Title:
Lighthouse
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Cast(s):
Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin
[OC] || Kim Myungsoo [INFINITE] || Kim Taehyung [BTS] || Park Yooji [OC]
Genre:
Surrealism. Romance. Fantasy.
Duration:
Oneshot
Rating:
PG-15
Summary:
Di
gubuk penuh cahaya itu, aku menemukannya.
Dan
di gubuk penuh cahaya itu pula, aku kehilangannya.
.
.
.
Aku tak pernah merasa bahwa semua ini benar adanya.
Seperti ilusi namun nyata. Terpaut dalam sebuah perbatasan antara keyakinan dan
hal yang tak pernah aku percaya.
Ku tersesat dalam ruang tak berujung. Tepat dimana
semua kegelapan tampak menjadi satu. Menyerukan beribu tanda bahaya bagiku,
yang masih berharap dapat kembali pada kenyataan sebelumnya.
Aku ingat betul bagaimana aku dan Jungkook berlarian
di sabana yang luas. Kemudian setelah merasa lelah, kami beristirahat di bawah
satu-satunya pohon besar disana. Namun ketika ku membuka mata setelahnya, aku
sudah berada disini. Di tengah kesunyian dan kegelapan malam, entah dimana.
Serta tanpa Jungkook disisiku.
Aku mencari pria itu kemana-mana tanpa petunjuk, pun
tanpa penerangan. Semuanya gelap, seakan-akan dirimu sendiri telah menjadi
buta. Dan tiba-tiba aku menemukannya, tanpa tahu bagaimana.
Jungkook bersandar pada salah satu pohon. Tempat itu
hutan, aku baru tahu. Aku melihat semuanya sekarang, padahal tak satupun tadi
terlihat.
“Sudah ku katakan, jangan tutup matamu.”
Itu suara Jungkook yang sudah berada di sampingku,
lalu menarik diriku bersamanya. Dapat ku lihat bahwa ia sangat khawatir.
“Maaf. Aku sangat lelah dan… aku lupa.”
“Lain kali jika kau ingin tidur, katakan padaku. Dan
jangan pernah ulangi ini lagi.”
Aku mengangguk dan mempererat jalinan jari-jariku
dengan Jungkook. Laki-laki itu tersenyum. Senyuman yang−entah mengapa−dapat
membuatku melupakan segalanya.
“Kita akan pergi kemana, Kook?”
Jungkook menunjuk kearah sebuah rumah dengan
pencahayaan terang benderang, seperti ribuan lampu yang disusun menjadi sebuah
bangunan. Pintu terbuka begitu saja saat kami sampai di beranda rumah. Dan
Jungkook menuntunku untuk masuk ke dalam. Rumah itu hanyalah sebuah gubuk, dan
seperti yang ku katakan tadi, rumah itu sangat terang.
Aku tak berharap banyak ketika Jungkook mengajakku
untuk menapakkan kaki di rumah itu. Seperti gubuk biasa dengan perabotan
seadanya, bahkan di dalam rumah tak seterang kelihatannya. Jungkook tetap
menggiringku untuk masuk ke dalam.
“Kau lelah?” tanya Jungkook. Laki-laki itu
mendudukkan diri di sebuah kursi kayu panjang, kemudian menarikku untuk ikut
duduk di sebelahnya. Aku mengangguk sambil menatapnya manja. Entah mengapa rasa
kantukku datang begitu saja. Jungkook menarik kepalaku untuk berlabuh di
bahunya. “Tidurlah,” ucap Jungkook lalu.
Aku masih melihatnya lalu tersenyum. Setelahnya,
barulah aku menutup mata.
.
.
.
Aku tengah sibuk menulis namaku dan Jungkook di
pasir pantai ketika laki-laki itu mencipratkan air laut kearahku. Ia tertawa,
memanggilku untuk ikut menikmati ombak di tepian pantai. Aku tersenyum lalu
menyusul Jungkook.
