Langsung ke konten utama

[Vignette] First and the Only One


Title:
You’re The First and The Only One
Scriptwriter:
NanaJji
Main Cast(s):
Kim Myung Soo [INFINITE] || Kim Soo Jin [OC]
Genre:
Romance, Fluff.
Duration:
Vignette
Rating:
PG-15
Summary:
Segala perhitungan akan dimulai dengan angka pertama. Begitupun sangat special jika menjadi orang pertama dan satu-satunya.


Bel tanda jam istirahat berbunyi, aku segera memasukkan buku-buku ku kedalam tas dan mengeluarkan buku untuk pelajaran selanjutnya. Para siswa dan siswi lain segera berhamburan keluar kelas. Mereka saling bergerombol bersama teman-teman mereka. Ada yang menuju kantin, bermain ke kelas lain, atau hanya sekedar mengobrol di depan kelas.
Kuambil sebuah pensil mekanik berwarna soft pink dan menyelipkannya diantara buku catatan kecil yang selalu menghuni saku blazer-ku. Seperti biasa, hari ini aku akan pergi ke perpustakaan, mungkin saja ada buku baru yang bisa aku pinjam.
Angin musim semi menemani langkahku menuju perpustakaan. Ya, tak ada teman yang menemaniku, aku sudah terbiasa sendiri, dan memang aku tidak pintar mencari teman. Jadi, alhasil aku selalu sendiri, atau lebih tepatnya, aku lebih senang menyendiri.
Kumpulan siswi perempuan yang berkumpul menarik perhatianku. Para siswi tersebut saling berdesakan untuk mendekati jendela kelas dan melihat kedalamnya. Aneh, tak biasanya terjadi kehebohan seperti ini, memang ada apa dalam kelas itu?
Aku melirik keatas pintu kelas, kelas para sunbaenim. Aku pun mengurungkan niatku untuk mencari tahu sumber kehebohan tersebut dan mempercepat langkah menuju perpustakaan. Suara para siswi masih terdengar setelah beberapa jauh jarakku dari kelas tersebut. Rasa penasaranku semakin kuat, namun kembali aku meredamnya. Bisa-bisa aku di makan oleh para sunbae yeoja yang sedang histeris itu jika tiba-tiba aku menelusup diantara mereka. Aku bergidik ngeri, benar-benar menakutkan.
Keributan yang terjadi kini sudah tergantikan oleh suasana perpustakaan yang sunyi dan nyaman. Aku mulai menyusuri rentetan rak-rak buku yang berjajar rapi dan melihat judul-judul buku yang bermunculan.
“Hmm…apa tidak ada buku baru ya??” Langkahku mulai lemah menyusuri deretan buku itu dan menaruh jari-jariku menyusuri ratusan buku-buku yang berjajar rapi.
Baru sampai ujung rak pertama, aku kembali mendengar teriakan para siswi yeoja yang tiba-tiba lewat di depan perpustakaan, meski aku tak melihatnya, dapat dipastikan bahwa mereka masih bergerombolan.
Kulangkahkan kaki menuju petugas perpustakaan. “Annyeong haseyo,” sapaku pada Tuan Cho sang petugas perpustakaan.
“Ne, annyeong! Apa kau mencari sesuatu, Soo Jin-ssi?” tanya Tuan Cho dengan akrab. Ya, aku memang sudah menjadi pengunjung pasti di perpustakaan ini, jadi tak heran jika Tuan Cho sangat mengenaliku.
“Ne. Ahjussi, apa tidak ada buku baru hari ini??” tanyaku sambil menyandarkan kedua tanganku di atas meja tinggi nan panjang yang terbuat dari marmer berwarna hitam yang menjadi singgasana kerja Tuan Cho.
“Oh, kebetulan sekali! Pagi tadi, ada kiriman sebuah buku, aku yakin kau pasti menyukainya!!” seru Tuan Cho sambil menepuk kedua tangan saking bersemangatnya.
“Oh, jinjjayo? Boleh aku lihat??”
“Tentu! Tunggu, aku akan mengambilkannya.” Tuan Cho mulai mencari buku itu di atas mejanya yang berbentuk mengikuti meja marmer, namun lebih pendek dan terbuat dari kayu. Namun, sudah hampir satu menit ia belum juga menemukan buku tersebut. “Seo Ra-ya! Apa kau lihat buku bersampul biru muda diatas mejaku??” tanya Tuan Cho pada rekan kerjanya setelah beberapa lama ia tak menemukan buku tersebut.
