Langsung ke konten utama

[Chapter] Eternity Part.1

Title:
ETERNITY
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main Cast(s):
Wu YiFan (Kris) [EXO] || Meng Jia [Miss A]
Genre:
Fantasy, Romance, a little bit Action and Mystery(?)
Duration:
Chaptered
Rating:
PG-15
Summary:
Waktu berperan begitu besar malah cenderung terlalu ikut campur dalam kehidupan Kris. Awalnya Kris tak begitu peduli. Namun layaknya manusia biasa yang memiliki rasa bosan, agaknya Kris juga seperti itu.
Hanya saja, Kris bukanlah manusia biasa…
.
.
.

Teringat akan kenangan masa lalu membuatku terpaku. Betapa polos dan menyenangkannya masa kanak-kanak. Semua hal terlihat baik dan benar. Saling menyalahkan kala diri sendiri tidak tahu apa artinya salah. Melakukan segala hal tanpa perlu berpikir panjang. Toh, tidak akan mengubah dunia seketika atau mendatangkan hujan badai tiba-tiba.
Menyenangkan, bahagia. Itulah kesimpulan yang aku ambil. Aku ingin bisa selalu seperti itu. Tapi, tak mungkin untukku selalu menjadi anak-anak. Hirarki, setiap orang pasti akan menjadi dewasa, sebagaimana roda kehidupan yang terus berjalan. Lahir, tumbuh, menua, dan pada akhirnya terlupakan.
Kurang lebih seperti itulah siklus kehidupan.
Namun, aku tidak memiliki semua tahapan itu. Aku tidak akan menua, tapi terlebih dulu telah terlupakan. Tak heran, hidup jadi begitu menyiksa, dan dunia berubah menjadi neraka jahanam.
Hidup begitu sepi dan sunyi, sebab tak ada seorang pun yang mengarah pandang padaku. Setitik senyum pun tak pernah kudapat, bahkan aku telah lupa bagaimana senyum itu. Melengkung ke ataskah, atau ke bawah, mungkin saja hanya garis lurus? Rasanya tak pernah terpikirkan olehku.
Sampai suatu hari, aku memikirkannya berulang kali.
Hari itu hujan turun cukup deras, aku duduk di dalam kereta bawah tanah, terpojokkan sendiri, sama setiap harinya sejak beratus tahun lalu tanpa merasa bosan. Toh, hidup ini sudah begitu membosankan, mutlak.
Namun tak seperti biasanya−dimana orang-orang setidaknya menjaga jarak sejauh kurang lebih lima meter dariku−seorang gadis duduk di sebelahku. Sekali lagi kuulangi, tepat di sebelahku. Entah badai apa yang telah membawanya duduk disana, aku tak tahu.
Kurasakan kepalaku mulai terasa berat akibat berpikir, terlebih kala ia mulai melempar sapa disertai sebuah senyum padaku. Ya, padaku. Aku pun hanya bisa terdiam sambil menatapnya takjub.
“Kau tida apa? Apa kau sakit?” tanyanya terlihat khawatir, tapi aku lebih khawatir di banding dia. Oh, bahkan sekarang tangannya menyentuh dahiku! Aku mulai panik.
Aku masih terdiam, tak membalas setiap kata yang keluar dari bibir mungilnya sampai kereta berhenti dan ia turun sambil melambaikan tangan ke arahku. Dan hari itu berakhir sampai disana.
.
.
.
Apa aku pernah berkata bahwa senyum itu berakhir sampai lambaian tangan membawanya menghilang dari hadapanku?
Baiklah, lupakan semua itu. Karena semua berakhir dengan tidak mudah.
Tepat esok harinya, ketika cuaca yang cerah tetap tak mampu menarikku untuk bermain di bawahnya, melainkan tetap pada aktivitasku−duduk di kereta bawah tanah. Aku melihatnya untuk yang kedua kali. Menyerukan sapa serta senyum dan mencoba mengajakku berkomunikasi, tapi aku tetap diam.
