Title:
Snowy Wish
Scriptwriter:
NanaJji (@nana_jji)
Cast(s):
Kim Jongin [EXO] || Kim Soo Jin [OC] || Kim Myung Soo [INFINITE] as cameo
Genre:
Romance, Angst, Sad
Duration:
Vignette
Rating:
PG-15
Summary:
Kodrat
dan takdir begitu ilusi untuk di bicarakan, namun begitu mudah untuk di bayangkan.
Karena fakta dan bukti terlalu naïf untuk di percaya.
Bulir-bulir salju semakin cepat
berjatuhan, seiring dengan langkah kaki Soo Jin yang mempercepat
langkahnya. Ia ingin segera sampai di
tempat tujuannya, tak menyiakan barang sedetik saja waktu hanya untuk
memperhatikan sekitar, dimana orang-orang sedang sibuk memasuki rumah atau
hanya sekedar mencari tempat berlindung dari ribuan salju yang menyerang.
Kepulan asap silih berganti keluar
dari mulut Soo Jin, suhu udara yang semakin dingin tak dapat ia rasakan, karena
nyatanya bulir-bulir keringat berjatuhan di sekeliling dahi miliknya.
Hingga akhirnya ia sampai. Sepi. Ia
tak menemukan siapapun disana. Hanya sebuah taman yang kosong dengan setiap
tapak jalan dan pepohonan disana yang tertutup salju.
Soo Jin melangkahkan kakinya menuju
sebuah bangku taman. Soo Jin mengamati bangku itu, ribuan butir salju juga
menutupi permukaannya, pertanda bahwa tak ada seorang pun yang duduk disana
sebelumnya.
Dan Soo Jin pun menjadi yang
pertama. Sedikit mengusap dudukan bangku taman itu, membiarkan para salju
menyingkir dari tempatnya. Soo Jin pun mendudukkan dirinya.
Gadis itu mengamati sekitar.
Rasanya sudah lama ia tak datang ke tempat itu. Meskipun ia ingat, setiap tahunnya
ia akan datang kesana, duduk di tempat yang sama, dan itu selalu terjadi saat
hari pertama turun salju, layaknya hari ini. Ia tak tahu mengapa. Namun ia
rasa, seseorang selalu menunggunya disini.
Tak banyak yang dapat ia lakukan,
tak banyak pula yang dapat ia lihat. Ia hanya duduk dan terus berharap,
mengharapkan seseorang. Kedua telapak tangannya ia gosokkan, suhunya
benar-benar sangat rendah, membuatnya harus menciptakan kehangatan untuk
dirinya sendiri.
Gadis itu melirik arloji tangannya
entah sudah yang keberapa kali. Satu jam lamanya ia menunggu dan nihil. Tak ada
apapun yang bisa mewujudkan harapannya, karena nyatanya sosok itu tak datang ̶
lagi.
Langit semakin berawan, tak ingin
menampakkan sedikitpun cahaya si mentari. Asap-asap tipis pun mulai melayang di
udara. Aktivitas di sekitar terlihat begitu lenggang dan gadis itu masih duduk
disana, menunggu.
Satu setengah jam.
Dua jam.
Dua setengah jam.
Begitu seterusnya hingga langit
menggelap dan gemerlap lampu jalanan menerangi kota. Ia masih duduk disana,
menunggu. Sampai sebuah suara menyapa dirinya. Ia menoleh, mendapatkan seorang
laki-laki berkulit agak gelap menduduki satu-satunya ruang di sebelahnya.
Soo Jin menatap laki-laki itu
bingung, ia merasa tak pernah mengenalnya, bahkan ia ingat tak pernah bertemu
dengan laki-laki itu. Ia tahu, ingatannya tak begitu lemah. Namun kali ini ia
agaknya gusar, karena sedaritadi laki-laki itu terus tersenyum padanya. Sebuah
senyuman yang entah mengapa ia rindukan.
“Siapa kau?” tanyanya sarkastis,
merasa sangat terintimidasi oleh senyuman itu.
Laki-laki itu mengulurkan tangannya
dan menjawab. “Namaku Kim Jongin. Kau?”