“Oh! Aku sudah menaruhnya disana!” Nyonya Jung Seo Ra menunjuk kearah sebuah rak buku yang terletak paling pinggir. “Di rak buku fiksi!!” sambungnya.
Tuan Cho hendak melangkahkan kakinya keluar dari tempat berbentuk setengah lingkaran itu saat aku mulai berkata. “Ne. Aku sudah mendengarnya, maaf karena merepotkan anda.” Aku pun membungkukkan badan dan melangkah menuju rak yang Nyonya Jung maksud.
Kembali aku menyusuri deretan buku yang tertata rapi. Melayangkan telunjukku di udara seraya memperhatikan setiap judul yang muncul. “Hmm… tadi, Tuan Cho bilang, buku itu bersampul biru muda..” Aku mengakomodasikan mata ku, mencari-cari buku tersebut, tapi… nihil! Kemana perginya buku itu??
Langkahku kembali menghampiri Tuan Cho dan bertanya lagi. “Wah! Secepat itu bukunya dipinjam ya??” jawab Tuan Cho begitu ku mengadu. Ia mengedarkan pandangannya seisi ruangan.
“HA!!” seru Tuan Cho yang membuatku ikut terlonjak. “Itu dia!” lanjutnya sambil menunjuk kearah sebuah bangku satu-satunya yang diisi oleh penghuni.
“Baiklah. Lebih baik aku saja yang kesana,” ucapku setelah melihat Tuan Cho kembali melangkahkan kakinya keluar dari mejanya. Aku pun sedikit membungkukkan badan dan tersenyum kearah Tuan Cho sebelum akhirnya melangkahkan kakiku menuju meja berbentuk persegi panjang yang berada di tengah ruangan.
Sebelum duduk di hadapan bangku tersebut, ku ambil sebuah buku untuk berpura-pura. Aku tidak semudah itu untuk mengajak bicara orang lain, apalagi untuk meminta buku yang sedang ia baca, rasanya susah sekali.
Berkali-kali ku buka lembar demi lembar buku tebal dengan judul ‘Science’ pada sampulnya dengan asal. Butuh waktu lama untuk mengumpulkan keberanianku.
Perlahan ku perhatikan orang di bangku hadapanku. Aku tak dapat mendeskripsikan wajahnya, karena memang ia sedang membuka buku dengan sampul biru itu lebar-lebar di depan wajahnya dengan kedua siku yang bertumpu diatas meja. Di bagian atas, terlihat rambut lurus. Dan dapat dipastikan bahwa ia seorang namja, karena tak terlihat sedikit pun rambut kecoklatannya itu terjuntai, dan tangannya pun besar seperti tangan namja.
Kuambil nafas beberapa kali dan menghelanya dengan berat sampai akhirnya aku sedikit mencondongkan tubuhku untuk mulai bertanya.
“Permisi,” ucapku yang berhasil membuatnya menurunkan buku itu dari hadapannya. Wajahnya kini terlihat sangat jelas, tampan. Bibir tipis, hidung mancung, dan sorot mata yang tajam miliknya kini sedang menatapku, membuatku segera mengalihkan padangan menuju buku bersampul biru yang dipegangnya. “A-apa a-aku boleh tanya?” lanjutku dengan gagap.
“Ne. Tentu boleh. Mau tanya apa?” Mata itu masih menatapku, kini dengan alis yang menukik. Rasa mendesir menjalari tubuhku. Tenggorokkanku rasanya tercekat dan jantungku berdegup tak karuan.
“Buku itu..apa boleh aku..meminjamnya??” Suara ku keluar seperti orang tercekik. Dengan canggung, aku mulai menarik ujung bibirku dan tersenyum kaku kearahnya.
“Buku ini?” tanyanya sambil mengacungkan buku dengan sebelah tangannya yang masih tertumpu diatas meja. Aku mengangguk pelan, ragu akan jawaban yang akan ia berikan. “Tentu. Aku juga tidak sedang membacanya.”
“Lalu?” Pertanyaan itu keluar dengan refleks dari mulutku. Kini aku mulai mengutuk bibirku yang selalu terbiasa frontal dan berkata tanpa perlu di pikir dahulu.
