Title:
ETERNITY
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Wu YiFan (Kris) [EXO] || Meng Jia [Miss A]
Genre:
Fantasy, Romance, a little bit Action and Mystery(?)
Duration:
Chaptered
Rating:
PG-15
Summary:
Waktu berperan
begitu besar malah cenderung terlalu ikut campur dalam kehidupan Kris. Awalnya
Kris tak begitu peduli. Namun layaknya manusia biasa yang memiliki rasa bosan,
agaknya Kris juga seperti itu.
Hanya saja, Kris
bukanlah manusia biasa…
.
.
.
Teringat
akan kenangan masa lalu membuatku terpaku. Betapa polos dan menyenangkannya
masa kanak-kanak. Semua hal terlihat baik dan benar. Saling menyalahkan kala
diri sendiri tidak tahu apa artinya salah. Melakukan segala hal tanpa perlu
berpikir panjang. Toh, tidak akan
mengubah dunia seketika atau mendatangkan hujan badai tiba-tiba.
Menyenangkan,
bahagia. Itulah kesimpulan yang aku ambil. Aku ingin bisa selalu seperti itu.
Tapi, tak mungkin untukku selalu menjadi anak-anak. Hirarki, setiap orang pasti
akan menjadi dewasa, sebagaimana roda kehidupan yang terus berjalan. Lahir,
tumbuh, menua, dan pada akhirnya terlupakan.
Kurang
lebih seperti itulah siklus kehidupan.
Namun,
aku tidak memiliki semua tahapan itu. Aku tidak akan menua, tapi terlebih dulu
telah terlupakan. Tak heran, hidup jadi begitu menyiksa, dan dunia berubah
menjadi neraka jahanam.
Hidup
begitu sepi dan sunyi, sebab tak ada seorang pun yang mengarah pandang padaku.
Setitik senyum pun tak pernah kudapat, bahkan aku telah lupa bagaimana senyum itu.
Melengkung ke ataskah, atau ke bawah, mungkin saja hanya garis lurus? Rasanya
tak pernah terpikirkan olehku.
Sampai
suatu hari, aku memikirkannya berulang kali.
Hari
itu hujan turun cukup deras, aku duduk di dalam kereta bawah tanah, terpojokkan
sendiri, sama setiap harinya sejak beratus tahun lalu tanpa merasa bosan. Toh, hidup ini sudah begitu membosankan,
mutlak.
Namun
tak seperti biasanya−dimana orang-orang setidaknya menjaga jarak sejauh kurang
lebih lima meter dariku−seorang gadis duduk di sebelahku. Sekali lagi kuulangi,
tepat di sebelahku. Entah badai apa yang telah membawanya duduk disana, aku tak
tahu.
Kurasakan
kepalaku mulai terasa berat akibat berpikir, terlebih kala ia mulai melempar
sapa disertai sebuah senyum padaku. Ya, padaku. Aku pun hanya bisa terdiam
sambil menatapnya takjub.
“Kau
tida apa? Apa kau sakit?” tanyanya terlihat khawatir, tapi aku lebih khawatir
di banding dia. Oh, bahkan sekarang tangannya menyentuh dahiku! Aku mulai
panik.
Aku
masih terdiam, tak membalas setiap kata yang keluar dari bibir mungilnya sampai
kereta berhenti dan ia turun sambil melambaikan tangan ke arahku. Dan hari itu
berakhir sampai disana.
.
.
.
Apa
aku pernah berkata bahwa senyum itu berakhir sampai lambaian tangan membawanya
menghilang dari hadapanku?
Baiklah,
lupakan semua itu. Karena semua berakhir dengan tidak mudah.
Tepat
esok harinya, ketika cuaca yang cerah tetap tak mampu menarikku untuk bermain
di bawahnya, melainkan tetap pada aktivitasku−duduk di kereta bawah tanah. Aku
melihatnya untuk yang kedua kali. Menyerukan sapa serta senyum dan mencoba
mengajakku berkomunikasi, tapi aku tetap diam.
Untuk
hari-hari berikutnya, hal itu terus berulang.
Hari
ketiga, empat, hingga hari ketujuh, aku tetap diam tak menanggapi. Hari ke
delapan, aku mulai kasihan dengannya, jadi aku menanggapi hanya sekedar
anggukan atau gelengan. Ia terlihat begitu senang, meski setiap pasang mata di
dalam kereta menatap kami dengan tatapan aneh, takut, dan lainnya yang bersifat
negatif.
