Langsung ke konten utama

[CERPEN] US

US
.
.
.
Karena kita berbeda.
Haruskah ini berjalan tanpa kepastian?
.
.
.

“Jadi, besok ingat kumpul disini lagi jam lima sore. Jangan sampai terlambat,” intruksi si ketua organisasi pada kumpulan anggotanya yang sebelumnya duduk melingkar kini sudah membubarkan diri menuju rumah masing-masing.
Tapi seorang gadis dengan perawakan kecil dan kurus itu masih berdiri di tempatnya dalam diam. “Ada apa, Jess?” tanya Wisnu akhirnya yang memperhatikan tingkah adik tingkatnya itu sedaritadi.
Jessica menoleh dengan wajah bingungnya. “Aku tidak ada kendaraan, Kak,” ujarnya polos. Ya, sedaritadi hal itu yang menggeluti pikirannya. Besok organisasi sosial yang ia ikuti di kampus akan mengadakan acara sumbangan, sedangkan ia sendiri tidak mempunyai kendaraan untuk pergi kesana.
“Ah, masalah itu tenang saja. Kau bisa berangkat bersamaku naik motor besok,” jawab Wisnu yang akhirnya mengundang senyum dari wajah Jessica. Sesungguhnya memang masalah yang sepele, tapi sebagai mahasiswa yang belum genap sebulan, Jessica masih terlalu canggung dengan lingkungan barunya.
“Oke, terima kasih, Kak,” ujarnya dengan riang lalu bersiap untuk melangkah pulang. Tapi belum ada dua langkah yang ia rajut, Wisnu kembali memanggilnya.
“Kau pulang jalan kaki?” tanyanya pada Jessica. Gadis itu pun mengangguk dengan polos. “Kau tinggal di asrama, kan?” Kembali Jessica hanya mengangguk. “Kalau begitu ku antar kau pulang, kebetulan rumahku juga searah,” ujar Wisnu lalu melangkah mendahului, mau tidak mau Jessica pun mengikutinya dari belakang menuju tempat parkir.
Di lihatnya langit yang mulai menggelap menuju petang. Ia mengendikkan bahu. Yah, setidaknya ia tak harus pulang sendiri, lagipula rasanya ia sangat lelah hari ini. Jadi, cukup menguntungkan, bukan?
.
.
.
Jessica berlari tergesa-gesa menuruni tangga asrama. Kurang beruntung, ia terlambat bangun siang tadi. Di lihatnya jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima sore. “Ck, menyebalkan!” umpatnya yang tak kunjung sampai di lantai bawah mengingat kamarnya yang ada di lantai empat, melelahkan.
Di tengah-tengah kekacauan yang ia alami, ponselnya berdering tanpa rasa bersalah. Dengan asal pun ia mengangkat panggilan itu tanpa melirik identitas si penelepon. “Halo?” Suara laki-laki terdengar di seberang sana.
Jessica seketika menghentikan langkahnya dan melirik ponselnya sejenak untuk melihat nama si penelepon. Kak Wisnu. “Halo. Ya, ada apa, Kak?” tanyanya dengan suara pelan. Dengan sedikit mencoba untuk menebak mengapa kakak tingkatnya itu menghubunginya, Jessica menuruni tangga dengan perlahan.
“Cepatlah turun, kita sudah terlambat,” jawab Wisnu dari seberang telepon. Jessica langsung saja mendongakkan kepalanya dan menemukan Wisnu sudah berdiri di bawah untuk menunggunya. Gadis itu pun berlari secepat kilat. “Jangan berlari seperti itu, nanti kau terjatuh!” teriak Wisnu dari telepon. Sambungannya belum terputus.
“Tidak apa, Kak. Aku cukup hati-hati.” Dan sambungan telepon pun berhenti. Selang beberapa detik, Jessica akhirnya sampai di hadapan Wisnu. “Maaf sudah membuat kakak menunggu lama,” ujarnya dengan napas yang masih terengah.
Wisnu menggeleng. “Bukan apa-apa. Lebih baik kita langsung berangkat saja.” Wisnu langsung menaiki motor sport hitamnya. Meski dengan napas yang belum benar-benar stabil, Jessica terpaksa mengikuti. Toh, ia hanya perlu duduk di atas motor. Lagi pula, sudah sangat beruntung Wisnu menjemputnya, kalau tidak ia mungkin harus berjalan menuju kampus dan terlambat hingga setengah jam, dan di pastikan sudah ia akan di tinggalkan oleh rombongan.