Aku mulai menyerah ketika namja itu tak kunjung membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaanku. Namun, tiba-tiba dia mencondongkan badannya yang membuat wajahku dan wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja.
Berada dalam keadaan seperti ini, membuat semua otot dan persendianku kaku. Aku tak dapat bergerak, bahkan aku tidak tahu kenapa aku sampai-sampai menahan nafas. Semua terlalu tiba-tiba.
“Aku hanya mencari ketenangan. Lagipula, aku lebih senang bermain music daripada membaca buku,” ucapnya santai sambil berbisik membuatku semakin seperti patung.
“Hmmm…disini juga bisa belajar musik, kok,” jawabku mencoba untuk santai dan mulai mendorong tubuhku ke belakang dan bersandar di kursi.
“Oh, ya? Bagaimana caranya?” Namja itu tak mengubah posisi duduknya sedikit pun, hanya saja sebelah tangannya kini sudah menopang dagunya.
Aku yang di pandangi seperti itu semakin salah tingkah. Kualihkan pandangan ke segala arah, berpura-pura sedang berpikir. Lalu aku melihat sebuah rak yang berjarak kurang lebih tiga meter dari tempat kami.
Kulangkahkan kaki menuju rak tersebut, menyusuri buku-buku untuk memilih judul yang tepat. Sampai pilihanku tertuju pada sebuah buku berjudul “Magic of Music” dengan sampul berwarna keemasan dan bergambar berbagai macam alat music.
“Kau, apa yang kau lakukan?” Suara namja itu terdengar di telingaku, membuatku menyadari keberadaannya yang ternyata mengikuti ku menuju rak ini. Aku menoleh kearahnya dan tersenyum. Senyum yang entah datang darimana kebebasannya. Menghilangkan segala kekakuan dan kecanggungan yang tercipta, namun digantikan dengan rasa nyaman.
“Salah satunya dengan buku ini. Buku ini berisi hal-hal yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh orang lain.” Tanganku tanpa perintah menyodorkan buku itu ke hadapan sang namja.
“Kau pernah membaca buku ini?” tanyanya sambil membuka-buka lembaran di buku tersebut, lalu menatapku dengan ujung matanya.
“Ya,” jawabku sambil mengangguk pelan. Kulirik buku bersampul biru yang diberikan namja itu. Buku itu lalu menuntunku menuju Tuan Cho.
“Ahjussi! Benar ini bukunya?” tanyaku sesampainya di meja Tuan Cho. Tuan Cho mengangguk.
“Apa kau mau meminjamnya??” tanya Tuan Cho lalu berdiri dari kursi nyamannya.
“Ne. Aku mau meminjam ini.” Kuserahkan buku di tanganku pada Tuan Cho untuk mencatat peminjaman buku tersebut.
“Aku juga mau meminjam ini, ahjussi.” Suara berasal dari sebelahku, membuatku langsung saja menengok kearahnya. Yang kutemui namja tadi sudah tersenyum manis kearahku, menunjukkan sedikit deretan gigi putih nan rapi miliknya.
“Buku ini bagus, mungkin lain kali kau bisa menyarankan buku lain?” ucapnya lalu.
“Tentu saja,” ucapku saat Tuan Cho sudah menyerahkan buku yang ku pinjam, aku pun tersenyum kearah Tuan Cho lalu pada namja itu.
“Ahjussi! Aku pinjam yang ini,” ucap namja itu lalu menyerahkan buku yang kusarankan pada Tuan Cho. Tuan Cho pun menerimanya dengan senyum lalu segera mencatat.
TEETTT!
Bel tanda istirahat berakhir pun akhirnya berbunyi. Aku segera mohon diri dan membungkukkan badanku 90 derajat, mengingat pelajaran selanjutnya adalah matematika. Im Songsaengnim bisa saja menulis alfa dalam absen jika aku telat. Dengan langkah-langkah besar aku menyusuri jalan menuju kelas. Untunglah, suasana kelas masih ribut, pertanda bahwa belum ada guru yang masuk.

