Title:
ETERNITY
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main Cast(s):
Wu YiFan (Kris) [EXO] || Meng
Jia [Miss A]
Genre:
Fantasy, Romance, a little
bit Action and Mystery(?)
Duration:
Chaptered
Rating:
PG-15
Summary:
Waktu berperan begitu besar,
malah cenderung terlalu ikut campur dalam kehidupan Kris. Awalnya Kris tak
begitu peduli. Namun layaknya manusia biasa yang memiliki rasa bosan, agaknya
Kris juga seperti itu.
Hanya saja, Kris bukanlah
manusia biasa…
.
.
Kris
terduduk frustasi di atas sofa apartementnya. Satu pertanyaan berputar di
otaknya, melahirkan pertanyaan-pertanyaan lain yang menjebak, mengarahkan semua
jawaban itu pada satu kesimpulan; ada yang aneh dengan Kris.
Dirinya
tak akan berbuat hal semacam itu, keadaannya tak akan selemah ini, pikirannya
tak akan berputar memusingkan, dan ia tak mungkin terdiam dalam semua keadaan
itu sekarang, jika tidak ada penyebabnya.
Dan
itulah yang membuat Kris kini terduduk dalam sebuah kegelisahan. Seperti sebuah
siklus sederhana ‘sebab-akibat’. Tak akan ada akibat jika tidak ada
penyebabnya. Dan, suatu hal pasti akan menyebabkan sebuah akibat. Begitu
seterusnya tak dapat terputuskan.
“Arght!!”
Kris mengerang. Sepasang tangannya memegangi kepala, meremas ribuan helai
rambut berwarna kecokelatan itu. Kris menenggelamkan kepalanya dalam-dalam, tak
mau lagi melihat dunia yang begitu ia benci. Dunia yang selalu memberi
ketidakadilan bagi Kris, pun dunia yang menjadi awal dan satu-satunya saksi
atas segala penderitaannya; hidup kesepian.
Ia
ingin keluarganya. Kehangatan, kasih sayang, canda tawa, semuanya. Kris ingin
semua itu. Tidak hanya sekedar ingin, ia butuh. Dan satu hal yang menjadi
prioritas dari semua keinginannya. Ia ingin dicintai dan mencintai. Tak lebih
dari itu, maka Kris sudah merasa hidup layaknya normal.
Laki-laki
itu tersenyum miring. Merasa percuma telah memikirkan hal-hal bodoh semacam
itu. Bukankah hidup memang tak pernah adil padanya? Sekeras apapun Kris mencoba
meraih ingin itu, maka hanya kekcewaan yang akan ia raih.
Cinta?
Kris sempat meraih hal itu beberapa kali. Tak pernah bertahan lama, Kris
kembali terpuruk. Menyadari bahwa raga tak pernah abadi, hanya barang material
yang tertinggal yang selama ini selalu menemaninya. Benda mati tak berguna,
pikir Kris.
“Aku
tak boleh merasakan cinta,” ucap Kris pelan, sekadar peringatan untuk dirinya.
Bukan tanpa sebab Kris mulai memperingati diri, tapi karena sepertinya ia mulai
merasakan rasa itu lagi.
.
.
.
Angin
berembus cukup kencang, menggelitik helaian rambut Jia yang terurai bebas.
Gadis itu duduk di tepian sungai, setiap malamnya sejak beberapa hari yang
lalu.
Suara
ketukan sepatu dengan tanah terdengar lemah, teredam oleh gemerisik air sungai
yang melaju cukup kencang.
Jia
tampak menunggu seseorang, matanya
menjelajah kanan dan kiri, berharap seseorang yang ia tunggu di tangkap
penglihatannya. Tapi, sampai satu jam lebih Jia duduk disana, tak nampak
sedikitpun tanda-tanda bahwa ia akan datang.
Jia
mengembuskan napas lelah. Ia memandang dalam kearah sungai, terlintas di
benaknya tentang memoar beberapa waktu lalu di tempat itu.
