Title:
Between Us
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Cast(s):
Jeon Wonwoo [Seventeen] || Kim
Soojin [OC] || Jeon Jungkook [BTS]
Genre:
Romance. Hurt. School-life. Family.
Duration:
Vignette
Rating:
Teen
Summary:
Ia
yang nyatanya berdiri di antara kita
Haruskah
ada yang mengalah?
Atau
lebih baik tidak?
.
.
.
Lagi-lagi, aku melihat gadis itu duduk sendiri di
taman fakultasku−atau lebih tepatnya di taman fakultas kami. Ya, dia adalah hoobae di jurusanku. Aku
memperhatikannya tapi ia bahkan tak menyadari keberadaanku. Dengan perlahan aku
pun mendudukkan diri di sebelahnya.
“Hai,” sapaku yang langsung saja mengejutkannya.
Mata kecilnya itu melihatku penuh dengan keheranan. “Sedang apa?” tanyaku yang
kemudian mengundang senyum darinya.
“Hanya menulis hal yang tak begitu penting, sunbae,” jawabnya sambil menutup buku
yang sedaritadi menjadi fokusnya. Gadis itu lucu. Ia suka membuat cerita-cerita
fiksi, tapi bahkan ia mengambil studi yang begitu serius untuk kuliahnya. Siapa
yang menyangka bahwa gadis polos sepertinya akan tertarik dengan politik? Aku
sendiri masih belum percaya sampai saat ini.
“Sunbae?
Bukankah sudah ku katakan untuk jangan memanggilku seperti itu?” Soojin
tersenyum lebar, persis seperti anak kecil yang tertangkap mencuri permen.
“Mianhae, Wonwoo
oppa. Karena ini di wilayah universitas, ku pikir aku harus memanggilmu
seperti itu.” Ya, tidak salah jika ia berpikir seperti itu. Karena kami berada
di dalam jurusan yang sama, meski di angkatan yang berbeda. Mungkin gadis itu
berpikir untuk membiarkan orang lain menganggap hubungan kami hanya sebatas sunbae dan hoobae di kampus. Tapi, sesungguhnya hubungan kami lebih dari itu.
“Apa kau tidak ada kelas lagi hari ini?”
Soojin, Kim Soojin. Aku mengenal gadis itu sudah
sejak lama, tapi baru belakangan ini ku sadari bahwa aku menyukainya. Seorang
gadis yang benar-benar patut di sebut gadis. Sama sekali aku tak melihat sisi
kekerasan dari dirinya. Gadis yang selalu tersenyum dengan mata berbinarnya dan
ucapan-ucapan lembut yang selalu ia lontarkan.
Soojin menggeleng. “Seharusnya ada. Tetapi Park Seongsaengnim sedang pergi ke Jepang,
jadi kelas di kosongkan,” ujarnya dengan penuh rasa senang. Tentu saja,
memangnya pelajar mana yang tak suka kelas kosong? Untuk pelajar sepolos
apapun, hal itu merupakan suatu kesenangan tersendiri tentunya.
“Jadi, kenapa tidak pulang saja? Apa kau menunggu
seseorang?” Kali ini Soojin mengangguk dengan senyum. Dan akan selalu seperti
ini, aku tak bisa menghentikan diriku untuk tak membalasnya.
“Oppa
sendiri? Apa tidak ada kelas juga?” Aku tersenyum simpul tanda mengiyakan
pertanyaannya. “Kalau begitu aku boleh bertanya, kan? Aku sungguh tidak
mengerti tentang kasus ini, oppa.
Jung Songsaengnim memberi tugas untuk
menganalisanya.”
Aku menerima sebuah buku yang Soojin tunjukkan.
Sebuah kasus lama, mudah saja. Aku pun tersenyum dengan penuh kemenangan.
“Kalau menurut analisisku, ini sesungguhnya hanyalah konspirasi. Kelompok itu
hanyalah umpan yang dijadikan korban oleh para pemegang kekuasaan saat itu.”
Soojin tampak berpikir. Ia menerawang, mencoba
mengingat-ingat akan seluruh perjalanan kasus tersebut hingga berakhir hanya
menggantung tanpa solusi. “Kenapa? Apa alasan oppa sehingga bisa menyimpulkan seperti itu? Bahkan selama ini
pemerintah dengan tegas telah menyatakan bahwa kelompok itu adalah tersangka
atas tragedi dua puluh tahun yang lalu itu.”