“Kim Soo Jin.” Soo Jin tak
mengindahkan uluran tangan Jongin, matanya enggan menatap kearah sana. Entah
mengapa, wajah Jongin dapat memutar balik memori pahit di benak Soo Jin.
“Apa kau menyukai salju?”
“Ya, jika yang kau maksud ‘suka’
berarti tidak benci.”
“Lalu, apa yang kau lakukan disini?”
Soo Jin terdiam. Apa yang ia lakukan, ia belum tahu pasti.
“Memangnya semua hal harus
mempunyai alasan? Aku hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan.” Jongin
mengangguk perlahan lalu menatap kedepan. Ribuan titik-titik salju masih
berjatuhan, memenuhi setiap ruang yang ada di hadapannya.
Jongin tiba-tiba berdiri dari
duduknya dan melangkahkan kaki meninggalkan Soo Jin dengan beribu pertanyaan.
Membuat gadis itu berasumsi sendiri. Laki-laki
memang selalu dengan mudahnya meninggalkan perempuan seorang diri, pikir
Soo Jin.
Beberapa menit kemudian, Soo Jin
masih setia duduk di bangku itu, menikmati kesendiriannya bersama dengan
tumpukan salju di sekitarnya. Dingin semakin menusuk, hingga ia lagi-lagi harus
mengusap-usap kedua tangannya demi menciptakan kehangatan tersendiri.
“Maaf, aku telah membuatmu menunggu
lama.” Suara itu terdengar di telinga Soo Jin sambil pelakunya menyodorkan
segelas cokelat hangat. Jongin, laki-laki itu kembali lagi. “Kurasa ini cukup
ampuh untuk membunuh rasa dingin.”
Tanpa perlu berpikir panjang, Soo
Jin menerima uluran cokelat hangat itu, karena nyatanya ia benar-benar
membutuhkannya. “Gomawo,” ucap gadis
itu ragu.
Jongin hanya tersenyum melihat
sikap Soo Jin. Gadis itu mulai sedikit, sangat sedikit ramah dan itu terlihat
lucu di mata Jongin.
Beberapa percakapan mereka lewati,
meskipun nyatanya di dominasi oleh Jongin, sementara Soo Jin tetap setia
mendengarkan dan sesekali mengeluarkan tanggapan singkat.
_~**-**~_
Hari kedua turunnya salju.
Soo Jin kembali melangkah menuju
taman itu. Duduk di bangkunya seperti tempo hari dan menunggu. Menunggu
seseorang yang menghilang begitu saja dari hidup Soo Jin sejak dua tahun
lamanya. Namun, hingga sekarang ia tak berkabar.
Jahat. Egois. Bahkan ia tak pernah
sekadar mananyakan kabar gadis itu. Membiarkan manusia kecil sepertinya
menunggu tanpa kepastian. Seperti mencari ujung dari sebuah lingkaran. Tak
tentu kapan ia menemukannya, bahkan tak akan.
Dan di tengah-tengah kemelut yang
mampu menjatuhkannya, laki-laki itu datang lagi.
“Hai.”
“Jongin?” Alis Soo Jin berkedut
ketika kedua maniknya menemukan sosok Jongin tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Jongin tersenyum penuh arti.
Agaknya ia senang mendengar nada suara Soo Jin yang terdengar lebih akrab.
Tentu ia tak ingin gadis itu menjadi sosok dingin seperti hari-hari sebelumnya.
“Kurasa tidak semua hal harus mempunyai alasan,” jawab Jongin seraya duduk di
samping Soo Jin.
“Ya, kurasa juga begitu.” Gadis itu
tersenyum untuk pertama kali selama Jongin mengenalnya.
“Apa agendamu hari ini? Apa hanya
akan duduk disini seperti kemarin?” Soo Jin menatap Jongin, membenarkan ucapan
laki-laki itu. Jongin mengeratkan mantel bulu yang ia kenakan. “Hmmm,
sepertinya aku harus mencari suatu kegiatan agar tetap bertahan.”
“Bertahan?”
“Ya, bertahan dari cuaca dingin
ini. Bisa-bisa aku mati kedinginan jika harus duduk disini seharian tanpa
melakukan apapun, bukan begitu?” Jongin menatap Soo Jin demi meyakinkan apa
yang ia katakan, namun gadis itu balik menatap Jongin penuh tanya.