Gadis
itu tersenyum kecil. Terpahat di ingatannya bahwa di tempat itulah Kris untuk
pertama kali membuka mulutnya untuk bersua. Jia terkikik geli. Lucu memang,
mengingat hari-hari sebelumnya Kris hanya diam mematung. Bahkan Jia sempat
mengira bahwa laki-laki itu tak bisa bicara. Sungguh kejadian yang langka,
bukan?
Namun,
gadis itu terdiam tiba-tiba. Entah mengapa ia selalu memikirkan laki-laki itu,
mengapa pula ia sekarang duduk di bangku itu untuk menunggu Kris, padahal
laki-laki itu belum tentu datang, pun meluangkan waktu untuk memikirkan Jia.
Hanya
saja, ketidakhadiran Kris membuat Jia mencemaskannya. Sudah seminggu sejak
terakhir kali wajah Kris muncul di hadapannya, bahkan ketika Jia sengaja
menyambangi kediamannya, laki-laki itu tak kunjung menampakkan diri.
Kemana
Kris sebenarnya? Atau hanya Jia yang menganggap bahwa pertemuan mereka tempo
hari memiliki suatu arti? Dan Kris hanya menganggap bahwa pertemuan itu
merupakan hal biasa yang tak perlu terlanjutkan?
Entahlah,
pertanyaan itu membuat Jia semakin ragu, hingga akhirnya Jia memutuskan untuk
meninggalkan tempat tersebut. Gadis itu hanya menunduk sepanjang perjalanan,
menunjukkan kesedihan dan rasa kecewanya yang teramat besar.
Tak
terasa, langkah putus asanya membawa kaki itu sampai di rumah Jia.
Tak
berniat sedikitpun untuk mengangkat kepala, alih-alih hal itu hanya akan
membuatnya semakin sedih, karena tak ada satupun di dunia ini yang dapat
membuatnya bahagia.
Langkah
pertama Jia di halaman rumahnya terdengar begitu menggema, namun tidak lagi
kala sebuah suara memergokinya.
“Itu
dia!”
Jia
mendongakkan kepala, menemukan wajah-wajah sangar yang sudah tak ia temui lebih
dari seminggu ini. Setelahnya, Jia tahu, ia harus lari lebih dulu.
Baru
beberapa langkah yang ia rajut, tapi Jia merasakan telah menabrak sesuatu.
Tubuhnya limbung, namun dengan sigap tertangkap oleh orang di hadapannya.
Jia
mengangkat kepala kemudian menggeleng tidak percaya bahwa wajah itu yang akan
di temukannya. Kris, laki-laki itu menarik Jia lebih dekat dalam pelukannya,
bahkan Jia rasa, Kris mendekapnya terlalu erat.
“K..K…Kris…,”
panggil Jia terbata.
“Sssttt!”
Kris hanya memberi isyarat pada Jia untuk diam.
“Tapi,
ini terlalu erat.” Jia hampir saja tertawa mendengar kata-katanya sendiri.
Kemudian, Kris melonggarkan sedikit pelukannya dan Jia bisa bernapas dengan
lega.
Jia
menyandarkan kepalanya pada dada bidang Kris. Menghirup aroma maskulin yang
membelai penciumannya. Jia pikir, ia baru pertama kali mencium aroma itu dari
Kris. Seketika ia tahu bahwa ada yang berbeda dari laki-laki itu.
“Mereka
sudah pergi,” ucap Kris memecah keheningan malam. Jia sontak melempar tatapan
tak mengerti pada laki-laki itu. “Preman itu,” jelasnya yang membuat Jia dengan
tidak rela melempas pelukan tersebut.
Setelah
pelukan itu berakhir, Kris merasakan tubuhnya melayang. Matanya menatap wajah
Jia yang semakin memburam dan pusing menyerangnya secara tiba-tiba.
Oh, jangan lagi,
mohon Kris dalam hati.
Terdengar
percuma, karena setelahnya, Kris harus rela terkulai untuk yang kedua kali.
.
.
.
“Dua
hari lagi?” tanya Kris masih sambil berusaha membangunkan tubuhnya yang lemah.
