Title:
24/7
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Jeon Jungkook [BTS] || Kim Taehyung [BTS] || Kim
Soojin [OC] || Nam Joohyun [OC]
Genre:
Romance. Drama. Friendship. Family.
Duration:
Oneshot
Rating:
Teen
Summary:
“Mengenai perasaanmu itu, mungkin besok kau akan tahu jawabannya.”
.
“Mungkin nanti kau bisa menyebutnya sejenis pendekatan.”
.
.
.
Soojin
berlari kencang menuju halte bus terdekat dari rumahnya. Sepanjang perjalanan
gadis itu tak henti-hentinya merutuki Taehyung yang telah membuatnya berlari
maraton seperti itu. Tadi baru saja Soojin menginjakkan kaki di dalam kamar,
Taehyung meneleponnya, dan memberikannya kabar buruk. Laki-laki itu melupakan
tugas kuliahnya yang harus di kumpul saat itu juga. Sebagai adik yang baik,
gadis itu terpaksa mengantarkan tugas sang kakak.
“Awas
saja nanti kalau dia sudah sampai di rumah, dia harus membayarku sangat mahal!”
Soojin masih terus merutuk saat bus sudah berhenti di hadapannya. Keadaan di
dalam bus sangatlah ramai, Soojin terpaksa berdiri di tengah-tengah kerumunan
itu.
Ciit!!
Bus mengerem tiba-tiba. Seekor anjing melintas begitu saja seakan ingin bunuh
diri. Penumpang bus pun harus menerima goncangan yang kuat. Soojin menabrak
salah satu bangku di sebelahnya, hampir tertimpa seorang nenek di depannya,
namun gadis itu dengan cepat memegang nenek itu. Beberapa penumpang berteriak
pada supir bus untuk lebih hati-hati.
Setelah
supir bus meminta maaf, bus itu kembali melaju. “Nenek, baik-baik saja?” tanya
Soojin pada nenek itu. Sang nenek hanya mengangguk dan mengucapkan terima
kasih. Nenek itu tampak sudah terlalu tua untuk berpergian sendiri. Tak pelak
mengundang rasa iba Soojin.
“Permisi,
apa anda keberatan jika membiarkan nenek ini duduk di tempat anda?” ucap Soojin
pada seorang pria dewasa yang duduk di salah satu bangku di sebelahnya. Pria
itu bertubuh besar dengan wajah menyeramkan, dan sekarang tengah menatap Soojin
dengan wajah keberatan.
“Ah, aku bersedia memberikan tempat
dudukku.” Suara itu berasal dari tempat lain−bangku di belakang pria
menyeramkan itu. Sang nenek pun akhirnya mendapatkan tempat duduk. Bus berhenti
di tempat tujuan Soojin tak lama kemudian. Gadis itu pun turun dari bus dan berlari
melanjutkan perjalannya menuju kampus Taehyung.
.
.
.
“Soojin-ah! Ku dengar hari ini akan ada murid
baru! Ku dengar-dengar lagi, dia tampan!!” Joohyun berteriak histeris
menghampiri Soojin yang duduk sendiri di bangkunya. Namun tidak seperti
biasanya, gadis itu malah tak terlalu menanggapi. Pikirannya jauh melayang di
atas kertas yang ada di mejanya saat itu.
Bahkan
setelah kemarin ia mati-matian mengantarkan tugas Taehyung, yang sejak awalpun
ia tahu pasti akan terlambat, kakaknya itu dengan kejam memberikannya hukuman.
Hukuman yang Taehyung terima dari dosennya kini harus Soojin yang mengerjakan.
Soojin sendiri heran, mengapa ia yang harus mengerjakan? Toh, itu kesalahan Taehyung yang lupa membawa tugasnya sendiri.
Lagipula, mengapa ia juga mau? Argth!!
Soojin mengacak rambutnya frustasi. Ia bahkan belum lulus dari sekolah atas dan
sekarang dengan terpaksa harus mengerjakan tugas perguruan tinggi. Bagaimana ia
harus mengerjakannya?!! Tangannya pun terasa sakit sejak kemarin. Sepertinya
akibat hampir tertindih nenek kemarin di dalam bus, rasanya sedikit terkilir.
“Argthhh!!!!!” teriak Soojin frustasi
dengan rambutnya yang semakin berantakan. Joohyun hanya menatap sahabatnya itu
aneh. Ia yakin bahwa Soojin sedang ada masalah besar saat ini.
“Soojin-ah, ada a−“
Ucapan
Joohyun terpotong oleh grasak-grusuk teman sekelasnya yang berlarian menuju
bangku masing-masing. Tak perlu lagi bertanya karena Park Songsaengnim si guru paling mematikan−disebut begitu karena mengajar
mateMATIka−telah berdiri di depan kelas. Di sampingnya berdiri si anak baru.
Persis seperti yang Joohyun katakan, ia memang tampan.
“Perkenalkan
dirimu,” perintah Park Songsaengmin.
Si murid baru hanya menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya berujar pelan.
Sepertinya ia pun langsung tahu bahwa guru di sebelahnya sungguh berbahaya.
“Namaku
Jeon Jungkook. Kalian bisa memanggilku Jungkook. Terima kasih.” Perkenalan yang
cukup singkat, namun sangat mengesankan bagi para siswi. Mereka langsung
berbisik-bisik histeris akibat kedatangan murid baru yang tampan.
“Perkenalan
yang sangat singkat. Yasudah, Jungkook-ah,
kau bisa duduk di bangku kosong itu.” Park Songsaengnim
menunjuk bangku kosong yang ada di pojok, tepat di sebelah Yugyeom yang duduk
sendiri.
“Ah, songsaengnim. Bolehkan aku duduk di
sebelah gadis itu?” Jungkook menunjuk kearah sebuah bangku yang ada di
tengah-tengah, dimana sekarang semua perhatian langsung beralih pada Soojin.
Soojin yang sedaritadi tak mengikuti arah perbincangan di kelas, melainkan
hanya terfokus pada nasibnya mengenai tugas Taehyung, hanya mampu menampakkan
wajah bingung. Belum lagi dengan rambutnya yang belum benar-benar ia rapikan,
beberapa siswa terlihat tertawa.
“Kurasa
sebelumnya ada yang duduk di sebelah Soojin, kenapa sekarang bangku itu
kosong?” tanya Park Songsaengnim.
Seluruh siswa yang menatap Soojin juga merasa bingung. Ada salah satu dari
mereka yang tidak ada, tapi siapa?
“Oh
iya! Shinah hari ini tidak sekolah seongsaengnim!”
