Kisah di Tempat yang Tak Seharusnya
Sekali lagi ku tatap rangkaian bunga di tanganku.
Aku tersenyum simpul. Semoga saja tidak mengecewakan. Buket bunga dari origami yang ku buat semalaman menemani
perjalananku pagi itu.
Sepuluh menit berlalu, aku akhirnya sampai di
Selasar Barat Gedung Fisipol UGM. Dimana disana telah duduk beberapa teman
serta kakak-kakak yang akan mendampingi kelompokku melakukan kunjungan sosial
ke sebuah panti jompo.
Wredha Hanna. Dari nama itu, dapat kita tebak bahwa
panti jompo ini hanya di huni oleh para nenek. Ya, para nenek dengan usia
lanjut. Lemah, rapuh. Itu kata-kata pertama yang terbayang di benakku. Tapi
semua terpatahkan seketika.
Senyuman renta namun tetap cantik terkembang dari
balik pintu panti yang kami buka. Seorang wanita tua dengan rambut putihnya
berdiri dengan kuat sambil mengucapkan salam kepada kami semua.
Takjub. Satu kata itu yang mampu mengganti
gambaranku sebelumnya. Dengan sangat antusias, para nenek-nenek menyambut
kedatangan kami. Beberapa ada yang sudah duduk di aula. Beberapa pula dengan
semangatnya berjalan menghampiri kami, meskipun dengan alat bantu jalan. Aku
dan teman-teman di persilahkan untuk duduk di aula, lalu memberikan beberapa
sambutan kepada pengurus panti.
Di tengah sambutan itu, seorang nenek datang dengan alat
bantu jalannya. Aku dan seorang temanku membantu nenek itu untuk duduk di
bangku sebelahku. Kembali senyum renta itu memberikan kehangatannya padaku.
Netra yang sudah tak berfungsi sepenuhnya itu menatapku lembut.
“Halo, Nek,” sapaku dengan senyum. Sambutan dari
pengurus panti masih terdengar dan nenek itu memperhatikan dengan baik. Tak
begitu banyak percakapan yang bisa kami lakukan karena kemampuan bicara si
nenek sudah melemah, mengingat usianya sudah mencapai delapan puluh tahun.
Begitu juga dengan nenek yang aku temui sedang duduk
di beranda panti. Ketika aku mengajaknya berkomunikasi, tak banyak jawaban yang
dapat kuterima. Hanya beberapa kalimat singkat serta gelengan kepala. Nenek
Tari, usianya berkisar lima puluh tahunan. Ketika kutanya mengenai kedatangan
kami ataupun para pengunjung lain, Nenek Tari menjawab, “Nenek tidak suka
ramai-ramai, suka sendiri.”
Yah, mungkin memang tak semua nenek menyukai keramaian
seperti yang kami kira. Mungkin juga beberapa nenek merasa terganggu atas
keramaian yang telah kami buat diatas ketenangan yang biasanya ia jalani. Namun
di balik itu semua, niat kami benar-benar baik. Untuk berbagi kepada
mereka-mereka yang jauh dari keluarga meski telah di usia tua.
Dan sambutan yang begitu ceria aku dapatkan dari
nenek ketiga. Begitu aktif si nenek menceritakan tentang keluarganya,
pengalaman hidupnya, hingga kisah-kisahnya selama berada di panti itu. Banyak
suka dan duka yang terjadi.
Setiap pagi para nenek di ajak untuk senam bersama.
Menyenangkan tentunya. Namun sedih ketika si nenek sangat ingin menemui
anaknya, namun tidak bisa. Di samping si nenek yang tentu saja tidak bisa pergi
sendiri untuk menemui anaknya, si anak bahkan terlalu sibuk untuk sedikit saja
menyempatkan diri agar dapat menemui ibunya.
Di waktu yang singkat itu, kami menemukan banyak
kisah perjalan hidup dari para nenek yang sisa hidupnya harus di jalani di
panti. Bagaimana dulu mereka bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, hingga
yang sejak dulu sudah terpisah dari sanak saudara, dan akhirnya harus tinggal
di panti.
Sesungguhnya begitu menyedihkan mendengar cerita
para nenek di Panti Wredha Hanna. Bagaimana mereka terpisah dari keluarga,
terutama anak-anaknya yang terpaksa menempatkan ibu mereka di panti karena
kesibukan dalam bekerja.
Tapi, itu bukanlah cara yang terbaik yang bisa
dilakukan anak untuk seorang ibu yang selama ini telah merawat mereka tanpa
lelah hingga akhirnya bisa berdiri di atas karir. Tapi melihat senyuman dan
keadaan para nenek yang sangat kuat meskipun sudah termakan usia, membuatku
berpikir. Bahwa melihat senyum itu setiap hari akan terasa lebih baik, di
bandingkan membiarkan senyum itu pudar karena terpaut akan jarak dan rindu akan
anaknya.
Ibu adalah sosok malaikat yang Tuhan kirimkan pada
kita, karena sekalipun ia tak pernah mengeluh akan segala tindakan kita yang
begitu merugikannya. Lalu mengapa kita harus mengeluh hanya karena ia bertambah
usia??
Jika waktu masih
bisa berpihak
Andai langit tak
menitikkan air mata
Ku pastikan kau
tak akan pergi
Meninggalkan
raga tanpa nyawa
Bersimpuh dalam
ribuan doa
Meski kadang
tertiup angin semata
Atau raga ini
yang termakan ego
Tapi tetap itu
katamu
“Apapun itu demi
kebaikan anakku”
A/N:
Jadi cerita ini sebenernya adalah tugas ospek author wkwkwk jdi sedikit based on true story lahh
mungkin cerita ini bisa dijadikan refleksi buat kita para kaum muda untuk tidak menelantarkan orang tua kita sendiri yaaaa
Komentar
Posting Komentar