Kami lalu saling melempar air laut kearah satu sama
lain sambil tertawa bahagia. Bajuku dan Jungkook sudah setengah basah, tapi ia
tetap saja melakukannya. Malahan sekarang ia mendorongku kecil hingga aku
terpaksa jatuh ke dalam air, akhirnya semua pakaianku basah. Aku mengejar
Jungkook demi membalas dendam atas tindakannya barusan.
Pantai itu sepi dan hanya ada kami berdua. Setelah
sibuk bermain air, sebelumnya aku juga sudah berhasil menjatuhkan Jungkook
hingga bajunya juga basah. Kini kami duduk di tepian pantai sambil menikmati
langit jingga, sebentar lagi matahari terbenam. Pemandangan itu tampak begitu
indah. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Jungkook, begitu juga ia yang
melabuhkan kepalanya diatas kepalaku.
Detika-detik saat matahari tenggelam kami nikmati
bersama. Hingga sang mentari itu kembali ke peraduannya dan langit menjadi
gelap. Tak hanya langit, tapi semuanya gelap.
“Mimpi indah?”
Suara itu menyapa telingaku. Aku masih berusaha
dengan perlahan untuk membuka mata karena cahaya di luar tampak begitu
menyilaukan. Dengan samar aku lihat ruangan itu. Ternyata aku masih berada di
gubuk dengan cahaya terang itu. Duduk di bangku yang sama dan tertidur di bahu
Jungkook. Ternyata tadi hanyalah mimpi. Aku mengangguk semangat untuk menjawab
pertanyaan Jungkook. Ya, mimpi itu benar-benar nyata. Bahkan terasa begitu
nyata karena kehadiran Jungkook.
Laki-laki itu lalu berdiri sambil meraih tanganku.
“Aku mau menunjukkan sesuatu,” ujarnya lalu mengajakku ke sebuah pintu yang tak
jauh darisana. Jungkook membuka pintu itu dengan perlahan. Setelah seluruhnya
terbuka, aku memandang takjub hal di hadapanku.
Hamparan pohon bunga beraneka macam dengan
bunga-bunganya yang mekar dengan sehat. Aku melangkah maju lalu menghampiri
bunga-bunga itu. Mawar, krisan, lili, tulip, dan banyak lagi, sampai ada pula
bunga-bunga yang tak ku ketahui namanya.
“Indah bukan?”
Aku mendongak. Mendapati Jungkook yang sedang
berdiri di hadapanku sambil menyerahkan sebuah bunga mawar merah padaku. Aku mengangguk lalu meraih bunga itu. “Sangat
indah. Terima kasih, Kook.” Aku lalu menciumi bau mawar pemberian Jungkook.
Benar-benar harum.
Aku dan Jungkook memetik beberapa bunga lalu membawanya
kearah tempat duduk yang ada di tengah taman. Bangku-bangkunya bercat putih.
Begitu juga dengan tiang-tiang di sekitarnya yang di penuhi tanaman bunga
rambat. Sangat cantik.
Aku sibuk menyatukan tangkai-tangkai bunga itu
menjadi satu. Aku suka sekali merangkai bunga, sangat suka. Rasanya melihat
pemandangan luas yang penuh dengan bunga, membuatku sangat senang, bahagia,
tenang, semua rasa indah itu bercampur aduk.
Setelah selesai merangkainya, aku menyerahkan bunga
itu pada Jungkook. Laki-laki itu tersenyum lalu memakaikan sebuah mahkota dari
bunga di atas kepalaku. “Kau menyukainya?” tanya Jungkook sambil menatapku
teduh.
“Ya, aku sangat menyukainya, Kook.” Jungkook
menarikku untuk bersandar di bahunya. Kami bersama menatap langit dan hamparan
warna-warni jutaan mahkota bunga. Kulihat tangan Jungkook menggenggam erat
buket bunga yang ku buat, lalu perlahan aku menggenggam erat buket itu juga
bersamaan dengan tangannya. “Kook, jika kita mempunyai rumah berdua nanti, aku
ingin mempunyai taman seperti ini disana. Di tambah lagi dengan air mancur dan
patung-patung peri di tengahnya. Pastilah sangat indah.”