“Apa
sebenarnya kau−hm, maaf−tidak bisa bicara?” tanyanya entah pada hari ke berapa,
aku tak pernah menghitungnya lagi. Aku menggeleng. “Jadi kau bisa bicara?” Dan
aku mengangguk. Dapat ku lihat ia tersenyum lebar sebelum kembali bersua. “Lain
kali, bicaralah padaku,” ucapnya perlahan.
Aku
menatapnya penuh selidik. Seingin itukah ia bicara padaku? Aku kembali
mengangguk untuk menanggapi perkataannya.
Kereta
berhenti dan pintu pun terbuka. Sebentar lagi, gadis itu akan turun lalu
menghilang di balik pintu, sebagaimana hari-hari sebelumnya berlalu.
Tapi
entah perasaan apa yang membuatku untuk ikut turun lalu mengikuti langkahnya
diam-diam. Di luar, langit malam tengah dihiasi oleh ribuan kilau bintang
berkelap-kelip. Bulan pun menggantung cantik di atas sana.
“Apa
yang kau lakukan?!”
Pekikkan
gadis itu membuatku segera mencari tempat persembunyian. Takut-takut bahwa ia
akan mengetahui kalau aku mengikutinya.
“Lepaskan!!”
Pekikkan
itu lagi. Aku mengintip kearah gadis itu. Ternyata, terikan itu bukan di
tujukan padaku, melainkan pada dua lelaki kekar yang sekarang mencengkeram
kedua lengannya, dan seorang lagi tengah berdiri di hadapan gadis itu sambil
tersenyum licik.
Oh,
sial. Apa yang mereka lakukan pada gadis itu?
“Ini
sudah hari terakhir! Dan kau masih belum dapat melunasinya?!”
“Tinggal
sedikit lagi. Besok aku janji akan melunasinya.”
“Besok,
besok, dan besok! Apa kau tidak mengenal hari lain selain besok, hah?! Dasar!!”
Laki-laki
di hadapan gadis itu mengangkat tangannya dan semua orang pasti tahu apa yang
akan terjadi selanjutnya. Tapi, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Bukkk!!
Laki-laki
itu terjatuh dengan sebelah ujung bibir mengeluarkan darah. Ia berdiri lalu
menatapku penuh amarah.
“Kau?”
Dapat kulihat gadis itu menatapku penuh keterkejutan.
“Beraninya
kau ikut campur dalam urusan kami, hah?!!” Tinju itu kembali melayang kearahku.
Tapi ia kalah cepat denganku, ia pun kembali terjatuh.
Pria
itu mencoba berdiri dan aku menendang keras dadanya, alhasil ia kembali mencium
tanah. Ia melirik temannya meminta pertolongan, tapi sayang, aku melihat hal
itu. Pria botak yang sebelumnya menengkeram lengan kiri gadis itu kini berlari
hendak memukulku, dengan cepat kutendang dia. Sekarang, kedua pria dewasa itu
bersekongkol menyerangku.
Tapi
tak lama, mereka mulai lelah. Entah jurus apa yang aku lakukan. Hanya saja, aku
paham akan satu prinsip. Pukulah ia sebelum ia memukulmu. Jadi, kuncinya
hanyalah kecepatan, dan tak ada manusia yang mampu mengalahkan kecepatanku.
Dengan semudah itu, aku pun menang.
Saat
mereka lengah, aku menarik gadis itu berlari menjauh, entah kemana, yang
penting kami aman.
Kami
duduk di tepian sungai setelah merasa cukup jauh dari penjahat-penjahat itu.
“Terima kasih,” ucapnya menghapus kesunyian malam. Aku yang menatap jauh ke
dalam sungai hanya mengangguk sekilas.
“Tadi
kau hebat sekali.” Ia memujiku. Aku lalu menatapnya sebentar, hanya
mengisyaratkan bahwa aku menyimak ucapannya.
Setelahnya
hanya suara angin yang mendominasi serta gemerisik air yang mengalir. Aku tak
mencoba untuk mengajaknya bicara, karena memang tak pernah. Tapi anehnya, gadis
itu yang diam cukup lama membuatku ikut bertanya.
Apa
ia masih terkejut dengan peristiwa tadi? Tapi, kurasa ia telah terbiasa dengan
adegan ‘tatap pandang’ dengan preman-preman itu. Lalu, apa yang membuatnya
terdiam?
“Sudah
malam, lebih baik aku pulang,” pamitnya sambil berdiri dari duduk. Ia menatapku
sekilas sebelum mengambil langkah untuk pergi.
