Langsung ke konten utama

[Oneshot] In Relationship or Not

Title:
In Relationship or Not?
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Cast(s):
Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Jimin [BTS] || and the other cast(s)
Genre:
Drama. Romance. Hurt.
Duration:
Oneshot
Rating:
Teen
Summary:
Semua berawal dari ketidakpastian
.
.
.

“Jadi, bagaimana?” Park Jimin menatap gadis di hadapannya dengan hati-hati. Tempat makan itu sudah semakin sepi, begitupula dengan makanan di atas meja yang tersapu habis. Jimin tak mampu lagi menyimpannya dan ingin segera mengakhiri semua ini. Jadi disanalah ia, duduk di hadapan gadis yang beberapa waktu ini telah mengisi harinya.
“Bagaimana, apanya?” Soojin menatap Jimin penuh tanya setelah sebelumnya menelan sisa air putih yang baru saja ia minum. Terlihat dari wajahnya, gadis itu jelas kebingungan. Tapi lebih dari itu, Jiminlah yang mengalami bingung yang berlebih.
Bukan tanpa tujuan Jimin mengajak Soojin pergi makan malam bersama meski tugas metematikanya masih menumpuk di atas meja belajar. Laki-laki itu memiliki tujuan dan sudah tercapai. Tapi begitu aneh mendengar pertanyaan yang menyeruak dari bibir gadis di hadapannya.
“Aku baru saja menyatakan perasaanku padamu, kau mendengarnya kan?”
“Ya, aku mendengarnya. Tapi… ku kira oppa sudah tahu tentang...” Soojin menggantungkan ucapannya.
“Tentangmu dan Jungkook?” Soojin mengangguk. “Aku tahu. Bahkan satu sekolah tahu, bahwa kalian sangat dekat dan terlihat bersama dimana-mana. Semua orang juga tahu bahwa kalian tak memiliki hubungan apapun. Jadi apa aku salah berharap bisa menjadi kekasihmu?”
Soojin hanya diam. Memikirkan ulang kata-kata Jimin dan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan laki-laki itu. Tidak, Jimin tidak salah sama sekali, Soojin tahu itu. Permasalahannya terletak pada Soojin dan Jungkook.
Sebenarnya apa hubungan diantara mereka berdua? Soojin sendiri mempertanyakannya.
“Mungkin aku sendiri memang tidak tahu apa hubungan kami. Tapi maaf, aku tidak bisa menerimamu, oppa.”
.
.
.
Taehyung sedang asik duduk di teras rumah sambil bermain game di ponsel miliknya ketika deru motor sport berhenti di depan rumah. Dua orang yang dikenalnya berada di atas motor itu, Taehyung pun segera bangun untuk menghampiri keduanya. Namun langkahnya harus terhenti kala melihat sang adik turun dari atas motor lalu melangkah ke dalam rumah, meninggalkan Jimin−sahabatnya−begitu saja diatas motor.
“Soojin-ah, bagaimana−“
Gadis itu bahkan tak menghiraukan sapaan kakaknya dan melenggang masuk. Dirinya memang disana, tapi pikirannya seakan terlempar jauh ke luar galaksi. Begitu heran melihat adiknya seperti itu membuat Taehyung langsung menghampiri Jimin.
Melihat semburat suram di wajah Jimin, Taehyung langsung menyimpulkan begitu saja. “Sudah ku katakan, Soojin pasti menolakmu. Kau belum cukup tinggi untuknya.” Taehyung menepuk bahu Jimin cukup keras, tapi si empunya masih saja diam, seakan tak ada rasa sakit yang terasa. “Tapi aneh, mengapa wajah Soojin terlihat tidak baik-baik saja?”
“Kenapa aku merasa tidak bahagia meski Soojin menerimaku?” gumam Jimin kecil.
“Dia menerimamu? Pantas saja wajahnya muram begitu.” Taehyung menatap pintu yang baru saja ditinggalkan Soojin hingga sedetik kemudian ia baru menyadari apa yang di dengarnya. “Apa?! Dia menerimamu?! Kau bohong! Bagaimana bisa?”