Jungkook mengeratkan rangkulannya di bahuku, lalu
mencium rambutku lembut. “Lalu bagaimana jika ku bawa rumah kita kemari saja?”
Jungkook kini menunjuk kearah tenggara. Disana berdiri rumah bergaya Eropa
dengan keseluruhannya berwarna putih. Aku hanya menatap Jungkook tak percaya. Rumah itu
benar-benar seperti keinginanku. Juga dengan air mancur dengan patung-patung
peri itu, semuanya nyata ada di hadapan kami saat ini.
“Kook…” Aku berdiri terpana melihat hal menakjubkan
di hadapanku lalu berjalan perlahan mendekati rumah itu. Jungkook menyusulku
lalu membuat tangan kami bergandengan. Bersama-sama kami membuka kenop pintu
itu. “Bagaimana kau melakukan semua ini?” tanyaku ketika kami sudah memasuki
bagian dalam rumah. Dan sungguh, interior di dalamnya membuatku tak mampu
berkata-kata. Lukisan kelas dunia menempel di dindingnya, perabotan rumah
tangga yang terbuat dari keramik-keramik klasik menghiasi setiap pojok rumah,
gorden-gorden berwarna merah dan keemasan menjuntai hingga lantai. Sungguh
indah!
“Aku bisa melakukannya karena ada kau. Apapun yang
kau inginkan, aku bisa membawanya kehadapanmu,” ujar Jungkook sambil melihat
dengan tenang pemandangan di indah di depan. Kami tengah berdiri di balkon
kamar di lantai dua dan angin berhembus sungguh menyejukkan.
Aku berhenti menatap ke depan, lalu menatap Jungkook
di hadapanku. Ia juga ikut menatapku kini. Beberapa detik hanya diam. Tanganku
mulai terangkat untuk membelai wajahnya.
“Jika aku ingin keadaan ini berlangsung selamanya,
dengan kau yang akan selalu ada disisiku, apa kau bisa mewujudkannya?”
.
.
.
Aku terbangun di pagi yang cerah. Suara kicauan
burung terdengar begitu merdu. Aku meregangkan tubuhku yang masih terbaring di
atas tempat tidur. Setelahnya aku berjalan menuju balkon untuk menikmati
pemandangan bunga-bunga bermekaran di taman hadapanku.
Jungkook. Aku teringat akan laki-laki itu dan
kembali tersenyum. Begitu banyak hal indah yang kini ada di hadapanku, namun
laki-laki itulah hal pertama yang membuatku sebahagia ini. Bahkan aku tak bisa
berhenti untuk tersenyum di buatnya.
Netraku tak sengaja menangkap sosok laki-laki yang
sangat kuyakini adalah Jungkook. Ia tengah berjalan di tengah-tengah taman bunga.
Laki-laki itu tetap tampak tampan meskipun kini aku melihatnya dari kejauhan.
Baru saja aku ingin memanggil namanya, namun kurasa ada sesuatu yang aneh.
Jungkook terus berjalan menjauh, sangat jauh hingga terpaksa kini aku berlari
turun dan mengejarnya.
“Kook!” panggilku sambil terus berlarian. Jungkook
sudah tak bisa di tangkap oleh penglihatanku kini. Aku pun tak tahu berlari
kemana. Keresahan mencuat begitu saja. Aku takut. Aku takut Jungkook akan
meninggalkanku.
“Kook!!”
Aku terus memanggil namanya. Tanpa henti aku berlari
menyusuri taman-taman bunga itu. Ini pertama kalinya aku merutuki pohon-pohon
bunga. Batangnya yang begitu tinggi menyusahkanku untuk mencoba melihat
keberadaan Jungkook saat ini. Hingga akhirnya aku sampai di padang rumput yang
luas dan aku bisa melihat Jungkook beratus-ratus meter di hadapanku.