Bambam berseru dari bangkunya. Setelah pernyataan itu barulah siswa lain
menyadari bahwa Shinah tidak ada. “Seharusnya yang duduk di sebelah Soojin
adalah Joohyun, tapi sekarang ia sedang duduk di bangku Shinah.” Kembali Bambam
memperjelas.
“Yasudah.
Jungkook-ah, kau bisa duduk di sebelah
Soojin. Biarkan nanti Shinah yang duduk bersama Yugyeom.”
Jungkook
segera berjalan ke bangku barunya yang meskipun itu seharusnya milik Joohyun,
tapi mulai sekarang itu miliknya. Joohyun yang duduk tepat di depan bangku
lamanya−atau yang kini sudah menjadi bangku Jungkook−membalikkan badan dan
menatap Jungkook sedikit kecewa. “Nanti pasti aku akan merebut bangkuku
kembali,” ucapnya seperti kecaman. Lalu kembali membalikkan badannya dengan
wajah cemberut.
Soojin
yang melihat itu hanya tertawa akibat ekspresi Jungkook yang sedikit merasa
bersalah. “Jangan terlalu di pikirkan, kadang dia memang seperti itu. Sebentar
lagi dia akan bicara dengan baik padamu.” Jungkook menoleh kearah Soojin
seakan-akan bertanya tentang kebenaran perihal ucapannya. Gadis itu hanya
mengendikkan bahu sambil tersenyum. “Oh iya, namaku Kim Soojin.”
“Jeon
Jungkook.” Jungkook membalas uluran tangan Soojin. “Tanganmu baik-baik saja?”
tanyanya sambil memperhatikan tangan kiri Soojin. Gadis itu langsung tampak
heran.
“Memangnya
terlihat seperti itu?” Soojin memegang pergelangan tangan kirinya. Memang
terasa lumayan sakit, sih. Jungkook
tiba-tiba meraih tangan kiri Soojin lalu menekannya hingga membuat Soojin
sedikit mengerang karena kesakitan. Namun, sepertinya erangan itu terlalu
keras.
“Ya! Apa yang kalian lakukan disana, eoh?” Park Seongsaengnim mengarahkan pandang pada mereka berdua. Soojin hanya
mampu menundukkan kepala tak berani menjawab. Matilah aku sekarang, pikirnya.
“Songsaengnim! Sepertinya tangan Soojin
terkilir, bolehkan aku mengajaknya ke ruang kesehatan?” celetuk Jungkook
tiba-tiba. Ia mungkin tidak berbohong, tapi berkata seperti itu pada Park Seongsaengnim sama dengan bunuh diri.
Park
Seongsangnim berjalan kearah mereka
dengan wajah sangar. Mungkin sebenarnya memang tidak sangar, hanya saja
wajahnya memang seperti itu. Guru itu meraih tangan Soojin untuk mengecek
keadaannya. Karena mereka memang tidak berbohong, kemarahan Park Seongsangnim sedikit mengendur.
“Memang
benar terkilir. Tapi kau bisa membawanya ke ruang kesehatan nanti, bukan
sekarang disaat pelajaran saya. Karena saya tidak akan mentolerir murid yang
ingin membolos, ingat itu!” Kata-kata itu terdengar begitu mematikan di telinga
seluruh siswa di kelas itu, belum lagi tatapan Park Seongsaengnim yang seperti ingin mencekik setiap pasang mata yang
menatapnya. “Baiklah, kita lanjutkan pelajaran hari ini! Meskipun tadi ada
sedikit gangguan, tapi saya harap kalian tetap berkonsentrasi pada pelajaran
saya selanjutnya.”
Semua
murid langsung terduduk rapi di bangku masing-masing. Tentu saja tak ingin
menjadi korban amukan dari guru paling killer
itu. Dan seperti yang Park Seongsaengnim
harapkan, pelajaran berlangsung dengan baik−meski beberapa siswa menguap dalam
diam−hingga jam pelajaran di gantikan oleh waktu istirahat.
“Omong-omong,
kenapa kau ingin duduk di sebelahku? Padahal Yugyeom tidak tampak seperti orang
yang tidak baik,” tanya Soojin saat mereka sudah ada di ruang kesehatan.
Jungkook yang baru saja selesai membalut pergelangan tangan kiri Soojin kini
menatap gadis itu.
“Kau
masih belum mengingatku?” Jungkook balik bertanya. Soojin memperhatikan wajah
Jungkook dengan cermat, mencoba mengingat-ingat dimana ia pernah menemukan
wajah seperti itu sebelumnya.
Setelah
beberapa menit mencoba mengingat, gadis itu akhirnya menyerah. Ia pun
menggeleng. “Memangnya kita pernah bertemu?” tanyanya polos. “Maaf, tapi aku
memang tak begitu mudah untuk mengingat wajah seseorang.”
“Baru
kemarin kita bertemu di dalam bus, kau ingat?” Soojin kembali mengingat-ingat.
Dan kali ini, ia beruntung karena ingatannya telah kembali.
“Kau
yang menukar tempat duduk dengan nenek itu kan?” Jungkook mengangguk. “Wah, pantas saja. Aku sudah
bertahun-tahun naik turun bus itu, tapi kemarin baru pertama kali aku melihatmu
disana. Kau baru pindah rumah juga ya? Di sekitaran sana?” Jungkook kembali
mengangguk. “Wah!! Berarti rumah kita
tidak terlalu jauh ya!!” seru Soojin dengan semangat. Senyum di wajahnya
benar-benar tak bisa di tahan.
Jungkook
pun ikut tersenyum melihat tingkah Soojin. Ternyata gadis itu cukup banyak
bicara rupanya. Tak ia sangka, bahkan wajahnya tampak pendiam. “Kau tahu? Saat kemarin kau meminta ajushi itu untuk memberikan tempat
duduknya pada si nenek, kurasa ia ingin menelanmu saat itu juga.”
“Benarkah?
Aku tidak terlalu memperhatikannya. Lagipula, dia memang salah kan? Seharusnya
ia memberikan tempat duduk itu pada yang lebih membutuhkan!” Soojin menunjukkan
wajah kesalnya yang mengundang Jungkook untuk tertawa. “Kenapa? Ada yang lucu
ya?” tanyanya polos.
Jungkook
hanya menggeleng meskipun menurutnya yang lucu adalah Soojin sendiri. Setelah
selesai membereskan alat-alat pengobatan itu, Jungkook kembali duduk di sebelah
Soojin. “Kau tadi bilang bahwa rumah kita searah. Jadi, bagaimana jika nanti
kita pulang bersama?” tawar Jungkook.
Soojin
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia rasa itu bukanlah tawaran yang buruk. “Aku
setuju. Deal?” Soojin mengulurkan
tangannya yang kemudian di balas oleh Jungkook.
