aku tahu ada amarah di dalam sana.
Lagi-lagi aku tersenyum miring. Merasa sangat puas atas kepintaranku yang pada akhirnya mampu mempermainkannya. Meski selama ini kami bersama, tapi ia tak sepenuhnya tahu akan diriku.
“Aku akan memikirkannya. Tapi ku pastikan itu adalah sesuatu hal yang besar.”
.
.
.
Hari-hari berlalu tidak seperti biasanya. Tak ada lagi kesunyian yang kusukai, melainkan jalan-jalan bergejolak dan berbelok-belok. Bukan lagi waktu yang kuhabiskan di dalam jalur kamar atau kampus, tapi menyusuri jalanan dan berbagai tempat.
Seperti saat ini. Kami berdiri di sebuah bukit dengan padang rumput dan bunga-bunga liar mengembang luas. Ku lihat Soojin menutup matanya sambil menyandarkan diri di batang pohon besar tempat kami berteduh.
Gadis itu cantik, kuakui. Ramah dan juga pintar. Maka tak heran kenapa ‘si pemberontak’ itu menyukai gadis ini. Tapi kupikir tidak begitu dengannya.
“Kook, bisa kau nyanyikan sebuah lagu untukku?” pinta Soojin. Suasana disini sungguh nyaman, hingga aku pun rasanya ingin menutup mata, dan pergi ke alam mimpi barang sejenak. Alunan lagu mulai mengalun dari bibirku, namun bukan aku yang menyanyikannya. “Ani, bukan itu, Kook. Lagu yang waktu ini kita bahas,” ujar Soojin dengan bantahan.
Aku tahu ini akan terjadi. Lagu itu bukanlah selera Soojin. Dan entah bagaimana, seleraku dan selera gadis itu sama.
Don’t think of anything
Don’t say even a single word
Just laugh with me
I can’t still believe it
All of these seem like a dream
Alunan melodi lagu itu kini berasal dari diriku. Aku menyanyikannya. Ya, lagu yang kami bahas waktu itu, antara aku dan Soojin.
Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand
You’ll fly away, you’ll shatter
Dapat ku tangkap senyuman simpul di wajah Soojin. Ia benar-benar menikmati lagu yang kubawakan. Dan perlahan kepalanya mulai bersandar di bahuku.
“Terima kasih, Kook.”
Aku tersenyum mendengar kalimat gadis itu. Ingin sekali ku katakan padanya bahwa ia tak perlu berterima kasih, karena aku juga menyukainya.
.
.
.
“Kau kenapa?”
Tumben sekali. Untuk pertama kalinya aku menanyakan keadaan ‘si pemberontak’ itu. Tak seperti biasanya, dimana ia selalu mengoceh tentang ini dan itu. Kali ini ia hanya diam, bahkan sejak kemarin.
“Belakangan ini kau akrab dengan Soojin,” keluhnya yang berhasil membuatku tertawa. Tapi segera ku hentikan tawaku ketika kulihat tatapan seriusnya yang di pantulkan cermin di depan kami.
“Maksudmu? Bukankah aku dekat dengannya karena dirimu? Kau selalu dekat dengannya, maka aku bisa apa selain dekat dengannya pula?” jawabku agak tersulut emosi. Bahkan setelah pengorbanan yang aku lakukan karenanya, lalu apa? Ia malah menudingku seenaknya.
“Bukankah kau tidak suka dengan kehadiran orang lain, tapi mengapa ketika kita bersama Soojin kau malah selalu mengajaknya bicara? Aku sama sekali tak percaya denganmu,” ujarnya sarkartis.
Aku tersenyum miring, bahkan rasanya ingin tertawa lebar, hanya saja mungkin ini belum saatnya. “Cih. Bukankah sudah ku katakan, jangan pernah percaya pada siapapun, bahkan pada dirimu sendiri. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku sedang malas berdebat dan sudah begitu banyak perdebatan yang terjadi pada diriku sendiri. Perlahan ku pejamkan mataku meski aku tak tertidur. Sekelebat memori menghampiriku dan kenangan-kenangan yang terasa janggal.
Saat itu aku tertawa, tertawa lepas untuk pertama kalinya dalam hidupku, dan semua itu karena Soojin. Aku tak mengerti racun apa yang telah gadis itu suntikkan padaku, hingga saat ini aku terbaring sambil memikirkannya.
