Title:
Breather
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC]
Genre:
Romance. Fluff. School-life.
Duration:
Ficlet (900+word)
Rating:
PG-13
Disclaimer:
All in this fiction is mine, except Jungkook. Plagiarism is prohibited.
Summary:
Novel itu.
Permainan itu.
Apa kau tidak merasa bosan?
.
.
.
Bel
istirahat baru semenit lalu berbunyi dan sudah terdengar suara-suara tembakan
dari bangku di sebelahku. Kalian jangan berekspektasi terlalu jauh. Itu hanya
suara tembakan yang berasal dari game
yang dimainkan teman sekelasku di layar laptopnya.
Namaku
Kim Soojin dan aku tujuh belas tahun saat ini. Selama itu, aku tidak pernah
sedekat ini dengan laki-laki. Tidak, tidak. Aku tidak menjalin hubungan apapun
dengan Jungkook−laki-laki di sebelahku. Tidak pula dekat seperti yang kalian
bayangkan.
Kami
hanya sering menghabiskan waktu istirahat dengan duduk bersebelahan. Ia selalu
pindah duduk di bangku depan−tepatnya di sebelahku−hanya karena mencari tempat
pengisi daya untuk menjaga laptopnya tetap mendapat pasokan energi sehingga dia
dapat bermain dengan tenang. Sementara aku selalu membaca novel sambil memakan
bekalku selama jam istirahat.
Aku
tak pernah menganggap Jungkook sama dengan murid laki-laki lain di kelasku, meski
ia terlihat sama. Datang ke sekolah begitu pagi hanya karena wifi gratis untuk bermain game, suka menyahut tidak jelas ketika
guru menjelaskan, cara berpakaiannya yang menjadi tidak wajar dengan ujung
kemeja yang mencuat keluar padahal baru beberapa menit jam pelajaran dimulai.
Meski
ia tampak sama, tapi ia kepalang berbeda bagiku. Senyum ini yang tak pernah
sama saat kuperuntukan padanya, degup jantungku yang tak pernah normal saat
bersamanya, begitupula pikiran ini yang selalu berujung pada dirinya meski ia
entah dimana. Ia terlanjur berbeda. Dan akan selalu begitu.
Jadi,
berapa kali sudah aku mengatakan bahwa Jungkook berbeda?
“Aaargt!”
Jungkook
mengerang di tempatnya, sedikit merutuk kepada laptopnya dan itu membuatku
terkejut.
“Kalah
lagi?” tanyaku sekenanya. Jungkook hanya mengangguk lemah kemudian kembali
berkonsentrasi pada layar laptopnya demi mengulang permainan itu dari awal.
“Hei,
apa kau tak bosan bermain terus setiap hari?” Aku bertanya lagi dan Jungkook
menghentikan gerakannya, menatapku sekilas sebelum akhirnya ia meninggalkan
permainan itu dan menjawab pertanyaanku.
“Novel
itu, kau tak bosan membacanya tiap hari?”
“Kau
membalikkan pertanyaanku, Jungkook.” Aku segera menaruh novel bersampul cokelat
muda itu lalu menatap Jungkook tidak suka. Tak biasanya dia mengajakku berdebat
seperti ini.
“Aku
hanya ingin kau tahu jawabanku tanpa perlu ku menjawab.”
“Baiklah.
Jawabanku bosan. Jadi kau juga bosan?”
Jungkook
tampak berpikir sejenak. Tangannya bermain-main tak tentu diatas laptop.
Setelahnya ia menatap mataku. Jujur saja, itu membuat semburat merah terukir di
pipiku meski sebenarnya aku kesal dengan laki-laki itu.
Maka
aku pun memalingkan wajah demi mengukuhkan argumenku sebelum mencair bersama
tatap mata Jungkook padaku.
“Ya,
menurutku ini membosankan.” Jungkook menutup layar laptopnya sedikit kasar.
Perlahan aku meraih novel itu, agaknya Jungkook sedikit berlebihan menanggapi
percakapan ini. Jadi, mungkin lebih baik aku diam.
“Jungkook!”
Kurasa
aku memang tidak di takdirkan untuk diam. Jungkook kembali meraih novel itu
dari tanganku dengan semerta-merta, tak ayal aku pun harus menjerit memanggil
namanya.
“Novel
ini, game itu. Aku bosan, kau tahu?
Aku ingin keluar saat jam istirahat, berbincang dengan yang lain−“
“Jungkook...”