“Deal!”
.
.
.
Bel
tanda jam istirahat berbunyi, para siswa sibuk menata buku-buku mereka untuk di
masukkan ke dalam tas, dan mempersiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya.
Koridor di luar kelaspun dengan cepatnya di ramaikan oleh para siswa yang
berjalan kesana-kemari ataupun hanya sekadar mengobrol tentang gosip-gosip
terbaru.
Joohyun
bangkit dari tempat duduknya yang kini berada di sebelah Yugyeom karena Shinah
bersikeras tidak ingin duduk dengan laki-laki itu, sementara ia tidak enak jika
menyuruh Jungkook yang notabene
adalah anak baru untuk berpindah tempat duduk. Untuk apa juga laki-laki itu
ingin duduk di samping Soojin? Ini kan jadi menyusahkannya yang harus pindah
duduk kesana-kemari.
Beberapa
langkah lagi untuk Joohyun sampai di bangku Soojin. Gadis itu benar-benar
kelaparan saat ini, setelah tadi mendapatkan pelajaran matematika selama tiga
jam. Matematika seakan bagai misteri yang bisa membuat lapar seketika. Tinggal
satu tepukan tangan yang hendak Joohyun layangkan di bahu Soojin, namun
tiba-tiba gadis itu berdiri akibat satu tarikan di tangannya.
“Ayo
kita pergi ke kafetaria. Aku lapar.” Itu adalah suara Jungkook yang akhirnya
membawa Soojin keluar kelas dan meninggalkan Joohyun mematung di tempatnya. Apa
baru saja ia ditinggalkan? Joohyun masih tak percaya.
“Ah, mungkin Soojin mengira aku sudah
sarapan,” ujar Joohyun berusaha untuk tidak berburuk sangka.
Namun
kekesalan awal yang ia dapat kini bertambah. Kali ini ia masih mencoba untuk
percaya, tapi selalu gagal. Setelah kemarin Soojin meninggalkannya ke kafetaria
bersama Jungkook, hari ini gadis itu membuat Joohyun benar-benar kesal.
“Soojin-ah!” teriak Joohyun sebagai pencegahan
sebelum gadis itu pergi lagi. Bel pulang sudah berbunyi dan semuanya
bersiap-siap untuk pulang. Joohyun berlari kearah bangku Soojin agar gadis itu
tak lupa lagi akan keberadaannya.
Kemarin
Soojin juga meninggalkan Joohyun saat pulang sekolah, padahal biasanya mereka
selalu pulang bersama, meskipun arah rumah mereka sedikit berbeda.
“Ya?”
tanya Soojin seadanya. Sepertinya gadis itu tidak merasakan sesuatu yang aneh
sampai-sampai ia bisa menampakkan wajah seperti biasa, tidak merasa bersalah
sedikitpun.
“Tugas
yang Wang Laoshi berikan tadi, kita
sekelompok, kan?” tanya Joohyun. Biasanya pun kalau ada tugas yang menyangkut
kelompok, ia selalu bersama Soojin. Terlebih kali ini adalah tugas Bahasa
Mandarin yang Joohyun sering kali tidak mengerti dan Soojin cukup ahli dalam
bidang itu.
Joohyun
mendapati wajah Soojin bersemu tidak enak. Firasatnya mengatakan bahwa ini akan
menjadi hal buruk.
“Maaf,
Joohyun-ah. Aku sudah satu kelompok
dengan Jungkook. Ia belum pernah mempelajari Bahasa Mandarin, jadi aku ingin
membantunya.”
Hanya
beberapa kalimat, namun itu terasa begitu menyakitkan bagi Joohyun. Tanpa
mengatakan apa-apa lagi, Soojin lagi-lagi meninggalkan Joohyun dan pulang
bersama Jungkook. Joohyun menatap kepergian mereka dengan kesal. Apa sekarang
ia benar-benar sudah tak di anggap??
.
.
.
Soojin
berdiri di halaman depan rumahnya. Gadis itu terus memperhatikan punggung
Jungkook yang semakin menjauh setelah tadi mereka mengucapkan salam perpisahan.
Jungkook akhirnya menghilang di perempatan jalan, berbelok ke kiri menuju jalan
kearah rumahnya. Soojin masih tetap tersenyum, ia rasa ia tak bisa berhenti
melakukan itu sejak berkenalan dengan Jungkook. Ia sendiri tidak mengerti
mengapa melakukannya, hanya saja itu seperti gerak refleks bibirnya untuk
tertarik di setiap ujung kala netranya menangkap sosok Jungkook.
Beberapa
detik setelahnya, baru saja Soojin akan melangkahkan kaki menuju pintu masuk,
sebuah seruan di tangkap indera pendengarannya. Gadis itu berbalik dan
menemukan dua orang yang sangat di kenalinya.
“Wow, wow!
Sepertinya ada yang sedang jatuh cinta!!” teriak Jimin yang di barengi oleh
tepuk tangan Taehyung di sebelahnya. Kedua laki-laki itu segera menghampiri
Soojin yang memasang raut wajah tidak suka. “Apa ini berarti aku harus patah
hati?” Jimin merangkul bahu Soojin, namun gadis itu berusaha dengan keras
melepaskannya meski berakhir sia-sia.
“Untuk
apa oppa ada disini? Bahkan rumah
kita tidak searah.” Soojin memberikan tatapan tidak suka kearah Jimin.
Laki-laki itu sering kali menggoda Soojin, membuat gadis itu kadang merasa
tidak nyaman. Yah, meskipun Soojin
tahu bahwa maksud Jimin hanya sekadar gurauan.
“Aku
yang mengajaknya. Dia akan menginap hari ini,” jawab Taehyung sambil memasuki
rumah. Di belakangnya Jimin menyeret Soojin masuk ke dalam dengan tangan yang
masih bergantung pada leher gadis itu. Soojin menarik satu kesimpulan dari
perkataan Taehyung barusan, hari ini hidupnya tak akan tenang akibat kehadiran
Jimin.
Setelah
sebelumnya mengganti baju, kini Jimin dan Taehyung sudah duduk rapi di depan
meja makan, hendak menyantap makan siang mereka. Namun keduanya tampak menunggu
sesuatu. “Apa Soojin belum selesai mengganti pakaian?” tanya Jimin sambil
melirik arloji di tangan kirinya. Tak lama kemudian, Soojin muncul menuruni
tangga. “Oh, itu dia! Tapi, mengapa
dia berpakain rapi?”