“Hati-hati.”
Ia
berhenti lalu berbalik menatapku heran. Beberapa detik kemudian barulah ia
tersadar dan tersenyum kearahku.
“Terima
kasih,” ujarnya membalas ucapanku.
Aku
menatap punggungnya yang semakin menjauh. Terasa ada yang aneh pada diriku hari
ini. Dan ada sesuatu yang mengganjal kala sosok itu semakin kecil di
penglihatanku.
“Tunggu.”
Aku berlarian lalu meraih tangannya.
“Ah,
ada apa?”
“Preman
itu pasti menunggu di depan rumahmu,” ucapku sedikit terengah.
“Benar
juga, tapi… aku harus kemana?”
“Ikut
aku.”
“Tunggu!
Hmm, bahkan aku belum tahu namamu,” ucapnya sedikit ragu. “Namaku Jia.”
“Kris.”
.
.
.
“Wah!
Jadi ini tempat tinggalmu?” Jia bertanya. Mengamati sekeliling ruang apartement
itu dengan takjub.
“Ya.”
Kris menjawab pelan lalu duduk di atas sofa
ruangan itu.
Jia
mengamati pria itu dengan hati-hati. Gadis itu sedikit heran. Bagaimana tidak?
Apartement itu lumayan megah. Tidak, sangat megah dan mewah. Sedangkan
penampilan Kris lebih seperti… hm, orang yang berasal dari abad pertengahan.
Rambut
kecokelatannya yang cukup panjang dibiarkan bebas begitu saja, seperti tak
pernah disisir. Baju berwarna cokelat dengan jaket kulit serta celana panjang
berwarna hitam, semuanya nampak lusuh. Belum lagi sepatu yang harusnya berwarna
putih itu kini terlihat kecoklatan akibat lumpur ataupun debu-debu yang
menempel.
Tapi
disamping semua penampilannya yang cukup buruk, Jia mengakui bahwa Kris memiliki
wajah yang cukup tampan. Mungkin hanya perlu sedikit di rawat.
“Aku
akan tidur di sofa, jadi kau bisa
tidur di kamar,” ucap Kris sambil melemparkan jaket lusuhnya ke sandaran sofa.
“Tidak,
tidak. Aku yang tamu, jadi lebih baik jika aku yang tidur di sofa.” Jia membuat sebuah penjelasan,
sedikit merasa tidak enak sudah menumpang di rumah Kris.
“Baiklah.”
Jia menatap Kris tidak percaya. Laki-laki itu bahkan tidak membantah
keinginannya untuk tidur di sofa,
bukankah setiap orang biasanya melakukan hal seperti itu?
Jia
membaringkan tubuhnya di atas sofa
sementara Kris sudah terlebih dulu memasuki kamar untuk istirahat.
Tak
berselang beberapa menit, terdengar suara ketukan di pintu kamar Kris. “Kris,
Kris,” panggil Jia lirih.
Kris
berjalan gontai membuka pintu kamar. “Ada apa?” tanyanya.
“Hm,
maaf sudah menganggumu. Tapi, hmm, apa kau punya sedikit makanan?” tanya Jia
merasa tidak enak. Tapi, mau bagaimana lagi? Perutnya hanya terisi pagi tadi
dan sekarang sedang memberotak ingin diisi kembali.
Mungkin
Jia bisa saja mengambil makanan diam-diam tanpa memberitahu Kris, itu hal
pertama yang ingin ia lakukan sebelumnya. Namun, Jia harus memutar otak kala
matanya tak melihat keberadaan sebuah lemari es, terlebih di laci-laci dapurnya
tak terdapat secuil bahan makanan.
Dan
disinilah ia sekarang. Duduk di depan TV sambil menyantap pizza yang di pesan Kris beberapa menit yang lalu.
“Kau
tidak makan?” tanya Jia ketika matanya menangkap Kris hanya menatapnya tanpa
menyentuh makanan di atas meja.
“Aku
tidak lapar,” jawab Kris sambil menyandarkan punggung di sofa lalu tangannya bergerak mengambil remote dan kemudian menyalakan TV.
“Terima
kasih sekali lagi. Dan, maaf sudah merepotkanmu,” ujar gadis itu setelah pizza di atas meja habis.
Kris
tak menjawab apapun, fokusnya masih berada di depan TV. Jia sedikit melengus.
