Langsung ke konten utama

[Oneshot] Evergreen


Title:
Evergreen
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main Cast(s):
Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC]
Genre:
Romance. Friendship.
Duration:
Oneshot (3100+ word)
Rating:
Teen
Summary:
Seringkali laki-laki itu membuat si gadis merasa kesal dan serba salah. Beberapa kali pula dapat membuat si gadis merasa nyaman didekatnya. Tapi hari itu, si gadis benar-benar tak tahu harus berkata apa. Laki-laki itu mencampuradukkan perasaannya.
.
.
“Kau tak mau bertanya lagi tentang alasan di balik mawar-mawar itu?”

.
.
.
Jeon Jungkook. Dia adalah seorang laki-laki−yeah, tentu saja. Dia adalah teman sekelasku sejak taman kanak-kanak. Jungkook juga seorang tetangga yang ku kenal dari umurku yang hanya berjumlah sebanyak jari di tangan kananku. Jadi, katakanlah bahwa kami bersahabat.
Namun meski kami adalah sahabat, aku tak pernah menganggapnya seperti itu. Apa seorang sahabat selalu memikirkan sahabatnya di malam hari? Aku mulai mempertanyakannya saat kami berada di awal tahun sekolah menengah pertama.
Hari itu tepat hari ulang tahunku yang ke dua belas. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana Jungkook akan memberikan boneka sebagai kado ulang tahunku, hari itu ia memberikan sebuah pohon mawar dengan sebuah bunganya yang belum cukup mekar. Kurasa semenjak itu perasaan aneh ini mulai membayangiku.
Tahun-tahun setelahnya, hal itu terus berulang. Sampai sekarang sudah ada lima pohon mawar di halaman rumahku. Aneh memang. Jadi aku menanyakannya saat Jungkook memberiku pohon ketiga.
“Kook, kenapa kau tidak memberiku bunga mawarnya saja? Kenapa harus pohonnya?” tanyaku saat perjalanan kami pulang dari sekolah.
“Kau tidak suka?” Jungkook menanggapinya sesantai itu, bahkan ia melangkah biasa tanpa mencoba untuk melirik kearahku.
“Kau juga selalu memberiku kado yang sama. Dulu selalu boneka. Setelah kau memberiku pohon mawar, ku kira di tahun-tahun berikutnya kado yang kau berikan akan berbeda-beda, tapi tetap saja sama. Memang sih bermacam-macam warna dan bentuk, tapi tetap satu jenis.”
“Kau tidak suka?” Kali ini Jungkook menghentikan langkahnya dan menatapku tepat di mata. Alhasil aku hanya mampu berpaling dari wajah itu.
“Bu-bukan begitu maksudku. Aku hanya−“
“Aku tanya, apa kau tidak suka?” Pertanyaan yang sederhana, namun Jungkook membuatnya tampak seperti pertanyaan sejenis 'Berikan uangmu atau kau ku bunuh'.
“Aku suka. Puas?”
Setelahnya, aku langsung pergi meninggalkan Jungkook. Hingga saat ini aku tak pernah tahu jawaban pasti dari pertanyaan yang selalu membayangiku saat malam. Aku pun tak pernah mengajukan pertanyaan itu lagi, takut-takut akan mendapatkan jawaban yang sama.
Sudah sangat lama aku mengenal Jungkook, tapi aku rasa aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Sikapnya kadang tak tertebak olehku, juga sifatnya yang sulit dimengerti.
Terkadang Jungkook bersikap kekanakan. Seperti di suatu siang saat musim panas. Aku sedang mengerjakan tugas yang belum sempat ku selesaikan di rumah, jadi aku meminjam milik Joohyun−teman sebangkuku. Tiba-tiba saja Jungkook datang sambil meneriakkan namaku.
“Jinie-ya!! Antar aku ke kafetaria. Aku ingin membeli es krim. Aku kepanasan!”
“Sebentar, Kook. Aku harus menyelesaikan tiga soal lagi.” Aku tetap berkonsentrasi pada tugasku yang sebentar lagi selesai kalau saja Jungkook tidak meracau.
“Waktu ku ajak mengerjakan tugas itu bersama, kau tidak mau. Sekarang tugas itu belum selesai, jangan salahkan aku.”
