Title:
Only
Tears
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC]
Genre:
Hurt. Angst. Life. Friendship.
Duration:
Ficlet
Rating:
G
Summary:
Apa selama ini
ia hanya berakting di hadapan semua orang?
.
.
Dan kurasa, hari
ini aku akan mendapatkan jawabannya.
.
.
.
Kim Soojin.
Aku tak pernah melihat gadis itu
menangis. Sekalipun tidak, semenjak aku mengenalnya dari taman kanak-kanak
hingga saat ini kami sudah berada di tahun akhir sekolah menengah atas.
Sesungguhnya kami tak saling kenal.
Hanya kebetulan yang membawa kami di dalam satu kelas yang sama setiap
tahunnya. Soojin sama seperti gadis kebanyakan. Tersenyum saat berpapasan
dengan orang yang dikenalnya, mengetahui berita-berita terbaru yang menyebar di
sekolah, sering unjuk tangan untuk menjawab soal-soal dari guru, suka menonton
drama-drama picisan yang sedang terkenal, dan banyak lagi.
Tapi sebenarnya, gadis itu lebih memilih
menyendiri. Tak banyak yang tahu tentang itu, karena ia terlalu pintar
bersembunyi dari kenyataan yang tak ia ingin seorang pun tahu. Namun, aku tak
akan pernah menyerah untuk lebih mengenal gadis itu, meski harus secara
diam-diam.
Entah hal apa yang telah menarikku
begitu kuat dalam siklus kehidupan gadis bernama Kim Soojin.
Dia tidak cengeng seperti gadis lain.
Ketika dulu kami masih di taman
kanak-kanak, aku termasuk murid yang nakal. Aku sering merebut bekal makanan
murid perempuan di kelasku hingga mereka menangis meraung-raung. Tapi tidak
dengan Kim Soojin.
Ia membiarkanku begitu saja mengambil
bekalnya tanpa protes ataupun air mata yang mengalir. Namun dengan beberapa
kata yang sampai saat ini terus melekat diingatanku.
“Apa
kau merasa senang telah mengambil milik orang lain?”
Tanyanya waktu itu dengan suara cempreng
khas anak-anak. Sedikitpun tak merasa ragu atau takut padaku yang nantinya bisa
saja mengerjainya seperti anak-anak lain. Semenjak itu, aku tak pernah lagi
mengambil bekal, juga mengerjai murid lain. Dan disanalah dimulai segala
keingintahuanku terhadap gadis itu.
Sampai pada umurku yang ke-15, aku
memasuki klub teater di sekolah karena Soojin. Menurutku, gadis itu pintar
berakting. Terlebih saat adegan sedih, aku hampir menangis dibuatnya.
“Adegan
ini akan sempurna seandainya kau bisa menangis, Soojin.”
Itu yang pembina kami katakan. Ya,
Soojin bahkan tak menangis meski sudah mendalami peran. Maka di tahun depannya
ia keluar dari klub itu. Banyak yang menyayangkan karena ia memang begitu
pintar dalam bermain peran.
Hingga aku sempat berpikir. Apa selama
ini ia hanya berakting di hadapan semua orang?
Dan kurasa, hari ini aku akan
mendapatkan jawabannya.
Aku sedang berjalan-jalan sore di dekat
rumah. Baru empat hari yang lalu keluargaku pindah ke daerah itu, jadi kurasa
aku perlu berkeliling. Tak begitu banyak rumah yang berdiri karena perumahan
ini tergolong baru di bangun, begitupula dengan fasilitasnya yang belum
tersedia sepenuhnya.
Dan aku melihatnya disana. Duduk di
sebuah ayunan taman bermain yang masih setengah pengerjaan dengan
rumput-rumputnya yang tumbuh cukup tinggi, seorang gadis berseragam sekolah
yang sama denganku dengan surai hitam panjangnya yang begitu ku kenal.
Kim Soojin.
Kurasa kebetulan berperan begitu besar
disini hingga aku bisa bertemu gadis itu di dekat rumahku−atau mungkin, dekat
rumahnya?
Seperti biasa saat aku melihat gadis
itu, aku akan duduk sambil memerhatikan kegiatannya dalam diam. Tapi saat ini,
aku tak bisa melakukan hal itu. Aku tak bisa mencegah tanganku untuk menghapus
air matanya.
Ya, dia sedang menangis dalam diam.
Setetes demi setetes air matanya menyeruak ke permukaan. Bukan tangis yang
membara, namun tangis yang sarat akan pilu hingga ia tak mampu mengeluarkan
segalanya karena itu terlalu berat untuk dirinya sendiri.
“Soojin...”
Aku menyapanya dengan berat, mencoba
untuk basa-basi, tapi ku tahu, aku tak begitu ahli dalam bidang itu. Maka aku
hanya mendudukkan diri di ruang kosong di samping Soojin. Yang kemudian di
barengi oleh tundukkan kepala Soojin yang semakin dalam serta air mata yang
semakin lancar mengalir.
“K-kau
tidak apa?”
Dan isakkan-isakkan muncul dari bibir
Soojin. Dari itu, aku menyimpulkan. Bahwa sapaan, pertanyaan, semua itu malah
membuat tangisnya menjadi.
Jadi kuputuskan untuk menepuk bahu
Soojin, berusaha mengalirkan kekuatan dari diriku untuknya. Berbanding terbalik.
Tangisan Soojin malah semakin deras dan isakkannya semakin sering.
Aku tak bisa lagi mempertahankan benteng
untuk berdiam diri. Ku raih tubuh Soojin agar berlabuh dalam pelukanku,
mempersilahkan gadis itu untuk menumpahkan segala kekalutan yang ia rasa melalui
tangis.
Hari ini, pertama kali aku melihat
Soojin menangis di hadapanku, di depan mataku, di dalam pelukanku.
Aku tak akan bertanya lagi tentang
mengapa, apa, dan bagaimana gadis itu bisa menangis.
Sebulan lalu, orang tuanya baru saja
bercerai. Dan seminggu kemudian, ayahnya menikah lagi. Ayah dan ibu Soojin
merupakan pekerja yang baik, terlalu baik hingga melupakan anaknya dan lebih
mementingkan diri sendiri beserta karir. Bahkan setelah perceraian itu, mereka
belum juga benar-benar mengerti akan kebutuhan anaknya. Gadis malang tanpa
kasih sayang yang berarti sejak masih kanak-kanak. Membangun sebuah pribadi
yang sampai saat ini menarikku kuat untuk selalu di dekatnya.
Dan puncak dari segalanya adalah hari
ini. Hari dimana Soojin akhirnya membiarkan air matanya keluar selama belasan
tahun ia membangun tembok berlapis baja, tak membiarkan seorang pun tahu bahwa
ia lemah, bahwa ia punya masalah, bahwa ia membutuhkan tumpuan.
Mulai hari ini dan sampai kapanpun, aku
akan menjadi tumpuan bagi Soojin, tidak lagi mengamatinya dari kejauhan secara
diam-diam. Melainkan berada di sisinya saat kami bersama dan akan selalu berada
di depannya saat ia menghadapi masalah.
Aku semakin mempererat pelukanku pada
gadis itu. Tak peduli akan kaosku yang sudah basah oleh air mata lalu mengelus
lembut rambut panjang Soojin. Perlahan manikku terbawa untuk melihat gulungan
kertas yang ada di genggamannya. Sebuah kertas warna-warni namun menyakitkan
bagi yang menerima.
Sebuah undangan pernikahan dari ibunya.
.
.
.
END
Komentar
Posting Komentar