Suasana malam di pelataran Jalan Malioboro tampak begitu ramai. Suasana Jogja yang sederhana pun terasa sangat kuat. Dengan beberapa kantong plastic besar, rombongan itu menyusuri jalan itu untuk bersedekah pada kaum yang kurang mampu disana. Pengemis tua, pengamen anak-anak, sungguh memilukan. Di tengah-tengah kehidupan globalisasi, kemiskinan masihlah menjadi momok yang sangat besar bagi bangsa ini.
Jessica memperhatikan beberapa temannya yang sedang memberikan sebuah bungkusan nasi pada nenek tua yang duduk di emperan toko. Hatinya ikut pilu. Jika di pikir, kemana perginya anak-anak dari para lansia yang telah ia temukan sepanjang jalan tadi? Apa mereka sama sekali tak memedulikan orang tua mereka? Seketika terbersit ingatan akan orang tuanya di rumah. Apa mungkin anak-anak mereka juga pergi jauh untuk mencari nafkah? Sepertiku kini yang menuntut ilmu jauh di luar kota?
“Jess. Jess!” Jessica terbangun dari lamunannya karena panggilan dari temannya, Ratih. “Ayo, pulang. Makanannya sudah habis,” ujar gadis itu lalu pergi lebih dulu. Jessica mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok Wisnu, tapi hingga beberapa menit, ia tak kunjung menemukannya.
Sebuah tepukan tiba-tiba mendarat di bahu Jessica, ia langsung saja menoleh, dan menemukan senyuman Wisnu disana. “Kakak! Kemana saja? Aku cari sedaritadi!” ujarnya kesal sambil memukul kecil bahu Wisnu.
“Oh? Kau mencariku? Sebegitu paniknya?” tanyanya dengan wajah tanpa salah. Jessica menghembuskan napas lelah. Tentu saja ia panik. Jika saja Wisnu tiba-tiba hilang, Jessica tentunya tak mau pulang sendiri. Jarak antara asrama dan Malioboro cukup jauh, ia tak mau menghabiskan uangnya untuk menyewa taxi. Tidak akan. “Yasudahlah, kita pulang sekarang. Tapi sebelum itu aku mau makan dulu, kau juga belum makan, kan?”
Jessica mengangguk dalam diam. Kebetulan perutnya juga terasa lapar dan ia pun mengikuti saja kemana Wisnu akan mengajaknya untuk membeli makan. Yang terpenting, ia nanti sampai di asrama, dan ingin segera tidur setelahnya.
.
.
.
“Aku heran. Kenapa belakangan ini setiap bersamamu, aku pasti bertemu dengan Kak Wisnu.” Jessica masihlah fokus pada makanannya, namun harus teralihkan akibat ucapan Raina. Dan seperti kata gadis itu, beberapa bangku di depannya, terdapat Wisnu dengan kumpulan temannya yang sedang sibuk mengobrol. “Iya, kan, Lis?” tanya Raina lagi pada Lisa demi memastikan hipotesanya.
“Iya, kurasa begitu,” ujar Lisa singkat karena kumpulan bakso masih memenuhi mulutnya.
“Memangnya kenapa? Ini kantin, jadi wajar saja mereka ada disini, kan?” jawab Jessica tampak santai. Meski sesungguhnya ia juga sibuk berpikir. Dan setelah itu ia mendapatkan kesimpulan bahwa pernyataan Raina benar. Jika di ingat-ingat lagi, sesungguhnya Jessica juga masih bingung akan kejadian seminggu yang lalu. Kenapa saat itu Wisnu tiba-tiba sudah datang menjemputnya? Padahal seingatnya ia tak ada meminta bantuan laki-laki itu sama sekali.
“Jess. Jess.” Panggilan serta goyangan di bahunya dari Raina membangunkan Jessica dari lamunannya. Setelahnya Jessica menatap Raina dengan wajah bingung, meminta penjelasan atas maksud panggilannya itu. Tapi hanya dengan lirikan mata kearah samping, Jessica langsung tahu apa maksud Raina.
Wisnu. Laki-laki itu berdiri di samping meja mereka sambil melempar senyum. “Ya. Ada apa, Kak?” tanya Jessica masih terbingung. Raina dan Lisa menyimak dengan baik-baik. Ini suatu keadaan yang jarang sekali.