Yah,
pakaian Soojin memang terlalu rapi untuk di kenakan di rumah. Jadilah Taehyung
bertanya pada adiknya itu. “Kau mau kemana?” Tak perlu di ragukan lagi bahwa
Soojin akan pergi keluar, karena gadis itu juga membawa tas bersamanya.
“Aku
akan membuat tugas bersama Jungkook,” jawab Soojin sambil duduk di samping
Taehyung lalu mencomot sebuah udang goreng yang ada di atas meja. “Hmm, ini enak!” ucapnya dengan mulut
penuh udang.
Taehyung
menatap adiknya itu khawatir. “Kau bisa makan dulu sebelum Jungkook datang.
Hari ini eomma masak makanan
kesukaanmu, rugi jika kau tidak makan.” Taehyung hendak membalikkan piring di
hadapan Soojin agar gadis itu segera makan, namun Soojin sendiri menghentikan
tangan Taehyung.
“Tidak
apa, oppa. Sebelum membuat tugas kami
akan makan terlebih dahulu. Jadi oppa
tidak perlu khawatir kalau aku akan kelaparan. Lagipula, disini ada Jimin oppa yang bisa membantumu untuk
menghabiskan semua makanan ini. Benar kan, oppa?”
Soojin melirik kearah Jimin, sayangnya laki-laki itu malah tampak bingung, lalu
mengangguk kaku.
Taehyung
meraih tangan Soojin yang kembali ingin mengambil udang goreng kesukaannya,
mencoba menghalangi gadis itu yang sibuk mengunyah daritadi. “Atau kau bisa
mengajak Jungkook makan bersama kita disini.”
Soojin
tersenyum seperti anak kecil yang ketahuan mencuri makanan, lalu melepaskan
tangan Taehyung dari tangannya. “Tidak apa, oppa.
Kurasa itu bukan ide yang bagus. Mungkin lain kali saja aku mengajakknya. Oh! Sepertinya Jungkook sudah datang.”
Perhatian Soojin langsung teralih kala mendengar deru suara motor sport Jungkook yang sudah ia kenal
betul. “Aku pergi dulu, ya. Annyeong!!”
Lambaian tangan Soojin membawa gadis itu ke depan pintu dan hilang di baliknya.
Taehyung
terus menatap pintu yang kini tertutup setelah beberapa detik lalu Soojin
menghilang disana. Laki-laki itu berpikir tentang sesuatu. “Kurasa belakangan
ini sikapnya jadi aneh,” ucap Taehyung seakan meraba-raba ingatannya tentang
kelakuan Soojin sebulan belakangan ini.
“Aku
juga merasa seperti itu,” ucap Jimin tiba-tiba yang langsung saja mendapat
perhatian dari Taehyung.
“Memangnya
apa yang kau tahu tentang adikku, hah?
Berhentilah mengejarnya,” ujar Taehyung seperti ancaman. Akibat perkataan itu,
raut wajah Jimin langsung berubah cemberut. Dan dengan tanpa bersalah, Taehyung
menyendokkan nasi ke dalam mulutnya dan mengunyah benda itu santai.
“Ya! Apa kau benar-benar tidak
menyetujuiku?” tanya Jimin frustasi. Taehyung tak menjawab, masih terus
melanjutkan makan siangnya. “Apa aku harus benar-benar patah hati, hah?”
Taehyung
tak berniat sedikitpun untuk menggubris pertanyaan-pertanyaan Jimin. Rasanya ia
sudah mengatakan hal itu berkali-kali pada Jimin, mengapa ia baru
mempertanyakannya sekarang? Lagipula, ia tak ada waktu untuk memikirkan semua
pertanyaan itu, yang ia pikirkan saat ini adalah adiknya. Ada apa sebenarnya
dengan Soojin?
.
.
.
Hari
sudah menjelang sore, namun mentari masih menampakkan cahayanya yang terik.
Peluh-peluh bercucuran diatas wajah Joohyun. Gadis itu tengah berlari membelah
trotoar saat ini. Ia baru ingat bahwa ia ada janji jam tiga, namun ini sudah
lebih dari sejam. Joohyun harap janji itu masih masih sempat ia tepati.
“Huh, huh, huh,” terdengar deru napas
Joohyun satu-satu saat memasuki sebuah café
tempat ia membuat janji. Diedarkannya pandangan itu kesekeliling café dan akhirnya ia menemukan seorang
laki-laki dengan kemeja biru lautnya duduk santai di dekat jendela. “Oppa, maaf sudah membuatmu menunggu
lama.” Setelah mendapatkan sedikit napas, Joohyun akhirnya berujar pada
laki-laki di hadapannya.
Taehyung
menatap kehadiran Joohyun khawatir, jelas gadis itu tampak sangat kelelahan.
“Kau baik-baik saja?” Joohyun hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan
Taehyung. Sesungguhnya ia masih berusaha mengatur napasnya yang belum
benar-benar stabil.
Selama
satu menit, Taehyung membiarkan suasana menjadi diam. Laki-laki itu tak membuka
suara, sama halnya dengan Joohyun yang tak tahu harus berkata apa. Bukankah
Taehyung yang mengajaknya bertemu? Harusnya ia yang mengatakan tujuannya lebih
dulu.
Pelayan
café datang dengan nampan berisi
minuman yang telah Taehyung pesan sebelum Joohyun datang. Sang pelayan
menyunggingkan senyum termanisnya pada Taehyung. Maklum saja, wajah laki-laki
itu tak bisa di kategorikan biasa, bahkan setara dengan para aktor ibu kota.
Saat menaruh minuman di hadapan Joohyun, sang pelayan pun memperhatikan gadis
itu dengan cermat. Hanya ingin tahu, gadis seperti apa yang telah membuat
laki-laki seperti Taehyung menunggu lebih dari satu jam hanya untuk bertemu.
Joohyun
meraih gelas sterofoam di hadapannya
setelah pelayan itu pergi. Dicicipinya kopi dingin itu dan kemudian ia
tersenyum. Sebuah café latte, rasa
kesukaannya.
“Kau
suka rasa itu kan?” tanya Taehyung akhirnya. Jantung Joohyun tiba-tiba berdetak
lebih cepat. Dengan kaku gadis itu menegakkan kepalanya dan memberi senyum pada
Taehyung.
“Iya,
aku menyukainya. Oppa tahu darimana?”
Joohyun meletakkan minuman itu kembali di tempatnya. Gadis itu tak lagi takut
menatap mata Taehyung karena ia pun kini tersenyum manis kearah Joohyun.
“Kurasa
Soojin pernah menceritakannya padaku. Oh ya, hmm, perihal Soojin…” Taehyung menggantungkan kata-kata itu. Apa
yang harus ia katakan pada gadis ini?