Sementara Taehyung terus melemparinya dengan pertanyaan, Jimin juga menanyakan hal yang sama. “Entahlah. Mungkin karena aku pintar merayunya.” Dan Jimin langsung mendapat pukulan keras di bahunya serta tatap tajam dari Taehyung.
.
.
.
Bel pulang baru semenit lalu berbunyi, semua murid di kelas tahun pertama itu sibuk membereskan buku masing-masing. Soojin menjadi yang pertama keluar dari kelas hanya untuk menghindari seseorang. Namun sayang, orang yang dihindarinya bahkan sudah menunggu di depan pintu.
“Jungkook? Sejak kapan kau ada disana?” Soojin langsung menghentikan langkahnya yang hendak berlari, kemudian berusaha membuat ekspresi kagetnya sewajar mungkin.
“Baru saja. Dua hari yang lalu kau berjanji untuk mengantarkanku pergi ke klub tari, kan? Jangan katakan kau ingin mengingkarinya?”
Kalau bisa jujur, Soojin akan menjawab ‘iya’ dengan gamblang. “Hah? Kau tahu aku bukan orang yang suka mengingkari janji. Hanya sedikit lupa, untung kau sudah lebih dulu ada disini. Kajja! Kita pergi sekarang.”
Soojin menarik tangan Jungkook agar segera pergi, lalu melepaskan genggamannya begitu ia menyadari bahwa ia melakukannya terlalu erat.
“Ada apa?” tanya Jungkook di tengah perjalanan mereka. Trotoar itu cukup sepi, entah mengapa. Padahal hari menjelang sore dan udara menjadi sangat sejuk.
Sedaritadi Soojin yang menunduk akhirnya mengangkat kepalanya. “Hah? Maksudmu?”
“Kau diam saja, tak seperti biasanya.” Jungkook menatap Soojin penuh selidik. Seingatnya, kemarin gadis itu masih biasa-biasa saja. Memang sedikit ragu, tapi Jungkook rasa, sejak pagi tadi Soojin seakan menghindarinya.
“Aku hanya malas bicara sehabis ulangan matematika tadi. Huh, entah mengapa soalnya bisa sesulit itu.” Soojin memperlihatkan wajah kesalnya yang dengan sempurna menutupi perasaannya yang sesungguhnya saat ini. “Ah, sudahlah. Seharusnya aku melupakannya kan? Lagipula itu sudah berlalu.”
Jungkook mengangguk. Meski ingin percaya dengan apa yang Soojin katakan, Jungkook masih merasa ada yang mengganjal. Atau itu hanya perasaannya saja? Sungguh, Jungkook ingin sekali mengabaikannya.
Setelah tiga puluh menit berjalan, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. Jungkook mengajak Soojin masuk ke tempat biasa ia berlatih menari. Cukup ramai di dalam sana. Dan beruntung bagi Soojin karena tidak menemukan Jimin diantara kumpulan itu. Setahu Soojin, Jimin juga berlatih di klub yang sama.
“Jungkook-ah!” Salah seorang yang tadinya sedang mengobrol di tengah ruangan kini mengampiri mereka berdua. Jung Hoseok−nama laki-laki itu−langsung memberi pukulan kecil sebagai sambutan pada Jungkook. “Rasanya sudah lama sekali kau tidak kemari.”
Hyung, jangan berlebihan. Baru tiga hari yang lalu aku latihan disini bersamamu.” Hoseok tertawa kecil mendengar respon Jungkook terhadap candaannya. Seharusnya candaan itu terdengar biasa, karena selalu begitulah tingkah seorang Jung Hoseok.
“Omong-omong, siapa yang kau ajak ini?” Soojin tersenyum canggung kala netra Hoseok tertuju padanya. Hoseok pun tersenyum balik. “Pacarmu?” tanyanya lagi.
Oh ya, ini Soojin, temanku.”
Soojin menerima uluran tangan Hoseok sebelum akhirnya membiarkan Jungkook melangkah lebih dulu bersama laki-laki itu. Tanpa mencoba untuk menyusul, Soojin hanya diam menatap punggung Jungkook yang semakin menjauh menuju ke tengah perkumpulan.