Untuk hari-hari berikutnya, hal itu terus berulang.
Hari ketiga, empat, hingga hari ketujuh, aku tetap diam tak menanggapi. Hari ke delapan, aku mulai kasihan dengannya, jadi aku menanggapi hanya sekedar anggukan atau gelengan. Ia terlihat begitu senang, meski setiap pasang mata di dalam kereta menatap kami dengan tatapan aneh, takut, dan lainnya yang bersifat negatif.
“Apa sebenarnya kau−hm, maaf−tidak bisa bicara?” tanyanya entah pada hari ke berapa, aku tak pernah menghitungnya lagi. Aku menggeleng. “Jadi kau bisa bicara?” Dan aku mengangguk. Dapat ku lihat ia tersenyum lebar sebelum kembali bersua. “Lain kali, bicaralah padaku,” ucapnya perlahan.
Aku menatapnya penuh selidik. Seingin itukah ia bicara padaku? Aku kembali mengangguk untuk menanggapi perkataannya.
Kereta berhenti dan pintu pun terbuka. Sebentar lagi, gadis itu akan turun lalu menghilang di balik pintu, sebagaimana hari-hari sebelumnya berlalu.
Tapi entah perasaan apa yang membuatku untuk ikut turun lalu mengikuti langkahnya diam-diam. Di luar, langit malam tengah dihiasi oleh ribuan kilau bintang berkelap-kelip. Bulan pun menggantung cantik di atas sana.
“Apa yang kau lakukan?!”
Pekikkan gadis itu membuatku segera mencari tempat persembunyian. Takut-takut bahwa ia akan mengetahui kalau aku mengikutinya.
“Lepaskan!!”
Pekikkan itu lagi. Aku mengintip kearah gadis itu. Ternyata, terikan itu bukan di tujukan padaku, melainkan pada dua lelaki kekar yang sekarang mencengkeram kedua lengannya, dan seorang lagi tengah berdiri di hadapan gadis itu sambil tersenyum licik.
Oh, sial. Apa yang mereka lakukan pada gadis itu?
“Ini sudah hari terakhir! Dan kau masih belum dapat melunasinya?!”
“Tinggal sedikit lagi. Besok aku janji akan melunasinya.”
“Besok, besok, dan besok! Apa kau tidak mengenal hari lain selain besok, hah?! Dasar!!”
Laki-laki di hadapan gadis itu mengangkat tangannya dan semua orang pasti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Bukkk!!
Laki-laki itu terjatuh dengan sebelah ujung bibir mengeluarkan darah. Ia berdiri lalu menatapku penuh amarah.
“Kau?” Dapat kulihat gadis itu menatapku penuh keterkejutan.
“Beraninya kau ikut campur dalam urusan kami, hah?!!” Tinju itu kembali melayang kearahku. Tapi ia kalah cepat denganku, ia pun kembali terjatuh.
Pria itu mencoba berdiri dan aku menendang keras dadanya, alhasil ia kembali mencium tanah. Ia melirik temannya meminta pertolongan, tapi sayang, aku melihat hal itu. Pria botak yang sebelumnya menengkeram lengan kiri gadis itu kini berlari hendak memukulku, dengan cepat kutendang dia. Sekarang, kedua pria dewasa itu bersekongkol menyerangku.
Tapi tak lama, mereka mulai lelah. Entah jurus apa yang aku lakukan. Hanya saja, aku paham akan satu prinsip. Pukulah ia sebelum ia memukulmu. Jadi, kuncinya hanyalah kecepatan, dan tak ada manusia yang mampu mengalahkan kecepatanku. Dengan semudah itu, aku pun menang.
Saat mereka lengah, aku menarik gadis itu berlari menjauh, entah kemana, yang penting kami aman.