_~**-**~_

“Hai!” Suara itu muncul lagi. Dengan sangat hati-hati aku menoleh agar degup jantungku bisa kukontrol. Namja itu. Ia menghampiriku dengan senyum, aku pun membalasnya dengan senyum.
“Kesini lagi?” tanyanya begitu sampai di sebelahku. Aku memang sedang berada di perpustakaan, lebih tepatnya di depan meja Tuan Cho. Aku pun hanya mengangguk menjawabnya.
Tuan Cho datang menghampiri kami dan masuk kedalam tempat berbentuk setengah lingkaran itu. “Ahjussi! Aku ingin mengembalikan ini. Seperti katamu, buku ini bagus sekali,” ucapku lalu menyerahkan sebuah buku padanya.
“Sudah bisa ku tebak, kau pasti menyukainya. Sebentar, aku catat dulu.” Tuan Cho pun duduk di bangku lalu sibuk mengetik huruf-huruf di keyboard komputer miliknya.
“Kau sudah selesai membacanya??” Namja di sebelahku kembali bertanya. Aku kembali mengangguk dengan senyum. “Hanya satu hari?!” tanyanya terheran, nada suaranya pun terdengar meninggi.
“Ne. Aku sangat suka ceritanya,” ucapku sambil nyengir. Dia hanya menggelengkan kepalanya takjub. “Buku yang kemarin saja aku baru membacanya sampai halaman 10… nih, kau bisa lihat ‘kan?” Di bukanya buku ‘Magic of Music’ itu. Aku bisa melihat di halaman 10 tersebut terdapat lipatan yang menandakan bahwa itu halaman terakhir yang ia baca.
“Itu awal yang bagus,” ucapku bertepatan dengan berdirinya Tuan Cho. Tatapan kami pun beralih padanya.
“Sudah selesai. Apa kau mau meminjam buku lagi?” tanya Tuan Cho padaku.
“Tidak. Mungkin lain kali saja. Kamsahamnida!” Aku pun melakukan bow down dan hendak pergi. Namun, namja itu kini berada di hadapanku.
“Kau mau kemana??” tanyanya, alis kanannya terangkat, sedangkan kedua tangannya diangkat  dan telapak tangannya menengadah.
“Hmm..itu..a-aku mau sarapan,” ucap ku tergagap, bingung akan pertanyaannya.
“Apa aku boleh ikut??
“Eh? Oh, tentu.”