Jia menggeleng sambil punggungnya bersandar di samping jendela. Dirinya tak
tampak khawatir lagi seperti hari-hari sebelumnya.
“Tidak.
Seminggu sudah, Kris.”
“Pantas
saja.”
“Kau
lapar?”
“Kurasa
tidak. Aku hanya ingin jalan-jalan keluar, kau mau menemaniku?” Kris sudah
berdiri dari tempat tidur, merapikan sedikit pakaiannya yang terlihat kusut
akibat berbaring selama tujuh hari.
Jia
menatap Kris sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangguk dan mengikuti
langkah laki-laki itu.
“Ada
apa?”
“Ada
apa? Maksudmu?” Jia menatap Kris di sampingnya penuh dengan tanya. Laki-laki
itu masih terus menatap ke depan, dimana jalanan mulai lengang di tengah malam.
“Kau
ingin mengatakan sesuatu?”
“Kau
membaca pikiranku?!” Jia menghentikan langkahnya sejenak dan menatap Kris
tajam.
Kris
tersenyum kemudian melanjutkan langkah mereka. “Menurutmu aku bisa melakukan
hal seperti itu?” Senyum itu berubah menjadi tawa kecil. Namun sayang bagi
Kris, Jia bahkan tak menanggapinya sama sekali. “Jika kau tidak ingin
mengatakannya, tidak apa. Kau bisa menyimpannya untuk dirimu sendiri.”
Jia
sama sekali tak berniat menanggapi Kris. Ia masih harus mempertimbangkan sesuatu.
Haruskah ia mengatakannya?
“Kris…”
“Hmm?”
“Apa
kau menyembunyikan sesuatu dariku? Sesuatu seperti siapa kau sebenarnya…
Mungkin kau bisa memberitahuku, Kris.”
“Kau
hanya perlu tahu bahwa aku akan selalu di sampingmu.” Jia dapat mendengar nada
serius dari ucapan Kris, tapi bukan jawaban itu yang ia harapkan.
“Apa
kau alien?”
Kris
kembali tertawa, bahkan lebih besar. “Kau percaya hal seperti itu? Mereka tidak
ada, aku tahu betul, bahkan melebihi semua peneliti yang pernah mencari tahu
tentangnya.”
“Karena
kau hidup lebih dulu sebelum mereka? Bahkan sebelum teknologi ada?”
Kris
terdiam. Tak tahu harus menjawab apa, karena ia sendiri pun terkejut dengan apa
yang Jia katakan.
“Apa
aku benar, Kris?”
Kris
tak berani menjawab dan tak akan. Ini bukanlah hal mudah baginya, seumur hidup
dan bukan hal yang bijaksana jika ia mengatakannya setelah sekian lama.
“Lebih
baik kita pulang. Kurasa cukup untuk hari ini.”
Kris
melangkah mendahului meski tak sepenuhnya pikiran laki-laki itu fokus pada
perjalanan pulang.
“Cukup
untuk apa, Kris? Bagiku ini belum cukup, kau harus menjelaskan semuanya padaku,
Kris!”
Laki-laki
itu masih berjalan tanpa mengiraukan teriakan Jia, meninggalkan gadis itu jauh
beberapa meter di belakangnya. Jia pun tak berniat untuk menyusul Kris, ia
masih menunggu sebuah jawaban yang jelas. Namun Jia tahu bahwa semuanya tampak
percuma, Kris tidak akan berhenti melangkah lalu kembali menyusulnya. Tidak
akan.
“Baiklah,
Kris. Jika ini memang cukup bagimu, maka cukuplah sampai disini. Ku harap aku
tak bertemu denganmu lagi besok. Selamat jalan.”
.
.
.
Hari-hari
yang terlewati tak pernah sesunyi ini bagi Jia. Salahkan Kris yang tiba-tiba
menelusuk ke dalam hidup Jia, meski gadis itu telah terbiasa sendiri. Hanya
seorang diri tanpa ada yang peduli.
Gadis
itu masih sering mengikuti Kris beberapa kali. Tentunya tanpa sepengetahuan
laki-laki itu. Namun, sebenarnya itu percuma. Karena Kris sesungguhnya sudah
tahu.
