Title:
On Rainy Days
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Yoo Young Jae
[BAP] || Kim Soo Jin [OC]
Genre:
Romance, Sad, Angst.
Duration:
Oneshot
Rating:
PG-15
Summary:
Melihat awan gelap bergumul disana, apa kau menyadarinya? Bahwa setelah
hujan ataupun badai, akan selalu ada pelangi dan sinar mentari yang
menghangatkan.
Hujan.
Mungkin banyak orang bertanya mengapa aku menyukai hujan. Disaat semua orang
merutuk ketika hujan datang karena semua pekerjaannya terhambat. Tapi aku
selalu berada disini, di tempat ini, selalu…
Duduk
di jendela kamarku, memandang pohon-pohon dan dedaunan taman yang di basahi
rintik hujan. Bersama dengan buku ini yang selalu menemaniku. Buku lama yang sampulnya
semakin lusuh seiring dengan bertambahnya usia buku itu. Diary-ku, meski jarang terisi, tapi ia sangat penting bagiku.
Karena seseorang yang selalu mengisi hari-hariku dimasa lalu yang telah memberikannya.
“Soo Jinie!! Cepat turun! Makan malam sudah siap!!” Teriakan eomma membangunkanku, dengan cepat aku
berlari menuruni tangga dan menghampiri beliau di meja makan.
_~**-**~_
Soo Jin berlari menaiki tangga dan segera menuju kamar. Sebelum makan
malam itu di mulai, Nyonya Kim meminta Soo Jin untuk membawa kimchi ke keluarga Yoo di depan rumah. Eomma-nya membuat kimchi sangat banyak pagi ini, jadi beliau ingin membaginya sedikit
pada tetangga lama mereka, bahkan sejak Soo Jin masih kecil, keluarga mereka
sudah bertetangga.
Soo Jin memandang sejenak dan berpikir jaket mana yang akan ia pakai,
akhirnya ia pun memilih jaket lamanya. Jaket berwarna senada dengan kulitnya
itu adalah jaket favoritnya, jaket ini sangat hangat dengan kain yang tebal dan
terdapat kumpulan bulu di bagian leher dan pergelangan tangannya, sangat cocok
dengan cuaca hujan seperti sekarang ini.
Ting Nong!! Ting Nong!!!
Soo Jin memencet bel rumah tetangganya itu. Tak butuh lama, pintu pun
terbuka diiringi dengan senyuman Nyonya Yoo−sang pembuka pintu.
“Annyeong haseyo,” sapa Soo
Jin ramah.
“Aigoo.. Soo Jinie, annyeong! Ayo masuk!” Soo Jin memasuki
rumah itu dengan Nyonya Yoo di sampingnya. “Wah!! Tumben sekali, ada apa?? Ayo
duduk dulu, biar ahjumma buatkan
minum, tunggu sebentar!”
“Ah, tidak usah ahjumma. Aku
hanya mengantarkan ini saja.” Soo Jin menyodorkan kotak penuh berisi kimchi di tangannya, ia sudah duduk di sofa ruang tamu rumah itu.
“Oh, apa isinya ini??” tanya Nyonya Yoo sambil ikut duduk di hadapan Soo
Jin. Senyuman pun mengembang di wajah Nyonya Yoo begitu membuka kotak tersebut
dan melihat isinya. “Oh, kimchi!
Kebetulan, aku sangat ingin makan kimchi.
Gomawo, Soo Jin-ah.”
“Ne, eomma membuat kimchi banyak sekali pagi ini,” ucap Soo
Jin masih tak bisa melepaskan senyumannya.
“Tunggu sebentar, ne? Ahjumma akan mengganti kotaknya dulu…”
Nyonya Yoo berdiri dari duduknya, Soo Jin juga ikut berdiri untuk berkata ‘tidak
usah’ namun Nyonya Yoo sudah memotong, bahkan sebelum ia mulai bicara. “Tidak
apa, kau sudah repot-repot membawakannya kesini, jadi duduklah sebentar, kau
pasti lelah.”
Soo Jin kembali duduk di sofa
ruang tamu, sedangkan Nyonya Yoo sudah kembali ke dapur. Soo Jin mengedarkan
pandangan ke seluruh ruangan. Tak ada yang berubah, semua masih sama seperti
dulu.
Cat tembok berwarna coklat muda menenangkan menyelimuti di seluruh
ruangan. Dapur ada di sebelah kiri bawah tangga, tepat dimana sofa Soo Jin menghadap. Di sebelah dapur
ada pintu menuju taman belakang, namun sebelumnya masih ada meja makan tepat
sebelum pintu berada. Di lantai atas ada tiga kamar, yang di tengah adalah
kamar tamu. Sebelah kirinya yaitu kamar Tuan dan Nyonya Yoo. Dan kamar satu
lagi…ia, itu adalah kamar namja itu,
teman masa kecilnya.