“Terima kasih atas jawabannya, Kook.”
.
.
.
Hari masih terlalu pagi, bahkan gedung-gedung sekolah itu belum cukup ramai di datangi para siswa, namun deru napas serta peluh di dahi Jungkook menyatakan dengan jelas bahwa ia telah melewati pagi yang begitu keras hari itu.
Kemarin setelah Jungkook memperkenalkan Soojin dengan Hoseok, gadis itu menghilang begitu saja, membiarkan Jungkook pulang sendiri padahal sebelumnya mereka datang berdua. Semalaman pula Jungkook mencoba untuk menghubungi Soojin dan tetap tidak ada jawaban.
Jungkook takut kalau firasatnya kemarin benar-benar terjadi. Tadi pagi-pagi sekali Jungkook pergi ke rumah Soojin untuk menjemput gadis itu, namun ternyata ia sudah pergi lebih dulu. Entah dengan siapa dan bagaimana, Jungkook tidak tahu. Ia langsung pergi begitu saja setelah mendengar kabar itu dari Taehyung.
Mungkin Jungkook terlihat bodoh karena memilih berlari ke sekolah sementara ia bisa menaiki bus dari rumah Soojin yang cukup jauh dengan sekolah, atau ia bisa menerima tawaran Taehyung untuk pergi ke sekolah bersama. Tapi ia terlalu kesal untuk memikirkan hal itu. Mengapa Soojin bersikap aneh seperti ini? Tanpa memberitahu apapun dan Jungkook benci itu. Namun sesungguhnya ia juga khawatir.
Segala perasaan itu bercampur aduk dengan lelah yang ia rasakan, terlebih ketika Jungkook mencari Soojin di kelasnya, dan gadis itu tidak ada. Dengan sangat lelah ia akhirnya menyandarkan diri di depan pintu kelas.
“Jungkook-ah!”
Jungkook menoleh tanpa semangat kearah sumber suara. Dimana seorang lelaki tinggi tengah melangkah kearahnya. Kim Yugyeom, ia adalah teman sekelas Soojin yang sekaligus juga menjadi sahabat Jungkook.
Sebuah tepukan mendarat di bahu Jungkook. “Hei! Sedang apa kau disini? Mencari Soojin?” Jungkook mengangguk, masih terlalu lelah untuknya membuka suara. “Oh, Soojin ada di kafetaria. Aku baru saja menjumpainya disana.”
Jungkook kembali berdiri tegak, bersiap untuk segera berlari menuju tempat yang Yugyeom beritahu. Namun Yugyeom menghalau langkah laki-laki itu.
“Aku mau bertanya sesuatu padamu. Omong-omong, sejak kapan Soojin dan Jimin sunbae menjadi sepasang kekasih?” interogasi Yugyeom. Sementara yang di tanya malah bertanya-tanya tentang pertanyaan itu.
'Hah?! Apa kau bilang?!”
“Ya, tadi mereka sedang makan berdua di kafetaria dan aku−Hei! Jeon Jungkook!!”
Jungkook kembali berlari secepat yang ia bisa menuju kafetaria tanpa harus mendengar lanjutan dari kalimat Yugyeom. Di tengah napasnya yang satu-satu, Jungkook kembali merutuk karena Soojin, juga terselip harapan bahwa apa yang ia dengar barusan tidak benar adanya.
.
.
.
Jimin menatap gadis di hadapannya penuh rasa tak percaya. Meski telah menjadi sepasang kekasih, Jimin merasa ini tidak benar. Laki-laki itu ingat betul bagaimana dua hari yang lalu Soojin menolaknya, namun hanya karena kata-kata seperti sihir yang Jimin ucapkan, gadis itu berubah pikiran.
“Apa kau mau terus seperti ini? Berada di sisi Jungkook meski kau tak tahu isi hatinya? Aku hanya tak ingin melihatmu terluka.”