Kami duduk di tepian sungai setelah merasa cukup jauh dari penjahat-penjahat itu. “Terima kasih,” ucapnya menghapus kesunyian malam. Aku yang menatap jauh ke dalam sungai hanya mengangguk sekilas.
“Tadi kau hebat sekali.” Ia memujiku. Aku lalu menatapnya sebentar, hanya mengisyaratkan bahwa aku menyimak ucapannya.
Setelahnya hanya suara angin yang mendominasi serta gemerisik air yang mengalir. Aku tak mencoba untuk mengajaknya bicara, karena memang tak pernah. Tapi anehnya, gadis itu yang diam cukup lama membuatku ikut bertanya.
Apa ia masih terkejut dengan peristiwa tadi? Tapi, kurasa ia telah terbiasa dengan adegan ‘tatap pandang’ dengan preman-preman itu. Lalu, apa yang membuatnya terdiam?
“Sudah malam, lebih baik aku pulang,” pamitnya sambil berdiri dari duduk. Ia menatapku sekilas sebelum mengambil langkah untuk pergi.
“Hati-hati.”
Ia berhenti lalu berbalik menatapku heran. Beberapa detik kemudian barulah ia tersadar dan tersenyum kearahku.
“Terima kasih,” ujarnya membalas ucapanku.
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Terasa ada yang aneh pada diriku hari ini. Dan ada sesuatu yang mengganjal kala sosok itu semakin kecil di penglihatanku.
“Tunggu.” Aku berlarian lalu meraih tangannya.
“Ah, ada apa?”
“Preman itu pasti menunggu di depan rumahmu,” ucapku sedikit terengah.
“Benar juga, tapi… aku harus kemana?”
“Ikut aku.”
“Tunggu! Hmm, bahkan aku belum tahu namamu,” ucapnya sedikit ragu. “Namaku Jia.”
“Kris.”
.
.
.
“Wah! Jadi ini tempat tinggalmu?” Jia bertanya. Mengamati sekeliling ruang apartement itu dengan takjub.
“Ya.” Kris menjawab pelan lalu duduk di atas sofa ruangan itu.
Jia mengamati pria itu dengan hati-hati. Gadis itu sedikit heran. Bagaimana tidak? Apartement itu lumayan megah. Tidak, sangat megah dan mewah. Sedangkan penampilan Kris lebih seperti… hm, orang yang berasal dari abad pertengahan.
Rambut kecokelatannya yang cukup panjang dibiarkan bebas begitu saja, seperti tak pernah disisir. Baju berwarna cokelat dengan jaket kulit serta celana panjang berwarna hitam, semuanya nampak lusuh. Belum lagi sepatu yang harusnya berwarna putih itu kini terlihat kecoklatan akibat lumpur ataupun debu-debu yang menempel.
Tapi disamping semua penampilannya yang cukup buruk, Jia mengakui bahwa Kris memiliki wajah yang cukup tampan. Mungkin hanya perlu sedikit di rawat.
“Aku akan tidur di sofa, jadi kau bisa tidur di kamar,” ucap Kris sambil melemparkan jaket lusuhnya ke sandaran sofa.
“Tidak, tidak. Aku yang tamu, jadi lebih baik jika aku yang tidur di sofa.” Jia membuat sebuah penjelasan, sedikit merasa tidak enak sudah menumpang di rumah Kris.
“Baiklah.” Jia menatap Kris tidak percaya. Laki-laki itu bahkan tidak membantah keinginannya untuk tidur di sofa, bukankah setiap orang biasanya melakukan hal seperti itu?
Jia membaringkan tubuhnya di atas sofa sementara Kris sudah terlebih dulu memasuki kamar untuk istirahat.
Tak berselang beberapa menit, terdengar suara ketukan di pintu kamar Kris. “Kris, Kris,” panggil Jia lirih.
Kris berjalan gontai membuka pintu kamar. “Ada apa?” tanyanya.