Siapa juga yang menyalahkannya? Jungkook ada-ada saja. “Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak bisa, Kook. Kemarin aku harus mengikuti klub musik sampai malam.”
“Terserah. Yang penting sekarang kau harus mengantarku membeli es krim!” Sebuah tuntutan. Baiklah, aku mulai kesal dengannya.
“Bisakah kau diam, Kook? Seharusnya ini bisa selesai lebih cepat dan kita pergi membeli es krim kalau saja kau tidak terus mengoceh. Kau pergi saja sendiri, aku harus segera menyelesaikan ini.”
Jungkook tak menjawabku sama sekali. Ia langsung pergi begitu saja. Tiba-tiba bersikap kekanakan lalu merajuk, aku sungguh tak mengerti.
Beberapa kali Jungkook juga berlagak dewasa, seakan ia tak pernah bersikap kekanakan sama sekali.
Waktu itu Jungkook menginap di rumahku karena orang tuanya harus pergi ke Busan untuk menjenguk neneknya yang sakit. Esoknya adalah hari libur, jadi kami memutuskan untuk bergadang menonton film.
Aku, Jungkook, dan juga Seokjin oppa−kakakku, memutuskan untuk menonton film di kamar Seokjin oppa karena takut terkena marah oleh ibuku jikalau menonton di ruang keluarga. Lagipula, kamar oppa cukup jauh dari kamar orang tuaku, jadi sangat strategis.
Alhasil, setelah jam sepuluh malam, aku keluar kamar diam-diam lalu pergi ke kamar oppa, sementara Jungkook sudah ada disana karena ia memilih untuk tidur bersama oppa daripada tidur sendiri di kamar tamu.
Seokjin oppa sedang memilih-milih beberapa CD film yang di pinjam dari Namjoon oppa−temannya, sementara Jungkook tampak sedikit mengantuk diatas tempat tidur ketika aku baru memasuki kamar itu.
“Ya! Kau lama sekali!” Itu suara oppa ku. Seketika Jungkook yang setengah tidur harus terbangun untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Tanpa menghiraukan Jungkook, aku menghampiri Seokjin oppa. Dan pertengkaran pun terjadi.
Science-fic lebih keren, oppa!” Aku menunjukkan sebuah CD yang menurutku bagus, namun wajah oppa tampaknya tidak setuju.
“Memang keren, tapi kita harus menonton film horor! Lebih seru!” Seokjin oppa hendak memasukan CD itu untuk di putar, tapi kembali aku menghalanginya.
Science-fic juga seru, oppa!”
“Horor lebih seru!”
Science-fic!”
“Horor!”
Begitu seterusnya sampai sepuluh menit kemudian. Intinya kami berseteru. Dan tanpa hasil apapun.
“Bisakah kalian berhenti bertengkar?!”
Tiba-tiba terdengar teriakan di belakang kami. Siapa lagi kalau bukan Jungkook. Saking asiknya bertengkar, kami bahkan melupakan kehadiran Jungkook di ruangan itu.
“Ini semua karena oppa, seharusnya oppa mengalah karena aku adikmu,” bisikku sambil menyikut lengan Seokjin oppa.
“Terbalik. Seharusnya kau yang mengalah karena aku lebih tua.” Seokjin oppa menyikutku balik.
“Bagaimana bisa−“
“Hentikan! Kalian ini seperti anak kecil yang berebut lolipop saja! Hyung, apa kau lupa umurmu sudah 21 tahun? Dan kau Jinie, sebentar lagi umurmu 17 tahun. Apa kalian tidak malu bertengkar seperti itu?!” Jungkook kembali memarahi kami. Kami pun hanya diam tak berani menyahut kala ia bangkit dari tempat tidur lalu melangkah kearah kami. Tanpa berkata apapun Jungkook memilih salah satu dari tumpukkan CD lalu memutarnya.
“Hm, Kook. Ini film apa?” tanyaku berusaha mencairkan suasana, meski sedikit agak takut akan terkena semprot Jungkook lagi.
Lama Jungkook tak menjawab, jadilah aku mencoba hanya terfokus pada filmnya. Kurasa Seokjin oppa juga begitu, aku tak terlalu menangkapnya dari ekor mataku karena Jungkook duduk diantara kami.