“Aku pulang!!” Suara itu mengalihkan pandangan Soo Jin untuk menoleh ke
sumber suara. Di depan pintu, seorang namja
sedang membuka sepatunya. Soo Jin terus memandanginya, sampai akhirnya namja itu pun menoleh dan menemukan
dirinya disana.
Soo Jin langsung mengalihkan pandangannya begitu namja itu melangkahkan kaki mendekat. Dengan seluruh kegelisahan
dan ketakutan yang menyelimuti dirinya, Soo Jin hanya bisa diam dan menundukkan
kepala. Ujung jaket kesayangannya itu kini ia remas, semakin erat sesuai dengan
semakin dekatnya namja itu terhadap
dirinya.
“Ah! Young Jae-ya! Kau sudah
pulang?” Nyonya Yoo datang sambil membawa kotak kimchi milik Soo Jin yang sudah bersih. Soo Jin menghembuskan napas
lega.
“Ne. Untuk apa dia disini?”
tanya Young Jae melirik Soo Jin. Seketika Soo Jin menundukkan kepalanya. Young
Jae memang sudah berubah. Sangat.
“YA! Siapa yang mengajarimu
seperti itu?!” Nyonya Yoo langsung saja menjitak kepala Young Jae dan menatap
Soo Jin dengan wajah bersalah. “Jinie-ya,
jangan kau dengarkan kata anak brandal itu! Oh ya, terima kasih kimchi-nya, bagaimana kalau malam ini
kau ikut makan malam bersama kami?”
“Eomma!” Young Jae menatap
protes eomma-nya. Namun bukannya
semakin takut, Nyonya Yoo malah menatap Young Jae penuh tantangan.
“Ah, tidak usah ahjumma. Aku
masih punya banyak tugas yang harus kukerjakan, lebih baik aku makan dirumah
saja. Permisi,” ucap Soo Jin sambil menerima kotak bekas kimchi yang ia bawa lalu meninggalkan kediaman keluarga Yoo yang
sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri, kecuali Young Jae.
_~**-**~_
Sepulang dari rumah Young Jae, Soo Jin langsung masuk ke kamar. Bahkan
ia tak menyentuh sedikitpun makan malamnya, meski sudah beberapa kali eomma-nya berteriak memanggil, namun ia
hanya menjawab ‘Aku tidak lapar eomma!’
sambil berteriak dari kamar. Ia juga berbohong pada Nyonya Yoo, ia tak harus
mengerjakan tugas apapun malam ini.
Soo Jin mematikan semua lampu di kamarnya, namun ia tak beranjak ke
tempat tidur. Ia berdiri di pintu kaca yang menghubungkan kamar dengan balkon
kamarnya.
Soo Jin memandang lurus kedepan. Jauh belasan meter di hadapannya, ia
dapat melihat sebuah kamar yang mirip dengan kamarnya, namun bedanya kamar itu
sekarang diterangi oleh lampu, tidak seperti kamarnya yang gelap gulita.
Namun bukan kamar itu yang menjadi objek utama Soo Jin, melainkan
seorang namja yang tengah memainkan
gitarnya yang menjadi penghuni kamar itu. Yoo Young Jae, namja yang sama dengan orang yang berkata kasar padanya tadi. Orang
yang sama dengan yang selalu berada di pikiran Soo Jin dan mungkin…hatinya?
_~**-**~_
Soo Jin berlari tergesa menuruni tangga sambil tangannya dengan terampil
merapikan seragam sekolahnya. Tanpa menghiraukan teriakan eomma-nya, ia berlari menuju sepedanya yang terparkir di halaman
depan.
“Young Jae-ya!”
Panggilan itu seketika mengalihkan pandangan Soo Jin menuju halaman di
seberang rumahnya. Seorang yeoja
sedang bergelanjut manja di lengan Young Jae, membuat pandangan yang tidak enak
dilihat oleh Soo Jin.
Beberapa detik kemudian Young Jae menyadari keberadaan Soo Jin dan
menoleh kearah gadis itu. Soo Jin langsung mengalihkan pandangannya lalu
menaiki sepeda berwarna biru metalik itu.
“Eomma, kalkaeyo!!”
Dan sepeda itu melenggang cepat melintasi kawasan perumahan menuju
sekolah yang letaknya cukup jauh.
Baru setengah perjalanan dan hari mulai siang. Sedangkan waktu sudah
menunjukkan pukul 07.50, tepat 10 menit sebelum bel pelajaran mulai berbunyi.
Dan Soo Jin yakin ia akan terlambat hari ini.
Tittt!! Tittt!!