“Hm, maaf sudah menganggumu. Tapi, hmm, apa kau punya sedikit makanan?” tanya Jia merasa tidak enak. Tapi, mau bagaimana lagi? Perutnya hanya terisi pagi tadi dan sekarang sedang memberotak ingin diisi kembali.
Mungkin Jia bisa saja mengambil makanan diam-diam tanpa memberitahu Kris, itu hal pertama yang ingin ia lakukan sebelumnya. Namun, Jia harus memutar otak kala matanya tak melihat keberadaan sebuah lemari es, terlebih di laci-laci dapurnya tak terdapat secuil bahan makanan.
Dan disinilah ia sekarang. Duduk di depan TV sambil menyantap pizza yang di pesan Kris beberapa menit yang lalu.
“Kau tidak makan?” tanya Jia ketika matanya menangkap Kris hanya menatapnya tanpa menyentuh makanan di atas meja.
“Aku tidak lapar,” jawab Kris sambil menyandarkan punggung di sofa lalu tangannya bergerak mengambil remote dan kemudian menyalakan TV.
“Terima kasih sekali lagi. Dan, maaf sudah merepotkanmu,” ujar gadis itu setelah pizza di atas meja habis.
Kris tak menjawab apapun, fokusnya masih berada di depan TV. Jia sedikit melengus. Lagi-lagi Kris tak menanggapi perkataannya. Tapi, Kris bicara cukup banyak hari ini, bahkan ini hari pertama Kris mengeluarkan suaranya di hadapan Jia. Dan itu setidaknya membuat gadis itu bisa sedikit bernapas lega.
“Kau istirahatlah di kamar.”
“Eh? Apa?” Jia tidak mencerna perkataan Kris dengan baik atau mungkin… ia sedikit heran.
“Aku masih ingin menonton TV, jadi kau istirahat di dalam,” ulang Kris.
“Hmm, ya.” Jia menjawab dengan ragu. Oh, pada akhirnya Kris membiarkan Jia untuk tidur di kamar, bukan di sofa. Bukankah itu yang Jia harapkan?
“Terima kasih,” ucap Jia yang lebih seperti bisikan. Namun, sekecil apapun suara itu, Kris tetap dapat mendengarnya.
.
.
.
Mentari telah menggantung di langit pagi, membiaskan cahayanya yang sedikit redup akibat mendung di atas sana. Tapi, Kris tetap tahu bahwa ia terlambat.
Laki-laki jangkung itu melangkah ke jendela lalu menutup tirainya rapat-rapat. Oh, ia benci matahari, benda bulat berwarna kuning itu seakan ingin memanggangnya hidup-hidup, dan Kris tak suka itu. Baru sedetik ia akan melangkah menuju sofa, perhatiannya teralih pada note yang tertempel di layar televisi.
Terima kasih atas tumpangannya, juga makanannya, dan bantuannya. Aku harus pergi bekerja. Lain kali pasti ku balas kebaikanmu. Sekali lagi, terima kasih.
Itu pasti pesan dari Jia, pikir Kris. Laki-laki itu meremas kertas berwarna hijau terang tersebut lalu membuangnya ketempat sampah. Sebelah tangannya meraih botol air mineral lalu meneguk isinya dengan perlahan.
Ia malas keluar hari ini. Malas menemukan seribu macam tatapan serta ekspresi orang di luar sana. Dan, ia juga sedang tak ingin bertemu benda panjang dengan laju seperti jet−tempat dimana biasanya ia menghabiskan waktu seharian.
Lagipula, energinya cukup banyak hanya untuk berdiam diri di dalam rumah seharian. Yah, setidaknya itu yang Kris pikir sebelum ia sadar bahwa energinya telah terpakai banyak untuk melawan preman-preman di hari kemarin.
Kris menatap remukan kertas yang ia buang beberapa waktu lalu.
“Sepertinya aku harus keluar sore nanti.”
.
.
.