Ternyata Jungkook memilih film action, bukan salah satu dari pilihanku dan Seokjin oppa. Beberapa menit sudah film di putar, suasana menjadi sunyi. Tak ada yang bersua setelah terakhir kali aku bertanya pada Jungkook dan tak mendapat jawaban sama sekali.
“Kalian adalah kakak dan adik, bagaimana kalian bisa bersikap seolah-olah Tom and Jerry? Berbaikanlah sekarang.”
Itulah yang Jungkook katakan saat itu. Aku sendiri tidak mengerti mengapa Jungkook mengatakannya sementara hampir setiap hari aku melihatnya bertengkar dengan Minah−adiknya. Maka dari itu, aku menyimpulkan bahwa Jungkook berlagak dewasa.
Disamping sikap sok dewasanya itu, beberapa kali aku benar-benar menganggap Jungkook bijaksana.
Waktu itu, Joohyun marah padaku tanpa sebab. Ia hanya diam dan tidak menanggapi ucapanku. Bahkan ia bertukar tempat duduk dengan Shinah. Sempat aku bertanya pada Shinah, namun ia hanya angkat bahu.
Aku mencoba untuk mengajak Joohyun bicara dan mempertanyakan tentang masalah apa yang terjadi. Tapi ia selalu menghindar bahkan cenderung tak ingin bertemu denganku.
“Sebenarnya, ada masalah apa antara kau dan Joohyun?” tanya Jungkook saat kami menikmati makan siang di kafetaria. Aku masih mengunyah beberapa kimbab di mulutku hingga aku hanya mampu menggelengkan kepala.
“Bagaimana bisa kau tidak tahu?”
“Entahlah, Kook. Dia diam dan menjauh begitu saja. Semuanya tanpa sebab.” Aku kembali menikmati kimbab yang bersisa tak seberapa di dalam kotak bekal makanku. Sementara Jungkook mulai menghentikan makannya dan menatapku tajam.
“Tak ada asap bila tak ada api. Semua pasti ada penyebabnya, Jinie-ya.” Aku seketika menghentikan kegiatan kunyah-mengunyahku untuk sementara waktu. Jika dipikirkan lagi, benar kata Jungkook. Semua pasti ada penyebabnya, termasuk kemarahan Joohyun padaku.
“Dia bahkan tak mau memberi tahuku permasalahannya saat aku bertanya, bagaimana aku bisa tahu penyebab kemarahannya?”
“Itu berarti kau harus mencari tahu sendiri apa penyebabnya.”
Aku diam cukup lama untuk memikirkan perkataan Jungkook. Sekali lagi Jungkook benar. Tapi, bicara memang mudah, lalu bagaimana cara aku mencari tahu? Aku bahkan tak terpikirkan satu ide pun. Mungkin Jungkook punya ide.
“Caranya?”
“Entahlah, hanya kau yang tahu.” Jawaban yang tidak masuk akal−menurutku. Bagaimana Jungkook bisa memberiku saran sementara ia sendiri tidak tahu bagaimana melakukannya?
“Aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya. Sudahlah, Kook. Mungkin segalanya memang harus berakhir seperti ini.” Aku bangun dari tempat dudukku hendak pergi, tapi tangan Jungkook menahanku disana. Dengan terpaksa aku harus mendudukkan pantatku kembali di bangku itu.
“Bagaimana bisa kau menyerah begitu saja? Kau sudah berteman dengan Joohyun sejak sekolah menengah pertama, tapi hanya dengan permasalahan kecil kau harus bermusuhan dengannya. Aku tahu kau tak ingin seperti itu.”
“Bukankah pertengkaran dalam persahabatan itu wajar, Kook? Bahkan kita berdua pun sering bertengkar.”
Kali ini Jungkook yang terdiam mendengar ucapanku. Masalah ini benar-benar membuatku tidak mengerti. Aku sendiri begitu penasaran akan kesalahanku yang berhasil membuat Joohyun semarah itu. Ku kirim pesan, tak pernah di balas. Ku telepon, tak pernah diangkat. Aku bahkan tak pernah berbohong padanya. Lalu letak kesalahanku dimana?