Kris
pun masih sering duduk di kereta bawah tanah selama langit menggelap. Dan
kembali ke rumahnya sebelum mentari terbit. Membosankan memang. Tapi tak ada
pilihan lain untuk Kris.
Terakhir
kali ia berusaha melenceng dari siklus membosankan itu dan ia harus tertarik
jauh hingga susah untuk kembali. Bahkan meski raganya masih ada disana, namun
tidak dengan pikiran Kris, begitupula dengan hatinya yang ingin sekali
memberontak mencari kebahagiaan yang selama ini tampak semu.
Pertanyaan
mengenai siapa ia sebenarnya pun tak mampu Kris jawab. Sesungguhnya ia memang
tidak tahu. Ingatannya hanya terpaku saat ia masih berumur lima dan keluarganya
di buru, entah oleh siapa. Ayahnya di bunuh sebelum Kris dapat mengucapkan
selamat tinggal. Dua belas tahun kemudian, saat Kris harus pulang terlambat
akibat hujan yang tak mereda, di depan matanya, Kris menemukan sosok ibu
baginya tergeletak tanpa napas di dekat pintu dapur.
Waktu
terus bergulir tanpa arti bagi Kris. Menemukan cinta pertamanya dan mereka
menikah, membangun karir, dan hidup bahagia. Namun tetap saja, kebahagiaan itu
seakan menghindar darinya. Semuanya hilang terbawa umur dan ia masih berdiri
tegak, mau tak mau menuntutnya untuk hidup sendiri selamanya. Tanpa mencoba
untuk kembali menaruh hati hanya untuk mendapat kekecewaan.
Saat
ini, tanpa Kris kehendaki, perasaan itu datang lagi padanya. Kris mencoba
menghindar, tapi apa daya, ia tak mampu melakukannya.
“K-Kris...?”
Jia
menatap Kris penuh heran. Laki-laki itu akhirnya menampakkan diri setelah cukup
lama mereka saling mengamati satu sama lain. Tanpa mengucapkan sepatah katapun,
laki-laki itu memeluk Jia erat. Sama sekali tak peduli dengan keramaian di
stasiun bawah tanah yang kala itu cukup ramai.
“A-ada
apa, Kris?” Jia yang masih tak mengerti kemudian bertanya, ingin di lepaskan
pelukannya itu, namun Kris tak mengijinkan.
“Bisakah
kau tidak pergi dari hidupku?”
Jia
membeku mendengar ucapan Kris. Sungguh, apapun itu, sama sekali tidak berbeda
dari yang Jia pikirkan. Ia juga tak ingin Kris jauh darinya dan ia ingin selalu
berada di samping laki-laki itu. Seringkali ini menimbulkan sebuah pertanyaan,
tidakkah ia terlalu berharap?
“Tidak,
tidak. Semua ini bukanlah harapan yang berlebih, Jia. Hiduplah bersamaku.” Jia
mengangguk kentara di dalam pelukan Kris. Meski dirinya masih ragu terhadap
Kris, namun Jia tak bisa mengelak dari hatinya yang begitu ingin bersama
laki-laki itu.
.
.
.
Pagi
itu bisa jadi pagi terhangat bagi Kris setelah ratusan tahun terlewati dengan
dinginnya kesendirian. Dihadapannya Jia tengah memasak di dapurnya yang untuk
pertama kali digunakan.
“Kau
yakin tidak ingin kumasakkan, Kris?” Kris menggeleng. Jia yang tengah sibuk
memasukkan bekalnya ke dalam kotak hanya menatap Kris sekilas. “Membawa makanan
sendiri lebih sedikit pengeluarannya di bandingkan dengan membeli makanan di
luar. Kau yakin tidak mau membawanya?”
“Tidak,
terima kasih. Kita harus segera pergi sebelum hari semakin siang.” Kris
mendahului untuk keluar dari apartemen yang kemudian disusul oleh Jia.