Jia menuruni kereta dengan bingung. Tak seperti hari biasanya, dimana orang-orang akan bergunjing satu sama lain mengenai pria dengan baju lusuh yang selalu duduk di pojok kereta, mereka terlihat berbincang tentang hal lain, bukan tentang pria itu, karena nyatanya ia tidak ada. Ya, Kris tidak datang hari ini. Dan itulah yang membuat Jia bingung.
Gadis itu melempar pandangannya ke seluruh stasiun, mengakomodasikan matanya dengan maksimal. Berharap dengan begitu ia dapat menemukan sosok tinggi itu di balik ratusan orang.
“Aw!!” Hampir saja gadis itu terjatuh akibat menginjak tali sepatunya sendiri.  Ia berjongkok lalu mulai berkutat dengan benda penuh jalinan tersebut. “Selesai!” serunya lalu bangkit. Tapi kemudian−
“Aaaa!!!!”
−gadis itu berteriak.
Kris hanya menatap Jia datar seperti biasanya. Berbanding terbalik dengan ekspresi yang sekarang di perlihatkan oleh Jia. “Sejak kapan kau disana?” Ia mulai berteriak.
“Sejak kau baru akan mengikat tali sepatumu,” ujar Kris lalu melangkah mendahului. Jia terdiam, berpikir. Sadar, bahwa Kris meninggalkannya, Jia pun berlari mengejar laki-laki itu.
“Tapi, kenapa aku tidak melihatmu?” Kris hanya mengendikkan bahu. Sama sekali tidak memecahkan tanda tanya besar di kepala Jia, malah membuat gadis itu semakin bingung.
“Oh, ya!” seru Jia, baru ingat akan suatu hal. “Ayo, ikut aku!” Gadis itu menarik tangan Kris, berlari kecil sambil menghindari orang-orang di keramaian.
Kris terdiam kaku setelah mereka duduk di tempat yang ingin di tunjukkan oleh Jia. Laki-laki itu tak tahu harus berbuat apa.
“Maaf, aku tidak bisa mentraktirmu di restoran mewah. Tapi, makanan disini juga tak kalah enaknya!” ucap Jia berusaha untuk menghilangkan wajah muram Kris.
Kris memperhatikan sekilas kedai makan murahan yang mereka kunjungi. Tak terlalu buruk jika benar makanannya enak. Tapi bukan itu yang menjadi masalah untuk Kris.
“Jadi, kau mau pesan apa?” tanya Jia begitu ibu penjaga kedai sudah menghampiri mereka.
“Hm, bukan maksudku menolak. Tapi, sungguh, aku sudah makan,” tolak Kris dengan halus. Terlihat waut kecewa di wajah Jia.
“Yasudah, bubur ayamnya satu, Bi.” Jia menumpukan dagu di kedua tangannya sambil memperhatikan Kris. “Aku akan mentraktirmu lain kali.”
“Kusarankan untuk tidak mentraktirku makanan.”
“Kenapa?”
“Aku mempunyai selera makanan yang sulit.”
Dan jenis makanan kita berbeda, nona, ujar Kris dalam hati.
.
.
.
“Kau tidak pulang?”
Suara angin berhembus memenuhi ruangan itu. Kris masih bergeming. Kakinya menendang-nendang dedaunan kering yang memenuhi trotoar. Laki-laki itu hanya menunduk, memperhatikan sepasang kakinya dan Jia yang menyapu jalanan.
“Mungkin preman itu masih mengejarmu,” ucapnya lalu. Jia tersenyum simpul.
“Terima kasih,” ucap gadis itu tulus.
“Kau selalu mengucapkan terima kasih.”
Kris memandang langit malam yang terang oleh bintang-bintang serta lampu toko yang menyilaukan, sementara Jia memandangi Kris dengan senyuman lebar−dua hinga tiga jari.
“Itu karena kau selalu membantuku.”