Suara bel motor merusak suasana pagi itu, Soo Jin menoleh kearah motor
yang baru saja melewatinya dan saat itu juga ia menyesal. Diatas motor itu Young
Jae membonceng yeoja yang Soo Jin
lihat berada di halaman rumah namja
itu belasan menit yang lalu.
Perasaan cemburu jelas-jelas menghuni dirinya. Jika saja ia yang ada di
atas motor itu, ia yakin ia tak akan terlambat.
Soo Jin sampai di sekolahnya dengan peluh yang bercucuran karena ia
mengayuh sepedanya sangat cepat. Dan seperti dugaannnya, ia terlambat. Yoon Songsaengnim sudah berdiri di depan
gerbang dan mendelik kearahnya.
Soo Jin dengan pasrah menerima hukuman dari seongsaengnim ter-killer
itu. Ia berdiri di tengah lapangan dan memberi hormat pada bendera Negaranya.
Dan sinar matahari yang terik membuat peluh di wajahnya semakin marak.
Hanya berselang beberapa lama, Soo Jin merasakan sinar matahari mulai
mereda, namun aneh ketika sinar matahari di sebelahnya tetap terik. Soo Jin
mendongak dan menemukan sosok tinggi berdiri di hadapannya dan membelakangi
gadis itu, tangannya terangkat sama seperti Soo Jin.
“Hai, apa kau juga terlambat?” sapa Soo Jin mencoba untuk ramah. Namun
sontak mulutnya bungkam begitu mendapati sosok itu membalikkan badannya.
Yoo Young Jae.
“Diamlah. Atau kau mau hukuman kita di tambah lagi?”
Dan Soo Jin benar-benar diam sampai Yoon Seongsaengnim datang dan menyuruh mereka kembali ke kelas
masing-masing, ia masih tetap diam. Bahkan ia berlari sangat cepat, lalu dari
lantai tiga gadis itu dapat melihat Young Jae yang berjalan dengan santai menuju
kelasnya di lantai dua.
_~**-**~_
Soo Jin duduk sendiri di halte bus di dekat sekolahnya. Langit mulai
gelap dan rintik hujan mulai membasahi jalanan. Ia ingat betul bagaimana tadi
pagi ia memakirkan sepedanya dan benda itu masih baik-baik saja, sampai sore
ini ia akan pulang sehabis mengikuti klub fotografi dan ban sepedanya tiba-tiba
tak bisa di gunakan lagi, entahlah anginnya pergi kemana, yang pasti Soo Jin
tahu, ada seseorang yang telah merobek ban sepedanya.
Bus berhenti. Dan tak perlu waktu lama untuk Soo Jin berada di dalam bus
itu. Soo Jin memilih duduk di bangku paling belakang, ia menyandarkan kepalanya
di kaca bus. Bus nampak sepi karena nyatanya orang-orang enggan untuk
melangkahkan kaki keluar di saat hujan seperti ini.
Soo Jin menatap keluar jendela. Rintik hujan masih deras menuruni setiap
jengkal tanah Kota Seoul. Andai saja sepeda miliknya masih baik-baik saja,
dapat dipastikan Soo Jin akan menerobos derasnya hujan bersama sepeda
kesayangannya. Ia menyukai hujan, bukan begitu? Bahkan ia rela harus berdiam
seharian di kamar keesokkan harinya karena terserang demam. Ia rela, sungguh!
Membayangkan hal tersebut membuat Soo Jin sedikit menyesal. Bukankah
sangat menyebalkan jika kau tidak bisa melakukan apa yang kau suka? Apalagi harus terjebak di dalam bus bersama
orang yang sangat menyebalkan, pikir Soo Jin begitu ia melihat Young Jae
memasuki bus dan duduk di bangku belakang yang panjang ̶ bangku yang sama
dengan yang Soo Jin duduki saat ini.
Gadis itu mengalihkan pandangannya keluar jendela demi menghindari Young
Jae. Tapi sebuah pertanyaan tiba-tiba melintas di otaknya. Mengapa bisa Young
Jae berada di dalam bus? Bukankah, jelas-jelas tadi pagi namja itu membonceng seorang yeoja
dengan sepeda motornya sendiri? Lalu kemana perginya sepeda motor itu?
Oh, mungkin karena hujan.
Soo Jin menoleh kearah Young Jae di sebelahnya dan ia mendapati namja itu tengah menutup matanya. Apa ia
tertidur? Tapi hal itu membuat Soo Jin terus memandanginya. Lebih baik rasanya
melihat namja itu saat tertidur di
bandingkan jika ia membuka mata, tatapannya itu bisa menusuk Soo Jin kapan
saja. Dan tentunya, itu sangat menyakitkan. Terlebih untuk Soo Jin yang
menyimpan perasaan aneh untuk namja
itu.