“Maksudmu?”
“Kau dan aku ̶ kita akan berada
disini seharian.”
“Untuk?” Lagi-lagi Soo Jin
mengeluarkan pertanyaan. Sedikit kesal memang, saat ia harus berkali-kali
bertanya dan di jawab dengan hal yang mengundang pertanyaan.
“Bukankah kau akan menunggu
disini?” Soo Jin mengangguk, “ya, aku akan menemanimu.” Jongin berdiri dari
duduknya lalu menghadap kearah Soo Jin. “Apa kau ingin bermain lempar salju?”
Uluran tangan Jongin tak di
indahkan oleh Soo Jin, gadis itu menatap Jongin dalam diam. “Aku sedang tidak
ingin melakukannya,” jawab gadis itu akhirnya.
“Tidak apa. Tapi lain kali kau
harus ikut, karena itu sangat menyenangkan!” ucap Jongin penuh semangat lalu
memamerkan deretan gigi putihnya yang tertata rapi.
Jongin berlari ke depan dan
mengambil bulir-bulir salju lalu membentuknya seperti bola. Namja itu membuat manusia salju dan
bentuk-bentuk lainnya yang mampu membuat Soo Jin tersenyum. Bahkan sesekali ia
akan saling melempar bola salju dengan anak-anak kecil yang sedang bermain di
sekitar.
Hari itu berlalu sangat cepat bagi
Soo Jin. Tak seperti hari biasanya, begitupun dengan perasaannya yang menjadi
tak seperti biasa.
Ia merasa nyaman di dekat Jongin.
Begitupula dengan namja itu yang
datang setiap harinya untuk menemani Soo Jin. Mengukir senyum di wajah gadis
itu. Senyuman yang terkadang membuat Jongin tak menyadarinya bahwa ia menyukai
senyum itu.
Senyuman yang hilang sejak dua
tahun lalu itu kini telah kembali secara perlahan namun pasti. Jongin berani
bertaruh.
_~**-**~_
Musim mulai ke penghujung. Dingin
tak lagi begitu terasa menyerang kulit. Namun Soo Jin masih tetap berada di
sana. Hanya saja keadaannya tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Kali ini ia tak
sendiri, ada Jongin di sebelahnya. Tak lagi wajah tanpa ekspresi, sepanjang
musim ia tersenyum.
Kadang, di malam hari, Soo Jin
sering berpikir. Jongin, laki-laki itu tiba-tiba datang begitu saja di
kehidupannya, tanpa ia tahu dan tanpa ia kehendaki, semuanya berjalan begitu
saja. Siapa sebenarnya Jongin? Mengapa laki-laki itu begitu peduli pada gadis
yang bahkan tak mempedulikan dirinya sendiri?
Dan hari ini seperti biasanya, Soo
Jin sedang duduk sendirian di bangku taman itu ketika tiba-tiba Jongin
mengagetkannya dari belakang.
“Ada apa?” tanya Jongin begitu
melihat ekspresi muram Soo Jin. Gadis itu jelas-jelas terlihat tidak nyaman,
bahkan ia terus-terusan menggigiti bibir bawahnya.
“Tidak apa. Hanya saja… tadi malam
aku mimpi buruk,” jawab Soo Jin gamblang.
“Ah, hanya mimpi buruk, tak usah
dipikirkan. Bukankah itu hanya bunga tidur semata?” Soo Jin mengangguk,
berusaha mensugestikan ucapan Jongin pada dirinya sendiri.
Setelahnya hening menguasai udara
di sekitar mereka. Entah mengapa, baik Soo Jin ataupun Jongin enggan untuk
bersuara, mereka masih sibuk akan pikiran dan ketakutan masing-masing. Sampai
ketika mata Jongin tertumpu pada kuncup-kuncup bunga yang siap untuk
bermekaran, ia mulai sadar akan waktu.
“Sebentar lagi musim akan berganti,
apa kau masih akan terus diam disini?” tanya Jongin gamblang. Ia tak ingin
susah-susah memikirkan basa-basi perkataannya, ia ingin segera mengakhiri semua
ini. Secepatnya.