“KOOK!!!” Aku berteriak sekuat tenaga memanggil
laki-laki itu. Namun ia tetap terus melangkah ke depan. Entah ia mendengarku
atau tidak. Aku berharap dia tidak mendengar, karena aku takut jika
sesungguhnya ia mendengar namun tak ingin menghiraukanku. Ia ingin
meninggalkanku dan aku tak ingin hal itu terjadi.
Lagi-lagi aku berlari mengejar Jungkook. Ia mulai
memasuki sebuah pintu usang dari sebuah gubuk tua yang entah sejak kapan ada disana.
Dengan napas terengah aku segera menghampiri gubuk itu dan membuka kenopnya.
“Kook!”
Untuk yang kesekian kali aku memanggil nama itu,
namun hanya sunyi yang menjawab. Samar-samar aku mengingat gubuk itu. Gubuk
penuh cahaya yang waktu itu pernah aku dan Jungkook masuki. Gubuk yang disisi
satunya terdapat hutan belantara yang gelap. Aku tak mau lagi kesana,
lebih-lebih tanpa kehadiran Jungkook saat ini.
Aku menyusuri inci demi inci gubuk itu untuk
menemukan Jungkook. Aku mulai ragu tentang keberadaan laki-laki itu di dalam
gubuk ini, karena sampai saat ini aku belum juga menemukannya. Aku menghampiri
pintu tempat waktu itu aku masuk dari hutan belantara. Berdiri kaku di
hadapannya sambil berpikir. Haruskah aku membuka kenop pintu itu? Apa Jungkook
masuk ke hutan belantara? Hingga ku mantapkan hatiku. Aku harus tetap menemukan
Jungkook, bagaimanapun caranya.
Perlahan aku memegang kenop pintu itu dan memutarnya.
Sekali mencoba, pintu itu tak terbuka. Percobaan yang kedua juga tak mampu
membukanya. Dan untuk ketiga kalinya, pintu itu akhirnya terbuka. Aku mendorong
daun pintunya hati-hati. Cahaya-cahaya kecil menelisik dari setiap ruang yang
diciptakan. Hingga pintu itu sepenuhnya terbuka dan cahaya sangat terang muncul
disana. Membuat mataku begitu silau dan tak mampu melihat apapun. Dan akhirnya
aku hanya mampu menutup mata.
.
.
.
“Hyung,
dia sadar,” ujar Taehyung sambil memperhatikan gadis yang berbaring di atas
tempat tidur, sementara Myungsoo segera menghampirinya. Gadis itu mengerjap
beberapa kali hingga ia dapat melihat wajah kedua laki-laki itu dengan jelas.
“Oppa…,”
ujarnya lirih yang seketika menimbulkan senyum di wajah Taehyung dan Myungsoo.
Akhirnya gadis itu sadar juga setelah seminggu lebih berbaring tampak tak
bernyawa di atas ranjang rumah sakit.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Myungsoo sambil
mencoba untuk membantu gadis itu duduk di ranjang. Soojin−gadis itu−tak
menghiraukan pertanyaan Myungsoo, melainkan sibuk meneliti setiap jengkal
ruangan tempat ia berada. Soojin tahu, tempat ini bukanlah tempat terakhir
dirinya berada sebagaimana yang ia ingat. Gubuk cahaya itu dan Jungkook yang
menghilang. Soojin ingat betul. Lalu, tempat ini? Rumah sakit. Untuk apa ia ada
disana dan bagaimana bisa?
Soojin menatap dalam mata Myungsoo. “Dimana Kook?”
tanyanya dengan suara lirih. Myungsoo terdiam, begitupula dengan Taehyung yang
baru saja hendak keluar mencari dokter. “Jungkook, dimana dia, oppa?” tanya Soojin ulang begitu tak
mendapati sepatah jawaban dari kedua kakaknya.