“Berhenti menatapku seperti itu.”
Soo Jin hampir saja terlempar keluar bus andai tak ada kaca disana. Apa
itu benar suara Young Jae? Itu berarti ia sudah ketahuan? Soo Jin menatap Young
Jae kaget, matanya melebar maksimal dan mulutnya sedikit terbuka. Dan itu masih
terjadi ketika Young Jae membuka matanya perlahan.
“Bersiaplah, sebentar lagi bus akan sampai.” Tepat setelah Young Jae
mengatakan itu, bus berhenti. Namja
itu keluar dari bus yang lalu diikuti oleh Soo Jin di belakangnya.
Di perjalanan menuju rumah, Soo Jin melangkah perlahan beberapa meter di
belakang Young Jae, berharap Young Jae tak menyadari keberadaannya. Hujan sudah
reda sejak lima menit lalu.
“Berhentilah mengekor di belakangku,” ucap Young Jae dengan suara yang
keras agar Soo Jin yang berada beberapa meter di belakang dapat mendengar
suaranya.
“Mengekor?” Soo Jin mendengus. “Rumah kita searah, asal kau tidak lupa.”
Tanpa menghiraukan ucapan Young Jae, Soo Jin tetap melangkahkan kakinya
mendahului namja itu.
“Berhentilah membual, karena aku tahu semuanya.”
Seketika Soo Jin menghentikan langkahnya dan membalik badan menatap
Young Jae yang sekitar dua meter di belakangnya. “Memangnya apa yang kau tahu?”
“Semuanya. Termasuk bagaimana perasaanmu. Aku tahu kau menyukaiku,” ucap
Yong Jae dengan sangat percaya diri. Soo Jin mengepalkan jari-jarinya, ia begitu
geram.
“Cih, menyukaimu? Kau harus
tahu, kau hanya pantas untuk di benci!”
Kali ini Soo Jin benar-benar pergi meninggalkan Young Jae dengan segala
kekesalan dalam dirinya. “Arght!! Aku benar-benar membencinya!!” geram Soo Jin.
Sementara Young Jae hanya tersenyum miring mendengar teriakan Soo Jin
yang mulai menjauh.
“Kau juga harus tahu…”
Young Jae tersenyum penuh arti.
“…bahwa cinta dan benci hanya berbeda tipis.”
_~**-**~_
Hari ini sekolah pulang lebih awal entah karena alasan apa. Tak begitu
penting, setidaknya itu menyenangkan untuk semua murid, tak terkecuali Soo Jin.
Akibat kepulangan lebih awal, Soo Jin punya lebih banyak waktu untuk mendorong
sepedanya pulang. Melelahkan memang, tapi itu lebih baik daripada membiarkan
sepeda itu diam berkarat di sekolah, dan itu berarti Soo Jin harus naik bis
setiap hari. Ia tak suka.
Selain itu, untunglah hari ini matahari tak bersinar terik namun bukan
berarti hujan, hanya berawan di atas sana. Soo Jin melangkahkan kakinya ke
tempat parkir.
“Jadi, kau memutuskan untuk mengambil sepedamu?”
Soo Jin menghentikan langkah tepat di depan sepedanya, menoleh lalu
menemukan laki-laki dengan mata tajam berdiri beberapa langkah dari sepedanya.
Soo Jin menatap laki-laki itu dengan tidak suka, setidaknya ia berharap
aktingnya berhasil.
“Bukan urusanmu. Jadi, ada keperluan apa kau ada di tempat parkir
sepeda?? Kurasa motor, mobil, atau benda apalah itu yang lebih bagus dari
sepeda bututku ini, di parkir disana!”
Young Jae membawa matanya kearah telunjuk Soo Jin. Pantulan cahaya pada
lempengan-lempengan besi yang di bersihkan terlalu berlebih membuat matanya
silau sejenak. Ketika mata Soo Jin kini mengarah padanya, laki-laki itu
mengulas senyum.
“Memang. Tapi, sepedaku ada disini.” Young Jae menepuk dudukan sepeda
berwarna latar hitam dan corak kebiruan.
“Itu bagus untukmu.” Soo Jin menarik sepedanya keluar dan menuntunnya
perlahan keluar sekolah.
Belasan meter dari sekolah, Soo Jin menghembuskan napas lega. Beruntung
sekolah sudah sepi dari para murid yang ingin segera pulang ke rumah, jadi tak
begitu sulit untuk keluar dari gerbang. Tapi lebih dari itu, Soo Jin mengembuskan
napas dengan tenang karena bicara dengan Young Jae tak pernah membuatnya mampu
bernapas sebagaimana orang normal. Dan semuanya sudah berakhir.