Lagi-lagi Kris tak menanggapi perkataannya. Tapi, Kris bicara cukup banyak hari
ini, bahkan ini hari pertama Kris mengeluarkan suaranya di hadapan Jia. Dan itu
setidaknya membuat gadis itu bisa sedikit bernapas lega.
“Kau
istirahatlah di kamar.”
“Eh?
Apa?” Jia tidak mencerna perkataan Kris dengan baik atau mungkin… ia sedikit
heran.
“Aku
masih ingin menonton TV, jadi kau istirahat di dalam,” ulang Kris.
“Hmm,
ya.” Jia menjawab dengan ragu. Oh, pada akhirnya Kris membiarkan Jia untuk
tidur di kamar, bukan di sofa.
Bukankah itu yang Jia harapkan?
“Terima
kasih,” ucap Jia yang lebih seperti bisikan. Namun, sekecil apapun suara itu,
Kris tetap dapat mendengarnya.
.
.
.
Mentari
telah menggantung di langit pagi, membiaskan cahayanya yang sedikit redup
akibat mendung di atas sana. Tapi, Kris tetap tahu bahwa ia terlambat.
Laki-laki
jangkung itu melangkah ke jendela lalu menutup tirainya rapat-rapat. Oh, ia
benci matahari, benda bulat berwarna kuning itu seakan ingin memanggangnya
hidup-hidup, dan Kris tak suka itu. Baru sedetik ia akan melangkah menuju sofa, perhatiannya teralih pada note yang tertempel di layar televisi.
Terima
kasih atas tumpangannya, juga makanannya, dan bantuannya. Aku harus pergi
bekerja. Lain kali pasti ku balas kebaikanmu. Sekali lagi, terima kasih.
Itu
pasti pesan dari Jia, pikir Kris. Laki-laki itu meremas kertas berwarna hijau
terang tersebut lalu membuangnya ketempat sampah. Sebelah tangannya meraih
botol air mineral lalu meneguk isinya dengan perlahan.
Ia
malas keluar hari ini. Malas menemukan seribu macam tatapan serta ekspresi
orang di luar sana. Dan, ia juga sedang tak ingin bertemu benda panjang dengan
laju seperti jet−tempat dimana biasanya
ia menghabiskan waktu seharian.
Lagipula,
energinya cukup banyak hanya untuk berdiam diri di dalam rumah seharian. Yah,
setidaknya itu yang Kris pikir sebelum ia sadar bahwa energinya telah terpakai
banyak untuk melawan preman-preman di hari kemarin.
Kris
menatap remukan kertas yang ia buang beberapa waktu lalu.
“Sepertinya
aku harus keluar sore nanti.”
.
.
.
Jia
menuruni kereta dengan bingung. Tak seperti hari biasanya, dimana orang-orang
akan bergunjing satu sama lain mengenai pria dengan baju lusuh yang selalu
duduk di pojok kereta, mereka terlihat berbincang tentang hal lain, bukan
tentang pria itu, karena nyatanya ia tidak ada. Ya, Kris tidak datang hari ini.
Dan itulah yang membuat Jia bingung.
Gadis
itu melempar pandangannya ke seluruh stasiun, mengakomodasikan matanya dengan
maksimal. Berharap dengan begitu ia dapat menemukan sosok tinggi itu di balik
ratusan orang.
“Aw!!”
Hampir saja gadis itu terjatuh akibat menginjak tali sepatunya sendiri. Ia berjongkok lalu mulai berkutat dengan
benda penuh jalinan tersebut. “Selesai!” serunya lalu bangkit. Tapi kemudian−
“Aaaa!!!!”
−gadis
itu berteriak.
Kris
hanya menatap Jia datar seperti biasanya. Berbanding terbalik dengan ekspresi
yang sekarang di perlihatkan oleh Jia. “Sejak kapan kau disana?” Ia mulai
berteriak.
“Sejak
kau baru akan mengikat tali sepatumu,” ujar Kris lalu melangkah mendahului. Jia
terdiam, berpikir. Sadar, bahwa Kris meninggalkannya, Jia pun berlari mengejar
laki-laki itu.
“Tapi,
kenapa aku tidak melihatmu?” Kris hanya mengendikkan bahu. Sama sekali tidak
memecahkan tanda tanya besar di kepala Jia, malah membuat gadis itu semakin
bingung.
“Oh,
ya!” seru Jia, baru ingat akan suatu hal. “Ayo, ikut aku!” Gadis itu menarik
tangan Kris, berlari kecil sambil menghindari orang-orang di keramaian.
Kris
terdiam kaku setelah mereka duduk di tempat yang ingin di tunjukkan oleh Jia.