Mereka
berjalan berdampingan menuju tempat pertama kali mereka bertemu. Stasiun kereta
bawah tanah. Menaiki kereta dengan jurusan yang sama lalu berpisah seperti
waktu itu. Jia tetap memutuskan untuk bekerja meskipun Kris mengatakan tidak
perlu karena ia memiliki banyak uang di bank, juga saham-saham besar di
beberapa perusahaan. Dan gadis itu tetap pada pendiriannya.
Malam
hari juga tak jauh berbeda. Bertemu di dalam kereta lalu pulang bersama-sama.
Hari-hari berlalu seperti itu. Bukan tanpa makna, tapi penuh kebahagiaan
tersendiri bagi mereka.
“Kris,
besok aku libur,” ucap Jia saat mereka berada di dalam kereta menuju rumah. “Apa
perlu kita jalan-jalan?”
“Tidak.
Kita diam di rumah saja.” Raut wajah Jia berubah seketika. Bukan pertama
kalinya Kris menolak tawarannya mentah-mentah, bahkan selalu jika itu
menyangkut makan dan jalan-jalan yang seakan sangat dihindari oleh laki-laki
itu. “Belakangan kau juga tampak tak sehat, lebih baik istirahat dirumah daripada
menghabiskan energi di luar.”
Alasan
yang cukup masuk akal untuk kali ini. Jia sendiri memikirkannya, mengapa
belakangan ini ia menjadi sangat lelah begitu cepat? Tak ada yang salah dengan
makanannya, begitupula dengan pekerjaannya yang malah semakin ringan sejak
sebulan lalu.
“Apa
aku seharusnya membeli vitamin saja?”
“Kurasa
itu lebih baik. Pekerjaanmu pasti sangat berat, bukankah sudah ku katakan untuk
berhenti bekerja?” Kris kembali berusaha membujuk Jia. Beberapa kali laki-laki
itu melakukannya, namun Jia tetap menolak. Gadis itu juga tak kalah keras
kepala.
“Aku
tidak suka hanya berdiam diri di rumah setiap hari, Kris.” Dan selalu itulah alasan
Jia, tak pernah terelakkan.
“Tapi
kau tetap harus menjaga kesehatanmu.”
Setelahnya
Kris melenggang pergi lebih dahulu, meninggalkan Jia beberapa meter di
belakangnya. Laki-laki itu bahkan tetap dingin meski sudah lebih dari sebulan
mereka menghabiskan waktu berdua dan mengakui perasaan masing-masing.
.
.
.
Beberapa
hari telah berlalu dan Jia semakin merasakan ada sesuatu yang aneh pada
dirinya. Kesehatannya terus saja memburuk. Sempat ia melakukan pemeriksaan ke
dokter, tapi dokter bahkan tak menemukan penyakit apapun, malahan hanya
menyuruhnya untuk beristirahat.
Meminta
cuti selama beberapa hari pun tak membawa pengaruh apapun pada kesehatan gadis
itu. Lebih parah lagi, ketika Jia memutuskan untuk kembali bekerja, rekan
kerjanya menemukan ia pingsan di dalam toilet, bahkan tanpa gadis itu sadari.
“Aku
tak mengerti, Kris. Aku hanya memejamkan mata dan tiba-tiba mereka sudah menemukanku
pingsan begitu saja,” adu Jia pada Kris. Laki-laki itu hanya menatap gadis di
hadapannya dengan prihatin. “Sebenarnya apa yang terjadi padaku, Kris?”
Kris
hanya diam. Ia tidak mempunyai kemampuan sedikitpun untuk menjawab pertanyaan
gadis itu. “Bisakah kau berhenti bekerja?” pinta Kris sekali lagi. “Aku tidak
bisa melihatmu seperti itu. Hal ini harus berakhir.”
Berbeda
dari biasanya, kali ini Jia mengangguk, mengiyakan permintaan Kris. “Maafkan
aku, Kris. Tak seharusnya semua ini terjadi.”
“Kau
tak seharusnya minta maaf, semua ini bukan salahmu.”
Tetapi salahku,
Kris menambahkan dalam hati.