Joohyun
langsung teringat perihal masalahnya dengan Soojin. Tentu saja masalah itu yang
kini ingin Taehyung katakan, bukan untuk benar-benar menemuinya. Joohyun pikir
ia mulai terlalu berharap pada Taehyung.
“Maaf,
oppa. Aku benar-benar tidak bermaksud
untuk menjauhi Soojin−“
“Tunggu.”
Taehyung memotong ucapan Joohyun sebelum gadis itu membuatnya lebih panjang.
Joohyun terpaksa harus menatap Taehyung bingung. “Aku tahu kau tidak salah,
Joohyun-ah. Aku juga tidak ingin
membicarakan hal itu.”
“Ku
kira itu tujuan oppa untuk mengajakku
kemari. Lalu?”
Taehyung
menunjukkan senyum terpaksa. Sebelah tangannya menggaruk tengkuknya yang tak
gatal. Seharusnya Taehyung mempersiapkan segala hal yang akan di ucapkannya, ia
mulai menyesal saat ini.
“Hmm, aku memang ingin menemuimu. Apa kau
baik-baik saja? Kurasa pasti kurang nyaman untuk menghadapi sikap Soojin saat
ini.”
Taehyung
kembali tersenyum kaku di akhir kalimat. Akhirnya ia bisa mengucapkannya. Tentu
itu bukan hal yang mudah untuk Taehyung. Ia bahkan merasa begitu tertekan
sebelum itu.
Detak
jantung Joohyun kembali memacu lebih cepat. Ia berharap tak salah mendengar. “Ah, iya. Sedikit susah memang.” Kini
akhirnya Joohyun yang tersenyum kaku. Diraihnya lagi café latte itu sambil memperhatikan Taehyung dari ujung matanya.
“Yah, terkadang adikku bisa menjadi
sangat menyebalkan. Tapi kau tahu, dia hanya kurang peka,” ujar Taehyung di
sertai dengan tawa. Mau tak mau, Joohyun pun ikut tertawa di buatnya. Suasana
yang tadinya kaku kini kembali normal.
Hari
itu, kekesalah Joohyun berkurang akibat Taehyung. Gadis itu juga mendapatkan
beberapa solusi untuk masalahnya. Dan juga beberapa jalan terang untuk
perasaannya.
.
.
.
Soojin
duduk sendiri di bangku taman belakang rumahnya. Gadis itu sibuk menatap langit
dan ribuan bintang yang bertebaran disana, bulan purnama pun menggantung dengan
cantik menatapnya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir ia memperhatikan
langit seperti itu.
“Malam
yang cerah bukan?”
Taehyung
muncul di belakang Soojin lalu menduduki ruang kosong di samping gadis itu.
Soojin menatap kakaknya terkejut. Ia kira tadi Taehyung sudah tidur, mengingat
lampu di kamarnya sudah padam beberapa menit lalu.
“Ya.
Indah kan, oppa?” Soojin mengangguk
mengiyakan. Taehyung kemudian ikut menatap langit. “Ku kira, tadi oppa sudah tidur,” ujar Soojin sambil
menatap kakaknya itu dengan ragu.
“Aku
tidak bisa tidur. Kau sendiri?”
“Aku
juga tidak bisa tidur, oppa. Daritadi
aku mencoba menghubungi Joohyun, tapi tak di angkat. Pesanku juga tak di balas.
Apa ia sudah tidur, ya?” Soojin menatap ponselnya yang sedaritadi tak berdering.
“Kemarin-kemarin juga seperti itu. Apa Joohyun marah padaku?”
“Kau
tidak merasa ada sesuatu yang salah?” Soojin menatap Taehyung lalu menggeleng
polos. Taehyung tak bisa mencegah
tangannya untuk tak mengacak rambut Soojin. Adiknya itu masih saja seperti
dulu. “Ku kira kau sudah tumbuh besar,” ejek Taehyung kemudian.
Soojin
mempoutkan bibirnya, tidak terima dengan ucapan Taehyung. “Aku tumbuh dewasa.
Apa oppa tidak lihat bahwa aku sudah
setinggi ini?” ucapnya merajuk. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan
memalingkan pandangannya dari Taehyung.
“Kau
tahu maksudku bukan seperti itu.” Soojin tertawa. Ia tahu benar apa yang
Taehyung maksud, hanya saja ia ingin sedikit bermain dengan kakaknya itu.
Mereka sudah lama tak meluangkan waktu seperti ini.
“Apa
aku sudah melakukan kesalahan? Beritahu aku, oppa,” ujar Soojin dengan tatapan memohon pada Taehyung. Soojin
sendiri tahu bahwa ia tak mudah untuk menyadari suatu hal yang berbeda, maka ia
sendiri tak perlu keras kepala.
“Apa
kau menyukai Jungkook?” tanya Taehyung. Soojin seketika diam. “Meskipun kau
menemukan hal baru, setidaknya kau tak boleh meninggalkan sahabatmu.”
Soojin
menghembuskan napas berat. Jadi itu masalahnya. “Perihal Jungkook, aku sendiri
tidak tahu bagaimana perasaanku. Tapi aku senang jika bersamanya. Dan masalah
Joohyun, apa aku melakukan itu? Meninggalkannya?”
Taehyung
mengangguk resah, ternyata adiknya memang sangat parah. “Yasudah, jangan
terlalu di pikirkan. Yang pasti Joohyun tidak marah padamu.”
Soojin
sontak menatap Taehyung penuh harap. “Benarkah?” Taehyung mengangguk. “Tapi
bagaimana oppa bisa tahu?” Yang di
tanya hanya mengendikkan bahu. “Sejak kapan oppa
jadi memperhatikan Joohyun?” tanya Soojin penuh selidik.
“Hei!
Apa sekarang kau mulai peka?” ujar Taehyung dengan takjub disertai tawa yang
lebar. Namun satu pukulan keras kemudian mendarat di lengannya.
“Aku
juga kan ingin belajar untuk peka, oppa!!”
Tawa
Taehyung malah tambah keras melihat tingkah adiknya lalu kembali mengacak
rambut Soojin yang membuat gadis itu tambah merajuk. “Sudahlah. Besok kan hari
minggu, bagaimana kalau kita pergi bersepeda?” saran Taehyung. Dengan mudahnya
ia mengalihkan pembicaraan.
“Ide
bagus, oppa!! Aku juga merasa sudah
jarang berolahraga.” Soojin nyengir lebar. Beberapa detik setelahnya gadis itu
menguap. Ternyata malam mulai larut dan mereka berdua juga mulai mengantuk.
“Lebih
baik kita tidur sekarang supaya besok tidak terlambat.” Taehyung menarik tangan
Soojin untuk bangun dari duduknya. Mereka akhirnya melangkah memasuki rumah dan
menuju kamar masing-masing.
