Title:
1st
April
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC]
Genre:
Romance. Fluff. School-life.
Duration:
Ficlet
Rating:
G
Summary:
Maka, ku genggam erat surat itu,
serta cokelat yang tak ‘kan ku biarkan meleleh
.
.
.
Langit
masih sedikit mendung di luar sana. Mentari pun enggan muncul untuk menyerukan
kehangatannya. Alhasil, udara dingin berputar-putar bersama oksigen. Beruntung
aku dan Jungkook berada di dalam perpustakaan dengan penghangat ruangan disana.
Alih-alih
mengerjakan tugas Biologi bersama, kami malah sibuk dengan kegiatan
masing-masing, tak berniat sedikitpun menyentuh buku Biologi yang tergeletak
kaku sedaritadi. Aku sedang membaca novel yang baru saja datang pagi ini.
Sedang Jungkook sibuk dengan majalah olahraganya. Dan di halaman bergambar skateboard itulah Jungkook selalu
berakhir.
Sedikit
terdengar gesekan kaki kursi dengan lantai. Ku kira Jungkook akan berdiri,
kemudian mengambil majalah lain yang mungkin belum di lihatnya. Namun, tak
terdengar langkah kaki, hanya sunyi yang menggaung di tengah ruangan yang
menyisakan kami berdua serta si petugas perpustakaan yang setengah mengantuk.
“Jinie-ya…”
“Hmm?”
Aku
masih sibuk membaca novel saat Jungkook menyerukan namaku. Ceritanya baru saja
mencapai konflik dan tanpa bersalah Jungkook menginterupsinya.
“Jinie-ya …”
Tanpa
mencoba untuk mengerti situasiku, Jungkook terus saja memanggil. Apa semua
majalah itu sudah habis ia baca? Lalu sekarang, ia merengek minta pulang??
“Kook,
biarkan aku membaca sampai akhir bab saja,” jawabku sedikit ketus. Akibat
Jungkook, aku harus kehilangan baris terakhir yang aku baca. Jadilah aku mesti
mencarinya lagi secara perlahan.
“Apa
kau mau menikah denganku?”
Aku
terdiam. Sedikit pun tak berniat untuk membaca lanjutan baris yang baru saja ku
temukan akibat sebuah kalimat dari Jungkook. Aku menoleh dan menatapnya penuh
ketidakpercayaan.
“Apa
kau bilang? Kau bilang apa??”
Buru-buru
ku tanya Jungkook. Masih berharap bahwa kuping ini kurang berfungsi dengan baik
hingga tak dapat menyaring suara Jungkook dengan benar.
“Apa.
Kau. Mau. Menikah. Denganku?”
Dan
aku tahu bahwa kuping ini masih baik-baik saja. Apa laki-laki itu serius?
Hingga menekankan setiap kata yang ia ucapkan? Aku menatap Jungkook sekali
lagi. Dan laki-laki itu tersenyum kearahku.
Hari
ini tanggal 1 April. Sejak pagi aku sudah mendapatkan banyak tipuan dari
kawan-kawan kami. Jadi, ku pikir Jungkook juga sedang mengerjaiku. Tapi ini
pertama kalinya aku melihat Jungkook seserius itu. Jadilah aku meragu.
“Are you kidding me??”
“Menurutmu
aku bercanda?”
Aku
mengangguk ragu. Sedikit tersipu pula
melihat Jungkook menatapku hampir tanpa berkedip, disertai dengan kata-katanya
barusan, bagaimana bisa aku tidak bersemu merah?!
“Coba
kau tanyakan ulang padaku.” Jungkook masih terus mengulum senyum. Netranya
bersinar di bawah cahaya lampu. Aku pun berharap bahwa semua ini tak hanya
mimpi.
“Kau
bercanda ‘kan, Kook?” tanyaku lagi sesuai dengan apa yang Jungkook minta. Ini
seperti adegan di novel-novel yang pernah aku baca. Dimana selanjutnya si tokoh
pria akan mengeluarkan sebuket bunga atau cincin lalu memelukmu dan melamarmu
semerta-merta. Tapi, bukankah novel itu hanyalah fiktif? Jadi aku tak banyak
berharap.
“Tentu
saja! Memangnya kapan aku serius? Lagipula, kita masih SMA. Kau pikir aku mau
menikah semuda ini?”
Beruntung
aku tidak terlalu berharap. Aku segera merapikan bukuku dan meninggalkan
Jungkook begitu saja. Menurutmu, jika sudah di berikan harapan seperti itu,
siapa yang tidak berharap??
“Hei!
Apa kau marah?”
Jungkook
mengejarku beberapa detik setelahnya. Ia terlihat begitu sibuk dengan buku-buku
yang belum rapi di kemasnya. Sebuah buku jatuh dan membuatnya kembali
tertinggal beberapa langkah di belakangku. Di keadaan biasa, mungkin aku akan
mentertawakan Jungkook. Tapi kemudian aku ingat bahwa ini bukan keadaan biasa.
