Title:
Embrace of the Rain
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Jeon Jungkook [BTS] || [OC]
Genre:
Romance. School-life. Fluff.
Duration:
Vignette
Rating:
PG-17
Summary:
Menurut
kalian, hal apa yang mungkin di lamunkan seorang laki-laki yang baru saja
memasuki usia tujuh belas tahun hingga tersenyum-senyum tidak jelas seperti
itu??
Bisa apa saja. Toh,
menurut Jungkook dirinya sudah dewasa.
.
.
.
Langit masih menghitam di atas sana. Gemuruh pun
berkoar tidak jelas disertai dengan petir yang menyombongkan diri satu sama
lain. Di tengah semesta yang maha besar, gadis itu merasa sangat kecil dan tak
berdaya, terlebih dirinya harus terkurung di dalam ruang kelas bersama
laki-laki yang sedaritadi hanya diam.
“Ini semua salahmu, Kook. Seharusnya kau tidak
mencari ulah dengan melempar gulungan kertas kearahku dan memancingku untuk
melempar balik kearahmu, lalu berujung pada saling melempar kertas saat
pelajaran Mandarin.”
“…”
“Tak seharusnya kita membersihkan kelas dan terpaksa
pulang terlambat ataupun harus terjebak hujan seperti sekarang jika kau tak
melakukan hal itu, Kook.”
“…”
“Sekarang pastilah kau sedang berbangga diri, ‘kan?
Karena kau adalah orang pertama yang berhasil mengurangi poinku dalam pelajaran
Mandarin. Kau tahu, aku selalu rajin menyimak saat Wang Laoshi menjelaskan.”
Lagi-lagi Jungkook tak menyambar kicauan panjang
Soojin yang biasanya merupakan santapan utamanya. Laki-laki itu hanya diam
menatap tetes air mata langit dengan cermat. Atau mungkin lebih tepatnya, ia
sedang melamun.
Soojin mengembuskan napas berat nan panjang. Ia
kesal dengan Jungkook yang mengiraukannya, benci kala Jungkook hanya diam tanpa
mencoba untuk beradu argumen satu sama lain. Dan satu lagi yang membuat Soojin
seakan ingin berteriak kencang dan berlarian menuju rumahnya, ia benar-benar
tak menyukai hujan. Membenci air mata langit itu hingga di kedalaman hatinya.
Mencoba mengalihkan diri dari hal yang dibencinya,
Soojin menatap Jungkook yang masih menopang dagu di atas meja. Dan sepasang
alis Soojin terpaksa harus menukik tajam setelahnya.
Bagaimana tidak heran? Dilihatnya kedua ujung bibir
Jungkook melengkung dengan sempurna, terkadang menampakkan beberapa deretan
giginya yang rapi. Laki-laki itu tersenyum sendiri, sibuk akan dunia khayalan
yang begitu memabukkan.
Hal itu pun tak ayal membawa emosi Soojin semakin
memuncak. Dan beribu pertanyaan pun harus bersarang di benak Soojin.
Menurut kalian, hal apa yang mungkin di lamunkan
seorang laki-laki yang baru saja memasuki usia tujuh belas tahun hingga
tersenyum-senyum tidak jelas seperti itu??
Dan hal itu pula yang kini mengganggu pikiran
Soojin.
Napas berat lagi-lagi meluncur bebas dari permukaan
bibir gadis itu, entah sudah yang keberapa kali semenjak ia terkurung di ruang
itu bersama Jungkook.
Mencoba untuk terlihat tidak sengaja, Soojin
menyenggol tangan Jungkook hingga dagunya terlepas darisana, dan membuat
laki-laki itu tersadar dari lamunannya.
“Mian…,”
ucap Soojin berakting. Namun Jungkook tak membalas. Ia bergeming sepersekian
detik sebelum akhirnya melirik jam dinding dan kemudian menggerpak meja. Tak
ayal, Soojin pun terkejut di buatnya.
Apa
Jungkook marah karena lamunannya ku ganggu??
“Kita harus pulang sekarang,” ucap Jungkook tegas.
Laki-laki itu berdiri kemudian meraih tasnya. Soojin yang merasa aneh pun
segera menyahut.
“Tapi di luar hujan dan kita tidak bawa−“
Jungkook mengeluarkan payung dari dalam tasnya.
“−kau membawa payung?!” Jungkook hanya mengangguk
polos, dihiraukannya wajah Soojin yang begitu kesal. “Kenapa kau tidak
bilang?!”
“Kau tidak bertanya.”
Entah sejak kapan Jeon Jungkook menjadi
semenyebalkan ini. Mungkin seharusnya Soojin pergi meninggalkannya begitu saja.
Namun untuk saat ini, Soojin rasa ia masih bisa bersabar. Sejujurnya, ada satu
hal yang perlu ia cari tahu.
“Sedaritadi kau hanya melamun saja, Kook? Ada apa?”
tanya Soojin, mencoba untuk mengorek informasi.