“Mengenai
perasaanmu itu, mungkin besok kau akan tahu jawabannya,” ujar Taehyung saat
mereka sampai di depan kamar Soojin. Baru saja Soojin akan membuka mulut untuk
bertanya, namun Taehyung terlebih dulu sudah memasuki kamarnya yang ada di
sebelah kamar Soojin.
Soojin
masih berdiri di depan kamarnya. Lagi-lagi ia menghembuskan napas berat.
“Kurasa aku harus mulai belajar untuk peka,” ujarnya dengan penuh kecewa.
.
.
.
Hari
minggu yang sangat cerah, persis seperti perkiraan Taehyung sebelumnya. Ia dan
Soojin kini berjalan menuju tempat penyewaan sepeda. Soojin berjalan gembira di
samping Taehyung, tangannya berayun dengan langkahnya yang menjinjit.
Taehyung
menarik Soojin dengan melingkarkan lengannya pada bahu gadis itu. Soojin sempat
terkejut karenanya, namun gadis itu kembali tersenyum. “Meskipun sangat senang
karena bisa pergi berdua dengan oppa
mu yang tampan ini, seharusnya kau jangan terlalu bersemangat seperti itu.
Kalau kau jatuh bagaimana?”
Ucapan
Taehyung membuat Soojin cemberut seketika. “Kan ada oppa. Kau bisa menggendongku sampai di rumah,” ujar gadis itu
dengan senyum lebarnya.
Sebuah
jitakan langsung mendarat di dahi Soojin. Gadis itu meringis kesakitan. “Ya! Meskipun kau ringan, tapi rumah kita
beberapa kilo darisini. Kau kira aku kuat?”
Soojin
sama sekali tak terkesan dengan ucapan Taehyung, ia malah tampak kecewa. “Ku
kira oppa ku adalah pria yang hebat,
tapi ternyata…” Soojin menggantungkan kata-katanya yang tampak meremehkan.
“Ternyata
apa?” tanya Taehyung galak. Seperti yang ia katakan pada Joohyun, Soojin
terkadang memang menyebalkan. Ia selalu mengatakan apapun yang ada di otaknya
tanpa berpikir dahulu tentang reaksi si lawan bicara.
“Ternyata…
kita sudah sampai!!” teriak Soojin riang sambil merentangkan tangannya. Di
hadapan mereka tampak puluhan sepeda dengan berbagai warna dan tipe. “Wah!
Lihat oppa, view di tempat ini juga sangat bagus!!”
Taehyung
mengikuti arah pandang Soojin. Ia setuju dengan gadis itu. Hamparan danau
dengan taman yang luas mengitari lokasi itu. Bunga-bunga yang bermekaran dengan
berbagai warna pun memanjakan mata yang melihatnya.
“Oppa, aku ingin yang ini!!” Taehyung
menolehkan kepalanya dengan bingung. Soojin berteriak dari tempat sepeda yang
cukup jauh beberapa meter dari tempat Taehyung kini berdiri. Laki-laki itu
bingung, sejak kapan Soojin pergi dari sisinya?
Taehyung
menghampiri Soojin yang sudah menemukan sepeda pilihannya. Layaknya selera
seorang Soojin. Sepeda dengan keranjang di depan dan sebuah dudukan untuk di
boncengi. Namun Taehyung seketika mengerutkan dahinya kala melihat warna dari
sepeda itu. “Sejak kapan kau menyukai warna tosca?”
tanya Taehyung bingung. Padahal di samping sepeda itu terdapat sepeda dengan
model yang sama dengan warna pink,
sebagaimana warna yang selalu Soojin suka.
“Ck. Oppa
bahkan tidak tahu sejak kapan aku menyukai tosca.”
Soojin menggeleng-gelengkan kepalanya.
Taehyung
menghembuskan napasnya setelah mendengar ucapan Soojin. Ia kalah telak dengan
Soojin, memang terlalu sering seperti itu. “Ya, memang aku bukan oppa yang baik. Jadi bagaimana jika aku
memboncengmu?” Taehyung segera mengeluarkan sepeda itu dan menaikinya. Soojin
tampak sedikit ragu, namun Taehyung mencoba meyakinkan gadis itu dengan menepuk
dudukan di belakangnya.
“Awas
saja jika nanti aku terjatuh,” ancam Soojin sebelum akhirnya ia duduk dan
sepeda itu mulai melaju. Sepasang kakak-adik itu kini bersepeda di tepi danau.
Mereka tampak begitu menikmati suasana yang begitu menyenangkan dan menenangkan
hingga tak begitu banyak percakapan yang mereka buat.
Sepanjang
perjalanan mereka melihat cukup banyak pengunjung yang menghabiskan waktu
mereka bersama keluarga. “Oppa,”
panggil Soojin sambil menarik ujung kemeja Taehyung. Kakaknya hanya menjawab
dengan sebatas gumaman. Tatapannya tertuju pada tempat yang sama dengan Soojin.
Dimana sepasang anak kecil yang berlarian di sekitar orang tua mereka yang
tengah menggelar piknik. “Lain kali kita harus pergi kesini bersama eomma dan appa.”
Taehyung
mengangguk. Sama seperti Soojin, ia juga merasa sedikit sedih. Sudah terlalu
jarang waktu yang keluarga mereka luangkan untuk berlibur. Semua semakin sibuk
dengan kegiatannya masing-masing. Ayah mereka sibuk mengurus perusahaan, sang
ibu selalu menghabiskan waktunya dengan mendesain baju di butik miliknya, dan
dua bersaudara itu pun semakin sibuk dengan urusan mereka yang semakin dewasa,
entah itu tugas, pelajaran, ataupun masalah percintaan yang sudah layak untuk
mereka rasakan.
Ingatan
Soojin kembali melayang mengingat masa kecilnya. Bukankan masa kecil sangat
membahagiakan? Tak perlu memikirkan masalah-masalah rumit. Hanya menangis dan
semua masalah akan selesai. Sedangkan kini, menangispun terasa percuma.
Tiba-tiba
laju sepeda terhenti membuat Soojin terbangun dari lamunannya. “Oppa, ada apa?” tanya gadis itu yang
hanya bisa menatap punggung Taehyung. Laki-laki itu turun dari sepeda sedangkan
Soojin masih duduk diatasnya.
Setelah
Taehyung menuruni sepeda, Soojin dapat melihat kini Jungkook berdiri tepat di
depannya. Laki-laki itu tersenyum, meskipun wajah Soojin tampak bingung.