Laki-laki itu tak tahu harus berbuat apa.
“Maaf,
aku tidak bisa mentraktirmu di restoran mewah. Tapi, makanan disini juga tak
kalah enaknya!” ucap Jia berusaha untuk menghilangkan wajah muram Kris.
Kris
memperhatikan sekilas kedai makan murahan yang mereka kunjungi. Tak terlalu
buruk jika benar makanannya enak. Tapi bukan itu yang menjadi masalah untuk
Kris.
“Jadi,
kau mau pesan apa?” tanya Jia begitu ibu penjaga kedai sudah menghampiri
mereka.
“Hm,
bukan maksudku menolak. Tapi, sungguh, aku sudah makan,” tolak Kris dengan
halus. Terlihat waut kecewa di wajah Jia.
“Yasudah,
bubur ayamnya satu, Bi.” Jia menumpukan dagu di kedua tangannya sambil
memperhatikan Kris. “Aku akan mentraktirmu lain kali.”
“Kusarankan
untuk tidak mentraktirku makanan.”
“Kenapa?”
“Aku
mempunyai selera makanan yang sulit.”
Dan
jenis makanan kita berbeda, nona, ujar Kris dalam hati.
.
.
.
“Kau
tidak pulang?”
Suara
angin berhembus memenuhi ruangan itu. Kris masih bergeming. Kakinya
menendang-nendang dedaunan kering yang memenuhi trotoar. Laki-laki itu hanya
menunduk, memperhatikan sepasang kakinya dan Jia yang menyapu jalanan.
“Mungkin
preman itu masih mengejarmu,” ucapnya lalu. Jia tersenyum simpul.
“Terima
kasih,” ucap gadis itu tulus.
“Kau
selalu mengucapkan terima kasih.”
Kris
memandang langit malam yang terang oleh bintang-bintang serta lampu toko yang
menyilaukan, sementara Jia memandangi Kris dengan senyuman lebar−dua hinga tiga
jari.
“Itu
karena kau selalu membantuku.”
Sunyi
lagi. Tak pernah tercipta percakapan panjang diantara mereka. Sibuk akan
pikiran masing-masing atau hanya sekedar menikmati suasana malam itu yang cukup
bersahabat. Tak seperti pagi tadi dimana langit terlihat mendung, seharian ini
hujan bahkan tidak turun. Cuaca memang tak menentu akhir-akhir ini.
“Itu
rumahku.” Jia menunjuk sebuah bangunan yang tak cukup luas. Sebuah pintu kayu
kecil menyambut kedatangan mereka sebelum masuk ke halaman rumah. Rerumputan
tumbuh tak teratur pun menjulang tinggi akibat tak pernah di pangkas.
“Apa
ini?!”
Jia
berlarian menuju pintu rumahnya lalu merobek kertas yang tertempel disana.
Surat
rumah ini sudah ada pada kami. Rumah ini kami sita sebagai ganti dari semua
hutangmu.
Jia
jatuh terkulai, tangannya masih menggenggam erat surat itu. Kris menatap Jia
dengan datar, baru setelahnya ia meraih kertas itu dan membacanya perlahan.
“Kenapa
surat itu bisa ada pada mereka?” tanyanya biasa, tak terlihat raut khawatir
sedikitpun di wajahnya.
“Mereka
pasti sudah membongkar rumah ini.” Jia bangkit lalu perlahan membuka kenop
pintu.
Dan,
benar saja. Segala perabotan yang ada disana terurai tak menentu, kebanyakan
dari mereka hancur dan tak berbentuk lagi. Kris ikut masuk ke dalam sambil
memperhatikan rumah itu. Matanya kemudian menemukan Jia yang sedang memungut
foto keluarganya dengan kaca bingkainya yang pecah.
Kris
jadi ingat saat ia masih mempunyai keluarg. Begitu hangat dan mungkin kalian
sudah tahu bagaimana rasanya. Tapi sayang, kehangatan itu lenyap meninggalkan
Kris seorang diri.
Tidak
sepenuhnya salah keluarga Kris yang meninggalkannya, hanya saja mereka harus
menghadapi takdir yang merenggut nyawa mereka sebagai hasil akhir dari sebuah
kehidupan.
Kris
heran, mengapa ia tak seperti keluarganya, tidak juga seperti manusia lain yang
hidup lalu harus meregang nyawa. Ia ingin seperti itu, ia bosan hidup. Kris
sering berangan, andai saja waktu malam hari ia tertidur dan besok pagi ia tak
harus bangun karena ia tak bisa membuka mata, tak juga bernapas.
