Title:
You’re The First
and The Only One
Scriptwriter:
NanaJji
Main
Cast(s):
Kim Myung Soo [INFINITE] || Kim Soo Jin [OC]
Genre:
Romance, Fluff.
Duration:
Vignette
Rating:
PG-15
Summary:
Segala perhitungan akan
dimulai dengan angka pertama. Begitupun sangat special jika menjadi orang
pertama dan satu-satunya.
Bel
tanda jam istirahat berbunyi, aku segera memasukkan buku-buku ku kedalam tas
dan mengeluarkan buku untuk pelajaran selanjutnya. Para siswa dan siswi lain
segera berhamburan keluar kelas. Mereka saling bergerombol bersama teman-teman
mereka. Ada yang menuju kantin, bermain ke kelas lain, atau hanya sekedar
mengobrol di depan kelas.
Kuambil sebuah pensil mekanik berwarna soft pink dan
menyelipkannya diantara buku catatan kecil yang selalu menghuni saku blazer-ku.
Seperti biasa, hari ini aku akan pergi ke perpustakaan, mungkin saja ada buku
baru yang bisa aku pinjam.
Angin musim semi menemani langkahku menuju
perpustakaan. Ya, tak ada teman yang menemaniku, aku sudah terbiasa sendiri,
dan memang aku tidak pintar mencari teman. Jadi, alhasil aku selalu sendiri,
atau lebih tepatnya, aku lebih senang menyendiri.
Kumpulan siswi perempuan yang berkumpul menarik
perhatianku. Para siswi tersebut saling berdesakan untuk mendekati jendela
kelas dan melihat kedalamnya. Aneh, tak biasanya terjadi kehebohan seperti ini,
memang ada apa dalam kelas itu?
Aku melirik keatas pintu kelas, kelas para sunbaenim.
Aku pun mengurungkan niatku untuk mencari tahu sumber kehebohan tersebut dan
mempercepat langkah menuju perpustakaan. Suara para siswi masih terdengar
setelah beberapa jauh jarakku dari kelas tersebut. Rasa penasaranku semakin
kuat, namun kembali aku meredamnya. Bisa-bisa aku di makan oleh para sunbae
yeoja yang sedang histeris itu jika tiba-tiba aku menelusup diantara mereka.
Aku bergidik ngeri, benar-benar menakutkan.
Keributan yang terjadi kini sudah tergantikan oleh
suasana perpustakaan yang sunyi dan nyaman. Aku mulai menyusuri rentetan
rak-rak buku yang berjajar rapi dan melihat judul-judul buku yang bermunculan.
“Hmm…apa tidak ada buku baru ya??” Langkahku mulai
lemah menyusuri deretan buku itu dan menaruh jari-jariku menyusuri ratusan
buku-buku yang berjajar rapi.
Baru sampai ujung rak pertama, aku kembali mendengar
teriakan para siswi yeoja yang tiba-tiba lewat di depan perpustakaan, meski aku
tak melihatnya, dapat dipastikan bahwa mereka masih bergerombolan.
Kulangkahkan kaki menuju petugas perpustakaan.
“Annyeong haseyo,” sapaku pada Tuan Cho sang petugas perpustakaan.
“Ne, annyeong! Apa kau mencari sesuatu, Soo Jin-ssi?”
tanya Tuan Cho dengan akrab. Ya, aku memang sudah menjadi pengunjung pasti di
perpustakaan ini, jadi tak heran jika Tuan Cho sangat mengenaliku.
“Ne. Ahjussi, apa tidak ada buku baru hari ini??”
tanyaku sambil menyandarkan kedua tanganku di atas meja tinggi nan panjang yang
terbuat dari marmer berwarna hitam yang menjadi singgasana kerja Tuan Cho.
“Oh, kebetulan sekali! Pagi tadi, ada kiriman sebuah
buku, aku yakin kau pasti menyukainya!!” seru Tuan Cho sambil menepuk kedua
tangan saking bersemangatnya.
“Oh, jinjjayo? Boleh aku lihat??”
“Tentu! Tunggu, aku akan mengambilkannya.” Tuan Cho
mulai mencari buku itu di atas mejanya yang berbentuk mengikuti meja marmer,
namun lebih pendek dan terbuat dari kayu. Namun, sudah hampir satu menit ia
belum juga menemukan buku tersebut. “Seo Ra-ya! Apa kau lihat buku bersampul
biru muda diatas mejaku??” tanya Tuan Cho pada rekan kerjanya setelah beberapa
lama ia tak menemukan buku tersebut.