“Tidak ada. Hanya saja, aku teringat kejadian tiga
bulan yang lalu.”
“Apa?” tanya Soojin cepat begitu mendapat respon yang
cukup bagus dari Jungkook.
“Ciuman pertamaku.”
Dan Soojin memutuskan untuk tak lagi bertanya.
Wajahnya bersemu tak enak. Jadilah hanya ruang hampa yang tercipta diantara
keduanya.
Hujan masih turun begitu deras di atas payung
berwarna kuning dimana mereka berdua sedang berlindung.
Soojin merajut langkah begitu perlahan. Dirinya tak
suka dengan jalanan yang becek dan pada akhirnya akan mengotori sepatu
kesayangannya. Juga tetesan air hujan melalui pinggiran payung yang sesekali
berlabuh di bahunya.
“Bisakah kau berjalan lebih cepat?”
“Eh?”
“Aku harus segera sampai di rumah. Ada satu hal yang
harus ku kerjakan.”
Soojin terdiam menatap kedua manik Jungkook. Ia
terlihat biasa saja setelah perkataannya tadi. Ciuman pertama katanya. Tiga
bulan yang lalu. Sementara, sekalipun Soojin tak pernah mengecap bibir Jungkook
sejak lima bulan lalu hubungan mereka resmi terjalin. Lalu dengan siapa?
“Kau bisa pulang lebih dulu, Kook.”
Soojin bersiap mengambil langkah untuk keluar dari
arena teramannya−di bawah payung−lalu membiarkan Jungkook pergi meninggalkannya
di bawah hujan.
Namun, bahkan belum sesenti jarak yang tercipta
diantara mereka. Jungkook sudah menarik Soojin kembali ke sisinya. Merangkul
erat gadis itu hingga bau maskulinnya mengoar di penciuman Soojin.
“Nanti kau bisa sakit. Siapa yang akan bertanggung
jawab jika esok kau tidak sekolah? Aku tidak mau mengambil resiko seharian
tanpamu.”
Soojin semakin ragu akan semua ini. Melihat lengan
Jungkook yang setia menghuni bahunya serta kata-kata yang seakan candu, membuat
Soojin merasa bodoh.
Semudah itukah ia di permainkan? Terlalu mudahkah ia
untuk percaya? Dan begitu banyak pertanyaan yang bersarang di benak Soojin.
“Kook, apa kau benar-benar menyukaiku?” Pertanyaan
itu salah satunya.
Jungkook membentuk sebuah senyum di wajahnya,
lama-lama senyum itu berubah menjadi kekehan kecil.
“Kau ini lucu. Bertanya satu hal yang sudah pasti
jawabannya.”
Jungkook tak menjawab dengan kalimat ‘aku
menyukaimu’ seperti yang Soojin harapkan. Menurut Jungkook jawabannya memang sudah
pasti, tapi menurut Soojin jawabannya tak pernah pasti.
“Kau ingat berapa bulan sudah aku menjadi pacarmu?”
“Hei! Apa kau lupa?” Jungkook mengacak rambut Soojin
lembut. Menambah persensi keraguan dalam diri gadis itu. “Sudah lima bulan,
Jinie.”
Jungkook ingat. Lalu apa yang ia lakukan tiga bulan
lalu bersama gadis lain? Berciuman. Yang benar saja!
Hati Soojin menyuruhnya untuk percaya, namun pikiran
gadis itu secara total membantah. Diri Soojin laksana sebuah timbangan
dibuatnya. Menghitung dengan cermat persensi mana antara hati dan pikirannya
yang lebih besar hingga diri itu bisa memutuskan nantinya.
Sayang, hati dan pikirannya tak berpihak pada diri
Soojin. Masing-masing tetap membawa setengah keping kepercayaannya. Lalu
bagaimana Soojin bisa memutuskan? Mungkin lebih baik menanyakannya langsung
pada Jungkook.
“Kook, apa aku bisa mempercayaimu?”
Langkah Jungkook seketika terhenti. Menatap sepasang
netra Soojin dengan khawatir. Perlahan sebelah tangannya berlabuh di bahu gadis
itu−ragu.
“Kau tidak apa?”
Soojin menggeleng dan hanya menundukkan kepalanya.
Netranya tak mampu menatap iris Jungkook yang akan membiusnya untuk melupakan
kasus ini, sementara sekarang ia benar-benar butuh penjelasan.
“Apa ada satu hal yang mengganggumu?”
Soojin kembali hanya diam. Memainkan ujung-ujung
jemarinya serta menggigiti bibir bagian bawah. Sungguh, ia sangat bingung. Ia
tak tahu bagaimana seharusnya ia memberitahu Jungkook tentang masalah ini.
Lama waktu terlewati tanpa ada sua diantara
keduanya. Jungkook pun sibuk mencari tahu asal muasal keanehan yang terjadi
pada diri gadisnya. Meski ia tahu gadisnya selalu sulit di tebak.