“Jung? Kook? Siapa yang kau bicarakan?” tanya
Myungsoo masih dengan hati-hati. Ia sama sekali tak tahu siapa laki-laki yang
di sebut Soojin barusan. Ia begitu mengenali lingkungan pergaulan adiknya. Dan
dari semua teman-teman yang Soojin miliki, gadis itu tak pernah mengenal sosok
seorang bernama Jungkook. Tidak sama sekali, Myungsoo sangat yakin.
“Kook! Kook!!” Soojin mulai berteriak memanggil nama
itu. Dirinya tak bisa duduk dengan tenang. Selimut yang ia kenakan di lepasnya
begitu saja, sebelum gadis itu mencoba untuk turun dari tempat tidur, Myungsoo
dan Taehyung segera mencegahnya. “Lepaskan aku, oppa. Aku harus mencari Jungkook!”
Soojin terus saja bersikeras, hingga akhirnya
Taehyung mencoba berbohong. “Tenanglah, Jinie-ya. Aku, biar aku dan Myungsoo hyung
yang mencari Jungkook. Kau tenang saja, ya,” bujuk Taehyung dengan suara
lembutnya. Soojin seketika terdiam, ia menatap kedua kakaknya penuh harap.
“Benarkah, oppa?
Oppa janji akan menemukan Jungkook?”
tanyanya dengan polos. Taehyung mengangguk mantap, begitu juga dengan Myungsoo
yang berusaha meyakinkan Soojin. Gadis itu kembali duduk tenang di tempat
tidur.
“Kau tunggu disini, ya? Aku akan mencari dokter,”
bisik Myungsoo pelan di telinga Taehyung sambil menepuk pundak adiknya itu.
Taehyung pun mengangguk, dan setelahnya sosok Myungsoo sudah hilang di balik
pintu.
Taehyung memperhatikan adiknya dengan seksama.
Soojin tampak lebih kurus sekarang, wajahnya pun masih tampak begitu pucat.
Taehyung masih ingat bagaimana kejadian itu terjadi. Kejadian seminggu lalu
yang pada akhirnya membuat Soojin kehilangan kesadarannya.
Hari itu adalah minggu pagi yang cerah. Taehyung
membangunkan Soojin dengan paksa di kamarnya. Alih-alih ingin mengajak Soojin
lari pagi, ia sesungguhnya hanya ingin melewati rumah keluarga Park di kompleks
sebelah. Ya, Taehyung menyukai salah satu anggota keluarga itu. Park Yooji
namanya. Ia adalah teman sekelas Soojin. Jadi, pagi itu Taehyung mengajak
Soojin untuk menjalankan misinya. Mungkin saja ketika Yooji melihatnya lewat
bersama Soojin, gadis itu akan menyuruhnya mampir sebentar. Itu yang Taehyung
pikir. Tapi semua malah di luar rencana Taehyung.
Ketika melewati taman bermain di ujung perumahan
mereka, seorang anak kecil yang sedang sibuk bermain bola terlalu keras
menendang sehingga bola itu menggelinding menuju jalan raya. Dan entah apa yang
ada di pikiran Soojin saat itu, ia berlari mengejar bola si anak tanpa melihat
jalan. Memang sesungguhnya tak banyak kendaraan yang lewat disana, tapi paman
menyebalkan yang rumahnya hanya berjarak dua ratus meter dari rumah keluarga
Kim, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi karena mabuk.
Sungguh, Taehyung ingin melempar semua memori
tentang kejadian setelahnya. Dimana tubuh adiknya bertubrukan dengan lempengan
besi yang keras dari mobil itu dan ceceran darah yang menggenang di badan
jalan, bahkan ketika sekarang ia pulang, bekas darah itu masih begitu jelas
disana.
Taehyung menghembuskan napas panjang. Ini salahnya.