“Oh! Aku sudah menaruhnya disana!” Nyonya Jung Seo Ra
menunjuk kearah sebuah rak buku yang terletak paling pinggir. “Di rak buku
fiksi!!” sambungnya.
Tuan Cho hendak melangkahkan kakinya keluar dari
tempat berbentuk setengah lingkaran itu saat aku mulai berkata. “Ne. Aku sudah
mendengarnya, maaf karena merepotkan anda.” Aku pun membungkukkan badan dan
melangkah menuju rak yang Nyonya Jung maksud.
Kembali aku menyusuri deretan buku yang tertata rapi.
Melayangkan telunjukku di udara seraya memperhatikan setiap judul yang muncul.
“Hmm… tadi, Tuan Cho bilang, buku itu bersampul biru muda..” Aku
mengakomodasikan mata ku, mencari-cari buku tersebut, tapi… nihil! Kemana
perginya buku itu??
Langkahku kembali menghampiri Tuan Cho dan bertanya
lagi. “Wah! Secepat itu bukunya dipinjam ya??” jawab Tuan Cho begitu ku
mengadu. Ia mengedarkan pandangannya seisi ruangan.
“HA!!” seru Tuan Cho yang membuatku ikut terlonjak.
“Itu dia!” lanjutnya sambil menunjuk kearah sebuah bangku satu-satunya yang diisi
oleh penghuni.
“Baiklah. Lebih baik aku saja yang kesana,” ucapku
setelah melihat Tuan Cho kembali melangkahkan kakinya keluar dari mejanya. Aku
pun sedikit membungkukkan badan dan tersenyum kearah Tuan Cho sebelum akhirnya
melangkahkan kakiku menuju meja berbentuk persegi panjang yang berada di tengah
ruangan.
Sebelum duduk di hadapan bangku tersebut, ku ambil
sebuah buku untuk berpura-pura. Aku tidak semudah itu untuk mengajak bicara
orang lain, apalagi untuk meminta buku yang sedang ia baca, rasanya susah
sekali.
Berkali-kali ku buka lembar demi lembar buku tebal
dengan judul ‘Science’ pada sampulnya dengan asal. Butuh waktu lama untuk
mengumpulkan keberanianku.
Perlahan ku perhatikan orang di bangku hadapanku. Aku
tak dapat mendeskripsikan wajahnya, karena memang ia sedang membuka buku dengan
sampul biru itu lebar-lebar di depan wajahnya dengan kedua siku yang bertumpu
diatas meja. Di bagian atas, terlihat rambut lurus. Dan dapat dipastikan bahwa
ia seorang namja, karena tak terlihat sedikit pun rambut kecoklatannya itu
terjuntai, dan tangannya pun besar seperti tangan namja.
Kuambil nafas beberapa kali dan menghelanya dengan
berat sampai akhirnya aku sedikit mencondongkan tubuhku untuk mulai bertanya.
“Permisi,” ucapku yang berhasil membuatnya menurunkan
buku itu dari hadapannya. Wajahnya kini terlihat sangat jelas, tampan. Bibir
tipis, hidung mancung, dan sorot mata yang tajam miliknya kini sedang
menatapku, membuatku segera mengalihkan padangan menuju buku bersampul biru
yang dipegangnya. “A-apa a-aku boleh tanya?” lanjutku dengan gagap.
“Ne. Tentu boleh. Mau tanya apa?” Mata itu masih
menatapku, kini dengan alis yang menukik. Rasa mendesir menjalari tubuhku.
Tenggorokkanku rasanya tercekat dan jantungku berdegup tak karuan.
“Buku itu..apa boleh aku..meminjamnya??” Suara ku
keluar seperti orang tercekik. Dengan canggung, aku mulai menarik ujung bibirku
dan tersenyum kaku kearahnya.
“Buku ini?” tanyanya sambil mengacungkan buku dengan
sebelah tangannya yang masih tertumpu diatas meja. Aku mengangguk pelan, ragu
akan jawaban yang akan ia berikan. “Tentu. Aku juga tidak sedang membacanya.”
“Lalu?” Pertanyaan itu keluar dengan refleks dari
mulutku. Kini aku mulai mengutuk bibirku yang selalu terbiasa frontal dan
berkata tanpa perlu di pikir dahulu.
Aku mulai menyerah ketika namja itu tak kunjung
membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaanku. Namun, tiba-tiba dia
mencondongkan badannya yang membuat wajahku dan wajahnya hanya berjarak
beberapa senti saja.