“Nanti kau datang rapat, kan?” Jessica melongo, tak langsung menjawab pertanyaan Wisnu, sampai pada saat singgukkan siku yang Lisa lakukan untuknya, barulah gadis itu mengangguk dengan cepat. “Yasudah, kalau begitu aku akan menjemputmu nanti sore.” Tanpa jawaban ‘ya’ dari Jessica, Wisnu melenggang cepat meninggalkan tiga gadis itu dengan kebingungan.
“Kurasa yang satu ini tidak wajar, Jess,” ujar Lisa yang mendapat anggukan semangat dari Raina. Jessica hanya diam sambil memperhatiakan kepergian Wisnu. Ia tak mau mengakui pernyataan Lisa, tapi mau tak mau otaknya memikirkan hal itu.
“Tidak wajar, kah?” tanya Jessica yang lebih tepatnya ia tujukan pada dirinya sendiri. Sebenarnya apa maksud Wisnu? Menjemputnya lagi?
.
.
.
“Lis, apa kau juga merasa ada sesuatu yang aneh dengan Jessica?” tanya Raina sambil berbisik pada Lisa. Mereka tengah berjalan di trotoar kampus. Hari itu kuliah berakhir lebih cepat karena dosennya sedang pergi ke luar kota.
Lisa mengangguk mantap. “Ya, aku juga merasakannya. Seperti yang kita katakan sebelumnya, ini tidak wajar,” ujar Lisa penuh dengan kecurigaan. Dan kecurigaan itu semakin bertambah ketika sebuah motor berhenti di samping Lisa yang ada di depan mereka. Setelah pengendaranya melepas helm, wajah Wisnu muncul di baliknya. Lisa dan Raina langsung saja merapat menghampiri Jessica.
“Oh, ya. Na, Lis, aku mau pergi dulu, ada sesuatu yang harus aku beli,” ujar Lisa lalu naik ke atas motor Wisnu. Tak berapa lama, motor itu sudah melenggang jauh, meninggalkan Lisa dan Raina termangu dalam kebingungan.
“Lis, aku sudah menarik kesimpulan,” ujar Raina pelan, wajahnya masihlah memperhatikan jalanan yang sebelumnya di lewati oleh motor Wisnu.
“Ya, aku tahu, Na. Aku mengerti,” timpal Lisa. “Ku pikir sebentar lagi, hanya kita berdua yang akan menghabiskan waktu malam minggu sendiri di asrama,” ujar Lisa lemas yang juga mendapat anggukkan lemas dari Raina.
Yah, setidaknya sabtu ini kita menghabiskan waktu di Korean Festifal! Yeay!!” sorak Raina riang. Ya, hanya itulah yang bisa membuat Raina dan Lisa semangat di minggu yang berat ini.
Yeay!!!” Lisa dan Raina melakukan high five, tapi tiba-tiba sebuah motor berhenti di samping mereka lagi. Terasa seperti déjà vu, persis seperti ketika tiba-tiba tadi Wisnu berhenti di samping Jessica. “Ivan?” tanya Lisa begitu menyadari siapa yang duduk di atas motor itu.
“Hei, apa kalian melihat Jessica?” tanya Ivan, teman satu jurusan mereka. Lisa dan Raina saling melempar tatapan satu sama lain sebelum akhirnya menatap tajam kearah laki-laki berkacamata itu.
“Jessica?”
“Dia sudah pergi dengan Kak Wisnu.”
Jawaban bergiliran dari Lisa dan Raina, Ivan dapatkan. Tapi jawaban itu sama sekali tak seperti yang ia harapkan. “Oh, baiklah. Terima kasih.” Dan motor itu langsung menghilang begitu saja dari pandangan Lisa maupun Raina.
Raina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku juga heran, kenapa belakangan ini Ivan sering menanyakan Jessica, ya? Ck, bahkan tadi dia tidak mengucapkan terima kasih, dasar!” gerutu Raina tidak senang.
“Ya, setidaknya jika ia ingin mendekati Jessica, ia harus baik pada kita, bukan? Seperti… Kak Wisnu? Hahahahaha.”
Hahahaha!!” Dan tawa mereka berdua pecah sudah. Entah mengapa mereka jadi sebegitu senangnya dengan kisah sahabatnya, Jessica.
.
.
.
Jessica terus saja melirik arlojinya sejak sejam lalu. Selama itu pula ia sudah duduk di depan minimarket asrama. Ia ingat betul tentang janjinya kemarin dengan Wisnu. Pergi ke bukit bintang katanya. Tapi sampai satu jam lebih ia duduk untuk menunggu kedatangan laki-laki itu, batang hidungnya bahkan tak kunjung tampak.