“Kurasa sepeda itu sudah bisa di naiki.”
Soo Jin spontan menoleh ke samping dengan raut super kagetnya. Dan
lagi-lagi, Young Jae sudah ada di sampingnya dengan wajah tak bersalah. Kalau
saja Soo Jin tiba-tiba terserang sakit jantung dan pingsan karenanya, apa ia
masih bisa memperlihatkan wajah seperti itu?
Mungkin tidak. Tapi, mungkin juga iya.
“Maksudmu?” Soo Jin mencoba untuk menanggapi dengan biasa, meski
terdengar tak begitu cocok dengan wajah yang beberapa detik lalu ia tampilkan.
Young Jae menghentikan laju sepedanya dan menoleh kearah objek di
sampingnya. “Ban itu, kurasa baik-baik saja.”
Soo Jin segera mengecek ban sepedanya. “Aneh. Kemarin aku yakin bannya
bocor.” Soo Jin masih enggan untuk menaiki sepedanya, alih-alih malah
menendang-nendang kedua bannya hanya demi memastikan bahwa memang baik-baik
saja.
“Mungkin ada yang memperbaikinya.”
“Siapa?”
“Entah, mungkin orang di sampingmu.”
Soo Jin menoleh seketika, terpesona beberapa detik oleh senyum Young
Jae. Namun segera di hilangkannya perasaan itu. Senyum itu, senyum yang sama
seperti yang ia berikan pada banyak wanita, dan Soo Jin benci itu. “Tidak
mungkin.” Ia langsung mengalihkan pandangannya.
“Mengapa kau tak pernah percaya padaku?”
“Aku memang tak pernah mempercayaimu.”
“Apa karena kejadian lima tahun lalu? Kau tahu, setiap orang bisa
berubah.”
“Kau memang sudah berubah sejak lima tahun lalu.”
Young Jae mengembuskan napas lelah, lelah berdebat dengan gadis ini,
karena nyatanya ia tak pernah kehabisan alasan untuk menjawab.
“Kau tahu maksudku bukan begitu.”
Sepeda Young Jae melaju lebih dahulu. Kedua kakinya mengayuh dengan
kecepatan normal. Sesekali akan menoleh untuk memastikan bahwa Soo Jin masih
ada di belakangnya. Hanya beberapa meter di belakang Young Jae, Soo Jin
mengayuh sepedanya perlahan dan mengamati laki-laki itu dari belakang.
Dulu, Soo Jin dan Young Jae sering bersepeda bersama, tak mengenal cuaca
terik ataupun hujan. Namun, Young Jae yang sekarang telah berbeda, ia tak akan
mau bersepeda bersama gadis biasa seperti Soo Jin sementara gadis-gadis cantik
selalu berkeliaran di sekitarnya.
Lima tahun lalu, Young Jae meninggalkan Soo Jin tanpa pemberitahuan,
membuat gadis sekecilnya menelan pil pahit perpisahan. Dan tahun-tahun
berikutnya gadis kecil itu selalu menunggu kedatangan Young Jae, hingga
kedatangannya sebagai seorang remaja. Namun, Young Jae sudah berubah.
Mengabaikan kehadiran Soo Jin yang selalu menyapanya setiap waktu demi
kepopularitasan yang mencuat begitu cepat karena ketampanannya, meninggalkan
Soo Jin berdiri di belakang sendirian.
Young Jae merasakan sesuatu yang basah menerpa wajahnya. Sedikit
mendongak dan ia seketika tahu bahwa hujan akan segera turun, tepat beberapa
detik kemudian tetesan yang lebih besar menyerbu permukaan tanah. Laki-laki itu
menghentikan sepedanya, mencoba untuk mencari tempat berteduh.
Hujan mengingatkannya akan Soo Jin, gadis itu masih mengendarai sepeda
di belakangnya, beberapa detik kemudian sudah melewati Young Jae dengan memacu
sepedanya lebih cepat demi menerobos hujan.
Young Jae memutuskan untuk menyusul gadis itu.
“Hei! Kau tidak berteduh?!” Young Jae sekiranya harus mengeluarkan
tenaga untuk berteriak di tengah derasnya hujan yang meredam segala suara.
“Kau lupa? Aku suka hujan!!”
Young Jae terpaku. Menghentikan laju sepedanya lalu mengingat. Ya, dia
memang lupa akan itu.
Mungkin tak hanya itu, pikirnya. Tapi banyak hal yang telah aku lupakan
tentang gadis bernama Kim Soo Jin.
Tak lagi mengejar gadis itu, Young Jae hanya diam disana, membiarkan Soo
Jin berlalu dari pandangannya.