Saat itu air mata Soojin hampir saja menetes, tapi di tahannya lagi. Setelahnya, gadis itu terdiam. Cukup lama hingga membuat Jimin membeku. Ia sungguh tak tahu harus berbuat apa atas diamnya Soojin. Jimin mulai menyesal telah mengatakan itu, mungkin saja setelah ini Soojin akan membencinya seumur hidup, atau bisa saja akan menjadi kabar gembira bagi Jimin. Dan opsi kedua menjadi jawabannya, namun terasa tidak semenggembirakan itu untuk Jimin.
“Soojin-ah, apa kau sudah memberitahu Jungkook tentang hubungan kita?”
Soojin menghentikan kegiatan sendok-menyendok makanan dan terpaku menatap piring di hadapannya. Beberapa detik setelahnya barulah Soojin menjawab. “Kurasa aku tidak perlu memberitahu Jungkook.”
Tak ada lagi percakapan diantara mereka. Jimin tahu, mengungkit nama Jungkook diantara percakapan mereka akan selalu membuat gadis di hadapannya diam seketika.
“Jinie-ya!” Jimin sedikit terkejut mendapati panggilan itu. Baru beberapa detik lalu dibicarakan, Jungkook kini sudah ada di hadapan mereka. Soojin tak menatap laki-laki itu, melainkan hanya terpaku pada piring di depannya.
“Ada apa, Kook?” tanya Soojin sekenanya. Melihat wajah Jungkook yang merah, Jimin tahu bahwa memang ada sesuatu terjadi, dan mungkin saja itu karena dirinya.
“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa sebenarnya?” Soojin akhirnya menatap Jungkook akibat pertanyaan laki-laki itu. Dengan usaha yang besar untuk tampak biasa saja, akhirnya gadis itu menjawab.
Oh, ternyata aku lupa memberitahumu. Aku dan Jimin oppa sudah resmi menjadi sepasang kekasih.” Jungkook terdiam. Ia sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, namun ia merasa sesuatu masih mengganjal pikirannya. “Sebentar lagi pelajaran di mulai, aku dan Jimin oppa harus segera pergi. Kau juga harus segera masuk ke kelasmu, Kook.”
Satu tepukan ringan Soojin daratkan di bahu Jungkook. Laki-laki itu tidak menjawab, membiarkan Soojin berlalu bergitu saja bersama Jimin. Jungkook masih terdiam disana, memikirkan segala kejanggalan yang ia rasakan, merasa bahwa ada sesuatu yang belum jelas, ada begitu pertanyaan di pikirannya, namun Jungkook tak tahu itu apa.
Ah, mungkin aku hanya terlalu lelah akibat berlari tadi. Toh, untuk apa juga tadi aku berlari...”
Jungkook mengusap beberapa butir air di pipinya. Aneh, itu bukanlah keringatnya setelah berlari, tapi bulir-bulir air mata. Ya, Jungkook menangis, entah karena apa, ia sendiri tidak tahu. Yang jelas, ia merasa sesuatu menusuk dadanya hingga membuatnya kesakitan luar biasa.
.
.
.
“Jungkook-ah, kau baik-baik saja, kan?” Yugyeom menatap sahabat di sebelahnya dengan cermat. Ia ingat betul, segera setelah bel istirahat berbunyi Jungkook mencarinya, mengajak Yugyeom pergi ke kafetaria karena ia merasa lapar. Tapi yang Yugyeom lihat saat ini adalah makanan di atas meja yang sedikitpun tak tersentuh oleh mulut Jungkook, melainkan hancur akibat permainan antara sendok dan garpu yang laki-laki itu bawa.
“Aku baik-baik saja. Memangnya ada alasan untukku terlihat tidak baik?”
Hm, sepertinya ada.” Yugyeom mengikuti arah pandang Jungkook yang sedaritadi hanya berlabuh pada satu tempat. Itu hanyalah bangku-bangku kafetaria sebagaimana yang memang seharusnya ada disana, namun Yugyeom ingat akan sesuatu. Bangku itu adalah bangku dimana Yugyeom menemukan Soojin dan Jimin makan berdua pagi tadi. “Kurasa kau sedang cemburu dengan Jimin sunbae.”