Berada dalam keadaan seperti ini, membuat semua otot
dan persendianku kaku. Aku tak dapat bergerak, bahkan aku tidak tahu kenapa aku
sampai-sampai menahan nafas. Semua terlalu tiba-tiba.
“Aku hanya mencari ketenangan. Lagipula, aku lebih
senang bermain music daripada membaca buku,” ucapnya santai sambil berbisik
membuatku semakin seperti patung.
“Hmmm…disini juga bisa belajar musik, kok,” jawabku
mencoba untuk santai dan mulai mendorong tubuhku ke belakang dan bersandar di
kursi.
“Oh, ya? Bagaimana caranya?” Namja itu tak mengubah
posisi duduknya sedikit pun, hanya saja sebelah tangannya kini sudah menopang
dagunya.
Aku yang di pandangi seperti itu semakin salah tingkah.
Kualihkan pandangan ke segala arah, berpura-pura sedang berpikir. Lalu aku
melihat sebuah rak yang berjarak kurang lebih tiga meter dari tempat kami.
Kulangkahkan kaki menuju rak tersebut, menyusuri
buku-buku untuk memilih judul yang tepat. Sampai pilihanku tertuju pada sebuah
buku berjudul “Magic of Music” dengan sampul berwarna keemasan dan bergambar
berbagai macam alat music.
“Kau, apa yang kau lakukan?” Suara namja itu terdengar
di telingaku, membuatku menyadari keberadaannya yang ternyata mengikuti ku
menuju rak ini. Aku menoleh kearahnya dan tersenyum. Senyum yang entah datang
darimana kebebasannya. Menghilangkan segala kekakuan dan kecanggungan yang
tercipta, namun digantikan dengan rasa nyaman.
“Salah satunya dengan buku ini. Buku ini berisi
hal-hal yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh orang lain.” Tanganku tanpa
perintah menyodorkan buku itu ke hadapan sang namja.
“Kau pernah membaca buku ini?” tanyanya sambil membuka-buka
lembaran di buku tersebut, lalu menatapku dengan ujung matanya.
“Ya,” jawabku sambil mengangguk pelan. Kulirik buku
bersampul biru yang diberikan namja itu. Buku itu lalu menuntunku menuju Tuan
Cho.
“Ahjussi! Benar ini bukunya?” tanyaku sesampainya di meja
Tuan Cho. Tuan Cho mengangguk.
“Apa kau mau meminjamnya??” tanya Tuan Cho lalu
berdiri dari kursi nyamannya.
“Ne. Aku mau meminjam ini.” Kuserahkan buku di
tanganku pada Tuan Cho untuk mencatat peminjaman buku tersebut.
“Aku juga mau meminjam ini, ahjussi.” Suara berasal
dari sebelahku, membuatku langsung saja menengok kearahnya. Yang kutemui namja
tadi sudah tersenyum manis kearahku, menunjukkan sedikit deretan gigi putih nan
rapi miliknya.
“Buku ini bagus, mungkin lain kali kau bisa
menyarankan buku lain?” ucapnya lalu.
“Tentu saja,” ucapku saat Tuan Cho sudah menyerahkan
buku yang ku pinjam, aku pun tersenyum kearah Tuan Cho lalu pada namja itu.
“Ahjussi! Aku pinjam yang ini,” ucap namja itu lalu
menyerahkan buku yang kusarankan pada Tuan Cho. Tuan Cho pun menerimanya dengan
senyum lalu segera mencatat.
TEETTT!
Bel tanda istirahat berakhir pun akhirnya berbunyi.
Aku segera mohon diri dan membungkukkan badanku 90 derajat, mengingat pelajaran
selanjutnya adalah matematika. Im Songsaengnim bisa saja menulis alfa dalam
absen jika aku telat. Dengan langkah-langkah besar aku menyusuri jalan menuju
kelas. Untunglah, suasana kelas masih ribut, pertanda bahwa belum ada guru yang
masuk.
_~**-**~_
“Hai!” Suara itu muncul lagi. Dengan sangat hati-hati
aku menoleh agar degup jantungku bisa kukontrol. Namja itu. Ia menghampiriku
dengan senyum, aku pun membalasnya dengan senyum.
“Kesini lagi?” tanyanya begitu sampai di sebelahku.
Aku memang sedang berada di perpustakaan, lebih tepatnya di depan meja Tuan
Cho. Aku pun hanya mengangguk menjawabnya.