Dua kata itu yang selalu Taehyung camkan dalam pikirannya. Meskipun sudah
berkali-kali Myungsoo berkata bahwa semua itu takdir, tapi Taehyung tetap tak
bisa terima. Mungkin saja Soojin tak akan mengalami kecelakaan itu andai
Taehyung tak mengajaknya lari pagi. Mungkin seminggu belakangan ia masih bisa
melihat senyum ceria Soojin ataupun rengekan kecil gadis itu ketika meminta di
belikan sesuatu, andai Taehyung tak memaksa Soojin bangun pagi itu. Mungkin
Soojin tak akan kebingungan mencari sosok yang tak ia kenal saat ini, andai−
“Oppa…,”
panggil Soojin lirih, seketika menghancurkan semua lamunan Taehyung sebelumnya.
Laki-laki itu menatap adiknya dengan wajah penuh penyesalan. Semua ini adalah salahku, kata-kata itu
terus terngiang di telinga Taehyung.
“Hmm?”
Hanya gumaman kecil itu yang keluar. Taehyung tak sanggup jika berkata lebih
banyak lagi, mungkin tetes air mata akan jatuh jika ia melakukannya. Taehyung
mempererat pegangan tangannya di tangan Soojin, mengusap halus tangan adiknya
yang terasa begitu dingin.
“Oppa,
berjanjilah padaku bahwa kau akan menemukan Jungkook. Aku tak bisa hidup
tanpanya,” ujar Soojin dengan mata berkaca. Taehyung tersenyum paksa. Sebegitukah
pentingnya Jungkook? Tapi, siapa Jungkook sebenarnya? Kekhawatiran yang sangat
besar merundung Taehyung begitu saja. Tidak, tidak. Ia tak boleh berpikir aneh.
Adiknya masih baik-baik saja. Ya, jiwa Soojin baik-baik saja.
“Aku berjanji.”
.
.
.
Seminggu berlalu dan keadaan Soojin tak kunjung
membaik. Seringkali ia bercerita tentang kebersamaannya bersama Jungkook kepada
Taehyung maupun Myungsoo. Kedua laki-laki itupun tak mampu berkata apa. Mereka
sudah mencari nama itu di satu sekolah Soojin. Tapi, nihil. Tak ada nama
Jungkook disana.
Dokter pun hanya bisa menggelengkan kepala. Ketika
Myungsoo bertanya, hanya jawaban tak pasti yang ia terima.
“Meskipun
seseorang mengalami koma, namun terkadang dunia bawah sadarnya sibuk
menjelajah. Dan mungkin itulah yang dialami Soojin. Ia bertemu seorang
laki-laki bernama Jungkook dan ingatannya terus terbawa hingga saat ini.”
Sama sekali tak memberikan solusi. Lalu apa yang
harus Myungsoo dan Taehyung lakukan? Mereka pun tak berkata apa-apa kepada
orang tua mereka. Orang tuanya sempat menunggui Soojin setelah beberapa hari
kecelakaan itu terjadi, namun setelahnya mereka harus pergi ke Jepang karena
urusan pekerjaan dan meninggalkan Soojin kepada Myungsoo dan Taehyung. Ketika
keadaan menjadi seperti ini, tak ada yang bisa mereka katakan selain keadaan
Soojin yang baik-baik saja, atau lebih tepatnya, tampak baik-baik saja.
Taehyung memperhatikan Soojin dari kaca luar ruangan
gadis itu. Soojin tampak sibuk melihat kearah jendela luar sambil menggumamkan
nama laki-laki itu, Jungkook. Taehyung sengaja tak melangkahkan kakinya masuk
ke dalam ruangan, ia tak sanggup melihat Soojin dan tetap berdiri teguh di
hadapan adiknya. Ia juga tak akan mampu menjawab pertanyaan yang sama setiap
kali Soojin melihatnya ataupun Myungsoo. Apa
oppa sudah menemukan Jungkook?
“Oppa.”
Panggilan yang sama namun dengan suara yang berbeda.
Taehyung langsung membalikkan badannya dan menemukan Yooji ada disana. Ya,
gadis itulah yang telah memanggilnya. “Apa Soojin masih saja seperti itu?
Mencari laki-laki bernama Jungkook?” tanya Yooji polos.