“Apa Joohyun menceritakan suatu hal padamu belakangan ini?” Jungkook membuyarkan lamunanku dengan pertanyaannya. Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Apa yang Joohyun ceritakan?”
“Rahasia. Kau tidak boleh mengetahuinya.” Jungkook mengangguk mengerti. Tapi aku malah menatapnya aneh. Ya, dia bersikap aneh saat ini.
“Apa kau menceritakan rahasia itu pada orang lain?”
“Tentu saja, tidak! Kau tahu sendiri aku bukan orang seperti itu, Kook.” Pertanyaan macam apa itu? Jungkook lebih tahu aku di bandingkan siapapun, bahkan melebihi orang tuaku dan Seokjin oppa, tapi ia malah menanyakan hal konyol semacam itu.
“Maka dari itu, hanya kau sendiri yang tahu apa penyebabnya.”
Aku masih menatap Jungkook, sama sekali tak mengerti kemana arah pembicaraan ini sesungguhnya. “Kau tidak sakit 'kan, Kook? Bicaramu aneh!”
Aku bangkit lalu pergi. Kali ini benar-benar meninggalkan Jungkook. Namun baru beberapa langkah, seseorang memanggil namaku. Sepersekian sekon kemudian orang itu sudah ada di hadapanku.
Choi Junhong. Seorang sunbae satu tingkat diatasku, yang menurut Joohyun sangat tampan dan keren, terlebih ia sangat pandai menari. Tapi menurutku, Jungkook lebih keren. Ia bisa menyanyi juga menari. Pendapat orang memang berbeda-beda, dan menurut Joohyun sunbae itulah yang paling keren, ia menyukainya.
“Apa kau sudah selesai makan siang?”
“Ya. Ada apa, sunbae?”
“Pulang sekolah nanti apa bisa kita latihan?” tanya Junhong sunbae sedikit ragu. Belakangan kami memang sering latihan bersama dikarenakan Junhong sunbae akan mengikuti lomba tari dan aku dimintai tolong untuk mengiringi melalui permainan biolaku.
“Ya, aku bisa. Kebetulan aku ada pelajaran seni musik hari ini, jadi aku membawa instrumennya.”
“Baguslah. Jadi sepulang sekolah aku tunggu di ruang tari.” Aku mengangguk lalu membalas lambaian tangan Junhong sunbae yang sudah pergi menjauh.
Aku memutuskan untuk melanjutkan kembali perjalananku menuju kelas, mengingat beberapa menit lagi jam istirahat akan berakhir. Di saat yang sama, sebuah suara menyapa pendengaranku.
“Kelihatannya belakangan ini kau dekat dengan Junhong sunbae.” Itu suara Jungkook dan entah sejak kapan, juga bagaimana caranya ia sudah ada di sebelahku.
“Lombanya sudah semakin dekat, jadi mau tak mau kami harus sering berlatih.” Akhirnya perjalananku menuju kelas ditemani oleh Jungkook. Tapi masih saja anak itu membicarakan hal yang aneh.
“Meski begitu, apa ia harus sering-sering mengantarmu pulang?”
“Memangnya kau mau menjemputku? Latihannya selesai malam hari, memang sih aku cukup berani untuk pulang sendiri. Tapi kalau ada yang menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang, kenapa tidak?”
Akhirnya Jungkook terdiam juga. Kami masih menaiki tangga menuju ke lantai tiga dimana kelas kami berada, dan tanpa sengaja berpapasan dengan Joohyun. Aku menghela napas berat. Joohyun sama sekali tidak melempar senyum padaku dan berlalu begitu saja. Seperti yang Jungkook katakan, aku tidak bisa melempar tatap tajam sementara dahulu saling berbagi tawa, aku tersiksa dengan situasi ini.
“Apa kau menyukai Junhong sunbae?”
Oh, lagi-lagi. Pertanyaan macam apa itu, Jungkook?
“Tentu saja tidak!” Aku kembali menghela napas lalu menghentikan langkah. Kutatap Jungkook penuh tuntutan. “Memangnya ada apa sih, Kook? Sedaritadi bicaramu sangat aneh!”
