Title:
Return
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Nam Woohyun [INFINITE] || Park Chorong [A PINK]
Genre:
Romance. Hurt. Angst. Science-fic, slight!
Duration:
Vignette
Rating:
PG-17
Disclaimer:
All in this fiction is mine, except the idol(s). Plagiarism is prohibited.
Summary:
Cinta tetaplah nyata meski untuk hal yang tak nyata
.
.
.
Hari
ini, hujan turun dengan sangat deras. Aku tak tahu mengapa. Tapi belakang, bumi
memang terasa lebih gelap. Mungkin Tuhan mulai marah pada kami−para kaum
manusia. Atau mungkin, kiamat memang sudah dekat.
Sudah
belasan tahun lalu sejak peradaban manusia berakhir. Dan kini hanya beberapa
orang saja yang bisa selamat, termasuk aku.
“Namu-ya…,” panggil seorang gadis menghampiriku.
Tak sepenuhnya seorang gadis, karena ia adalah sebuah robot. Ia adalah robot
pertama yang kumiliki. Ayah membuatkannya ketika aku masih berumur lima tahun,
dimana saat itu eksistensi manusia telah terabaikan, dan aku tak memiliki teman
bermain. Ku beri ia nama Chorong, Park Chorong.
“Apa
kau ingat berapa usiamu sekarang?” tanyaku lembut pada Chorong yang sibuk
memandang langit tak berbintang dengan wajah suram. Ia menyukai bintang dan aku
tahu bahwa hal itu telah mengecewakannya.
“Apa
kau akan meninggalkanku seperti bintang-bintang di langit sana, Namu-ya?”
“Jawab
pertanyaanku terlebih dahulu, maka aku akan menjawab pertanyaanmu, bagaimana?” Chorong
mengangguk, menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya yang manis. “Jadi, berapa
usiamu?”
“Berapapun
usiamu, maka sebegitulah aku. Karena aku selalu ada dimanapun kau berada, Namu.”
Aku
tersenyum mendengar jawaban dari Chorong. Ia memang selalu menjawab seperti
itu. Tak pernah ada kata ragu dari setiap ucapannya, karena memang begitu
adanya. Ia selalu ada dimanapun aku berada.
“Lalu,
bagaimana dengan jawaban pertanyaanku, Namu-ya?”
tanya Chorong yang berhasil membangunkanku dari lamunan sesaat. Aku mengalihkan
pandanganku padanya lalu mengumbar senyum.
“Tentu
saja aku tidak akan meninggalkanmu, Chorong. Karena kau selalu ada di
sampingku.”
“Ya,
Namu. Kau tak akan pernah meninggalkanku seperti bulan yang kini tetap
menggantung cantik di langit.”
Chorong
menunjuk keatas, dimana bulan tengah tersenyum manis kearah kami. Ku perhatikan
gerakan gadis itu dengan seksama. Dan aku tak bisa berhenti memperhatikannya.
Entah
sejak kapan dan bagaimana, aku mulai merasakan perasaan-perasaan yang aneh saat
bersamanya. Perasaan seperti percikan-percikan api kecil saat kami
bercakap-cakap, lalu berubah membara kala iris kami saling bertautan.
Aku
tahu, mungkin perasaan ini memang salah, karena dunia kami berbeda. Aku sudah
mempertimbangkannya berkali-kali. Terutama perihal ia yang tak akan pernah bisa
merasakan hal yang sama denganku. Dan semuanya berakhir pada satu kesimpulan;
segala pertimbangan itu gagal.
.
.
.
“Namu-ya,
ada yang mengirim surat.” Suara lembut Chorong mengalun keesokan paginya.
Aku
masih mengunyah sarapanku saat ia duduk di meja makan dan menyodorkan sebuah
amplop padaku. “Dari siapa?” tanyaku masih enggan untuk menyentuh si amplop.
“Tuan
Jung.”
Aku
segera meraih amplop itu. Tuan Jung adalah tetua kami−para manusia yang
tersisa. Pasti ada satu hal penting yang ingin di rundingkannya. Mengingat
beberapa hari yang lalu, program perkembangbiakan manusia secara eksternal yang
telah diteliti selama bertahun-tahun resmi di nyatakan gagal.