Langit sudah semakin menggelap. Hampir pukul setengah delapan dan Jessica sudah berhenti berharap akan kedatangan Wisnu disana. Jessica menghembuskan napas berat. Di lihatnya bulan purnama yang sedang menggantung cantik di langit. Meski tak ada bulan lain yang menemaninya, ia tetap tampak cantik. Muncul di bayangan gadis itu, seandainya saja ia berada di bukit bintang malam ini, pastilah akan sangat menakjubkan. Pemandangan lampu-lampu perkotaan yang seperti bintang di bawah bulan purnama yang indah. Sungguh menakjubkan.
“Jess!!” Raina berlarian dari arah parkiran. Meskipun tampak begitu susah akibat kebaya yang ia gunakan. “Sedang apa?” tanyanya setelah sampai di hadapan Jessica dan duduk di salah satu bangkunya.
Waiting for someone,” ujar Jessica lemas. Matanya meneliti Raina yang sangat aneh menggunakan kebaya malam-malam seperti ini. “Kau sendiri darimana? Kenapa pakai kebaya?”
Alaah, seperti statusmu di line saja ‘waiting for someone’,” ujar Raina sedikit mengejek. Setelahnya gadis itu tersenyum menunjukkan semua deretan giginya. “Oh, ini. Aku baru saja datang dari Pura untuk sembahyang. Kenapa? Aku cantik, ya?”
Bhak. Jessica rasanya ingin muntah saat itu juga. Tapi yang keluar malah tawa terbahak. Memang temannya yang satu itu sangat percaya diri. Jessica sendiri heran bisa ada orang sepertinya. Tapi gadis itu cukup menghibur, setidaknya membuat Jessica lupa akan janjinya dengan Wisnu, meski hanya sejenak.
“Sama sekali tidak. Kau tidak cantik sama sekali,” ujar Jessica yang langsung saja membuat wajah Raina cemberut seketika. Dan tawa kencang pun kembali terdengar dari Jessica. Entah kenapa, ia sangat senang menertawakan Raina. Tapi begitu juga dengan gadis itu, ia sangat senang menertawakan Jessica. Menyebalkan.
Ponsel Jessica tiba-tiba berdering. Wajahnya menjadi cerah seketika. Pasti Wisnu yang menghubunginya, membuat Jessica berpikir sejenak. Ia harus bagaimana? Marah? Atau pura-pura tidak tahu juga?
Tapi harapan Jessica pupus seketika setelah ia melihat identitas si penelepon. Ivan. “Halo?” jawab Jessica sekenanya. Ada perlu apa juga Ivan tiba-tiba menelepon. “Ada apa, Van?”
“Kau dimana? Aku sudah di asrama.”
“Di asrama? Untuk apa?!” Jessica sungguh terkejut. Apa pula tujuan Ivan datang ke asrama dan memberitahunya? Jessica bahkan tak minta apapun pada laki-laki itu. Sambungan telepon terputus begitu saja. Sebagai gantinya, Ivan sendiri yang memunculkan dirinya di depan Jessica.
“Hai, Van!” sapa Raina santai. Sama sekali tak tahu perdebatan yang tengah di alami Jessica saat itu. “Oh, jadi kau yang di tunggu Jessica sedaritadi?” tanya Raina sambil mengangguk pelan. Tanpa mendapat jawaban dari Ivan, gadis itu langsung mendapat jawaban dari Jessica.
“Ada urusan apa kau tiba-tiba kemari?” tanya Jessica dengan wajah penuh kebingungan. Tak dapat di pungkiri bahwa ia tampak kesal, karena sesungguhnya ia sangat berharap Wisnu yang akan datang, tapi Ivan memutuskan harapannya begitu saja.
“Kau ingin pergi ke bukit bintang, kan? Kebetulan sekarang aku juga ingin kesana,” jawab Ivan di tambah dengan senyum meyakinkan. Jessica menatap laki-laki itu ragu. Bagaimana ia bisa tahu bahwa Jessica ingin pergi ke bukit bintang? Ah, ya! Status! Gadis itu baru saja membuat status di akun line-nya. Ya begitulah ia, suka sekali membuat status.
“Memang, tapi ini sudah terlalu malam untuk itu. Lagipula aku sudah membuat janji kepada orang lain untuk pergi kesana,” elak Jessica. Ia tak tahu harus bagaimana dengan kemunculan Ivan yang selalu seperti ini. Bersikap seolah-olah ia tahu segalanya tentang diri Jessica dan hanya ialah yang tahu.
