Langsung ke konten utama

[Vignette] Obsession

Title:
Obsession
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main Cast(s):
Kim Taehyung [BTS] || Jena Kim [OC]
Genre: Psychology
Duration: Vignette
Rating: PG-15
Disclaimer: All in this fiction is mine, except the idol(s). Plagiarism is prohibited.
Summary:
Menurutku, ini hanyalah masalah waktu dan kesempatan.
Intinya,
aku mencintai gadis itu.
.
.
.

Mungkin lucu jika seorang laki-laki menceritakan tentang kisah cintanya pada orang lain. Jadi, kalian jangan pernah mencoba untuk mentertawakanku kali ini.
Ya, ini semua perihal gadis dan rasa suka, tentu saja. Aku tidak mungkin menyukai laki-laki ‘kan??
Ini dimulai disuatu pagi yang cerah ketika aku menginjakkan kaki di sekolah untuk yang pertama kali. Aku baru saja pindah ke sekolah itu dan guru langsung mengadakan tes matematika tanpa diriku di daftar pengecualian. Jadi terpaksalah aku mengikutinya tanpa mampu menjawab satu nomor soal pun.
Namun itu bukan lagi menjadi masalah bagiku ketika sebuah lembar jawaban terbuka lebar diatas meja sementara pemiliknya menelungkupkan kepala dengan tenang. Mau tak mau, aku menyalin jawabannya diam-diam.
Menit-menit awal aku menyalin, seperti ada sesuatu yang aneh. Aku tak yakin dengan yang satu ini. Kurasa, aku mendengar suara orang menangis, begitu pelan, dan samar-samar. Namun ku hiraukan suara itu.
Waktu pengerjaan soal akhirnya habis. Aku berdiri hendak mengumpul jawaban, tapi terasa aneh ketika kemejaku tertahan oleh sesuatu.
“Bisakah kau mengumpulkan punyaku juga?”
Itu gadis di sebelahku, dengan salah satu tangan menggamit kemejaku, sedang kepalanya masih tenggelam dalam lipatan sebuah tangannya yang lain di atas meja.
Gadis itu yang jawabannya aku contek, yang tertidur saat ulangan, dan aneh ketika lembar jawabannya sudah lengkap terisi padahal baru setengah waktu pengerjaan soal terlewati. Dan saat itu, ia berbicara dengan suara bergetar.
Apa suara tangis itu berasal darinya? Yah, kurasa memang iya.
Gadis yang sangat aneh. Dan lebih aneh lagi ketika ku akui bahwa aku tertarik dengannya.
Namanya Jena, itu yang tertera di lembar jawabannya waktu itu. Dia gadis yang aneh. Well, aku sudah mengatakannya tadi. Namun dalam konteks yang berbeda, ini lebih menjurus kepada ia yang tak pernah mengindahkan sapaanku, bertegur sapa dengan yang lainnya, apalagi mengumbar senyum seperti para gadis di usianya. Ia tak pernah melakukan semua itu.
Ketika suara bel menyambut telingaku dan para murid berlarian keluar kelas, seringkali aku mengikuti kemana arah perginya Jena, baik saat jam istirahat ataupun pulang sekolah.
Pertama ku pikir ia mempunyai masalah dengan keluarganya, namun yang kudapati setiap pulang sekolah membantah argumen itu. Jena selalu di jemput oleh ayah dan ibunya serta ciuman hangat yang mereka peruntukkan pada sang putri.
Beberapa kali pula saat aku mengikutinya, ia diam-diam menangis seperti waktu itu. Terkadang di taman belakang, di dekat lapangan basket, ataupun di pojok perpustakaan. Air mata itu jatuh tanpa komando, satu bulir jatuh, dan yang lainnya pun menyusul.
Semua kejadian ini mampu menggantungkan beribu pertanyaan di benakku. Tak sekalipun aku bertanya perihal Jena kepada teman-teman, karena mereka semua tampak acuh akan keberadaan gadis itu.
Sampai pada suatu hari, ia tak muncul di sekolah. Esok harinya juga, esok lusa pun ia tetap tak hadir. Begitu seterusnya hingga seminggu berlalu, Jena tak pernah memperlihatkan batang hidungnya lagi di sekolah.
Tak ada yang merasa ganjil tanpa kehadiran Jena disana. Bahkan guru tak pernah bertanya tentang ketidakhadiran gadis itu saat mengabsen.
Dan hari itu, sepulang sekolah aku mencoba untuk melewati rumahnya. Hanya untuk mengawasi atau jika beruntung, aku bisa bertemu dengannya.
Jena duduk sendirian di beranda rumahnya. Tatapannya masih seperti biasa, sayu. Ia hanya diam tanpa melakukan apapun. Entah apa yang ku pikirkan hingga aku menuruni dudukan motor dan berjalan kearahnya. Aku menyapanya meski tanpa sahutan. Duduk lalu mencoba mengajaknya bicara.
“Kenapa kau tidak sekolah belakangan ini? Apa kau sakit?”
“…”
“Beberapa hari ini guru sedang sibuk, jadi mereka jarang masuk ke kelas. Tapi tetap membosankan, karena tugas yang mereka berikan sangat banyak.”
“…”
“Kau tahu? Ada−“
“Kau siapa?”
Aku terdiam. Berusaha mencerna lebih baik pertanyaan yang Jena ajukan, atau lebih tepatnya, aku terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tak tahu aku bahkan setelah sebulan lamanya aku duduk tepat di sampingnya.
Aku tak menjawab, melainkan tetap terpaku pada sepasang iris yang kini mengarahkan pandangnya padaku. Pandangan itu hampa, tak bernyawa.