Aku sedang kesal dengannya.
“Jinie-ya, jangan marah begitu. Lagipula hari
ini April Mob, kau tidak seharusnya
bersikap seperti ini.”
Jungkook
menarik tanganku, seketika langkahku pun terhenti. Benar kata Jungkook,
seharusnya aku tidak marah padanya. Sedaritadipun di sekolah, kami dan
teman-teman saling mengerjai, ‘kan? Tapi mengapa aku merasa sekesal ini pada
Jungkook?
Aku
hanya menundukkan kepala, pun tak berani bersua. Sejujurnya, aku sangat malu
telah bertingkah seperti itu, terlebih di hadapan Jungkook.
Aku
menyukainya. Ya, aku menyukai laki-laki bernama Jeon Jungkook itu. Meski selama
ini ia hanya mengukur kedekatan kami sebagai persahabatan. Tapi itu tak berlaku
bagiku.
“Baiklah,
maafkan aku…”
Jungkook
meminta maaf atas kesalahan yang tak sepenuhnya ada pada dirinya. Aku bingung.
Ini menjadi situasi yang tak pernah aku inginkan. Semua menjadi muram seperti
langit di atas sana.
“Tidak,
Kook. Kau tidak salah. Aku hanya ingin pulang.” Baiklah. Aku bukan pembohong
yang baik. “Lagipula, sudah mau hujan. Lebih baik kita segera pulang,” tambahku
lagi dengan senyum. Berusaha meyakinkan Jungkook bahwa semuanya baik-baik saja.
Kami
berdua duduk di halte. Tak ada orang lain selain kami disana. Menaiki bus
menjadi pilihan kami melihat hujan sudah mulai turun perlahan. Dan kesunyian
diantara kami pun teredam oleh suara bulir air yang berjatuhan.
“Jinie-ya … sungguh, tadi aku tak berniat untuk
mengatakan itu padamu.”
“Sudahlah,
Kook. Aku tidak marah, sungguh.” Aku mengulum senyum tulus padanya. Sebenarnya
aku tak tega melihat Jungkook merasa bersalah seperti itu.
“Oh,
ya.” Jungkook berseru sambil mengaduk tasnya seakan mencari sesuatu. “Kau mau?”
Setelahnya, ia mengulurkan sebatang cokelat padaku.
“Cokelat?”
Ku terima uluran cokelat itu dari Jungkook. “Kau tidak mau?” Laki-laki itu
hanya menggeleng.
“Itu
memang untukmu.”
“Eh?”
Aku
tak mengerti dengan yang Jungkook katakan. Sebagai balasan dari pertanyaanku,
ia hanya tersenyum dan menyuruhku untuk membuka bungkus cokelat itu.
Dan
sesuai perintahnya, aku membuka cokelat itu. Aku menemukan sebuah kertas. Aku
melihat Jungkook sekilas. Lagi-lagi, ia hanya menyuruhku membukanya. Aku
membuka kertas itu lalu membacanya perlahan. Dan aku mengerti maksudnya.
“Love letter? Untukku?” tanyaku pada
Jungkook. Dan ia hanya tersenyum. “Bukan termasuk jebakan seperti tadi, ‘kan?”
Jungkook
menggeleng. “Sebenarnya, aku ingin mengatakan ini. Hanya saja, kurasa aku tidak
sanggup.” Jungkook terlihat malu-malu. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, pun
duduknya tampak tak nyaman.
“Jawabanku
iya, jika kau memerlukannya.”
Sekali
lagi ku beri ia sebuah senyum sebelum aku melingkarkan tanganku di lengannya
serta kepalaku yang bersandar pada bahu itu. Jungkook membalas senyumku dengan
senyum khasnya.
Hujan
turun semakin deras. Dan ku harap, bus tidak akan datang. Hingga meninggalkanku
berdua bersama Jungkook di tengah kesunyian yang seharusnya begitu kaku dan
dingin, seketika menjadi hangat bagai musim semi.
Jungkook
benar-benar membuatku penuh keterkejutan hari ini. Dari yang negatif hingga
berujung positif seperti ini.
Dan
sebenarnya, aku takut sampai di rumah nanti. Takut tiba-tiba aku terbangun di
atas tempat tidur dan menerima semua ini hanya sebagai mimpi. Atau, ketika aku
sampai di rumah ada telepon maupun pesan dari Jungkook yang berisi ucapan April Mob dan selamat bagiku yang sudah
terjebak olehnya untuk yang kedua kali.
Maka,
aku menggenggam surat itu dengan erat, serta batangan cokelat itu yang tak akan
ku biarkan meleleh sedikitpun.
Karena
kedua benda itulah yang menjadi bukti bahwa aku tak bermimpi kali ini.
.
.
.
.
FIN
Komentar
Posting Komentar