“Hmmm... Kau terlihat sangat dekat dengan Junhong sunbae, apa kau tidak takut orang terdekatmu atau mungkin sahabatmu akan cemburu melihat kalian?”
Aku terpaku. Sungguh, sama sekali aku tak terpikirkan hal itu. Jadi, kunci dari masalah ini adalah cemburu? Joohyun cemburu melihatku dekat dengan Junhong sunbae? Tentu saja, mengapa ia tidak mengatakannya saja langsung padaku? Dasar anak itu!
Aku berteriak kencang lalu memeluk Jungkook. “Kook, terima kasih! Aku sudah tahu penyebab masalahnya!” teriakku lantang lalu melepas pelukanku pada Jungkook. Setelahnya aku langsung pergi meninggalkan Jungkook untuk menyusul Joohyun.
Hari itu, permasalahanku dengan Joohyun selesai akibat Jungkook. Ternyata perkataan anehnya saat itu berguna meski awalnya sulit untukku mengerti. Dan satu kalimat yang paling aku ingat darinya, bahwa aku sendirilah yang tahu apa permasalahanku dengan Joohyun. Dan benar, permasalan itu mengenai rahasia kami, rahasia tentang Joohyun yang menyukai Junhong sunbae. Sebagai permintaan maafku pada Joo hyun, aku berjanji akan mendekatkannya dengan sunbae itu.
Katakanlah aku berhasil. Karena saat ini, mereka berdua tengah berjalan kearahku sambil bergandengan tangan, juga dengan senyum yang rasanya tak akan pernah runtuh.
Saengil chukka hamnida, Jinie-ya!” Satu pelukan ku terima dari Joohyun, serta ucapan selamat ulang tahun darinya juga Junhong sunbae.
Ya, malam ini adalah pesta perayaan ulang tahunku yang ke tujuh belas. Namun, sedaritadi aku berdiri di depan pintu, batang hidung Jungkook bahkan tak nampak sedikitpun. Apa sesusah itu baginya untuk menyeberang jalan yang bahkan belum tentu akan dilintasi sebuah kendaraan? Sejak pagi pula ia tak memberiku ucapan selamat, apalagi sebuah kado. Anak itu benar-benar menyebalkan.
Pesta itu berakhir tak berarti tanpa kehadiran Jungkook. Sebenarnya, kemana perginya anak itu? Apa mungkin dia lupa ulang tahunku? Meski rasanya tak mungkin, mengingat keramaian di rumahku tentu tampak jelas dari kediamannya yang hanya berjarak beberapa meter.
“Kurasa itu adalah tamu terakhir.” Aku menatap punggung Nara−teman sekelasku−dengan nanar. Jungkook bahkan tak datang hingga pesta hari itu selesai.
“Tapi, Non. Bibi rasa masih ada satu tamu lagi di taman belakang.”
“Oh, benarkah?” Bibi Jung mengangguk penuh keyakinan. Aku pun menjadi tak ragu untuk melangkahkan kaki ke tempat yang di sebutkannya. Dan benar saja. Seseorang tengah berdiri membelakangiku di hadapan jejeran pohon mawar yang ku tanam setiap tahunnya. Tanpa perlu bertanya, aku tahu pasti siapa dia.
“Jungkook?” Dia berbalik dan itu memang Jungkook. “Bagaimana kau bisa ada disana? Aku tidak melihatmu datang.”
“Kau percaya jika ku katakan memanjat tembok?” Aku hanya mengendikkan bahu. Apa saja bisa terjadi jika itu menyangkut Jeon Jungkook. Tapi, kurasa hanya orang bodoh yang akan memanjat tembok dengan setelan jas rapi. Dan Jungkook tidak sebodoh itu. Baru saja aku ingin bertanya, namun ia sudah mendahuluiku.
“Aku ada disini sejak siang tadi, masa kau tidak tahu?”
Aku hanya menatap Jungkook penuh tanya, mencurahkan segala kebingunganku lewat tatap itu. Berbeda denganku, Jungkook hanya tersenyum manis. Sama sekali tidak membantu.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa tidak mencariku?”