“Cemburu? Dengan Jimin sunbae? Karena apa?” Jungkook tertawa renyah. Dilihatnya Yugyeom penuh rasa tak percaya. Apa sesungguhnya yang Yugyeom ingin katakan padanya? Mengapa ia bicara aneh seperti itu?
“Karena Soojin, kau menyukainya kan?” Jungkook langsung terdiam. Tawanya lenyap seketika. Pertanyaan itu bahkan tak pernah ia tanyakan pada dirinya sendiri, tetapi mengapa ketika Yugyeom menanyakannya membuat Jungkook ikut bertanya-tanya?
“Apa menurutmu aku menyukai Soojin?” Yugyeom mengangguk cepat, namun reaksi Jungkook membuat laki-laki itu seketika kecewa. “Hahaha! Pikiranmu aneh, Yugyeom-ah. Bagaimana aku bisa menyukai kekasih orang lain? Kau pikir aku gila? Hahahaha.”
Tawa Jungkook terus saja menggema, tak menghiraukan sahabatnya yang menganggap semua itu bukanlah lelucon.
“Kurasa aku mulai prihatin denganmu, Jungkook-ah.”
.
.
.
Jimin masih berusaha berpikir bahwa semua akan baik-baik saja meski ia sendiri mulai meragukannya. Apa ia sudah mengambil keputusan yang benar? Laki-laki itu terus mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri dan harus ia akui bahwa ia selalu gagal. Jimin takut, sungguh. Ia takut apa yang ia rasakan akan berakhir dengan perih. Ia tak ingin Soojin meninggalkannya, tapi ia juga ingin melihat Soojin bahagia.
“Taehyung-ah, apa menurutmu Jungkook menyukai Soojin?”
Taehyung hampir saja tersedak minuman kaleng−yang beberapa menit lalu di belinya−akibat mendengar ucapan Jimin. Setelah menyelamatkan nyawanya yang hampir saja melayang, Taehyung kemudian tertawa sampai-sampai air matanya serasa akan keluar.
“Memangnya kenapa? Kau mulai menyesal, hm?” Taehyung kembali tertawa. Wajah Jimin cemberut seketika, seharusnya ia tahu bahwa bertanya pada Taehyung tak akan menyelesaikan masalah. “Sudah ku katakan bahwa adikku menyukai Jungkook. Mereka sangat dekat. Kau juga tahu bahwa aku tidak setuju jika kau menjadi kekasih adikku. Restuku sangat berpengaruh, Jimin-ah.”
Bukan bermaksud mengejek, tapi Taehyung hanya mencoba untuk jujur. Ia terlampau mengenal Soojin dan Jimin, ia tahu bahwa mereka berdua tidaklah cocok. Seperti yang mereka ketahui pula bahwa Soojin menyukai Jungkook. Tak mungkin ia membiarkan sahabatnya tersakiti meskipun karena adikknya sendiri. Taehyung juga tahu bahwa Soojin salah disini. Ia akan menasehati gadis itu nanti.
“Taehyung-ah, maukah kau membantuku?” Taehyung menatap Jimin seketika. Wajah Jimin tampak serius. “Tolong sampaikan hal ini nanti pada Soojin.” Jimin menyodorkan sebuah robekan kertas kecil pada Taehyung. Laki-laki itu membaca tulisan yang ada disana, kemudian menatap Jimin tak percaya.
“Kau benar-benar gila, Jimin-ah.”
.
.
.
Oppa, kenapa?”
Soojin bertanya di keesokkan harinya. Pagi-pagi sekali ia langsung mencari Jimin setelah kemarin malam Taehyung menyampaikan pesan laki-laki itu. Jimin diam sejenak, membuat suara dedaunan yang terbang di taman belakang itu mendominasi.
“Jadi, Taehyung sudah memberitahumu?” Akhirnya Jimin membuka suara tanpa menatap Soojin di sebelahnya. Ia tak mau melihat Soojin atau segala rencana yang telah ia rancang hancur saat itu juga.
“Jawab pertanyaanku, oppa.” Soojin menuntut laki-laki itu untuk menatapnya, menjelaskan segala kebingungan yang ia alami akibat Jimin. “Apa oppa sedang mencoba mempermainkanku? Atau berusaha membuatku tampak buru? Jawab, oppa!”