Taehyung tersenyum penuh makna. Senyum yang terkesan
di paksakan. Dengan masalah yang ia hadapi sekarang, Tuhan malah mendekatkannya
dengan Yooji. Gadis itu selalu menjenguk Soojin dan ia selalu mampu menenangkan
Taehyung dengan kata-katanya. “Oppa
baik-baik saja?” tanya Yooji begitu khawatir melihat kesedihan di wajah
Taehyung.
Taehyung tak sengaja menemukan sosok Myungsoo
berdiri jauh di belakang Yooji. Kakaknya itu memberikan senyum tulus kearah
Taehyung. Memberikannya sebuah ijin untuk bertindak. Taehyung ingat akan ucapan
Myungsoo sebelumnya.
“Tae, kau jangan
pernah menyalahkan dirimu atas keadaan Soojin saat ini. Semuanya adalah takdir
yang di kendalikan oleh Yang Maha Kuasa.”
Ya, Taehyung harus percaya akan takdir. Takdir yang
membuat Soojin terbaring seperti itu dan mencari-cari keberadaan sosok Jungkook
yang tak pernah di ketahui. Dan takdir juga yang membawa Yooji ada di
hadapannya kini.
“Yooji-ya,
bisa kau menemaniku?”
.
.
.
Soojin melangkah dengan lemah menuju keluar kamar.
Taehyung hendak menyusul gadis itu, namun Myungsoo lebih dulu melarangnya. “Biarkan
dia sendiri, Tae,” ujar Myungsoo lembut. Meski mencoba untuk mempercayai
takdir, tapi rasa bersalah itu tak kunjung lenyap dari pikiran Taehyung. Ia
duduk di tepian ranjang Soojin sambil menunduk.
“Hyung,
haruskah aku percaya dengan takdir begitu saja?” tanya Taehyung. Seketika
Myungsoo menghentikan gerakannya yang akan mengganti bunga di dalam vas.
Myungsoo meletakkan rangkaian bunga tulip putih itu di atas meja, lalu
tatapannya beralih pada Taehyung.
“Jika kau ingin mempercayai takdir, percayalah.
Tapi, jangan sekali-kali kau terlalu percaya pada takdir itu.” Myungsoo meraih
vas bunga dan membawanya ke wastafel untuk di ganti airnya.
Taehyung turun dari tempat tidur, kakinya melangkah
menuju jendela kamar Soojin. Berdiri disana sebagaimana yang selalu adiknya
lakukan. Meskipun hanya seperti itu, tapi Taehyung ingin berada di posisi
Soojin. Jika bisa, ia ingin menggantikannya.
Dari jendela itu, Taehyung menemukan sosok Soojin
tengah melangkah pelan menuju sebuah kursi taman. Gadis itu sibuk menyaksikan
anak-anak kecil yang bermain disana. Taehyung tersenyum. Soojin sangat menyukai
anak-anak, bahkan hingga ia tak memerdulikan nyawanya demi sebuah bola seorang
anak yang tak di kenal.
Soojin tersenyum cerah pada sekumpulan anak yang
kini sibuk membuat lingakaran besar, berputar, sambil diikuti dengan nyanyian
riang. Sejenak, pikirannya mengenai Jungkook hilang begitu saja.
Soojin hendak bangkit untuk ikut bermain bersama
anak-anak itu, ketika sebuah bola menabrak kakinya. Bola. Benda itu membuat
Soojin ingat akan kecelakaannya. Masih menempel di ingatannya tentang sakit
yang ia rasakan waktu itu. Tapi, itu akan lebih sakit lagi ketika seseorang tak
mencoba menyelamatkannya.
Soojin meraih bola itu dan seorang anak laki-laki
sudah berdiri di hadapannya. “Bola ini milikmu? Namamu siapa?” tanya Soojin
dengan ramah sambil mengelus pelan puncak kepala anak itu.
“Jeon Jungkook,” jawab anak itu lugas. Soojin
terdiam. Jeon Jungkook, tidak mungkin anak ini yang selama ini ia cari. Ia
ingat betul bagaimana wajah Jungkook, bahkan hingga caranya tersenyum masih
begitu kental diingatannya.