“Entahlah, apa yang mungkin bisa
kulakukan selain menunggu?”
“Kau masih ingin tetap menunggu
setelah sekian lama kau diam disini dan hasilnya, nihil!? Kau tak mendapatkan
apapun, Soo Jin-ah.” Nada suara Jongin
sedikit meninggi, ia sungguh tak ingin melihat Soo Jin yang seperti ini. Ia tak
bisa.
Soo Jin hanya terdiam. Ia tahu,
dirinya terlalu egois. Tapi mau bagaimana lagi, inilah yang diinginkan hatinya,
meski semakin lama ia disini semakin dalam rasa perih yang menjalar di sekujur
tubuhnya.
“Kurasa ia tak akan pernah datang,”
ucap Jongin sarkastis.
“Jika kau lelah menunggu bersamaku,
lebih baik tinggalkan aku sendiri.” Mata Soo Jin mulai berkaca-kaca. Tanpa
menghiraukan gadis itu, Jongin berdiri dari duduknya.
“Setidaknya, aku sudah
memperingatkanmu.”
Jongin lalu pergi begitu saja. Air
mata Soo Jin mulai berdatangan, menuruni pipinya dengan perlahan dan semakin
deras. Gadis itu menangis sejadinya. Ia sedih ̶ tentu saja ̶ dan ia heran.
Apakah dirinya selalu berakhir dengan di campakan? Tak adakah sedikit ketulusan
yang layak ia terima?
_~**-**~_
Tak seperti hari biasanya, gadis
itu melangkah dengan ragu. Air mukanya nampak tak baik. Lingkaran hitam
menghuni bawah matanya, begitupula dengan wajahnya yang terlihat pucat.
Mata Soo Jin membulat sempurna
begitu ia sampai di bangku taman yang menjadi sahabatnya sepanjang waktu.
Disana berdiri seorang namja yang
sedang membelakanginya. Soo Jin menggelengkan kepalanya ragu, ia tak yakin
dengan apa yang ia lihat.
Jaket tebal berwarna hitam yang
membungkus dirinya sangat Soo Jin kenal, begitu juga dengan parfum yang menguar
di permukaan hidung Soo Jin, gadis itu jelas sangat mengenalnya.
Namun ia tetap menatap dengan ragu.
Apa ia sedang bermimpi? Atau hanya khayalannya semata? Rasanya kecil
kemungkinan orang itu muncul saat ini di hadapan Soo Jin, meskipun dirinya
sendiri sungguh menginginkan itu.
Tapi, benarkah itu dia? Orang yang
selama ini telah menjungkirbalikkan dunia Soo Jin begitu saja. Orang yang di
tunggunya selama seharian hingga bertahun-tahun akan hadir di hadapannya.
Soo Jin melangkah perlahan sambil
menggumamkan nama yang selama ini seperti sihir dalam hidupnya.
“Myung…Myung Soo oppa…,” lirih Soo Jin.
Laki-laki itu membalikkan badannya,
memperlihatkan wajah yang sangat Soo Jin kenal dan berhasil membuat
keterkejutan gadis itu meningkat seratus persen.
“Kim Jongin?!”
_~**-**~_
Salju telah berhenti menghujani
tanah, namun hawa dingin masih menusuk kulit. Semilir angin dingin serta merta
menyambut kedatangan Soo Jin dan Jongin di pantai itu.
“Mengapa kita kemari, Jongin? Bukan
waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu di pantai saat musim dingin.”
Jongin menoleh sekilas lalu kembali
menatap deburan ombak yang memecah karang. “Aku ingin membicarakan sesuatu
padamu.” Alis Soo Jin berkedut. “Ini masalah nama yang kau sebutkan tadi.”
Gadis itu menatap Jongin sangsi. Ia
tahu maksud namja itu, tapi ia
terlalu ragu untuk mengungkapkannya. “Myung Soo, Kim Myung Soo. Ini perihal
nama itu, Soo Jin.”
“Darimana kau tahu soal Myung Soo
oppa?!” interogasi Soo Jin dengan cepat.
“Tentu, dia adalah orang
terdekatku. Dan dia pula orang yang selama ini kau tunggu.”