Jungkook memperlihatkan tempat di belakangnya. Deretan pohon mawar yang ia berikan. Dan ku temukan sebuah keganjilan. Sebuah tunas yang baru di tanam terselip diantara lima pohon mawar lainnya yang tumbuh tinggi. Warna putih, satu lagi warna berbeda dari lainnya.
“Kau menanamnya?” Jungkook mengangguk. “Mengapa tidak memberikannya langsung padaku?” Laki-laki itu hanya memberiku petunjuk lewat matanya yang mengarah pada tunas mawar yang baru di tanamnya. Sebuah kertas kecil tergantung disana.
Cobalah untuk mencari seorang kekasih.
Itulah yang tertera di kertasnya. Tak jauh berbeda dengan yang sedaritadi orang-orang katakan padaku. Tak heran memang, mengingat selama tujuh belas tahun ini aku tak pernah mau untuk menjadi kekasih seseorang. Tak perlu bertanya, alasannya hanya satu. Laki-laki di hadapanku ini.
“Kau tidak mau bertanya tentang alasan mengapa aku masih sendiri?”
Jungkook menggeleng. “Aku ingin tahu. Tapi aku tidak ingin memaksa.”
Aku terdiam cukup lama. Menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Begitu seterusnya hingga beberapa kali dan kurasa aku cukup tenang. Barulah setelahnya dengan berani kutatap sepasang netra Jungkook.
“Karena aku menyayangimu, Kook. Bukan sebagai sahabat, bukan sebagai teman sekelas, bukan juga sebagai tetangga sejak kecil. Tapi sebagai seorang gadis yang menyimpan perasaan ini padamu.”
Jungkook terdiam. Begitu pula denganku. Kami terkejut. Jungkook pastilah tak menyangka aku akan mengatakan hal semacam itu, aku pun tak menyangka akhirnya bisa mengungkapkan perasaan ini padanya.
“Sementara kau, apa kau tak mau menanyakan lagi tentang mengapa aku memberimu pohon mawar bukannya bunganya saja?”
Kurasa Jungkook mencoba mengalihkan pembicaraan. Memang terasa tak begitu nyaman untuk mengungkap perihal perasaan kepada sahabatmu sendiri.
“Aku juga ingin tahu. Tapi, apa itu hal penting saat ini?”
“Menurutku itu penting.” Jungkook memetik setangkai mawar putih yang baru di tanamnya. “Jika hanya bunga mawar yang ku berikan padamu seperti ini, mungkin esok sudah layu. Bahkan tak sampai seminggu bunga ini akan busuk dan berakhir di tempat sampah.”
Jungkook menyerahkan setangkai mawar itu padaku. Aku sedikit ragu untuk menerimanya. “Kook...”
“Tentu saja kau tidak mau menerimanya, kan? Karena kau sudah tahu alasannya.” Dilepasnya sudah bunga mawar itu dan jatuh begitu saja diatas rumput. Detik-detik berlalu sunyi sebelum akhirnya aku membuka sua diantara kami.
“Terima kasih, Kook.” Dengan kepala masih tertunduk, aku enggan menatap Jungkook. Merasa malu akan diriku yang seharusnya tidak membuat belasan tahun persahabatan kami menjadi kaku seperti ini.
“Untuk?”
“Semuanya. Mungkin aku yang terlalu berlebih menanggapi tindakanmu selama ini. Mengenai yang tadi, kau bisa menganggap aku tak pernah mengatakannya. Dan...maaf.”
Aku berencana meninggalkan Jungkook sebelum air mataku tumpah di hadapannya. Dan laki-laki itu berhasil menggagalkan rencanaku. Tangannya meraih lenganku cepat dan memberhentikanku masih di tempat yang sama.
“Jadi, kau masih belum mengerti?” tanya Jungkook setelahnya. Sama sekali tak mengerti dengan ucapannya, tapi aku tetap tak bisa menanggapi, atau aku akan benar-benar menangis di hadapannya. “Kau belum mengerti tentang maksudku memberimu pohon mawar, bukan?”
Dibalikkannya tubuhku hingga berhadapan dengannya. Aku masih menunduk tak ingin menatap sepasang netranya yang serasa hanya akan menambah sakit di dadaku. Bulir air mataku pun tak bisa lagi tertahan. Meski mencoba menahan, akhirnya aku terisak di hadapan Jungkook.