“Kalau begitu, apa kau mau menamaniku makan malam?”
.
.
.
Wisnu mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya terus-menerus. Ia duduk di atas motornya itu sejak setengah jam lalu, menunggu seseorang yang bahkan tak bisa ia hubungi sedaritadi. Entah sudah yang keberapa kali Wisnu memulai panggilan di teleponnya, tapi tak kunjung ada jawaban disana. Sekarang hari minggu, seharusnya gadis itu memiliki banyak waktu luang, tapi mengapa ia bahkan tak bisa mengangkat telepon darinya? Tak lain dan tak bukan, Wisnu sedang menunggu Jessica di depan asramanya, tapi bahkan batang hidung gadis itu tak kunjung muncul.
“Kak Wisnu!” sebuah panggilan mengalihkan perhatian Wisnu. Disana Raina dan Lisa tengah berjalan menghampirinya. “Tumben? Ada apa?” Tanya Raina basa-basi, meskipun tampak sedikit kesusahan dengan kresek belanjaan yang ia bawa, begitupula dengan Lisa.
Dengan mudah Wisnu bias menebak kemana mereka sebelumnya pergi. Sunday Morning. Ya, sebuah pasar kaget yang lebih sering di kenal sebagai ‘sunmor’ yang berada di sepanjang jalan kampus kami. Dan itulah tujuanku berada disini, untuk mengajak Jessica pergi kesana. “Kalian tidak bersama Jessica?” Raina dan Lisa sepakat menggeleng.
“Tadi pagi kami mengajaknya untuk pergi bersama, tapi ia bahkan tak membaca pesan kami,” ujar Lisa penuh kekecewaan sambil kembali mengecek ponselnya, tapi tetap saja, pesan itu taka da kemajuan, masih sama seperti sebelumnya.
“Kami juga sudah mencoba untuk mencari ke kamarnya, tapi pintunya sudah terkunci. Bahkan sepagi itu, kemana perginya?” Raina sendiri tampak tak tahu. Dengan polosnya ia menyeruput minuman rasa buah itu, membuat Wisnu menelan salivanya tanpa sadar. Ia kehausan, menunggu tanpa sesuatu yang jelas bahkan membuatnya lupa akan segala hal. Ia belum minum apapun sejak bangunnya pagi itu. Dan tanpa komando apa-apa, perutnya mulai berbunyi keras karena lapar.
Menyadari bahwa Raina maupun Lisa juga mendengar bunyi perutnya, Wisnu langsung saja mengambil tindakan. “Kalau begitu aku pergi sekarang,” ujarnya langsung menginjak kopling motor sport-nya dan melenggang meninggalkan Raina dan Lisa yang menatap heran kepergiannya. Setelah penampakan Wisnu menghilang, kedua gadis itu pun tertawa terbahak-bahak. Ya, ekspresi Wisnu bahkan terlalu lucu untuk di definisikan, membuat para gadis itu hanya mampu menertawakannya. Wisnu yang malang.
.
.
.
“Jess!”
Jessica masih menolak untuk berhenti. Ia masih kesal akan kejadian hari itu. Kenapa Wisnu bahkan tak bisa mengerti bahwa ia lelah menunggu tanpa suatu kepastian? Laki-laki itu tak minta maaf pula padanya, membuat Jessica sendiri sudah malas untuk menyinggung masalah itu.
“Jess, kemarin kau kemana? Aku mencarimu, tapi kau bahkan tak mengangkat teleponku.”
Kalimat Wisnu berhasil menghentikan langkah Jessica. Hari itu adalah hari senin. Ia sebal akan hari itu dan kedatangan Wisnu semakin membuatnya jengkel. Kalau bisa, ingin sekali Jessica menyembur Wisnu dengan petuah-petuah panjang, sayangnya ia terlalu malas untuk melakukan itu.
Tepat di hadapan Wisnu, Jessica menatap laki-laki itu dengan tatap tajam lalu menghela napas panjang. “Kemana? Sebelum aku menjawab, bisakah kakak memberiku jawaban atas pertanyaan “kemana” itu?” ujarnya dengan sarkastis.
Wisnu mengerutkan dahinya. “Maksudmu? Apa yang sebenarnya ingin kau katakan? Katakan dengan jelas, aku tidak mengerti.”
Bodoh. Jessica mengumpat dalam diam. Mengapa laki-laki tak bisa langsung mengerti? Padahal itu suatu kalimat sederhana, tapi mereka selalu memandangnya sebagai persamaan matematika. Menyebalkan.