_~**-**~_
Seminggu telah berlalu sejak hujan hari itu. Soo Jin tak pernah lagi
bertemu dengan Young Jae, dimana pun. Tidak di sekolah, tidak juga di depan
rumahnya sendiri. Rumah itu nampak sepi, tak sekalipun Soo Jin mendengar
dengung kendaraan bermotor yang selama ini tak pernah absen.
“Eomma, kenapa rumah keluarga
Yoo terlihat sangat sepi??” tanya Soo Jin di suatu sore dengan langit kelabu
menggantung disana. Rintik-rintik air hujan berjatuhan dengan deras, Soo Jin
mengamati dari jendela. Ingin rasanya kedua kaki itu melangkah keluar. Tapi,
tentu saja eomma-nya tak akan
mengijinkan. Ia sudah dewasa, rasanya tak mungkin untuk berdebat hanya karena
hal sepele seperti itu.
Jadi, disanalah ia. Hanya duduk di balik jendela dan mengamati penuh
rasa iri pada tumbuhan di luar sana yang bebas terkena air hujan.
“Apa kau tidak tahu? Tuan dan Nyonya Yoo sedang pergi ke Jepang.” Nyonya
Kim menyesap teh hijaunya lalu kembali fokus pada layar televisi.
Soo Jin terdiam, bukan itu maksud sebenarnya dari pertanyaannya. Bukan
Tuan ataupun Nyonya Yoo yang ingin ia tanyakan, tapi−
“Young Jae, kau ingin bertanya tentangnya? Anak itu tidak ikut, ia
tinggal sendirian di rumah. Mungkin kau bisa mengunjunginya sesekali.”
“Tidak, terima kasih.”
Soo Jin menjawab dengan cepat, seiring dengan tangannya yang menutup
tirai ketika matanya bertemu pandang dengan sosok Young Jae yang sedang membuka
pintu rumahnya. Dapat dilihatnya sekilas laki-laki itu juga melempar pandang
kearah Soo Jin.
_~**-**~_
Hari cukup cerah siang itu, Soo Jin akhirnya menyandarkan punggungnya di
kursi setelah beberapa menit lalu mengantri untuk makan siang di kafetaria.
Baru akan masuk suapan pertama ke dalam mulutnya, Soo Jin melihat Young Jae
berdiri sendiri, tanpa teman-teman populernya. Nampaknya ia sedang mencari kursi
kosong yang terlihat mulai nihil di ruangan itu.
Tiga detik kemudian, akhirnya pandangan mereka bertemu. Baru saja Soo
Jin hendak melambaikan tangannya, membuka mulut lalu berteriak ‘kemari’ pada
Young Jae, namun seketika di urungkannya.
Laki-laki itu menghampiri Dae Hyun−salah satu temannya−lalu menghilang
begitu saja, tanpa mencoba melihat bangku kosong di sebelah Soo Jin.
“Ku kira kau sudah baikan dengannya?”
Soo Jin menoleh seketika, mendapati seorang gadis dengan rambut pendek
dan pipinya yang tembam kini sedang menatap kearahnya. Park Joo Hyun, seorang
gadis yang menjadi sahabat Soo Jin sejak kepergian Young Jae lima tahun lalu.
“Siapa?”
“Kau dan Young Jae.” Soo Jin belum mengalihkan pandangannya dari Joo
Hyun, gadis itu nampaknya sedang menuntut penjelasan lebih. “Waktu ini, ketika
pelajaran Biologi, aku pergi ke kamar mandi, lalu aku melihat Young Jae di tempat
parkir sepeda. Dan siangnya, kau cerita bahwa sepedamu seketika baik-baik saja,
jadi ku kira dia yang membenahi sepedamu.”
“Hari itu ia juga membawa sepeda ke sekolah. Mungkin kau salah lihat.”
Dengan santai Soo Jin menyuapkan sesendok salad buah−yang ia bawa dari rumah−ke
dalam mulutnya. Sementara Joo Hyun masih menatapnya ragu.
“Yah, mungkin saja. Tapi kulihat kalian memang belum akur.”
Soo Jin hanya mengangguk saja menanggapi pernyataan Joo Hyun karena
mulutnya kini penuh oleh makanan. Ia tak mau mengambil resiko menelan semuanya
seketika dan terpaksa harus tersedak.
Acara selanjutnya terdengar sepi, Soo Jin masih terus mengunyah saladnya,
sementara Joo Hyun sibuk berpikir. Gadis itu memang lebih peka dari Soo Jin.
Baginya percuma untuk bertanya pada sahabatnya itu, karena pasti jawaban Soo
Jin terlalu meragukan, ia seringkali tak pernah peduli dengan lingkungannya.
Dan itu adalah sebuah kendala besar bagi keingintahuan Joo Hyun.