Namun
setelah aku membaca suratnya, aku mulai ragu dengan kepentingan itu.
“Chorongie, nanti sore sepertinya kita harus
pergi ke kediaman Tuan Jung. Jadi tolong persiapkan segalanya.” Chorong
mengangguk paham.
Aku
dan Chorong tinggal menyendiri jauh dari pusat Negara. Mungkin dulu membutuhkan
waktu tiga sampai empat jam untuk sampai di kediaman Tuan Jung dengan
menggunakan mobil, tapi sekarang hanya butuh waktu seperempat dari itu.
“Apa
kau ingin langsung makan malam disana, Namu?”
“Aku
harap kita bisa sampai di rumah sebelum makan malam.”
.
.
.
Kami
sampai di rumah Tuan Jung tepat pukul lima. Setengah jam lebih dari perkiraan
karena jalanan penuh oleh aktivitas para robot. Entah apa yang sedang mereka
ributkan saat ini, aku tak peduli. Toh,
para robot itu tidak akan mempengaruhi kehidupanku, kecuali satu− Chorong.
Aku
tak pernah bisa membayangkan, bagaimana kehidupanku nanti tanpa Chorong. Anggap
saja hidupku ini seperti sebuah mesin yang akan bekerja dengan baik apabila
segala piranti di dalamnya terpasang dengan lengkap. Namun jika suatu ketika
sebuah baut terlepas, maka dapat dipastikan kerja mesin itu tak dapat kembali
sempurna.
Begitu
juga denganku. Hanya saja, Chorong tak sekadar baut, ia adalah sebuah piranti
pengatur kerja hatiku, perasaanku. Jika ia hilang dari kehidupanku, maka aku tidak
akan bisa merasakan apapun lagi. Sungguh, aku tidak akan pernah bisa membayangkannya.
Dan berkat Tuan Jung, hari ini aku terpaksa membayangkan itu semua.
“Jadi,
apa kau datang kesini untuk melamar putriku?”
“Tidak,
itu bukan tujuanku datang kesini. Jujur saja ku katakan bahwa aku tidak bisa
melakukannya.”
Raut
ceria di wajah Tuan Jung berubah seketika. Alisnya menekuk dan irisnya
menatapku tajam. “Apa kau ingin para manusia punah begitu saja?!”
“Tentu
tidak, Tuan. Tapi mengapa harus aku? Kau bisa menikahkan putrimu dengan pemuda
lain untuk mendapatkan generasi baru.”
“Karena
genmu adalah yang terbaik diantara mereka, ayahmu adalah profesor terhebat. Dan
jangan pernah kau lupa bahwa peradaban ini di mulai olehnya.”
Baiklah,
aku merasa bersalah, sedikit. Toh,
ayah yang harus menanggung segala perbuatannya, bukan aku. Dan satu hal lagi,
aku tidak sepenuhnya seperti profesor tua itu. Ia pintar, namun ia terlalu
malas. Jadilah ia membuat semua robot untuk membantu kehidupannya. Namun
sayang, pada akhirnya robot-robot itulah yang membawa akhir dunia bagi kaumnya.
Aku
menarik kursi lalu berdiri. Sebelum pergi, aku mengucapkan beberapa buah kata
pada Tuan Jung.
“Maaf,
Tuan. Mungkin kau harus mencari alasan yang lain, karena aku tidak tertarik
sedikitpun. Permisi.”
Sekali
lagi, ini salah ayahku, bukan aku. Jadi aku tak merasa terbebani untuk
menanggung semua dosanya. Sudah baik aku memanggilnya ayah, meski ia tak pantas
untuk itu. Tak ‘kan pernah ada ayah yang menelantarkan anak dan istrinya demi
sebuah benda hidup tak berperasaan.
Aku
tak pernah menyukai para robot itu, kecuali Chorong.
.
.
.
Langit
di luar masih gelap, tampak dari sela-sela gorden berwarna emas di jendela
kamarku. Sayangnya aku kurang beruntung karena tidurku harus terusik gara-gara
suara ketukan pintu bertubi-tubi.