.
.
.
Keesokan
harinya, satu hal yang benar-benar hanya bisa Jia lakukan adalah menangis. Di
sampingnya, Kris masih menatap Jia khawatir. Hari itu, akhirnya Jia tidak bisa
menggerakkan seluruh badannya.
“Maafkan
aku. Jia. Semua ini salahku.” Kris mulai berujar penuh rasa bersalah. “Maafkan
aku.” Laki-laki itu menatap Jia dengan air bergumul di pelupuk matanya, sedang
kedua tangannya mengenggam erat jari-jemari Jia yang terkulai lemah.
Jia
baru saja akan berujar, mengatakan pada Kris bahwa semua ini bukan salahnya,
namun hanya untuk menggerakkan kedua belah bibirnya agar bersuara, Jia menangis
tak mampu. Tak ada sebulir suarapun yang mengalir darinya, bahkan tangis itu
hanya sekadar air mata tanpa isakkan yang berarti.
“Selama
ini aku telah berbohong sangat banyak padamu.” Kris kembali berujar, sebulir
air mata menuruni pipinya. “Aku bukanlah laki-laki yang baik, Jia. Akulah yang
telah membuatmu seperti ini. Bahkan aku tidak bisa mengendalikan diriku
sendiri.”
Saat
itu, napas Jia terasa sesak. Ribuan oksigen yang susah payah ia hirup menghilang
entah kemana. Dadanya begitu sakit, namun semua sakit itu hanya dapat ia
rasakan sendiri, meski Kris ingin sekali membagi rasa sakit Jia padanya.
“Katakanlah
bahwa aku monster. Aku sendiri tidak tahu apa sebenarnya diriku. Mengapa aku
harus hidup dari nyawa orang lain? Tanpa ku kehendaki, aku menyerap semua energi
manusia yang ada di sekitarku demi bertahan hidup. Meski aku berusaha
menempatkanmu dalam pengecualian, tapi percuma. Jujur, aku ingin sekali mati
bersamamu. Aku muak dengan hidup ini!!” Kris menangis di samping Jia,
menelungkupkan kepalanya di samping tubuh gadis itu. Sementara Jia sibuk
mengambil napas yang semakin sedikit mengisi paru-parunya.
“Maafkan
aku, Jia…,” lirih Kris sebelum akhirnya ia menangis sejadi-jadinya di samping
tubuh Jia yang telah terbujur kaku.
.
.
.
Kris
menaruh sebuket bunga lili putih diatas gundukan tanah yang masih basah. Air
matanya telah mengering sejak beberapa menit lalu ia menangis. Tubuh Jia telah
terkenang di dalam tanah dan Kris tak mampu mengembalikan gadis itu meski
seluruh air matanya habis.
Di
bawah langit gelap malam itu, Kris mengantarkan Jia menuju tempat
peristirahatan terakhir gadis itu. Rasa bersalah masih terus menghantuinya. Dan
lebih dari itu, perasaannya begitu sakit mengenang Jia. Cintanya berakhir
seperti ini. Rasa kehilangan terhadap Jia seakan mencekik Kris. Ia begitu
sedih, terluka.
Malam
itu, Kris berdiam diri di makam Jia. Ia tak merasa takut sama sekali berada di
pemakaman itu, tetapi takut pada dirinya sendiri. Dirinya yang bahkan lebih menakutkan
dari hantu, monster, bahkan kanibal sekalipun. Ia seakan kutukan bagi
orang-orang di sekitarnya dan pembunuh bagi orang yang ia cintai.
Tengah
malam terlewati dan pagi mulai menjelang. Kris berdiri lalu meninggalkan makam
Jia dengan berat hati. Apapun yang terjadi, hidupnya akan tetap terus seperti
ini. Ia akan terus menjalaninya seperti kegiatan yang memuakkan, bahkan untuk
matipun Kris tak mampu.
Ia
hanya akan menjalani hidup ini tanpa batas waktu. Hidup yang seakan mimpi buruk
tanpa akhir.
.
.
.
FIN
Komentar
Posting Komentar