_~**-**~_
Soo Jin sedang mengorak-orek soal matematika kala eomma-nya berteriak dari lantai satu. Hari sudah merambat kearah
malam, lampu-lampu di perumahan itu pun berlomba-lomba menyala. Soo Jin masih
enggan untuk bangun, gadis itu bergerak malas di atas kursi meja belajarnya.
Soal matematika itu masih setengah di kerjakannnya, tapi tak ia pungkiri bahwa
perutnya kini mulai lapar.
“Ya, aku turun sekarang,” ia berteriak lantang. Gadis itu berpakaian
santai sebagaimana seorang gadis. Dengan celana jeans di atas lutut dan sebuah kaos kuning bergambar boneka teddy bear yang sedang tidur, Soo Jin
pun menuruni tangga.
Seluruh anggota keluarga Kim duduk melingkar di meja makan. Tak ada yang
aneh menurut Soo Jin, semuanya masih terlihat sama sampai suara bel pintu
terdengar. Nyonya Kim beranjak untuk membuka pintu, sementara yang lainnya
hanya menunggu.
Tamu masuk dan Soo Jin menelan dalam-dalam air putihnya seakan baru saja
menelan batu kala tahu siapa yang datang. Yoo Young Jae, laki-laki itu langsung
mendudukan diri di bangku sebelah Soo Jin. Menguarkan seluruh amarah Soo Jin
dan memendam makin dalam rasa sukanya di dalam hati.
“Rasanya sudah sangat lama sejak kau mampir ke rumah ini,” ujar Nyonya
Kim memecah suasana yang seketika menjadi sunyi. Young Jae hanya tersenyum
menanggapi.
“Ya, sangat lama. Sampai-sampai ku kira ia sudah lupa bahwa kita
bertetangga,” celetuk Soo Jin kesal. Semuanya kembali diam, tak ada yang berani
menyanggah karena memang begitu adanya.
Makan malam hari itu terasa begitu hampa. Tak ada percakapan-percakapan
kecil yang tercipta seperti biasanya. Semua terasa kaku dan beku sedingin
suasana malam itu. Mungkin seharusnya Young Jae tak datang malam itu. Atau
mungkin juga itu memang takdir.
_~**-**~_
“Sudah ku katakan bahwa akan hujan, eomma
tetap tak mempercayainya!” gerutu Soo Jin sambil memperhatikan rintih-rintik
hujan yang berjatuhan dari atap bangunan. “Jadi, menurutmu kita harus
bagaimana?”
“Apa kau ingin kita menerobos hujan saja?”
Soo Jin menoleh kearah Young Jae yang berada di sebelahnya. Hujan turun
sangat deras dan apa yang ia bilang tadi? Menerobos hujan? Yang benar saja!
“Kau menyukai hujan ‘kan?”
“Ya, tapi−“
−dan Young Jae terlanjur menarik tangan Soo Jin, membawanya berlarian di
bawah hujan yang deras tanpa perlindungan sedikitpun. Jalanan karnaval yang
tadinya ramai, kini sepi tak berpenghuni karena tentunya setiap orang lebih
memilih untuk berteduh.
“Young Jae!” Soo Jin menepuk-nepuk lengan Young Jae yang bertautan
dengan tangannya, secara tidak langsung meminta Young Jae untuk berhenti.
Merekapun akhirnya berhenti di tengah derasnya hujan.
“Apa kau lelah?” Young Jae menatap Soo Jin yang sedang memegang kedua
lututnya kelelahan. Gadis itu mengambil
napas satu-satu sebelum akhirnya bangkit. Namun terasa sangat aneh karena bola
matanya langsung tertuju pada Young Jae. Tatapan mereka saling bertautan.
“Sebenarnya apa yang kau mau, Young Jae?” Soo Jin memberanikan diri
untuk menatap kedua mata itu demi sebuah pertanyaan yang sejak beberapa jam
lalu ia simpan.
“Apa yang aku inginkan? Hanya ingin cepat sampai di rumah, jadi kita
menerobos hujan.”
“Maksudku bukan begitu.” Young Jae tampak kebingungan, ia menekukkan
sebelah alisnya tanpa komando. “Maksudku, mengapa kau mengajakku kemari?”
“Oh! Aku hanya ingin menonton karnaval dan kebetulan ada kau, jadi aku
mengajakmu. Memang kenapa?”
“Kau tahu maksudku bukan−“ Soo Jin menggantungkan ucapannya, antara
yakin dan tidak yakin akan apa yang ada di pikirannya saat itu. “Ah, lupakan!”
Soo Jin berjalan mendahului, namun Young Jae agaknya tak ingin berpindah
sedikitpun.