Sunyi lagi. Tak pernah tercipta percakapan panjang diantara mereka. Sibuk akan pikiran masing-masing atau hanya sekedar menikmati suasana malam itu yang cukup bersahabat. Tak seperti pagi tadi dimana langit terlihat mendung, seharian ini hujan bahkan tidak turun. Cuaca memang tak menentu akhir-akhir ini.
“Itu rumahku.” Jia menunjuk sebuah bangunan yang tak cukup luas. Sebuah pintu kayu kecil menyambut kedatangan mereka sebelum masuk ke halaman rumah. Rerumputan tumbuh tak teratur pun menjulang tinggi akibat tak pernah di pangkas.
“Apa ini?!”
Jia berlarian menuju pintu rumahnya lalu merobek kertas yang tertempel disana.
Surat rumah ini sudah ada pada kami. Rumah ini kami sita sebagai ganti dari semua hutangmu.
Jia jatuh terkulai, tangannya masih menggenggam erat surat itu. Kris menatap Jia dengan datar, baru setelahnya ia meraih kertas itu dan membacanya perlahan.
“Kenapa surat itu bisa ada pada mereka?” tanyanya biasa, tak terlihat raut khawatir sedikitpun di wajahnya.
“Mereka pasti sudah membongkar rumah ini.” Jia bangkit lalu perlahan membuka kenop pintu.
Dan, benar saja. Segala perabotan yang ada disana terurai tak menentu, kebanyakan dari mereka hancur dan tak berbentuk lagi. Kris ikut masuk ke dalam sambil memperhatikan rumah itu. Matanya kemudian menemukan Jia yang sedang memungut foto keluarganya dengan kaca bingkainya yang pecah.
Kris jadi ingat saat ia masih mempunyai keluarg. Begitu hangat dan mungkin kalian sudah tahu bagaimana rasanya. Tapi sayang, kehangatan itu lenyap meninggalkan Kris seorang diri.
Tidak sepenuhnya salah keluarga Kris yang meninggalkannya, hanya saja mereka harus menghadapi takdir yang merenggut nyawa mereka sebagai hasil akhir dari sebuah kehidupan.
Kris heran, mengapa ia tak seperti keluarganya, tidak juga seperti manusia lain yang hidup lalu harus meregang nyawa. Ia ingin seperti itu, ia bosan hidup. Kris sering berangan, andai saja waktu malam hari ia tertidur dan besok pagi ia tak harus bangun karena ia tak bisa membuka mata, tak juga bernapas.
Memikirkan h itu membuat Kris merasa pusing. Masih dilihatnya Jia berlutut di lantai sambil memeluk foto keluarganya.
Kris mengambil napas satu-satu. Penglihatannya mulai memburam dan yang ia lihat setelahnya hanya gelap. Samar-samar terdengar isakkan tangis Jia yang menggema di telinga Kris.
Setelahnya, Kris benar-benar tak merasakan apapun.
.
.
.
Kris membuka kelopak matanya perlahan. Sinar lampu di kamar itu sedikit menyilaukan penglihatannya. Pelan ia gerakkan tubuhnya yang terasa kaku−membuatnya mengerang beberapa kali−hingga perlahan ia terduduk di atas kasur.
“Kau sudah bingung?” Jia yang semula berada di samping jendela segera menghampiri Kris.
Laki-laki itu masih memegangi kepalanya yang terasa pening. “Berapa lama aku pingsan?”
Jia melirik jam dinding yang ada di kamar itu. “Jam 9 nanti tepat dua hari,” jelas Jia tanpa menarik raut keheranan dari wajah Kris.
Tapi kemudian Kris mengernyit heran kala matanya menemukan ruangan itu sama seklai tak ia kenal. “Kita dimana?”
“Di rumahku. Beruntung preman itu tidak datang. Oh ya, kau mau makan apa?”
“Tidak. Aku tidak ingin makan.”
“Tapi, kau harus makan. Sudah dua hari−“
“Sudah ku bilang tidak!”