Taehyung berjalan kearah Jungkook lalu menepuk pundaknya. “Jaga adikku dengan
baik, aku mempercayaimu,” ucap Taehyung yang seakan berbisik di sebelah
Jungkook.
“Aku
akan pergi mencari minum!” Taehyung melambaikan tangannya lalu pergi begitu
saja, meninggalkan sang adik penuh kebingungan.
“Kook,
kenapa kau bisa ada disini?” Soojin turun dari sepedanya. Jungkook pun
menghampiri gadis itu.
“Aku
ingin bersepeda denganmu,” jawab Jungkook sambil menatap lekat mata Soojin.
Gadis itu masih terdiam menatap Jungkook. Tatapan Jungkook membuatnya tak mampu
berkata apa dan detak jantungnya menjadi tak karuan.
.
.
.
“Kau
suka bersepeda?” tanya Jungkook akhirnya setelah cukup lama mereka berdua hanya
diam. Susah payah Jungkook mengumpulkan mental untuk bicara, namun hanya
kata-kata itu yang berhasil terucap. Entah mengapa, sedekat itu dengan Soojin
rasanya tak pernah segugup ini.
“Ya,
aku menyukainya, meskipun tak terlalu ahli,” jawab Soojin dengan jujur. Ia
sendiri merasa dalam bahaya saat itu. Jantungnya terus berpacu setiap kali ia
ingat bahwa orang yang ada bersamanya kini adalah Jungkook.
Suasana
kembali hening. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua. Tak seperti biasanya
yang akan selalu terlibat percakapan panjang. Tak terasa laju sepeda semakin
kencang karena jalan menurun telah menyambut di hadapan mereka. Soojin semakin
mempererat pegangannya pada kemeja Jungkook, ia harus menghindari segala
kemungkinan terburuk. Gadis itu sempat mengintip ke arah depan, turunan yang
lebih tajam telah menanti, Soojin mulai menutup mata.
Di
tengah segala ketakutannya, Soojin merasa seseorang telah menarik tangannya ke
depan, membuat tangan kirinya kini memeluk sosok di hadapannya. “Seperti ini
akan lebih aman,” ujar Jungkook saat menarik tangan kanan Soojin dengan tangan
kirinya. Soojin tak bisa berbuat apa-apa lagi selain memeluk Jungkook dan
menyandarkan kepala di punggung laki-laki itu.
Baik
Soojin maupun Jungkook kini tersenyum dalam diam. Rasa takut yang beberapa
waktu lalu mengusiknya entah lenyap kemana, rasanya telah tenggelam oleh
kebahagiaan yang terlalu tinggi.
Soojin
kembali teringat pada percakapannya kemarin malam dengan Taehyung. “Mengenai perasaanmu itu, mungkin besok kau
akan tahu jawabannya.” Dan seperti yang sang kakak katakan, kini Soojin
sudah menemukan jawabannya.
Laju
sepeda terhenti. Soojin yang merasa déjà
vu langsung menoleh ke depan, mungkin saja kali ini Taehyung yang menghalangi
perjalanan mereka seperti yang Jungkook lakukan tadi. Namun tidak ada siapapun
disana, hanya hamparan danau yang luas serta taman yang dihiasi pepohonan
cantik.
“Apa
kau lelah?” tanya Jungkook masih duduk diatas sepeda, ia menengok kearah Soojin
yang ada di belakangnya. Namun Soojin malah tertawa mendengar pertanyaan
Jungkook.
“Bukankah
seharusnya aku yang bertanya seperti itu? Yang sedaritadi mengayuh sepeda itu
kau,” jawab Soojin yang sudah berdiri di samping Jungkook. “Kajja, lebih baik kita istirahat
sebentar.” Soojin sudah duduk di bangku taman terdekat sementara Jungkook
melangkah ragu di belakang gadis itu.
“Ada
apa, Kook?” Soojin terus memperhatikan tingkah Jungkook yang sedikit aneh.
Laki-laki itu terus saja mengusap-usap lehernya. Bahkan ketika ia hendak duduk,
laki-laki itu berdiri tiba-tiba.
“Kau
haus? Aku akan membeli minum sebentar,” ujar Jungkook sebelum akhirnya
menghilang secepat angin. Soojin memperhatikan kepergiannya dengan tatapan
bingung, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan heran.
Hamparan
danau yang luas menarik Soojin untuk menikmati keindahannya. Gadis itu
menghirup udara yang segar dengan menarik napas panjang, kemudian
menghembuskannya dengan perlahan, seakan begitu menikmatinya. Dan kembali,
banyak pertanyaan muncul di pikirannya.
Ada apa dengan Jungkook? Apa
sebenarnya ia merasa lelah dan kehausan namun malu mengatakannya padaku? Aneh
sekali. Lagipula, aku tak mengerti bagaimana ia bisa tahu bahwa hari ini aku
akan pergi bersepeda dengan Taehyung oppa. Apa oppa yang memberitahunya?
“Sedang
memikirkan sesuatu?” Sebuah minuman kaleng dingin menempel di pipi Soojin,
membuat gadis itu segera menoleh pada si pembuat ulah. Setelah menemukannya, ia
pun membalas dendam dengan meraih minuman kaleng itu dan segera menempelkannya
di pipi Jungkook. “Akh!!” Jungkook
meringis yang mengundang tawa Soojin.
“Bagaimana?”
tanya Soojin masih dengan tawa kemenangan. Jungkook mengangkat kedua tangannya
tanda menyerah. Di raihnya minuman kaleng di tangan Soojin lalu membuka
penutupnya dan menyerahkannya kembali pada gadis itu. “Thanks,” ucap Soojin lalu.
Jungkook
tersenyum lalu membuka minuman kaleng miliknya. Satu tegukan, kemudian melirik
kearah Soojin. Tegukan kedua, lalu mengintai gadis itu dari ujung matanya. Lalu
tegukan-tegukan selanjutnya, ia tak bisa berhenti memperhatikan gadis itu.
Soojin
yang memang tak pernah sadar akan lingkungannya masih terus memandangi danau
sambil sekali-kali meneguk minuman rasa leci di tangannya. Setelah setengah
dari keseluruhan isi minuman kaleng itu ia minum, Soojin memutuskan untuk
menaruh kaleng itu di sisa bangku kanannya. Merasa bosan dengan suasana diam
yang entah mengapa menghampiri mereka hari ini, Soojin memainkan jemari tangan
kanannya. Mengetuk-ngetukkan kelima jarinya itu di atas bangku.