“Ini semua untuk kebaikanmu, Soojin-ah.”
“Aku sudah mendengar jawaban itu dari Taehyung oppa. Aku ingin mendengar jawaban yang lain darimu, oppa.” Jimin hanya diam tak mampu menjawab. Sedangkan Soojin tetap menunggu jawaban laki-laki itu. “Aku tidak akan mengatakan apa yang oppa inginkan sebelum oppa menjawab pertanyaanku.”
“Aku… aku hanya merasa bahwa disakiti bisa membuat lupa dengan mudah.” Akhirnya hanya kata-kata itu yang bisa Jimin ucap. Soojin menatap laki-laki di sebelahnya dengan bingung. Apakah ia harus senang atau sedih? Tapi yang jelas, gadis itu akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang Jimin ingin.
“Baiklah, oppa. Aku ingin mengakhiri hubungan ini.”
Dan Soojin mengatakannya. Mematuhi perintah Jimin, meski itu harus menyakiti laki-laki itu. Tapi Soojin tetap sangat berterima kasih pada Jimin, karena laki-laki itu membuatnya sadar, bahwa memiliki bukanlah segalanya.
.
.
.
Pagi itu, Soojin datang ke sekolah dengan wajah muram. Rasanya bukan apa-apa jika ia memutuskan hubungannya dengan Jimin. Toh, ia sesungguhnya tak menyukai laki-laki itu. Tapi entah mengapa Soojin merasa sedih. Saat melewati koridor, tanpa sengaja Soojin berpapasan dengan Jimin. Mereka hanya saling tatap dan berlalu begitu saja. Ini yang Soojin sedihkan. Ia ingin tetap bersikap seperti biasa dengan Jimin, namun mereka berdua tidak bisa. Jimin secara terang-terangan telah menjauhi gadis itu.
Jungkook yang sedaritadi diam-diam mengikuti Soojin, bahkan sengaja datang begitu pagi ke rumah gadis itu, tampak bingung melihat keadaan di hadapannya. Ia ingat betul bagaimana beberapa hari lalu ia begitu terkejut mendengar Soojin serta Jimin menjadi sepasang kekasih, dan hari ini ia melihat dua orang itu layaknya tak saling mengenal. Jungkook benar-benar tak mengerti.
Soojin terus melangkah dengan lemah. Ia mendongak-dongakkan kepalanya demi menghambat air mata yang telah berkumpul di kelopak mata. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya, membawa Soojin kearah taman belakang yang sepi. Sampai disana, Soojin bisa melihat dengan jelas bahwa laki-laki itu adalah Jungkook. Tanpa komando air mata itu berjatuhan di pipi Soojin. Gadis itu menangis sejadi-jadinya, karena dengan begitu ia akan merasa lebih baik.
Jungkook menarik Soojin dalam pelukannya. Mengelus lembut rambut gadis itu−berusaha menenangkannya. Melihat perlakuan Jungkook padanya, semakin membuat Soojin sesenggukkan. Mungkin semua ini tak akan pernah terjadi jika ia tak menyukai Jungkook dan ia dapat menerima cinta Jimin lalu mencoba untuk mencintai laki-laki itu. Tapi bahkan ketika ia berusaha melupakan Jungkook dengan menerima kehadiran Jimin, Soojin sungguh tak bisa, ia menyerah.
Soojin melepaskan pelukan Jungkook segera dan berusaha keras menghentikan tangisnya. Dengan asal ia mengusap bekas air mata di pipinya. “Maaf, Kook. Seharusnya aku tidak menangis di hadapanmu seperti ini,” ucap Soojin hendak untuk pergi. Namun tangan Jungkook segera menghentikannya.
“Sebenarnya ada apa, Jinie-ya? Apa Jimin sunbae menyakitimu?” tanya Jungkook khawatir. Tanpa membalikkan badan untuk berhadapan dengan Jungkook dan terus berusaha untuk menahan tangisnya, Soojin menjawab dengan suara serak.
