Title:
Forgive Me
Scriptwriter:
NanaJji (@nana_jji)
Main
Cast(s):
Kim Myungsoo [INFINITE] || OC
Genre:
Romance
Duration:
Vignette
Rating:
PG-15
Summary:
Apalah
arti sebuah kata ‘maaf’ yang begitu mudah di ucapkan tanpa ada niat untuk
melakukannya….
“Penyesalan memang selalu datang
terlambat. Tapi ku harap, aku tidak seterlambat itu.”
Aku
masih ingat bagaimana kata-kata itu mengalun manis dari bibirnya dan sebuket
bunga edelweiss terjulur di
hadapanku. Aku menyukai bunga itu dan dia benar-benar tahu apa yang aku sukai,
termasuk dirinya.
Aku
tersenyum lalu mengangguk. Hari itu aku menerimanya kembali sebagai kekasihku.
Itu adalah permintaan maaf pertama atas kesalahan pertamanya.
Namun
hari ini, ia melakukannya lagi. Entah sudah yang keberapa kali. Aku mulai malas
menghitung jika sudah melebihi belasan, terlebih jika disebabkan oleh kesalahan
yang sama.
“Kali
ini aku benar-benar menyesal, Jinie-ya…”
Masih seperti yang sebelum-sebelumnya, ia membawa bunga edelweiss.
“Jika
kau benar-benar menyesal, lalu aku harus bagaimana, Myung?”
“Kau
bisa menerimaku kembali ‘kan?” Ia menatapku dengan wajah memelas yang awalnya
membuatku kasihan namun kini terasa membosankan.
“Kau
ingat berapa kali kau telah memintaku kembali menjadi kekasihmu?”
“Aku
melakukannya demi memperbaiki hubungan kita.”
Yah,
dengan mudahnya ia bicara seperti itu. “Tapi kau tak pernah mencoba untuk
memperbaiki dirimu, Myung.”
“Aku
selalu me−“
“Apa
kau tahu bagaimana rasanya di campakan?!”
Myungsoo
terdiam. Aku tak pernah tahu apa makna cinta baginya, hingga ia tega melakukan
ini padaku.
“Cobalah
menjadi yang di campakan, Myung.”
Sejak
itu, aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Dan ia pun tak pernh menampakkan
dirinya di hadapanku. Sesungguhnya, aku sangat sakit. Merindukannya setiap
detik dan langkah yang aku rajut, membuatku sulit bernapas.
Aku
mencintainya, tapi dia belum tentu. Maka aku selalu mengendalikan keinginanku
untuk bertemu dengannya.
Pernah
sekali aku berpapasan dengannya dan ia menghindar, seolah aku ini adalah
seonggok penyakit menular yang menjijikan. Mungkin inilah akhir dari semuanya.
Dia mempermainkanku, aku memberontak, dan semuanya berakhir.
Seperti
kata pepatah, pertemuan adalah awal dari sebuah perpisahan.
“Ada
apa?”
Aku
seketika menoleh, merasa sedikit terkejut mendengar sebuah suara melintas di
telingaku. “Hah? Tidak. Aku baik-baik saja.”
Joohyun
menghembuskan napasnya. “Kau melamun. Pasti memikirkannya lagi.”
“Siapa?”
tanyaku, meski sesungguhnya aku tahu betul apa yang ia maksud.
“Myungsoo.
Jangan berlagak tidak tahu, aku tidak suka.”
Baiklah,
aku tak bisa berbohong darinya. Ia tahu betul sejarah hubunganku dengan
Myungsoo, bahkan sejarah hidupku. “Aku hanya berusaha untuk tidak mengingatnya
lagi, Joo.”
“Tapi
kau memikirkannya. Itu lebih parah.”
“Baik-baik,
aku kalah. Jadi, sampai dimana kita tadi?”
“Landasan
teori dan kau melamun.”
“Baiklah,
bisakah kita jangan mengungkit itu lagi?”
“Aku
hanya bergurau.”
Kami
terkikik pelan, memecah ketegangan yang sebelumnya terjadi. Dan setidaknya bisa
mengalihkan pikiranku dari Myungsoo barang sejenak. Joohyun memang selalu
menjadi teman yang dapat mengerti keadaanku, saat aku senang maupun sedih.
Selang
beberapa lama, keadaan kembali sunyi. Hanya suara keyboard yang di tekan cepat dan suara gesekan lembaran buku yang
di buka satu per satu.
Suasana
perpustakaan cukup lengang sore itu, hanya lima sampi tujuh orang yang sedang
berkutat dengan tugas, termasuk aku dan Joohyun.
Sampai
suatu ketika pintu terbuka dan dua orang gadis masuk dengan bergosip
kesana-kemari. Apa ini kali pertama mereka masuk ke perpustakaan? Bergosip
seakan-akan tempat itu adalah kafetaria sekolah.