“Itu namamu?” tanya Soojin lagi dengan tidak
percaya. Anak laki-laki itu menggeleng lalu meraih bola yang ada di tangan
Soojin.
“Bukan, itu bukan namaku. Tapi nama dari pemilik
bola ini,” ujar si laki-laki kecil sambil menunjuk kearah selatan. Dimana
seorang laki-laki duduk di atas kursi rodanya.
Jungkook. Ia laki-laki itu.
Soojin berdiri dari duduknya tanpa berniat
mengalihkan pandangan dari sosok Jungkook yang kini juga menatapnya. Tapi
laki-laki itu dengan segera memutar kursi rodanya untuk pergi.
“Kook!!!” Soojin meneriakkan nama itu sambil
berlari. Itu membuatnya kembali teringat kala ia kehilangan Jungkook di tengah
kebun bunga. Hatinya benar-benar ketakutan, ia tak ingin Jungkook menghilang
lagi. Dengan cepat Soojin berada di hadapan Jungkook. Meskipun sangat ingin
menghindar dari gadis itu, namun Jungkook tak memiliki daya apapun. Kedua
kakinya tak mampu ia fungsikan lagi. “Kook…” Soojin berlutut di hadapan
laki-laki itu dengan bulir air mata yang turun semakin deras.
“Jinie-ya…”
Jungkook pun tak mampu merangkai kata untuk
menenangkan Soojin, karena hatinya kini pun tak tenang. “Katakan, Kook. Bahwa
kau ini nyata. Bukan hanya sekadar ilusi, mimpi, atau hal-hal semacamnya.”
Gadis itu mengucapkannya dengan sesenggukkan, ia bahkan tak mampu mengangkat
kepalanya untuk menatap Jungkook.
“Jinie-ya,
aku nyata. Nyata seperti apa yang kau lihat saat ini. Tapi aku tidak sepantas
diriku yang ada bersamamu sebelumnya dalam mimpi itu. Aku bukan Jungkook yang
akan bisa mengabulkan semua keinginanmu, aku bukan seperti Jungkook…“
Jungkook tak mampu menahan air mata itu lagi.
Kristal-kristal bening menuruni pipinya seiring dengan suaranya yang menghilang
di akhir kalimat. Ia tak bisa mengatakan pada Soojin hal yang sebenarnya.
Bagaimana selama ini ia selalu berdiri jauh menatap gadis itu. Mengetahui
segala kesukaannya dan hal-hal yang di bencinya. Mengucapkan ribuan harapan
ketika gadis itu berulang tahun. Semuanya Jungkook lakukan tanpa sepengetahuan
Soojin. Ia merasa dirinya tak pantas, meskipun sesungguhnya menurut Soojin
hanya ialah yang pantas.
Dan pertemuan Jungkook pertama kali dengan Soojin
telah membawa mereka berdua bertemu di alam bawah sadar gadis itu. Hanya di
dalam sana Jungkook bisa membahagiakannya, namun tidak lagi di dunia nyata.
Jungkook terpaksa kehilangan kedua fungsi kakinya demi menyelamatkan Soojin.
Menyelamatkan gadis yang bahkan tidak tahu keberadaannya, tidak mengenalnya,
bahkan tak pernah berpapasan. Tapi Jungkook mencintai gadis itu.
“Kook, jangan pernah tinggalkan aku lagi. Aku rela
berbaring selamanya jika dengan begitu kau tidak akan meninggalkanku dan kita
bisa bahagia dengan dunia kita sendiri.” Soojin memeluk Jungkook erat. Ia
sungguh tak mau kehilangan Jungkook lagi. Laki-laki itu pun membalas pelukan
Soojin lembut.
Jika itu yang bisa membuat Soojin bahagia, maka
Jungkook akan melakukannya. Demi gadis itu.
.
.
.
END
Komentar
Posting Komentar