“Kau tidak perlu tahu tentang itu, Kook.”
.
.
.
Sunbae, aku ingin bicara padamu.” Sore itu, Jungkook yang mengikuti klub tari tak sengaja menangkap keberadaan Jimin disana, dan laki-laki itu langsung menghampiri Jimin.
Jimin yang melihat Jungkook menghampirinya berusaha memperlihatkan wajah seperti biasa. “Oh, kau Jungkook kan? Teman Soojin? Ada apa?” tanya Jimin terlihat sedikit terkejut seolah tak terjadi apa-apa.
“Sebenarnya ada apa antara sunbae dengan Soojin?” interogasi Jungkook langsung, tak mau lagi berbasa-basi hal yang tak penting. Jimin tertawa kecil lalu mendudukkan dirinya diatas lantai ruang tari itu.
“Kami putus,” ujar Jimin santai. Mata Jungkook membulat seketika. Benar-benar tak percaya dengan yang ia dengar. Tangannya mengeras seketika, ingin sekali memukul wajah Jimin yang tampak meremehkan saat itu juga. Tapi hal itu tak terjadi setelah Jungkook mendengar kalimat Jimin selanjutnya. “Soojin sendiri yang mengakhiri hubungan kami.”
“Bohong! Lalu untuk apa ia menangis jika itu adalah kemauan Soojin sendiri?!” tanya Jungkook tak sabar dengan wajah yang merah karena amarah. “Pasti telah terjadi sesuatu yang menyakitinya.”
“Menyakitinya? Aku bahkan tak pernah terpikir untuk melakukan itu. Mungkin orang lain yang telah menyakitinya.” Lagi-lagi Jimin menjawab dengan santai meski sesungguhnya ia begitu terkejut mendengar Soojin menangis. Ingin sekali Jimin berada di sisi gadis itu sekarang tapi apadaya, inilah keputusan yang ia ambil.
“Tidak mungkin. Selama ini dia baik-baik saja, sampai dia mengenalmu, dan semuanya menjadi seperti ini.” Sungguh Jungkook tak bisa menahan emosinya, ia tak suka mendengar nada suara Jimin yang terkesan sangat acuh, terlebih ini mengenai Soojin. Jungkook tak tahu mengapa ia melakukan hal ini sekarang. Dan mengapa ia merasa begitu sakit saat melihat Soojin menangis. Ia sungguh tak mengerti.
“Jeon Jungkook. Kau bodoh atau apa? Kau bahkan tidak tahu bahwa kau adalah awal dari semua ini.” Jimin tak bisa menahan dirinya lagi untuk bersikap seolah semua baik-baik saja bagi Jungkook, karena laki-laki itu lah semua ini menjadi salah. Jungkook menatap lekat mata Jimin demi menuntut sebuah penjelasan atas kalimatnya itu. Dan Jimin pun menatap mata Jungkook sebelum akhirnya ia memberitahu Jungkook kebenarannya.
“Selama ini Soojin menyukaimu, kau bahkan tidak tahu.”
.
.
.
“Kau bisa berhenti menghindariku kan?”
Langkah Soojin terhenti akibat tarikan tangannya oleh Jungkook. Tadinya ia tengah berjalan cepat keluar dari sekolah, tapi apa daya jika Jungkook sudah menemukannya di trotoar itu. Susah payah Soojin mengobati segala luka perasaannya kemarin akibat perlakuan Jimin, juga rasa sukanya yang terkesan tak berarti pada Jungkook. Ia ingin melupakan semua itu dan tetap dekat seperti dulu bersama Jungkook dan orang-orang yang ia sayangi.
“Maafkan aku, Kook.”
Jungkook menghela napas berat mendengar ucapan Soojin. Ini sama sekali bukan seperti yang gadis itu pikirkan. Ini salahnya, salah Jungkook. “Untuk apa? Kau tidak salah, Jinie-ya. Ini salahku.”
Tangan Soojin kini ada di dalam genggaman Jungkook. Soojin semakin merasa semua ini membingungkan. Salah? Mungkin pikirannya yang salah. Sepertinya Jungkook sudah tahu tentang perasaannya. “Maaf jika perasaanku ini mengganggumu.”