“Namu-ya! Namu!” Itu suara Chorong, aku hapal
betul. Gadis itulah tersangka atas segala ketidaknyamanan tidurku hari ini.
“Masuk!”
teriakku masih bergulat dengan selimut dan bantal. Lalu aku terdiam kala Chorong
tak berhenti berteriak, pun tetap mengetuk pintu yang bahkan dengan lebih
kencang.
Oh!
Aku baru ingat. Aku telah mengunci pintu kamarku akibat kekesalan yang
kurasakan tadi malam. Jadi terpaksalah aku bangun dari tempat tidur meski dalam
keadaan limbung. Membuka pintu perlahan dan mendapati Chorong sudah berdiri di
depan sana.
“Namu-ya…” Suara Chorong terdengar lemah.
Dapat kulihat kilatan-kilatan cahaya yang berasal dari beranda rumah kami dan
sekilas aku dapat melihat bayangan beberapa orang disana, salah satunya adalah
Tuan Jung.
Jadi
inilah tindakan mereka setelah kejadian kemarin. Aku tahu cepat atau lambat
mereka akan memperingatiku dengan keras. Seperti sekarang, mereka membakar
rumahku tanpa ijin.
Aku
tersenyum tipis. Sekaras apapun mereka memaksa, aku tetap pada pendirianku.
.
.
.
“Hai,
Nak. Apa aku bisa bicara dengan ayahmu??”
Woohyun
kecil menatap bingung laki-laki dewasa di hadapannya. Mungkin merasa sedikit
aneh akan wajahnya yang mirip seseorang.
“Ayah?
Dia ada di dalam,” jawabnya polos, sedang matanya masih tak dapat lepas dari
pria itu.
“Terima
kasih.” Laki-laki itu mengusap puncak kepala Woohyun kecil dengan lembut.
Lagi-lagi, hal itu membuat si pria tampak tak asing bagi anak kecil itu.
“Paman,
apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Mungkin
di masa depan nanti kita akan bertemu, Woohyun-ah.”
Pria
itu pergi meninggalkan Woohyun sendiri. Tak sepenuhnya sendiri karena Chorong
selalu ada di samping bocah itu. Woohyun terus menatap punggung pria itu yang
semakin menjauh hingga menghilang dari pandangannya, barulah ia mengalihkan
pandangan bingung pada Chorong.
“Chorongie, apa kau tahu siapa paman itu? Kurasa
ia bukanlah orang asing. Dan, kau lihat? Dia juga mempunyai robot yang sangat
mirip denganmu, hanya saja badannya lebih besar.”
Robot
gadis kecil itu hanya tersenyum tipis kemudian memperhatikan ruang dimana pria
bersama robot cantik itu menghilang untuk terakhir kali.
“Namu-ya, apa kau percaya jika ku katakan
bahwa mereka adalah kau dan aku??”
.
.
.
“Jadi,
kau sudah mengatakan semuanya pada ayahmu?”
Woohyun
dewasa mengangguk. Dirinya terduduk lemah di atas rerumputan yang membentang
luas mengelilingi danau.
“Mengapa
tidak sejak dulu kau gunakan mesin waktu itu? Mungkin keadaannya tidak akan
separah ini.”
“Karena
aku tidak mau kehilanganmu, Chorong.” Chorong seketika menoleh, sementara Woohyun
dengan setia menatap lurus kedepan. “Meski ini terdengar tidak mungkin, tapi
percayalah bahwa ini benar adanya. Aku mencintaimu, Chorongie.”
Chorong
terdiam. Lama waktu terlewati tanpa sepatah kata dari keduanya. Sampai Woohyun
merasa bahwa semua itu benar-benar percuma. Seharusnya ia tahu bahwa akibatnya
akan seperti ini.
“Aku
tahu bahwa kau tak akan pernah bisa merasakan apa yang aku rasa. Jadi jangan
paksakan dirimu, lupakan saja. Anggap−“
“Namu-ya… Aku percaya pada satu prinsip.