_~**-**~_

“Hei! Apa kau memang berjalan secepat ini??” Aku yakin namja itu kini sedang berlari mengejarku. Memang aku tak bermaksud untuk meninggalkannya, tapi tatapan itu membuatku tidak nyaman dan ingin pergi secepatnya.
Namja ini sudah ada di sebelahku dengan kedua tangan memegang lutut. Deru nafasnya terdengar terengah-engah. Aku hanya memandangnya dengan senyum lalu kembali menatap ke depan.
Dari atap ini aku dapat melihat keseluruhan sekolah dengan jelas, bahkan di lingkungan sekitarnya. Tak hanya suka dengan pemandangannya yang indah, udara yang sejuk dan hamparan langit biru yang terpampang bebas membuatnya menjadi tempat favoritku.
Kupejamkan mata dan merasakan angin yang bertiup melambai wajahku, sampai suara itu kembali terdengar. Hampir saja suasana ini membuatku lupa akan keberadaannya.
“Soo Jin-ssi!” panggilnya. Aku pun menoleh kearahnya yang kini sudah berdiri tegak di sebelahku. Satu alisku terangkat mendengar ia menyebutkan namaku, bagaimana bisa? Padahal kami belum berkenalan sama sekali.
“Hmm…itu, aku tahu dari Tuan Cho~ Oh ya! Aku Kim Myung Soo,” ucapnya sambil menjulurkan tangan kearahku.
Aku menyambutnya dengan senyum. “Kim Soo Jin imnida. Hmm…sunbae…? Aku menggantungkan kata-kata ku seolah bertanya.
“Ne, aku sunbae mu. Jadi bersikap baiklah padaku,” ucapnya disertai cengiran. Ia menyandarkan kedua tangannya diatas tembok pembatas tepi gedung ini. Matanya menatap lurus kedepan, menikmati setiap pemandangan yang disuguhkan dari tempat ini.
“Sunbae tahu? Bahkan aku tidak pernah memberitahu…” ucapku sambil menatapnya yang masih menghadap kedepan.
“Kadangkala aku mengetahui sesuatu tanpa aku berusaha untuk mencari tahu tentangnya,” ucapnya santai sambil merentangkan kedua tangannya di udara bebas. “Wah! Ternyata tempat ini bagus juga ya!” lanjutnya. Aku tersenyum kecil menatap tingkahnya lalu melangkah kearah sebuah bangku panjang yang ada tak jauh dari sana.
“Ya, tempat ini memang bagus. Dan tempat ini bisa dijadikan tempat untuk mencari ketenangan selain perpustakaan.” Ia menoleh kearahku dengan senyum, aku pun balik tersenyum. Kini ia melangkah menghampiriku.
Kubuka tutup kotak makanan yang kubawa saat ia duduk di sampingku. “Kau membuatnya sendiri??” tanyanya sambil menunjuk kotak berwarna soft pink yang di dalamnya terisi dua buah potong sandwich.
“Ne. Sunbae mau??” tawarku, mengulurkan sepotong sandwich padanya.
“Asal dijamin enak ya…” ucapnya dengan senyuman jahil, meskipun begitu ia tetap terlihat tampan. Ia lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil sandwich itu dari tanganku.
“Aku hanya bisa menjamin bahwa sunbae tidak akan keracunan, masalah rasa aku tidak mau menjaminnya..” Aku terkekeh kecil mengucapkannya. Tak biasanya aku bisa berkata selues itu, bahkan senyum itu pun keluar tanpa beban.
Kami berdua saling tertawa kecil. Menyenangkan rasanya bisa tertawa seperti ini. Tak seperti biasanya, aku akan selalu canggung bila bersama orang lain, bahkan dengan saudara-saudara jauhku yang tentu saja sudah ku kenal bertahun-tahun. Namun, hal lain aku rasakan bersama namja ini. Kenyamanan, kehangatan, semua itu seakan virus yang menyebar dari dirinya dan menarikku untuk terjangkit dalam virus itu.