“Mungkin seharusnya aku tahu sejak awal tentang perasaanmu. Seharusnya aku juga tak meragukan perasaanku yang sama seperti itu. Tapi, ku kira kau bisa mengerti…” Jungkook menggantungkan kata-katanya lalu memalingkan matanya dari tatapan Soojin.
“Jadi kau sudah tahu tentang semua ini? Tapi mengapa kau hanya diam?” tanya Soojin lalu. Pelan-pelan ia melepaskan genggaman tangan Jungkook. “Mengerti apa? Kau membuatku bingung, Jeon Jungkook.”
Jungkook hanya terdiam. Ia tak yakin dengan apa yang akan ia katakan. Juga menebak-nebak apa reaksi Soojin setelah mendengar ucapannya kelak. Namun ia tahu bahwa Soojin sangat tidak suka dengan kebohongan, maka ia pun akhirnya berkata jujur.
“Menurutku hal itu tak perlu, menyatakan perasaanku, lalu berkata pada orang-orang bahwa kita adalah sepasang kekasih. Hanya perlu tahu bahwa kau dan aku memiliki perasaan yang sama, itu cukup.”
Soojin menyunggingkan senyum. Ia sebenarnya ingin tertawa keras, namun di tahannya. “Tapi seharusnya kau tahu, bahwa tanpa kau memberitahu aku tak akan pernah tahu. Maka dari itu aku selalu memintamu jujur padaku, Kook.”
Wajah Jungkook tampak bersalah. Ia mengakui bahwa ini salahnya. Seharusnya ia bisa mengerti Soojin. Ia bahkan lupa begitu saja bahwa gadis itu benar-benar tidak peka dan begitu polos. “Maafkan aku, seharusnya aku−“
Ssstt! Sudahlah, Kook,” potong Soojin cepat. “Sekarangpun aku sudah tahu. Jadi, apa kita bisa menjalankannya seperti katamu tadi? Menurutku, status juga tak begitu penting.”
Jungkook tersenyum lebar sambil kepalanya mengangguk mantap. Laki-laki itu kemudian menarik Soojin dalam pelukannya. “Jadi, sekarang apa aku perlu mengantarmu pulang dan berkata pada Taehyung−oppa mu, bahwa hubungan kita baik-baik saja?”
Soojin melepaskan pelukannya langsung lalu menatap Jungkook tak suka. “Bukankah tadi kau bilang tak perlu memberitahu orang lain tentang hubungan kita?” tanya gadis itu protes. Namun, bukannya langsung menjawab, Jungkook malah menarik tangan Soojin, dan mengajak gadis itu untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju rumah gadis itu.
“Hanya memberitahu oppa-mu agar dia bisa mencegah teman-temannya yang lain untuk mendekatimu, seperti yang Jimin sunbae lakukan. Karena sekarang kau sudah menjadi milikku.”
.
.
.

FIN

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Vignette] Only Hope

Title:  Only Hope Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Yooji [OC] || Kim Yugyeom [GOT7] || Kim Namjoon [BTS] Genre: Romance. Friendship. Hurt. Duration: Vignette Rating: Teen Summary: Salahku yang terlalu berharap padamu

[Oneshot] Brother and Sister Complex

  Title: Brother and Sister Complex Author: Na n aJji (@nana.novita) Length: Oneshot Genre: Romance, family, friendship Main Casts: Kim Myung Soo (INFINITE) || Kim Soo Jin (OC) Rating: PG-15 Summary: Seperti sebuah napza. Berawal dari sebuah kebersamaan, hingga akhirnya membuatnya menjadi candu.

[Vignette] Biscuit

Title: BISCUIT Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Kim Jongin [EXO] Genre: Comedy. Friendship. Duration: Vignette Rating: G Summary: Haruskah ia memberitahu Soojin tentang apa yang ingin ia beli? . “ Oppa sungguh ingin membeli itu?” tanya Soojin tak percaya. Sehun hanya dapat mengangguk dengan polos. . . .