Tapi bukan Jungkook namanya jika ia tak tahu apa-apa
perihal Soojin.
“Seharusnya kau tidak curiga padaku.”
“Eh?”
Kepala Soojin mendongak, ingin menyerang Jungkook
dengan pertanyaan perihal maksud ucapannya. Namun bukan pertanyaan lagi yang
terlontar, melainkan sebuah jawaban yang ia dapat.
Jungkook perlahan menghapus seluruh jarak yang
terbentang diantara mereka. Melabuhkan kedua ruas bibirnya diatas milik Soojin
hingga gadis itu hanya diam di buatnya.
Langit masih terus menitikkan bulir-bulir kecil air
yang membasahi tanah. Sedikitpun tak merasa enggan untuk mengganggu romansa
remaja yang terlihat begitu indah.
Sayang, sang gadis tak sepenuhnya bahagia.
Kebimbangan masih terbelenggu dalam dirinya.
Andai
ciuman pertamaku merupakan yang pertama pula bagi Jungkook. Bukannya yang kedua
setelah ciuman pertamanya bersama orang lain berlangsung saat hubungan kami
terjalin.
“Jadi, ini ciuman kedua kita?”
“Kita? Kedua?!”
Soojin beteriak tak percaya. Sementara Jungkook
menatapnya aneh. Mereka berdua sama-sama bingung. Memang pasangan yang kompak.
Atau mungkin tidak.
Bagaimana bisa mereka mengatakan hal yang berbeda
tentang suatu tindakan yang mereka lakukan bersama?
“Saat pelajaran olahraga, masa kau tidak ingat?”
Soojin menggeleng cepat. Ia yakin bahwa dirinya tak
pernah berciuman sebelumnya. Namun seperempat dari perasaannya pun merasa lega.
Setidaknya Jungkook tak berciuman dengan wanita lain, melainkan dengan dirinya
sendiri. Tapi… kapan?
“Saat itu pelajaran renang, kau tenggelam, dan aku
memberimu napas buatan, ingat?”
“Ohh…” Soojin ber’oh’ ria. Ia ingat kejadian itu.
Perlahan semuanya tampak lebih jelas.
Tapi… tunggu dulu.
“Memangnya itu termasuk ciuman?”
Jungkook hanya tersenyum menanggapi. Menarik Soojin
kedalam rangkulannya lagi, kemudian melanjutkan perjalanan yang tinggal
setengahnya.
“Kook, kau belum menjawab pertanyaanku…” Soojin
bergerak canggung dibawah rangkulan
Jungkook. Rupanya gadis itu merasa segalanya tampak belum jelas.
“Ssst!
Lupakan masalah itu, oke?”
Soojin mengangguk polos, lalu terdiam menatap
cipratan air yang di buat oleh langkah kakinya.
“Kenapa kau diam? Apa ada masalah lain?”
Soojin menggeleng. “Kau menyuruhku diam, kan?”
Kembali, Jungkook hanya tersenyum di buatnya.
Semakin dieratkannya rangkulan pada bahu gadis itu, hingga Soojin terkejut, dan
timbullah kebahagiaan di hati Jungkook.
“Bicaralah, aku ingin mendengarmu bicara.”
“Tentang?”
“Entahlah, terserah. Mungkin kegiatanmu hari ini…”
Soojin termangu sejenak sebelum akhirnya ia bersua
panjang lebar. “Oh, ya. Sebenarnya aku ingin menceritankan ini padamu. Tapi
karena kau sibuk melamun dari tadi, aku jadi lupa. Hari ini…”
Dan cerita Soojin terus berlanjut. Jungkook semakin
memperlambat jalannya, menciptakan waktu yang amat panjang untuk mereka nikmati
berdua.
Dan entah menghilang kemana pikiran Jungkook tentang
tugas yang harus ia kerjakan di rumah nanti. Saat ini, pikirannya hanya tertuju
pada satu objek; gadisnya.
Gadis yang bahkan tidak menyemburkan amarah ketika
ia kira sang pacar telah mencium orang lain saat hubungan mereka terjalin. Dan
marah ketika poin dalam pelajaran yang di sukainya terpaksa berkurang akibat
pacarnya.
Soojin memang susah di mengerti Jungkook. Dan kisah
ini membawakan mereka masing-masing sebuah pelajaran.
Jeon
Jungkook.
Laki-laki itu tahu bahwa dirinya suka akan
tantangan. Dan mengerti Soojin adalah tantangan terbesar yang harus ia
taklukan.
Kim
Soojin.
Gadis itu selalu mempunyai pertimbangan besar dalam
hidupnya. Logika matematika mungkin selalu menjadi acuannya dalam menyelesaikan
masalah. Dan mulai hari ini, ia memutuskan. Untuk mulai meletakkan ‘kata hati’ sebagai
persentase terbesar dalam pilihannya.
Terutama pada masalah yang menyangkut laki-laki
bernama Jeon Jungkook.
.
.
.
FIN
Komentar
Posting Komentar