Ketika kau memperlakukan sesuatu selayaknya kau memperlakukan dirimu sendiri,
bahkan lebih, bisa saja sesuatu itu pun dapat merasakan apa yang kau rasa. Kau
percaya itu?”
“Bisakah
aku mempercayai itu, Chorong?”
Chorong
mengangguk mantap, senyuman manis pun di pamerkannya pada Woohyun. Laki-laki
itu memeluk Chorong seketika. Tak peduli dengan tubuh Chorong yang keras penuh
baja. Merasakan haru yang menyelimuti dirinya, pun perasaannya yang begitu
bahagia.
Namun
di sela-sela bahagia itu, Woohyun meneteskan air mata. Bukan air mata bahagia,
melainkan air mata kesedihan, kala terasa tubuh Chorong mulai melemah.
“Tak
apa, Namu-ya. Aku baik-baik saja.” Chorong
melepaskan pelukannya dan menghadapkan dirinya pada Woohyun.
“Maafkan
aku, Chorongie.” Air mata Woohyun
terus mengalir tak berbendung. Rasa penyesalan yang begitu membuncah tak dapat
di tahannya lagi.
“Ini
bukan salahmu, Namu. Memang seperti inilah yang harus terjadi.” Chorong masih
mampu tersenyum meski seperempat dari tubuhnya mulai menghilang. Woohyun terus
mempererat pegangannya pada jemari gadis itu.
“Kau
bisa menutup matamu, Namu-ya.”
Chorong
mengangkat salah satu tangannya dan menempelkannya pada mata Woohyun, membantu laki-laki
itu untuk menutup mata. Dalam hitungan detik, pikiran Woohyun di penuhi oleh
bermacam perandaian.
Andai
ia tak datang ke masa lalu dan mencegah ayahnya atas pembuatan segala robot
itu. Andai ia memilih untuk menikah dengan putri Tuan Jung. Atau, andai ia
memilih mati berdua dalam kobaran api itu. Mungkin ia tak akan terpisah dengan
Joli.
Andai…
andai… andai….
Dan
dunia terasa berputar bagi Woohyun.
.
.
.
Woohyun
kecil terbangun di pagi hari yang cerah. Kaki-kaki mungilnya membawa tubuh itu
kearah meja makan, dimana sarapannya terhidang nikmat.
“Pagi,
Woohyun-ah.” Ayahnya menghampiri Woohyun
dan mencium kening bocah itu. Membuat Woohyun bersemu merah dan tersenyum
hangat.
“Tumben
sekali ayah ikut sarapan bersama kita, Bu?” Woohyun sudah duduk di bangkunya
begitupun dengan kedua orang tuanya.
“Mungkin
kau harus menanyakannya langsung pada ayahmu, Woohyun.” George seketika menoleh
kearah ayahnya, siap untuk menerima jawaban.
“Aku
sudah tidak membuat robot-robot itu lagi, Woohyun. Juga memusnahkannya,
termasuk Chorong. Maafkan ayah.”
“Tak
apa, Yah. Aku lebih senang bermain bersama ayah. Jujur, aku tidak suka
robot-robot itu!” gerutu Woohyun dengan polosnya, seketika membuat kedua orang
tuanya tertawa.
Hidup
memang seharusnya seperti itu. Penuh tawa dan kebersamaan. Tak peduli seberapa
sukses yang akan kau raih, jika kau tetap mementingkan diri sendiri, maka itu
hanya akan menjadi boomerang bagi
dirimu dan untuk orang lain.
Kita
tak harus menarik diri dari dunia yang kita hadapi sekarang, namun tetaplah
kalian ingat akan jagat ini yang telah menjunjung segala kehidupan hingga saat
ini.
Perlakukan,
sayangi mereka seperti kalian menyayangi sesama dan diri sendiri, karena mereka
pastilah bisa merasakan layaknya apa yang kita rasakan saat ini, di masa lalu, ataupun
di masa depan nantinya.
.
.
.
Selamat tinggal, Namu-ya…
Aku mencintaimu.
.
.
.
END
Komentar
Posting Komentar