Tuan Cho datang menghampiri kami dan masuk kedalam
tempat berbentuk setengah lingkaran itu. “Ahjussi! Aku ingin mengembalikan ini.
Seperti katamu, buku ini bagus sekali,” ucapku lalu menyerahkan sebuah buku
padanya.
“Sudah bisa ku tebak, kau pasti menyukainya. Sebentar,
aku catat dulu.” Tuan Cho pun duduk di bangku lalu sibuk mengetik huruf-huruf
di keyboard komputer miliknya.
“Kau sudah selesai membacanya??” Namja di sebelahku
kembali bertanya. Aku kembali mengangguk dengan senyum. “Hanya satu hari?!”
tanyanya terheran, nada suaranya pun terdengar meninggi.
“Ne. Aku sangat suka ceritanya,” ucapku sambil
nyengir. Dia hanya menggelengkan kepalanya takjub. “Buku yang kemarin saja aku
baru membacanya sampai halaman 10… nih, kau bisa lihat ‘kan?” Di bukanya buku
‘Magic of Music’ itu. Aku bisa melihat di halaman 10 tersebut terdapat lipatan
yang menandakan bahwa itu halaman terakhir yang ia baca.
“Itu awal yang bagus,” ucapku bertepatan dengan
berdirinya Tuan Cho. Tatapan kami pun beralih padanya.
“Sudah selesai. Apa kau mau meminjam buku lagi?” tanya
Tuan Cho padaku.
“Tidak. Mungkin lain kali saja. Kamsahamnida!” Aku pun
melakukan bow down dan hendak pergi. Namun, namja itu kini berada di hadapanku.
“Kau mau kemana??” tanyanya, alis kanannya terangkat,
sedangkan kedua tangannya diangkat dan
telapak tangannya menengadah.
“Hmm..itu..a-aku mau sarapan,” ucap ku tergagap,
bingung akan pertanyaannya.
“Apa aku boleh ikut??
“Eh? Oh, tentu.”
_~**-**~_
“Hei! Apa kau memang berjalan secepat ini??” Aku yakin
namja itu kini sedang berlari mengejarku. Memang aku tak bermaksud untuk
meninggalkannya, tapi tatapan itu membuatku tidak nyaman dan ingin pergi
secepatnya.
Namja ini sudah ada di sebelahku dengan kedua tangan
memegang lutut. Deru nafasnya terdengar terengah-engah. Aku hanya memandangnya
dengan senyum lalu kembali menatap ke depan.
Dari atap ini aku dapat melihat keseluruhan sekolah
dengan jelas, bahkan di lingkungan sekitarnya. Tak hanya suka dengan
pemandangannya yang indah, udara yang sejuk dan hamparan langit biru yang
terpampang bebas membuatnya menjadi tempat favoritku.
Kupejamkan mata dan merasakan angin yang bertiup
melambai wajahku, sampai suara itu kembali terdengar. Hampir saja suasana ini
membuatku lupa akan keberadaannya.
“Soo Jin-ssi!” panggilnya. Aku pun menoleh kearahnya
yang kini sudah berdiri tegak di sebelahku. Satu alisku terangkat mendengar ia
menyebutkan namaku, bagaimana bisa? Padahal kami belum berkenalan sama sekali.
“Hmm…itu, aku tahu dari Tuan Cho~ Oh ya! Aku Kim Myung
Soo,” ucapnya sambil menjulurkan tangan kearahku.
Aku menyambutnya dengan senyum. “Kim Soo Jin imnida.
Hmm…sunbae…? Aku menggantungkan kata-kata ku seolah bertanya.
“Ne, aku sunbae mu. Jadi bersikap baiklah padaku,”
ucapnya disertai cengiran. Ia menyandarkan kedua tangannya diatas tembok
pembatas tepi gedung ini. Matanya menatap lurus kedepan, menikmati setiap
pemandangan yang disuguhkan dari tempat ini.
“Sunbae tahu? Bahkan aku tidak pernah memberitahu…”
ucapku sambil menatapnya yang masih menghadap kedepan.
“Kadangkala aku mengetahui sesuatu tanpa aku berusaha
untuk mencari tahu tentangnya,” ucapnya santai sambil merentangkan kedua
tangannya di udara bebas. “Wah! Ternyata tempat ini bagus juga ya!” lanjutnya. Aku
tersenyum kecil menatap tingkahnya lalu melangkah kearah sebuah bangku panjang
yang ada tak jauh dari sana.