“Ya! Aku memang tahu maksudmu bukanlah seperti itu!” seru Young Jae yang
berhasil mendapat perhatian Soo Jin, gadis itu membalikkan badannya dengan
bingung. “Maksudmu, mengapa aku berubah? Mengapa aku mengajakmu ke tempat ini
dan bukannya mengacuhkanmu saja seumur hidupku?? Aku tahu itu yang kau maksud.”
Soo Jin berdiri kaku di tempatnya. Perasaannya bergetar tak karuan,
menunggu apa yang akan di katakan Young Jae selanjutnya. Sementara itu, Young
Jae berjalan mendekatinya, perlahan namun pasti, Soo Jin tahu bahwa sebentar
lagi, pria itu akan sampai di hadapannya.
“Kau bertanya mengapa?” Young Jae menatap dalam ke mata Soo Jin, membuat
jantung gadis itu hampir saja berhenti berdetak.
“Karena aku lelah, aku sangat lelah menyimpan semua ini sendirian, Soo
Jin…” Young Jae mengeluarkan sebuah gelang dari saku celananya, gelang yang
sama persis dengan gelang yang melingkar di pergelangan tangan Soo Jin saat
itu.
“Dari dulu aku selalu menganggapmu sebagai adikku, sampai aku pergi
tanpa pemberitahuan. Dan jujur, disana aku merindukanmu. Sampai aku kembali
untuk melihat adik kecilku. Meski sudah bertahun-tahun, kau ternyata tak
berubah.”
“Tapi kau yang berubah, Young Jae,” potong Soo Jin cepat. Gadis itu tak
siap dengan semua keadaan ini, ia tak suka. Ingin rasanya melupakan semua
perbincangan mereka saat ini dan menangis sepuasnya di pelukan Young Jae. Andai
saja…
“Dengarkan aku dulu.” Young Jae menarik tangan Soo Jin dan menggenggamnya
erat. “Namun setelah aku melihatmu, kurasa aku tidak bisa menganggapmu adikku
lagi. Karena rasa ini ternyata lebih dari sekadar itu.”
“Tapi mengapa kau malah menjauhiku? Memubuatku justru membencimu, Young
Jae?”
“Karena kau akan selalu menjadi adikku, itu yang ku pikir. Dan aku takut
kalau kau juga berpikiran yang sama denganku. Menganggapku sebagai kakak, tak
lebih.”
“Kau seharusnya tahu, bahwa aku tak pernah berpikiran seperti itu,
bahkan sejak awal.”
Hujan turun semakin deras, meredam konversasi itu ke permukaan, dan
meninggalkan sepasang muda-mudi itu dalam sebuah keheningan.
Soo Jin melangkah terlebih dahulu yang kemudian di susul oleh Young Jae.
Langkah mereka begitu tenang seakan benar-benar menikmati setiap bulir air
hujan yang menerpa tubuh masing-masing.
“Kau tahu? Menurutku, kau seperti hujan, Young Jae…” Young Jae seketika
menoleh, namun gadis itu masih menatap lurus ke depan. “Tapi aku tak pernah
tahu, apa aku bagimu…”
“Aku ingin kau seperti langit. Meski hujan tak ingin turun, tapi jika
kau menginginkannya, maka hujan akan turun.” Young Jae hampir bergidik ngeri
mendengar ucapannya sendiri andai saja tidak ada Soo Jin disana. Mungkin itu
akan menjadi ucapan termanis yang pernah ia berikan pada seorang gadis, dan
satu-satunya gadis itu adalah Soo Jin.
Soo Jin menatap langit dengan raut kecewa. Hujan sudah turun semakin
jarang dan itu semua belum cukup baginya.
“Jadi, jika sekarang langit ingin hujan turun lebih deras, apa kau akan
mengabulkannya Young Jae?” Young Jae mengangguk tanpa memahami betul bahwa yang
Soo Jin maksud adalah hal yang nyata.
Young Jae berhenti berjalan lalu menatap Soo Jin dalam. Mereka saling
berhadapan dalam waktu yang lama. Sementara, dengan perlahan bulir hujan turun
semakin banyak.
“Jika kau ingin hujan turun dengan deras, maka aku akan mengabulkannya,”
ujar Young Jae sebelum akhirnya memeluk Soo Jin erat.
Soo Jin terkejut. Bukan karena Young Jae memeluknya, tapi lebih daripada
itu. Di saat yang bersamaan, hujan turun dengan deras, bahkan meredam segala
suara yang mampir di telinganya.
Namun, ada satu suara yang berhasil di tangkap inderanya dan di proses
oleh otaknya.
“Bagaimana? Aku menepatinya ‘kan?”
.
.
.
Showing our love is just a simple
thing, but it’s so hard to do….
Komentar
Posting Komentar