Wah, sepertinya kita kedatangan tamu.” Seorang wanita yang ku perkirakan adalah ibu Jena datang sambil menggantungkan senyum. Namun tampak jelas raut kesedihan di setiap lekuk wajahnya. Aku memperkenalkan diri, lalu berbohong perihal tujuanku datang kesana.
Jena yang sedaritadi menatapku mulai berdiri, memalingkan tatapannya kemudian pergi begitu saja. Aku hendak mengikutinya, namun ibu Jena mencegah.
“Bisakah kita bicara sebentar, Nak?”
Aku mengangguk, mengiyakan tawaran yang di ajukan ibu Jena, lalu duduk kembali di kursiku. Sedangkan, ruang kosong yang tadi ditinggalkan Jena kini diisi oleh ibunya.
“Jadi kau pasti murid baru di sekolah Jena.”
Ucapan ibu Jena seketika mengalihkan pandanganku dari sosok Jena yang tengah duduk termenung di bawah pohon palem di halaman rumahnya.
“Apa bibi membaca pikiran saya? Atau bibi adalah peramal?” tanyaku seketika karena merasa ganjil dengan pernyataan yang di ajukan wanita setengah baya itu.
“Tentu tidak, Nak. Hanya saja, jika kau bukan murid baru, pastilah kau tidak akan  berkunjung kemari.”
Aku hanya menatap ibu Jena dengan bingung. Sungguh, aku tidak mengerti maksud dari perkataannya. Aku pun hanya bergeming, tak berani berucap karena mungkin saja itu akan menjadi salah.
“Sebagai ibu, kurasa Jena sudah meninggal sejak dua bulan yang lalu.”
Ibu Jena mulai bercerita, mencurahkan segala kisah hidup putrinya, dan apa yang ia rasakan saat itu. Kurasa memang begitu sulit berada di posisinya.
Jangan kalian pikir bahwa Jena benar-benar sudah meninggal dan yang ku ajak bicara adalah rohnya. Gadis itu masih hidup, masih berdiri tegak, dan semua organ tubuhnya pun berfungsi dengan baik. Namun, keadaan telah membuatnya tampak mati.
Jimin, laki-laki itu seperti sejarah dalam kehidupan Jena. Seorang yang dikenalnya saat pertama kali melihat dunia, hingga dewasa ini mereka saling melabuhkan hati.
Beberapa bulan lalu, Jimin pergi untuk selamanya dalam sebuah kecelakaan, dimana Jena sendiri ikut berpartisipasi. Dan disitulah Jena selalu berujung, duduk menyendiri terpaku pada rumah Jimin di seberang jalan, lalu berharap akan kehadiran laki-laki itu meski dunia mereka pun berseberangan.
Aku tak pernah menyangka bahwa mencintai bisa sesakit itu, hingga membuat bunga yang mekar layu seketika.
“Apa kau sedang mengingat Jimin?”
Bulir air mata telah jatuh berkali-kali dari pelupuk Jena. Gadis itu masih tetap sama. Terdiam di halaman depan rumahnya dan terpaku pada rumah Jimin yang berada tepat di depan hidungnya. Namun, kini rumah itu hanyalah bangunan tak berpenghuni. Pindah mungkin menjadi jalan terbaik bagi keluarga Jimin untuk melupakan beribu kenangan indah yang menyakitkan disana.
Namun tak begitu dengan Jena.
Setelah sekian bulan aku selalu berada di sisinya, Jena masih kerap menangis sewaktu-waktu tanpa sebab.
Aku masih menatap wajah Jena untuk menunggu sebuah jawaban. Hingga akhirnya ia mulai bersua dan sebuah senyum terukir manis di wajahnya.
“Kau lihat? Jimin sudah datang menjemputku.”
Jena mungkin memang gila karena telah terobsesi pada Jimin. Namun rasanya akulah yang paling gila disini. Karena aku terobsesi untuk memusnahkan obsesi Jena.
Membingungkan? Aku pun tak mengerti.
Menurutku, ini hanyalah masalah waktu dan kesempatan.
Tak ‘kan pernah ada yang tahu kapan waktu itu akan datang. Tapi disinilah aku, selalu hadir mencoba untuk memperbesar kesempatan itu terjadi.
Intinya,
aku mencintai gadis itu.
.
.
.
True love will not always become your fate.
Why are you putting so much effort on this obsession??
.
.
.

END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Vignette] Only Hope

Title:  Only Hope Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Yooji [OC] || Kim Yugyeom [GOT7] || Kim Namjoon [BTS] Genre: Romance. Friendship. Hurt. Duration: Vignette Rating: Teen Summary: Salahku yang terlalu berharap padamu

[Oneshot] Brother and Sister Complex

  Title: Brother and Sister Complex Author: Na n aJji (@nana.novita) Length: Oneshot Genre: Romance, family, friendship Main Casts: Kim Myung Soo (INFINITE) || Kim Soo Jin (OC) Rating: PG-15 Summary: Seperti sebuah napza. Berawal dari sebuah kebersamaan, hingga akhirnya membuatnya menjadi candu.

[Vignette] Biscuit

Title: BISCUIT Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Kim Jongin [EXO] Genre: Comedy. Friendship. Duration: Vignette Rating: G Summary: Haruskah ia memberitahu Soojin tentang apa yang ingin ia beli? . “ Oppa sungguh ingin membeli itu?” tanya Soojin tak percaya. Sehun hanya dapat mengangguk dengan polos. . . .