“Ya, tempat ini memang bagus. Dan tempat ini bisa
dijadikan tempat untuk mencari ketenangan selain perpustakaan.” Ia menoleh
kearahku dengan senyum, aku pun balik tersenyum. Kini ia melangkah
menghampiriku.
Kubuka tutup kotak makanan yang kubawa saat ia duduk
di sampingku. “Kau membuatnya sendiri??” tanyanya sambil menunjuk kotak
berwarna soft pink yang di dalamnya terisi dua buah potong sandwich.
“Ne. Sunbae mau??” tawarku, mengulurkan sepotong
sandwich padanya.
“Asal dijamin enak ya…” ucapnya dengan senyuman jahil,
meskipun begitu ia tetap terlihat tampan. Ia lalu mengulurkan tangannya untuk
mengambil sandwich itu dari tanganku.
“Aku hanya bisa menjamin bahwa sunbae tidak akan
keracunan, masalah rasa aku tidak mau menjaminnya..” Aku terkekeh kecil
mengucapkannya. Tak biasanya aku bisa berkata selues itu, bahkan senyum itu pun
keluar tanpa beban.
Kami berdua saling tertawa kecil. Menyenangkan rasanya
bisa tertawa seperti ini. Tak seperti biasanya, aku akan selalu canggung bila
bersama orang lain, bahkan dengan saudara-saudara jauhku yang tentu saja sudah
ku kenal bertahun-tahun. Namun, hal lain aku rasakan bersama namja ini.
Kenyamanan, kehangatan, semua itu seakan virus yang menyebar dari dirinya dan
menarikku untuk terjangkit dalam virus itu.
“Kau pernah jatuh cinta??” tanyanya tiba-tiba yang
berhasil membuatku menghentikan kegiatan mengunyah sandwich yang kini hanya
tinggal potong kecil. Aku melirik kesamping, melihat kearah namja bernama Kim
Myung Soo itu. Ia masih asik menggigiti potongan sandwich itu sedikit demi
sedikit.
Kutarik nafas panjang sebelum aku menjawab.
“Hmm..mungkin pernah atau mungkin juga tidak. Aku tak tahu bagaimana rasanya
jatuh cinta..” jawabku mencoba untuk terlihat santai.
“Kata orang, jika kita jatuh cinta, kita akan merasa
nyaman berada dengan orang itu, merasakan detak jantung yang berdegub tak
karuan, setidaknya begitu kata orang…” Dia tetap menggigiti sandwich itu dan
terus menatap lurus kedepan.
Aku pun kembali mengigiti sandwich di tanganku dan
mengikuti arah pandangnya. “Mungkin mereka benar, apa sunbae pernah
merasakannya??”
“Pernah,” jawabnya singkat.
“Oh, tentu saja. Pasti sunbae sering merasakannya,
karena banyak yeoja cantik yang selalu mengelilingi sunbae, tentunya…” ucapku
dengan nada sedikit memelan. Entah kenapa, aku merasakan sedikit kekecewaan
dalam suaraku.
Ia menatapku, menuntut penjelasan. Aku berhenti
mengunyah dan menelan sisa makanan yang ada di mulutku. Aku menatapnya lalu
mulai membuka mulut. “Apa aku salah? Bukankah keributan yang di buat oleh para
siswi sekolah ini ulah sunbae??”
“Apa kau mencari tahu tentang itu? Ku kira kau tidak
akan tahu…” ucapnya sedikit kecewa.
“Kadangkala aku juga mengetahui sesuatu tanpa mencoba
untuk mencari tahu,” ucap ku sambil menatapnya. Senyumanku pun terkembang, ia
kembali tersenyum.
“Aku tidak sering merasakannya. Aku hanya merasakannya
sekali.” Matanya kembali menerawang kedepan. Namun, ia tak mengunyah sandwich
itu. Ia hanya menatap kosong kedepan.
“Oh, ya? Beruntung sekali yeoja itu..” ucapku, ikut
menatap kedepan.
“Ya, dia memang sangat beruntung,” ucapnya lagi.
Perlahan ia mengangkat potongan sandwich yang tinggal seperempatnya saja,
kemudian menggigitnya hanya sedikit.
“Apa dia yeojachingu, sunbae??” tanyaku kini menatap
kearahnya. Aku pun masih mengunyah sandwich itu, hanya sedikit lebih besar dari
potongan sandwich miliknya.
Ia menggeleng pelan. “Apa dia menolakmu?” tanyaku refleks.