“Kau pernah jatuh cinta??” tanyanya tiba-tiba yang berhasil membuatku menghentikan kegiatan mengunyah sandwich yang kini hanya tinggal potong kecil. Aku melirik kesamping, melihat kearah namja bernama Kim Myung Soo itu. Ia masih asik menggigiti potongan sandwich itu sedikit demi sedikit.
Kutarik nafas panjang sebelum aku menjawab. “Hmm..mungkin pernah atau mungkin juga tidak. Aku tak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta..” jawabku mencoba untuk terlihat santai.
“Kata orang, jika kita jatuh cinta, kita akan merasa nyaman berada dengan orang itu, merasakan detak jantung yang berdegub tak karuan, setidaknya begitu kata orang…” Dia tetap menggigiti sandwich itu dan terus menatap lurus kedepan.
Aku pun kembali mengigiti sandwich di tanganku dan mengikuti arah pandangnya. “Mungkin mereka benar, apa sunbae pernah merasakannya??”
“Pernah,” jawabnya singkat.
“Oh, tentu saja. Pasti sunbae sering merasakannya, karena banyak yeoja cantik yang selalu mengelilingi sunbae, tentunya…” ucapku dengan nada sedikit memelan. Entah kenapa, aku merasakan sedikit kekecewaan dalam suaraku.
Ia menatapku, menuntut penjelasan. Aku berhenti mengunyah dan menelan sisa makanan yang ada di mulutku. Aku menatapnya lalu mulai membuka mulut. “Apa aku salah? Bukankah keributan yang di buat oleh para siswi sekolah ini ulah sunbae??”
“Apa kau mencari tahu tentang itu? Ku kira kau tidak akan tahu…” ucapnya sedikit kecewa.
“Kadangkala aku juga mengetahui sesuatu tanpa mencoba untuk mencari tahu,” ucap ku sambil menatapnya. Senyumanku pun terkembang, ia kembali tersenyum.
“Aku tidak sering merasakannya. Aku hanya merasakannya sekali.” Matanya kembali menerawang kedepan. Namun, ia tak mengunyah sandwich itu. Ia hanya menatap kosong kedepan.
“Oh, ya? Beruntung sekali yeoja itu..” ucapku, ikut menatap kedepan.
“Ya, dia memang sangat beruntung,” ucapnya lagi. Perlahan ia mengangkat potongan sandwich yang tinggal seperempatnya saja, kemudian menggigitnya hanya sedikit.
“Apa dia yeojachingu, sunbae??” tanyaku kini menatap kearahnya. Aku pun masih mengunyah sandwich itu, hanya sedikit lebih besar dari potongan sandwich miliknya.
Ia menggeleng pelan. “Apa dia menolakmu?” tanyaku refleks. Ok, aku mulai menyalahkan diriku untuk pertanyaan satu ini. Apa ada yeoja yang mau menolaknya?!
“Tidak, dia tidak menolakku.” Jawaban yang sudah dapat kupastikan pun keluar dari bibir namja itu. Aku hanya tersenyum, membodohkan diriku karena bertanya akan hal itu. “Aku hanya belum mengungkapkannya saja.”
Ucapan itu menarikku untuk menengok kearahnya setelah beberapa lama kita hanya menatap lurus kedepan. “Eh? Kenapa?” tanyaku lagi.
“Aku hanya takut ia akan menolakku..” Ia menundukkan sedikit kepalanya. Menatap lantai atap yang berada setidaknya sejauh lima meter dari tempat kami, namun aku tahu tatapan itu tidaklah terfokus disana.
Sandwich kami sudah habis, dengan tangan kosong itu pun aku dengan pelan menepuk pundaknya. “Mana mungkin ada yeoja yang menolak sunbae,” ucapku mencoba menghibur. Beberapa detik kemudian aku baru tersadar bahwa tanganku masih menghuni bahu tegap itu. Dengan sedikit bingung, aku menarik tanganku dari sana.
Hening… tak ada kata yang keluar dari bibir kami masing-masing. Kami kembali menatap lurus kedepan. Perlahan ia menoleh kearahku, aku dapat melihatnya dari sudut mataku yang sedaritadi terus mengawasinya.