“Kim Jongin. Kim Myung Soo. Jangan
katakan bahwa kau adalah adiknya, Jongin.”
“Bohong jika aku mengatakan tidak.”
Hening. Tak ada yang bersua
diantara mereka. Hanya terdengar suara kicauan burung pantai serta teriakan
ombak yang memekakkan telinga. Mereka masih sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Lalu apa hubungannya tempat ini
dengan Myung Soo oppa?” tanya Soo Jin
penasaran setelah beberapa menit lalu ia ragu untuk mengungkapkannya.
“Ini adalah tempat terakhir yang
disinggahinya.”
“Lalu kemana ia sekarang, Jongin?
Mengapa tak pernah sekalipun ia menghubungiku? Tak tahu’kah ia kalau aku
rasanya hampir mati karenanya?!”
“Dialah yang hampir mati.”
“Apa maksudmu?!”
“Dia sakit.” Soo Jin memperhatikan
Jongin sepenuhnya, memasang telinga dengan apa yang akan Jongin katakan.
“Hari itu dia pingsan, lalu
setelahnya ia koma. Kanker yang bersarang di otaknya sudah semakin menua. Hari
itupun kami sekeluarga membawanya ke luar negeri untuk berobat. Tapi, nyatanya
semua itu nampak sia-sia.”
“Dia sakit? Sakit parah?” Soo Jin
memukul-mukul kepalanya penuh penyesalan. “Aku benar-benar jahat. Bahkan aku
selalu membuat permohonan padanya. Tapi ia lebih jahat, Jongin. Mengapa ia tak
pernah memberi tahuku tentang penyakitnya?!”
“Karena ia mencintaimu. Ia tak
ingin melihatmu terluka. Ia tak ingin kau ikut merasakan sakit yang ia rasa!”
Soo Jin mengambil napas beberapa
kali, ia masih tak sanggup berucap. “Jongin, antarkan aku menemuinya! Sekali
ini saja, aku benar-benar merindukannya!”
“Aku sudah mengantarkanmu padanya.”
Mata Soo Jin menatap dengan liar.
Berusaha untuk mencari keberadaan Myung Soo di sekitar mereka. Namun, tak ada
siapapun selain hamparan pasir dan laut yang membentang luas.
“Dimana dia, Jongin? Dimana?!”
“Dia disini, Soo Jin.” Soo Jin
melangkahkan kaki hendak mencari keberadaan Myung Soo sekali lagi, sebelum
akhirnya Jongin kembali bicara. “Ini adalah tempat penghanyutan abunya. Ia
sudah meninggal, Soo Jin.”
Gerak tubuh Soo Jin terhenti.
Matanya panas, telinganya panas, bahkan suhu tubuhnya kini naik. “Oppa!! Myung Soo oppa!!!” Soo Jin berteriak-teriak memanggil nama itu. Kakinya
berlari ke setiap sudut pantai, matanya menjelajah dengan teliti.
Namun, ia tetap tak menemukan sosok
itu.
Kaki Soo Jin terasa lemas. Tubuhnya
terkulai lemah di atas pasir pantai. Air matanya mengalir deras.
“Myung Soo oppa… oppa…” Panggilan itu
terdengar di sela-sela isakkannya.
“Soo Jin…,” panggil Jongin seraya
menghampiri gadis itu dan menggantungkan kedua tangannya di bahu Soo Jin.
Setidaknya ia ingin memberikan sedikit kekuatan pada gadis itu.
“K..kau benar, J…Jongin. Ia t..tak
ada di..sini, ia su..sudah pergi meninggal..kanku.”
Tangisan Soo Jin sarat akan
keputusasaan, penyesalan, ketakutan, dan… kerinduan. Ia benar-benar rindu
dengan Myung Soo, sampai-sampai seluruh persendian di tubuhnya serasa mati dan
kaku, seluruh pembuluh darahnya membeku, sarafnya putus dimana-mana.
Ia merindukan Myung Soo serasa ia
akan mati.
.
.
.
.
Nyatanya,
ia hanya ingin melihatmu bahagia. Meskipun itu berarti mengorbankan dirinya
sendiri.
“Aku merindukanmu, oppa….”
.
.
Kkeut!!
Komentar
Posting Komentar