“Malam itu, ketika kakak janji untuk mengajakku ke bukit bintang, ingat?” Dengan sangat malas akhirnya Jessica terpaksa mengatakannya juga. Wisnu tampak berpikir cukup lama. Baru satu gerakan yang Jessica lakukan untuk meninggalkan laki-laki itu, sebuah jawaban darinya mampu membuat Jessica mematung seketika.
“Aku ke Pura, maaf.” Tak ada jawaban apapun yang keluar dari bibir gadis di hadapannya, membuat Wisnu pun tak tahu harus bagaimana. “Jess,” panggilnya sambil meraih tangan Jessica yang hendak pergi lagi.
Perlahan tangan kiri Jessica melepaskan genggaman tangan Wisnu di tangan kanannya. Mata gadis itu tampak sayu seketika. “Kemarin… aku pergi ke gereja. Maaf.”
Kini giliran Wisnu yang terdiam kaku. Ia mengerti, ia paham akan apa yang Jessica rasakan saat ini karena ia sendiri merasakannya. Meskipun mencoba untuk tak memikirkannya, semua itu tampak terlalu jelas dimatanya. Semua perbedaan itu, bisakah ia hapuskan?
.
.
.
Jessica terdiam sendiri di bangku taman fakultasnya. Ia ingat, bahkan dengan sangat jelas kejadian beberapa menit yang lalu. Dimana ia dan Wisnu harus dihadapkan pada kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan yang membuatnya menyalahkan dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia memiliki perasaan itu. Semuanya salah, tak ada yang benar.
“Jess…”
Sebuah panggilan mengalihkan Jessica dari lamunannya. Ivan duduk di sebelahnya dengan senyum. “Kau baik-baik saja?” tanya laki-laki itu. Jessica hanya tersenyum paksa. Selama ini Ivan sudah begitu baik padanya, jadi ia tak ingin mengabaika laki-laki itu begitu saja.
“Sabtu malam nanti, apa kau ada acara? Aku ingin menonton film kesukaanku,” ujarnya sambil menyodorkan dua buah tiket bioskop. Tapi dengan halus Jessica menolaknya.
“Tidak, Van. Aku tidak suka film itu,” ujarnya mencoba tampak biasa, meskipun wajahnya tak dapat membohongi rasa sedihnya saat itu.
“Atau kita bisa jalan-jalan mencari makan? Mencari tempat dengan pemandangan bagus? Atau mungkin ada barang yang ingin kau beli? Aku bisa mengantarkanmu…”
Ivan sibuk menawarkan ini dan itu tanpa sadar sedikitpun akan Jessica yang ingin menolak semuanya. Ia lelah, ia hanya butuh istirahat. Ivan pun tak bisa mengerti dirinya.
“Cukup, Van!” ujar Jessica yang berhasil membuat Ivan terdiam. Laki-laki itu memperhatikan raut Jessica yang mulai mengeras. “Tidakkah kau sadar bahwa semua itu percuma? Kau dan aku, kita tidak bisa seperti yang kau bayangkan. Kita berbeda, Van.”
Tanpa kata-kata yang lebih panjang lagi, Jessica berdiri lalu meninggalkan Ivan terduduk sendiri disana, sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri. Bukan bermaksud untuk terlalu percaya diri dengan menganggap Ivan telah menyukainya, Jessica tahu semua itu dari Lisa. Bagaimana laki-laki itu selalu mencari Jessica, menanyakan keberadaan gadis itu, hal yang disukainya, hingga merasa sangat kesal ketika ia mendapati Jessica tengah bersama Wisnu. Ya, Ivan menyukai Jessica.
Tapi baik Wisnu ataupun Ivan, Jessica tak mampu memilih salah satu. Mereka berbeda, ia dan Wisnu, juga ia dan Ivan. Semua itu tidak mungkin. Maka, Jessica memutuskan untuk berhenti disana. Ia tak ingin menengok kearah jendela yang menampakkan indahnya cahaya sang mentari, ia lebih memilih untuk tetap diam di dalam rumah meski dalam kedinginan. Karena disanalah ia merasa aman, tanpa perlu merasakan hujan ketika berada di luar dan mentari sedang enggan menunjukkan dirinya. Ia terlalu takut untuk tersakiti lebih dalam, jadi menyakiti diri lebih dulu mungkin jalan yang terbaik.
.
.
.