Memikirkan
h itu membuat Kris merasa pusing. Masih dilihatnya Jia berlutut di lantai
sambil memeluk foto keluarganya.
Kris
mengambil napas satu-satu. Penglihatannya mulai memburam dan yang ia lihat
setelahnya hanya gelap. Samar-samar terdengar isakkan tangis Jia yang menggema
di telinga Kris.
Setelahnya,
Kris benar-benar tak merasakan apapun.
.
.
.
Kris
membuka kelopak matanya perlahan. Sinar lampu di kamar itu sedikit menyilaukan
penglihatannya. Pelan ia gerakkan tubuhnya yang terasa kaku−membuatnya mengerang
beberapa kali−hingga perlahan ia terduduk di atas kasur.
“Kau
sudah bingung?” Jia yang semula berada di samping jendela segera menghampiri
Kris.
Laki-laki
itu masih memegangi kepalanya yang terasa pening. “Berapa lama aku pingsan?”
Jia
melirik jam dinding yang ada di kamar itu. “Jam 9 nanti tepat dua hari,” jelas
Jia tanpa menarik raut keheranan dari wajah Kris.
Tapi
kemudian Kris mengernyit heran kala matanya menemukan ruangan itu sama seklai
tak ia kenal. “Kita dimana?”
“Di
rumahku. Beruntung preman itu tidak datang. Oh ya, kau mau makan apa?”
“Tidak.
Aku tidak ingin makan.”
“Tapi,
kau harus makan. Sudah dua hari−“
“Sudah
ku bilang tidak!”
Jia
menatap Kris kaget, tak percaya bahwa laki-laki itu akan membentaknya seperti
tadi. “Baiklah, sepertinya kau perlu istirahat lagi. Kalau butuh sesuatu, kau
bisa panggil aku.”
Kris
mendengus keras setelah pintu kamar itu tertutup. Sebenarnya, ada apa
dengannya? Energinya habis begitu saja, bahkan tanpa ia sadari. Kris segera
bangkit dari tempat tidur lalu melangkah keluar kamar.
Tak
seperti hari kemarin, rumah itu kini sudah bersih dan rapi. Kris yakin, pasti
Jia yang membersihkannya.
“Kau
mau kemana?” Jia berlari mengejar Kris yang kini sudah sampai di halaman depan.
“Aku
ingin keluar,” jawab Kris tanpa menghentikan langkah pastinya. Jia berlarian
masuk ke dalam rumah, mematikan kompor yang digunakannya untuk merebus air lalu
kembali mengejar Kris.
Langkah
Kris membawa mereka sampai di pusat kota, dimana banya orang berlalu-lalang dan
puluhan toko yang menjajakan barang dagangannya.
“Kau
mau kemana?”
Pertanyaan
Jia menggantung di udara kemudian terhempas angin begitu saja. Kris masih
terdiam. Berdiri diantara ribuan orang yang melangkah kesana kemari dan hanya
memejamkan mata.
“Kau
tidak apa, Kris?” tanya Jia khawatir. Ia tentu kebingungan dengan sikap Kris
saat ini, terlebih ia bertindak hal yang aneh. Dan lagi, hanya sayup angin yang
menjawab pertanyaan Jia.
Lama
waktu berlalu, mereka hanya terdiam di tempat itu. Sedikitpun tak berniat
melangkah pergi, meski semua orang membicarakan bahkan tak segan memarahi di
depan wajah. Mereka tetap bergeming. Jia tak akan meninggalkan Kris begitu
saja, entah mengapa. Mungkin itu caranya membalas budi.
Langit
tengah malam telah merambat menuju dini hari. Bintang-bintang pun terlihat
enggan menampakkan diri. Dan disanalah Kris akhirnya membuka mata. Menemukan
keramaian yang terakhir kali ia lihat telah berganti dengan sunyi.
“Kau
pulanglah,” ucapnya memecah sunyi. Tanpa menoleh pun Kris tahu bahwa Jia masih
berdiri di sampingnya sejak berjam-jam lalu.
“Tapi−“
Jia
tak dapat melanjutkan kalimatnya sampai hari itu berakhir karena Kris sudah
pergi meninggalkannya begitu saja. Gadis itu menatap punggung Kris yang semakin
menjauh.
Sebenarnya kau kenapa, Kris? Siapa
kau sesungguhnya??
.
.
.
To
Be Continue….
Komentar
Posting Komentar