Mereka
duduk dua bangku di belakangku, membuatku masih bisa mendengar percakapan
mereka dan sulit berkonsentrasi pada tugasku. Ingin sekali aku mengenyahkan
suara mereka dan kembali berkonsentrasi, sampai sebuah topik membuatku memasang
telinga tajam pada percakapan mereka.
“Kau
tahu Kim Myungsoo ‘kan? Ku dengar hari ini dia di tangkap polisi.”
“Kenapa
bisa?”
“Katanya
ia terlibat perkelahian. Dia memang sedikit berbahaya akhir-akhir ini.”
Dan
aku tak dapat mendengar percakapan mereka selanjutnya. Otakku berputar
memikirkan laki-laki itu. Memikirkan apa yang telah ia lakukan dan aku tidak
tahu. Membayangkan bagaimana wajahnya dan tatapan matanya yang selalu
meneduhkan. Bagaimana bibirnya mulai bergetar dan memanggil namaku lembut.
Bagaimana−
“Jangan
katakan kalau kau ingin menemuinya.” Joohyun menatapku tajam. Rupanya ia juga
menyimak sejak tadi.
“Aku
tak ingin menemuinya. Tapi, aku harus.”
Jadi
disinilah aku, berdiri di depan kantor polisi sambil menunggu kedatangan
Myungsoo. Aku sudah menyewa orang untuk berpura-pura menjadi orang tua yang
akan menjaminnya.
Seorang
laki-laki keluar, setelah sekian detik, aku baru menyadari bahwa ia adalah
Myungsoo. Sungguh, aku tak dapat mengenalinya. Rambutnya tampak berantakan,
begitu pula dengan pakaiannya, terdapat sobekan di beberapa tempat. Dari jarak
beberapa meter, aku dapat melihat dengan jelas lebam-lebam yang menghuni
pinggiran bibirnya.
Aku
ingin tetap tegar berdiri disini tanpa harus berlari memeluknya dalam tangis.
Ia bahkan menghampiriku tanpa senyum sedikitpun, juga menghindari kontak mata
denganku.
“Terima
kasih.”
Itu
menjadi sebuah kata pertama yang aku dengar dari bibirnya semenjak perpisahan
kami beberapa bulan yang lalu.
Setelahnya,
tak ada kata yang terucap, tak ada senyuman yang terukir, hanya suasana diam
yang mematikan.
“Jaga
dirimu, Myung.”
Setelah
mengucapkan kata itu aku langsung berbalik dan melangkah meninggalkannya. Air
mataku mulai berjatuhan, lebih baik jika ia tak melihatku menangis. Aku tak
boleh terlihat lemah di hadapannya.
“Aku
sudah tahu!”
Aku
berhenti. Itu suara Myungsoo. Aku yakin. Dan tak ada seorang pun disana selain
dirinya. Tapi aku tak boleh terkecoh, aku tak mau tertipu lagi. Aku harus
segera pergi meninggalkannya.
“Aku
sudah tahu semua, Jinie-ya! Aku tahu
bagaimana rasanya di campakan! Aku tahu sakitnyaa menjadi yang kedua, yang
kesekian, meski kau sendiri adalah yang pertama. Aku sudah tahu bagaimana
rasanya…”
Air
mataku jatuh makin deras. Suara itu penuh dengan keputusasaan dan
ketidaksanggupan.
“Sesuai
dengan yang kau katakan, aku mencoba menjadi yang di campakan, mencoba berada
di posisimu saat itu… Maaf, maafkan aku telah menyakitimu…”
Aku
berbalik menghampirinya, menatap dirinya yang begitu lemah saat ini. Detik itu,
aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Aku menamparnya, begitu keras hingga ia
jatuh tersungkur.
“Selemah
itukah kau sekarang, Myung?!”
Dia
masih tetap diam, sedikitpun tak berkeinginan untuk membela diri. Sementara air
mataku terus mengalir, pertahananku gagal.
“Kalau
kau ingin menangis, menangislah!”
“Maafkan
aku, Jinie-ya…”
“Aku
sudah menamparmu, jadi anggaplah semuanya impas.” Aku masih mencoba menahan
tangis.
Sesungguhnya
aku ingin sekali mengatakan bahwa aku mencintainya dan telah memaafkannya sejak
dulu. Namun, mengapa terasa begitu sulit mengatakannya?
“Aku
mencintaimu, Jinie-ya. Aku, maukah−“
“Jangan
katakan itu lagi, Myung. Aku tidak ingin mendengarnya darimu lagi.” Aku
mengambil napas dalam. “Biarkan aku yang mengatakannya…”
“Maksudmu?”
Myungsoo
tampak bingung. Kumantapkan sekali lagi diriku. Mungkin semua memang harus
berjalan seperti ini. Seperti teori sebab-akibat, kita tak dapat menjalani
hanya satu, tapi satu itu akan membawa kita pada yang lain.
“Maukah
kau kembali padaku, Myung?”
.
.
.
KKEUT!
Komentar
Posting Komentar