Aku tersenyum simpul. Maklum saja, Soojin baru saja
masuk ke dunia yang bahkan lebih kejam dari apa yang pernah ia bayangkan,
mungkin ia hanya perlu mendalaminya lebih jauh. “Kau tahu, sesungguhnya saat
itu dua kaum penguasa sedang bersitegang, dan kejadian itu hanyalah suatu alat
yang mereka gunakan untuk mengalihkan konflik yang sebenarnya terjadi…” Aku
mulai menjelaskan panjang lebar kepada Soojin. Gadis itu memperhatikan dengan
baik sambil mengangguk sesekali. Wajah seriusnya benar-benar lucu. “Mengerti?”
tanyaku lalu di akhir penjelasan panjang itu.
Soojin menarik kedua ujung bibirnya tapi bukan
tersenyum, ia tampak berpikir sebentar. “Hmm,
cukup mengerti,” ujarnya lalu. Aku tertawa melihat tanggapannya. Aku tahu ia
masihlah kebingungan, memang tak semudah itu untuk mengertikan segala konflik
yang selama ini tertutup oleh sebuah sandiwara layaknya panggung teater. Dulu
aku juga sepertinya, terlampau polos, dan tak tahu apa-apa.
Tanganku terangkat lalu mengacak pelan rambut
Soojin. “Sudahlah, sebaiknya kau mencari buku referensi yang lebih banyak.”
Gadis itu mempoutkan bibirnya, mengeluh. Aku mengerti, ia bukannya malas untuk
membaca buku, tapi untuk mencari buku yang tepat itu cukup susah. Tanganku
kembali mengusap rambut Soojin, tapi kali ini untuk merapikan rambut berantakan
yang ku buat sendiri. “Jangan perlihatkan wajah seperti itu. Kau tahu aku tidak
bisa menolaknya.”
“Jadi?” tanyanya dengan mata berbinar. Gadis itu berharap
aku membantunya dalam mengerjakan tugas, tapi tidak semudah itu. Kau harus
berjuang, Kim Soojin.
Aku tersenyum simpul setelah berhasil merapikan
rambutnya. Rambut hitam panjang itu membuatku selalu dapat menemukan Soojin di
keramaian seperti apapun. Aku mengenalinya bahkan tanpa kusadari, seperti
sebuah gerak refleks. “Nanti malam datanglah ke rumah. Aku punya beberapa buku
yang bisa kau jadikan referensi.”
Soojin bertepuk tangan. “Yeay! Gomawo, oppa,” ujarnya sambil melakukan aegyo. Aku tahu ini bukanlah sesuatu yang besar, tapi senyum Soojin
seakan menandakan bahwa aku baru saja menyelamatkan dunia. Hahahaha, ya,
dunianya.
“Oh, hyung.
Kau disini?”
Sebuah suara menginterupsi percakapanku dengan
Soojin. Senyum yang sebelumnya ditujukan padaku, kini beralih. “Kook!” teriak
Soojin lalu menggandeng Jungkook untuk duduk. Tidak sempat aku menjawab
pertanyaan laki-laki itu, Soojin sudah berbicara panjang lebar. “Kenapa kau
lama sekali? Aku hampir mati bosan karena menunggumu. Untung saja ada Wonwoo oppa yang menemaniku sekaligus memberi
pencerahan untuk tugasku,” ujar Soojin masih dengan tangan melingkar di lengan
Jungkook.
Laki-laki itu menatapku lalu tersenyum. “Gomawo, hyung,” ujarnya, aku pun hanya
mampu mengangguk sambil tersenyum. Kemudian pandangan Jungkook teralih pada
Soojin. Sebuah pandangan yang membuatku merasa bukan apa-apa, bukan
siapa-siapa. “Jadi, sekarang?” tanyanya pada gadis itu yang di balas anggukan
semangat oleh Soojin. “Kajja!” Dan
tangan Jungkook menggenggam milik Soojin, membawa gadis itu pergi setelah
sebelumnya memberikan salam perpisahan padaku. Beberapa langkah yang mereka
rajut tapi aku masih dapat mendengar percakapan-percakapan yang mereka bangun.
“Kook, pulang nanti aku juga ikut ke rumahmu, ya?
Aku ingin meminjam buku pada Wonwoo oppa.”
Jungkook tersenyum mengiyakan lalu mempererat genggamannya pada tangan gadis
itu.
Aku memperhatikan langkah mereka dengan menahan
sakit. Jungkook mencintai Soojin, tapi begitu juga denganku. Jungkook adalah
kekasih gadis itu, sayangnya tidak begitu denganku. Ya, rumahku adalah rumah
Jungkook. Dan laki-laki itu adalah adikku. Seseorang yang berbagi darah yang
sama denganku, bahkan memberi kasih pada gadis yang sama.
Hanya saja, aku mungkin tidak seberuntung Jungkook.
Karena aku tidak mendapatkan kasih yang sama dari gadis itu.
.
.
.
END
Komentar
Posting Komentar