“Apa itu berarti kau juga akan menerimaku??” pertanyaan itu keluar dari bibirnya yang membuatku seketika menoleh.
“Mungkin, kalau aku jadi yeoja itu…” ucapku dengan senyum, mencoba membangun keyakinan pada dirinya.
“Lalu, bagaimana jika yeoja itu adalah dirimu??”
Hah?! Aku membulatkan mataku, mulutku sedikit terbuka. Aku menatapnya penuh kebingungan. Apa yang dia katakan barusan?? Apa itu berarti ia baru saja mengungkapkan perasaannya padaku??
Aku sedikit berdehem untuk mencairkan keheningan. Aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya, mengedarkannya sekeliling, mencoba mencari objek yang bisa menarik perhatianku. Tapi, nihil.
Yang bisa menarik perhatianku hanya dia. Aku sedikit terkesiap dengan apa yang ku pikirkan, apa yang kau pikirkan Soo Jin!!
Orang itu, wajah itu, bahkan mata itu masih menatap kearahku sejak tadi, itu membuatku hanya mempunyai satu pilihan. Menundukkan kepalaku. Menatap jari-jari tanganku yang kurus dan panjang, lalu mempermainkankannya bersama kuku-kuku jariku.
“Mungkin ini memang terlalu cepat, jadi lupakan saja…”
“Tidak,” potongku cepat.
Aku kini mulai menggigiti bibir bawahku dan jari-jariku semakin cepat bermain. Tatapan mata itu tajam, namun aku tahu ada keteduhan disana saat mata itu bertemu dengan mataku. Dan itu telah berhasil membuat kupu-kupu berterbangan di perutku dan membuatku bergidik karenanya.
Dengan perlahan aku menoleh kearahnya. Ia masih setia berada disana menungguku. Menunggu apa yang akan aku katakan.
“Namun, aku sudah merasakan kenyamanan itu pada seorang namja..” Ku gantungkan kata-kataku untuk melihat ekspresinya sejenak. Tak sedikitpun ia mengalihkan tatapannya dariku, namun ekspresinya sedikit berubah, senyuman itu mengendur.
“Suatu saat, aku berada di tempat ini bersamanya. Memakan bekal yang sengaja aku buat untuknya…” lanjutku lagi. Tak ada respon apapun darinya, hanya perubahan raut wajahnya yang dapat aku baca. Aku pun kembali melanjutkan ucapanku.
“Dan, itu terjadi baru beberapa menit yang lalu.”
Aku mulai tersenyum ketika mengakhiri kalimatku, begitupun dengannya. Suasana bahagia menyelimuti keberadaan kami. Di bawah langit musim semi yang indah dengan bunga-bunga yang bermekaran, semerbak baunya terbawa semilir angin. Begitupun dengan kicauan burung mengalun merdu yang semakin memperindah suasana hari ini.



~*`*`KKEUT`*`*~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Vignette] Only Hope

Title:  Only Hope Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Yooji [OC] || Kim Yugyeom [GOT7] || Kim Namjoon [BTS] Genre: Romance. Friendship. Hurt. Duration: Vignette Rating: Teen Summary: Salahku yang terlalu berharap padamu

[Oneshot] Brother and Sister Complex

  Title: Brother and Sister Complex Author: Na n aJji (@nana.novita) Length: Oneshot Genre: Romance, family, friendship Main Casts: Kim Myung Soo (INFINITE) || Kim Soo Jin (OC) Rating: PG-15 Summary: Seperti sebuah napza. Berawal dari sebuah kebersamaan, hingga akhirnya membuatnya menjadi candu.

[Vignette] Biscuit

Title: BISCUIT Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Kim Jongin [EXO] Genre: Comedy. Friendship. Duration: Vignette Rating: G Summary: Haruskah ia memberitahu Soojin tentang apa yang ingin ia beli? . “ Oppa sungguh ingin membeli itu?” tanya Soojin tak percaya. Sehun hanya dapat mengangguk dengan polos. . . .