END

 A/N:
jadi ceritanya, cerita ini terinspirasi dari temen author namanya *ar* (disamarkan) hehehehe
gak sepenuhnya sama sih, cuma terinspirasi doang wkwkwk

Komentar

  1. Author-nim♡♡♡♡ akan lebih greget jalau diceritain perbedaan sama ivan juga tapiㅡ "aku ke pura" "aku ke gereja" OMG sukaaaaaa. Terima kasih cerpennyaaa >ㅂ<

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Vignette] Only Hope

Title:  Only Hope Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Yooji [OC] || Kim Yugyeom [GOT7] || Kim Namjoon [BTS] Genre: Romance. Friendship. Hurt. Duration: Vignette Rating: Teen Summary: Salahku yang terlalu berharap padamu

[Oneshot] Brother and Sister Complex

  Title: Brother and Sister Complex Author: Na n aJji (@nana.novita) Length: Oneshot Genre: Romance, family, friendship Main Casts: Kim Myung Soo (INFINITE) || Kim Soo Jin (OC) Rating: PG-15 Summary: Seperti sebuah napza. Berawal dari sebuah kebersamaan, hingga akhirnya membuatnya menjadi candu.

[Vignette] Biscuit

Title: BISCUIT Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Kim Jongin [EXO] Genre: Comedy. Friendship. Duration: Vignette Rating: G Summary: Haruskah ia memberitahu Soojin tentang apa yang ingin ia beli? . “ Oppa sungguh ingin membeli itu?” tanya Soojin tak percaya. Sehun hanya dapat mengangguk dengan polos. . . .