Jia menatap Kris kaget, tak percaya bahwa laki-laki itu akan membentaknya seperti tadi. “Baiklah, sepertinya kau perlu istirahat lagi. Kalau butuh sesuatu, kau bisa panggil aku.”
Kris mendengus keras setelah pintu kamar itu tertutup. Sebenarnya, ada apa dengannya? Energinya habis begitu saja, bahkan tanpa ia sadari. Kris segera bangkit dari tempat tidur lalu melangkah keluar kamar.
Tak seperti hari kemarin, rumah itu kini sudah bersih dan rapi. Kris yakin, pasti Jia yang membersihkannya.
“Kau mau kemana?” Jia berlari mengejar Kris yang kini sudah sampai di halaman depan.
“Aku ingin keluar,” jawab Kris tanpa menghentikan langkah pastinya. Jia berlarian masuk ke dalam rumah, mematikan kompor yang digunakannya untuk merebus air lalu kembali mengejar Kris.
Langkah Kris membawa mereka sampai di pusat kota, dimana banya orang berlalu-lalang dan puluhan toko yang menjajakan barang dagangannya.
“Kau mau kemana?”
Pertanyaan Jia menggantung di udara kemudian terhempas angin begitu saja. Kris masih terdiam. Berdiri diantara ribuan orang yang melangkah kesana kemari dan hanya memejamkan mata.
“Kau tidak apa, Kris?” tanya Jia khawatir. Ia tentu kebingungan dengan sikap Kris saat ini, terlebih ia bertindak hal yang aneh. Dan lagi, hanya sayup angin yang menjawab pertanyaan Jia.
Lama waktu berlalu, mereka hanya terdiam di tempat itu. Sedikitpun tak berniat melangkah pergi, meski semua orang membicarakan bahkan tak segan memarahi di depan wajah. Mereka tetap bergeming. Jia tak akan meninggalkan Kris begitu saja, entah mengapa. Mungkin itu caranya membalas budi.
Langit tengah malam telah merambat menuju dini hari. Bintang-bintang pun terlihat enggan menampakkan diri. Dan disanalah Kris akhirnya membuka mata. Menemukan keramaian yang terakhir kali ia lihat telah berganti dengan sunyi.
“Kau pulanglah,” ucapnya memecah sunyi. Tanpa menoleh pun Kris tahu bahwa Jia masih berdiri di sampingnya sejak berjam-jam lalu.
“Tapi−“
Jia tak dapat melanjutkan kalimatnya sampai hari itu berakhir karena Kris sudah pergi meninggalkannya begitu saja. Gadis itu menatap punggung Kris yang semakin menjauh.
Sebenarnya kau kenapa, Kris? Siapa kau sesungguhnya??
.
.
.

To Be Continue….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Vignette] Only Hope

Title:  Only Hope Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Yooji [OC] || Kim Yugyeom [GOT7] || Kim Namjoon [BTS] Genre: Romance. Friendship. Hurt. Duration: Vignette Rating: Teen Summary: Salahku yang terlalu berharap padamu

[Oneshot] Brother and Sister Complex

  Title: Brother and Sister Complex Author: Na n aJji (@nana.novita) Length: Oneshot Genre: Romance, family, friendship Main Casts: Kim Myung Soo (INFINITE) || Kim Soo Jin (OC) Rating: PG-15 Summary: Seperti sebuah napza. Berawal dari sebuah kebersamaan, hingga akhirnya membuatnya menjadi candu.

[Vignette] Biscuit

Title: BISCUIT Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Kim Jongin [EXO] Genre: Comedy. Friendship. Duration: Vignette Rating: G Summary: Haruskah ia memberitahu Soojin tentang apa yang ingin ia beli? . “ Oppa sungguh ingin membeli itu?” tanya Soojin tak percaya. Sehun hanya dapat mengangguk dengan polos. . . .