“Pergi
ke perpustakaan, bermain bola di lapangan, makan di kafetaria bersama orang
yang aku suka−“
“Jeon
Jungkook!”
Ekspresi
Jungkook berubah sendu. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya hingga berapi-api
seperti ini. Tak pernah aku lihat Jungkook semarah dan...sesedih itu?
“Jungkook...”
Aku
menepuk bahu Jungkook sekilas dan segera menarik tanganku saat terasa sengatan
listrik yang memicu kerja jantungku lebih keras ketika kulitku bergesekan
dengan miliknya. Namun ketika sepersekian jarak yang tercipta, Jungkook kembali
menarik tanganku.
“Baiklah,
aku tidak seharusnya emosi seperti ini. Aku minta maaf,” ucapnya dengan lebih
tenang. Sebaliknya, saat ini aku yang tak akan tenang karena tangan Jungkook
yang masih setia menggenggam tanganku.
Untuk
beberapa menit kemudian hanya terdengar deru napas Jungkook serta degub
jantungku yang terus berpacu. Ku harap Jungkook tak mendengarnya.
“Tapi
aku tetap tak bisa melakukannya karena orang yang aku suka lebih memilih untuk
duduk seharian di dalam kelas sambil membaca novel ini, meski aku sangat ingin
mengajaknya pergi keluar.”
“A-apa
maksudmu?”
“Mungkin
ini terdengar pengecut. Tapi, aku menyukaimu, Kim Soojin.”
Aku
hanya diam, tak mampu berkata apapun karena ini terlalu mengejutkan. Tidak,
tidak. Pasti aku salah dengar.
“Aku
tahu ini akan terjadi, jadi lupakan saja. Anggap aku−“
“Tidak.
Jujur saja, aku benci padamu Jungkook.” Aku mengukuhkan hatiku untuk menatap
sepasang netra Jungkook, meski tubuhku terasa bergetar karenanya. Namun aku
harus meluruskan semua ini.
Kini
giliran ucapanku yang membuat Jungkook terdiam. Genggaman tangannya padaku
perlahan mengendur, hingga setiap jariku dapat bergerak bebas.
“Aku
benci kau yang tidak pernah fokus saat guru mengajar, mengerjai siswi lain
hingga meneriakkan namamu, terlebih aku benci saat kau berada di dekatku,
Jungkook.”
“K-kenapa?
Laki-laki lain juga melakukan hal yang sama, tapi kenapa kau membenciku?”
Jungkook
tampak tak terima dengan semua pendapatku. Tangan yang tadinya menggenggam
tanganku kini mengepal erat.
“Karena
aku khawatir apabila guru menjadikanmu sasaran pertanyaan dan kau tidak bisa
menjawab, karena aku cemburu melihatmu dekat dengan siswi lain, karena aku
tidak suka saat jantungku berdegub tak karuan dan aku kesulitan bernapas saat
kau di dekatku.”
“Karena
kau terlanjur berbeda, Jungkook...”
Sebuah
senyum mengakhiri ucapanku atau lebih tepatnya ungkapan perasaanku pada
Jungkook yang terdengar begitu cheesy.
Aku pun tak menyangka bahwa aku dapat mengatakan hal-hal semacam itu.
Aku
layaknya sedang terserang sebuah penyakit yang diakibatkan oleh virus yang
dibawa oleh Jungkook. Sebuah virus menular bernama cinta.
Ugh! Cheesy again!
“Jadi,
bisakah kita keluar sekarang?”
Aku
mengangguk antusias. Jungkook meraih tanganku dan aku pun dengan setia berada
disisinya. Untuk pertama kalinya kami menghabiskan waktu bersama diluar dari
duduk bersebelahan dan sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Jadi
kami mulai melangkah meninggalkan sepasang bangku dengan laptop serta novel
diatas meja yang menatap cemburu kami berdua.
Tinggal
selangkah lagi kami keluar dari pintu kelas dan ayunan kaki kami harus
terhenti.
Bel
tanda masuk berbunyi.
Aku
mengembuskan napas berat lalu menatap Jungkook yang bersemu tak jauh beda. Satu
per satu murid mulai berdatangan ke dalam kelas. Aku pun hendak kembali duduk
di bangkuku sebelum Jungkook tak membiarkan tangan kami terlepas.
Laki-laki
itu mendekat sambil menyuguhkan senyuman aneh kearahku.
“Jadi,
bagaimana kalau kita bolos?”
.
.
.
END
Komentar
Posting Komentar