“Maafkan aku, tak seharusnya aku membuatmu menangis seperti ini. Aku memang pengecut.”
Jungkook menggenggam erat kedua tanganku. Apa yang ia katakan tadi? Pengecut? Mungkin aku salah dengar. Aku hanya menanggapi dengan gelengan dalam tangis.
“Tidak, aku pengecut karena sudah membiarkanmu untuk mengatakannya lebih dulu. Aku bahkan terlalu takut untuk mengatakan, bahwa aku juga menyayangimu. Bukan sebagai sahabat, teman sekelas, ataupun tetangga. Tapi sebagai Jeon Jungkook yang menyayangi Kim Soojin.”
Aku mendongak seketika. Tidak mungkin aku salah dengar, bukan? Itu suara Jungkook dan memang hanya Jungkook. Aku menatapnya nanar tepat di mata.
“Jadi, kau memang belum mengerti tentang mawar-mawar itu?” Jungkook mengusap puncak kepalaku. Aku mengangguk. Dan tangan itu berubah mengacak rambutku. Aku tetap menatap Jungkook dengan tangis yang mereda, tak peduli lagi dengan riasanku yang hancur berantakan, begitupula dengan rambutku yang tak berbentuk lagi akibat Jungkook.
“Berhentilah menangis. Kau tampak sangat jelek tahu.” Diusapnya bekas air mata di pipiku dan merapikan sedikit rambut yang ia sendiri membuatnya berantakan.
“Jelaskan padaku, Kook. Sebenarnya apa maksud semua ini?” Jungkook tersenyum sangat manis. Tangannya kembali menggenggam tanganku erat.
“Aku juga menyayangimu. Dan alasan aku memberikan pohon mawar itu, karena aku tak ingin memberi sesuatu yang mudah lenyap, tetapi selalu ada dan tumbuh bersamamu. Layaknya aku yang akan selalu ada disampingmu apapun yang terjadi.”
Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata itu, tak tahu lagi harus bagaimana. Malu lagi-lagi harus menghampiriku akibat semua kesalahpahaman ini, terlebih aku sudah menangis lebih dahulu sebelum tahu kenyataan yang sebenarnya.
“Yang satu ini juga harus selalu ada bersamamu.”
Jungkook memasangkan sebuah liontin cantik berinisial nama kami di leherku, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk memeluk laki-laki itu.
Seperti yang ku katakan sebelumnya, Jungkook memang sangat susah kumengerti. Bersikap kekanakan, berlagak dewasa, bahkan sesekali tampak bijaksana. Banyak sikap yang telah ia tunjukkan padaku selama belasan tahun kami bersama. Tapi satu hal yang baru aku tahu hari ini.
Aku tak pernah menyangka bahwa Jungkook akan seromantis ini.
.
.
.

FIN

A/N:
baiklah,, ini endingnya agak sedikit cheesy cheesy.. entah apa yang aku pikirkan bisa-bisanya buat ending kaya gitu :'(
tapi yasudahlah,, initinya ini akhirnya jadi dan aku post kekekkeke...
setelah di baca, comment juseyo~~~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Vignette] Only Hope

Title:  Only Hope Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Yooji [OC] || Kim Yugyeom [GOT7] || Kim Namjoon [BTS] Genre: Romance. Friendship. Hurt. Duration: Vignette Rating: Teen Summary: Salahku yang terlalu berharap padamu

[Oneshot] Brother and Sister Complex

  Title: Brother and Sister Complex Author: Na n aJji (@nana.novita) Length: Oneshot Genre: Romance, family, friendship Main Casts: Kim Myung Soo (INFINITE) || Kim Soo Jin (OC) Rating: PG-15 Summary: Seperti sebuah napza. Berawal dari sebuah kebersamaan, hingga akhirnya membuatnya menjadi candu.

[Vignette] Biscuit

Title: BISCUIT Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Kim Jongin [EXO] Genre: Comedy. Friendship. Duration: Vignette Rating: G Summary: Haruskah ia memberitahu Soojin tentang apa yang ingin ia beli? . “ Oppa sungguh ingin membeli itu?” tanya Soojin tak percaya. Sehun hanya dapat mengangguk dengan polos. . . .