“Kau ingat janjimu hari itu?” ujarku sambil menatap langit-langit kamarku dengan nanar. “Aku sama sekali belum menagih apapun darimu, jadi aku ingin menagihnya sekarang.” Aku merasakan bahwa dirinya kini terdiam kaku. Aku tahu suatu saat semua pasti akan terjadi seperti ini.
“Apa? Apa yang kau ingin aku lakukan?” tanyanya dengan suara bergetar. Ia takut, jelas. Karena aku sudah muak dengan kehadirannya dan aku ingin ia pergi jauh dari kehidupanku.
“Pergilah. Pergi yang jauh dari kehidupanku, dari diriku. Biarkan aku menjalani hidupku sendiri. Dan tinggalkan Soojin bersamaku.”
.
.
.
Seminggu berlalu dan aku tak pernah melihatnya muncul lagi dalam diriku. Ia menghilang setelah malam itu. Meski kesal, tapi kuakui bahwa aku merindukannya. Merindukan sisi lain dari diriku yang selama ini selalu bertentangan, membuat sifatku yang sesungguhnya buruk, tak begitu buruk di mata orang lain.
“Kau sedang memikirkan apa?”
Soojin. Ya, gadis itu benar-benar ia tinggalkan bersamaku. Kami sedang duduk di bawah pohon cherry dan ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Berkat ‘si pemberontak’ itu, Soojin kini resmi menjadi kekasihku.
“Hanya mengingat sahabatku yang pergi tanpa kata perpisahan,” ujarku lalu. Tanganku perlahan mengusap kepala Soojin. Gadis itulah penyebab aku kini mampu duduk di tempat ini, juga tak lupa akan aku yang telah mampu berbaur seperti layaknya manusia normal. Tak hanya Soojin, tapi semua ini juga karena ‘si pemeberontak’ itu. “Kau mengantuk?” tanyaku pada Soojin yang hanya diam sedaritadi. Anggukkan kecil pun aku rasakan di atas bahuku.
“Aku ingin tidur. Nanti kau bisa membangunkanku, kan?” Sekali lagi aku mengusap rambut panjang gadis itu dan memberikan senyuman sipul sebelum akhirnya ia memejamkan matanya.
Aku kembali teringat akan ‘si pemberontak’ itu. Aku ingin ia kembali, entah mengapa. Meskipun nantinya aku akan tersulut emosi lagi atas tindakan seenaknya pada tubuhku. Angina sore yang begitu menyejukkan mmebuatku mau tak mau ikut mengantuk. Dan aku pun memutuskan untuk memejamkan mata
“Hai.”
Suara itu menyapaku. Suara yang telah menghilang seminggu lamanya kini terdengar kembali. Tidak, tidak. Itu tidak mungkin. Ia sudah pergi dan tidak akan kembali lagi. Semua ini hanya ilusi karena aku merindukannya.
“Hei, apa kau sudah melupakanku? Bahkan setelah kau merebut gadis itu, kau menendangku begitu saja?”
Dan itu benar suaranya. Ia kembali. Masuk lagi ke dalam hidupku, ke dalam diriku. Dan kuputuskan untuk tak mengusirnya lagi, apapun yang terjadi. Karena diriku kini bukan lagi yang dulu. Ku putuskan untuk berhenti memanggilnya sebagai ‘si pemberontak’, karena ia adalah Jeon Jungkook. Begitu juga denganku. Kami adalah Jeon Jungkook.
.
.
.

END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Vignette] Only Hope

Title:  Only Hope Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Yooji [OC] || Kim Yugyeom [GOT7] || Kim Namjoon [BTS] Genre: Romance. Friendship. Hurt. Duration: Vignette Rating: Teen Summary: Salahku yang terlalu berharap padamu

[Oneshot] Brother and Sister Complex

  Title: Brother and Sister Complex Author: Na n aJji (@nana.novita) Length: Oneshot Genre: Romance, family, friendship Main Casts: Kim Myung Soo (INFINITE) || Kim Soo Jin (OC) Rating: PG-15 Summary: Seperti sebuah napza. Berawal dari sebuah kebersamaan, hingga akhirnya membuatnya menjadi candu.

[Vignette] Biscuit

Title: BISCUIT Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Kim Jongin [EXO] Genre: Comedy. Friendship. Duration: Vignette Rating: G Summary: Haruskah ia memberitahu Soojin tentang apa yang ingin ia beli? . “ Oppa sungguh ingin membeli itu?” tanya Soojin tak percaya. Sehun hanya dapat mengangguk dengan polos. . . .