Ok, aku mulai menyalahkan diriku untuk pertanyaan satu ini. Apa ada yeoja yang
mau menolaknya?!
“Tidak, dia tidak menolakku.” Jawaban yang sudah dapat
kupastikan pun keluar dari bibir namja itu. Aku hanya tersenyum, membodohkan
diriku karena bertanya akan hal itu. “Aku hanya belum mengungkapkannya saja.”
Ucapan itu menarikku untuk menengok kearahnya setelah
beberapa lama kita hanya menatap lurus kedepan. “Eh? Kenapa?” tanyaku lagi.
“Aku hanya takut ia akan menolakku..” Ia menundukkan
sedikit kepalanya. Menatap lantai atap yang berada setidaknya sejauh lima meter
dari tempat kami, namun aku tahu tatapan itu tidaklah terfokus disana.
Sandwich kami sudah habis, dengan tangan kosong itu
pun aku dengan pelan menepuk pundaknya. “Mana mungkin ada yeoja yang menolak
sunbae,” ucapku mencoba menghibur. Beberapa detik kemudian aku baru tersadar
bahwa tanganku masih menghuni bahu tegap itu. Dengan sedikit bingung, aku
menarik tanganku dari sana.
Hening… tak ada kata yang keluar dari bibir kami
masing-masing. Kami kembali menatap lurus kedepan. Perlahan ia menoleh
kearahku, aku dapat melihatnya dari sudut mataku yang sedaritadi terus
mengawasinya.
“Apa itu berarti kau juga akan menerimaku??”
pertanyaan itu keluar dari bibirnya yang membuatku seketika menoleh.
“Mungkin, kalau aku jadi yeoja itu…” ucapku dengan
senyum, mencoba membangun keyakinan pada dirinya.
“Lalu, bagaimana jika yeoja itu adalah dirimu??”
Hah?! Aku membulatkan mataku, mulutku sedikit terbuka.
Aku menatapnya penuh kebingungan. Apa yang dia katakan barusan?? Apa itu
berarti ia baru saja mengungkapkan perasaannya padaku??
Aku sedikit berdehem untuk mencairkan keheningan. Aku
mengalihkan pandanganku dari wajahnya, mengedarkannya sekeliling, mencoba
mencari objek yang bisa menarik perhatianku. Tapi, nihil.
Yang bisa menarik perhatianku hanya dia. Aku sedikit
terkesiap dengan apa yang ku pikirkan, apa yang kau pikirkan Soo Jin!!
Orang itu, wajah itu, bahkan mata itu masih menatap
kearahku sejak tadi, itu membuatku hanya mempunyai satu pilihan. Menundukkan
kepalaku. Menatap jari-jari tanganku yang kurus dan panjang, lalu
mempermainkankannya bersama kuku-kuku jariku.
“Mungkin ini memang terlalu cepat, jadi lupakan saja…”
“Tidak,” potongku cepat.
Aku kini mulai menggigiti bibir bawahku dan jari-jariku
semakin cepat bermain. Tatapan mata itu tajam, namun aku tahu ada keteduhan
disana saat mata itu bertemu dengan mataku. Dan itu telah berhasil membuat
kupu-kupu berterbangan di perutku dan membuatku bergidik karenanya.
Dengan perlahan aku menoleh kearahnya. Ia masih setia
berada disana menungguku. Menunggu apa yang akan aku katakan.
“Namun, aku sudah merasakan kenyamanan itu pada
seorang namja..” Ku gantungkan kata-kataku untuk melihat ekspresinya sejenak.
Tak sedikitpun ia mengalihkan tatapannya dariku, namun ekspresinya sedikit
berubah, senyuman itu mengendur.
“Suatu saat, aku berada di tempat ini bersamanya.
Memakan bekal yang sengaja aku buat untuknya…” lanjutku lagi. Tak ada respon
apapun darinya, hanya perubahan raut wajahnya yang dapat aku baca. Aku pun
kembali melanjutkan ucapanku.
“Dan, itu terjadi baru beberapa menit yang lalu.”
Aku mulai tersenyum ketika mengakhiri kalimatku,
begitupun dengannya. Suasana bahagia menyelimuti keberadaan kami. Di bawah
langit musim semi yang indah dengan bunga-bunga yang bermekaran, semerbak
baunya terbawa semilir angin. Begitupun dengan kicauan burung mengalun merdu
yang semakin memperindah suasana hari ini.
~*`*`KKEUT`*`*~
Komentar
Posting Komentar