Sekilas
matanya menemukan ujung kemeja kotak-kotak biru yang Jungkook pakai sebagai
luaran dari kaos putih yang laki-laki itu kenakan. Ia ingat akan beberapa menit
lalu, dimana ia menarik dengan kuat kemeja itu penuh rasa takut, dan beberapa
detik kemudian ia telah memeluk si empunya kemeja. Sungguh, Soojin masih tak
percaya dengan semua itu.
Jungkook
yang sedaritadi mengikuti gerak-gerik Soojin mulai mengambil tindakan. Bukankah
ia sudah memantapkan hatinya sejak kemarin? Namun mengapa saat sekarang ia
berhadapan dengan gadis itu, keteguhan hatinya sangat mudah luluh? Perlahan tangan Jungkook meraih milik Soojin
lalu menggenggam tangan kanan gadis itu dengan erat.
Soojin
seketika mendongakkan kepalanya dan menatap penuh tanya pada Jungkook. Saat
tatap mereka kini bertemu, Soojin tak berani lagi berpaling. Tatapan teduh yang
selama ini Jungkook tujukan padanya serta senyuman tulus yang selalu ia dapat
dari laki-laki itu, membuat Soojin harus merasakan perasaan hangat yang
membahagiakan.
“Aku
menyukaimu, Soojin.”
Jungkook
berhasil mengatakannya, setelah segala peperangan yang ia alami di dalam
diri. Sedangkan Soojin terus menatap
Jungkook dalam diam. Apa benar itu yang selama ini Jungkook rasakan padanya? Ia
bahkan tak pernah menyadari, memang tak pernah.
Jungkook
tak berhenti menatap gadis itu. Meskipun kemarin malam Taehyung telah
meyakinkan Jungkook bahwa ia tak akan kecewa, tapi diamnya Soojin saat ini
membuatnya sedikit ragu.
“Apa
kau memerlukan jawaban untuk itu?” tanya Soojin akhirnya dengan wajah polos.
Apapun yang gadis itu pikirkan saat ini, Jungkook sama sekali tak bisa menebak.
Laki-laki itu pun mengangguk dengan ragu atas pertanyaan Soojin. Tangan kiri
Soojin meraih tangan kanan Jungkook dan menyatukan dua pasang tangan mereka
untuk saling menggenggam.
“Apa
menurutmu jika sudah seperti ini, aku akan menjawab tidak?”
Sebuah
senyuman mengembang manis di wajah Soojin. Jungkook sendiri tak bisa menahan
kebahagiaannya lalu memeluk gadis itu erat. Soojin membalas pelukan itu. Tanpa
komando, setetes air mata bahagia menuruni pipi Jungkook.
“Seharusnya
aku tak pernah meragukan perasaanku sendiri,” ujar Soojin sambil menenggelamkan
kepalanya diatas bahu kekasihnya kini.
.
.
.
Joohyun
dengan malas meraih ponselnya yang ada di meja nakas. Ia sedang sibuk berpikir
sambil merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur, dan ponsel itu berdering tanpa
rasa bersalah. Sungguh menyebalkan,
pikir gadis itu. Sebuah pesan ternyata, Joohyun langsung membukanya.
Joo, tolong temui aku di café biasa sekarang. Aku dalam masalah.
Wajah
Joohyun langsung tampak khawatir setelah membaca pesan dari Soojin. Tanpa
basa-basi, ia langsung berlari keluar kamar dan meraih tasnya. Panggilan ibunya
pun tak ia indahkan, melainkan langsung berlari meninggalkan rumah.
Sepanjang
perjalanan gadis itu berlari. Dipikirannya sibuk akan Soojin. “Sebenarnya apa
yang gadis itu lakukan? Tak biasanya ia bermasalah. Dasar merepotkan!” ucap
Joohyun di sepanjang jalan.
Dengan
napas terengah-engah Joohyun memasuki café,
terdengar bunyi lonceng ketika daun pintu itu terbuka, dan gadis itu langsung
mengedarkan pandangannya ke seluruh café
demi menemukan sosok Soojin. Dan yang dicari sedang duduk santai di dekat
jendela sambil menatap jalanan yang cukup sepi saat itu.
“Wae?” tanya Joohyun yang segera
menghampiri Soojin. Tanpa perlu duduk terlebih dahulu ia langsung
menginterogasi temannya perihal masalah yang ia alami. Namun di luar perkiraan
Joohyun, Soojin tampak baik-baik saja, malahan gadis itu tersenyum kala
melihatnya.
“Kau
bisa duduk dulu kan baru bicara? Bahkan kau belum bernapas dengan baik,” ujar
Soojin sambil menyodorkan sebotol air mineral yang ia bawa pada Joohyun.
Temannya itu tak mengindahkan air mineralnya, namun langsung duduk dan menatap
Soojin serius.
“Ada
apa? Kau bilang kau ada masalah.” Interogasi Joohyun kembali di mulai. Kedua
tangannya ia tumpukan di atas meja dan tatapannya tak bisa beralih dari Soojin.
Temannya itu bahkan tampak seperti tak mempunyai masalah.
“Bukan
aku yang punya masalah, tapi oppa ku.
Ku pikir hanya kau yang bisa membantunya,” ujar Soojin sambil melirik kearah
belakang, dimana Taehyung kini sedang berdiri menunggu percakapan mereka.
“Maksudmu?”
tanya Joohyun yang tak mengerti kemana arah pembicaraan Soojin. Gadis itu
menatap Taehyung dan Soojin silih berganti.
Soojin
mendekatkan tubuhnya kearah Joohyun lalu menaruh sebelah tangannya di depan
mulut seakan ingin berbisik. “Mungkin nanti kau bisa menyebutnya sejenis
pendekatan,” ujar Soojin cukup pelan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Joohyun
dengan penuh kebingungan.
Sebelum
keluar melalui pintu café, Soojin
yang melewati Taehyung berucap kecil pada laki-laki itu. “Tenang saja, semua
akan berjalan dengan lancar, oppa.”
Soojin kemudian melanjutkan perjalanannya menuju luar café, dimana Jungkook tengah berdiri menunggu gadis itu.
Dilihatnya
kini Taehyung sudah duduk di hadapan Joohyun dan mereka saling berbincang.
“Kita sudah bisa meninggalkan mereka berdua kan? Kurasa Taehyung hyung bisa melakukannya dengan baik,
bahkan lebih baik daripada aku,” ucap Jungkook yang sedaritadi memperhatikan
Soojin yang menatap kearah Taehyung dan Joohyun.
Soojin
menelengkan kepalanya, tampak ia sedang memikirkan sesuatu. “Ku kira Joohyun
marah padaku, tapi melihat kedatangannya seperti itu setelah menerima pesanku,
kurasa pendapatku salah,” ujar Soojin lemah sambil berjalan bersama Jungkook.
Jungkook
merangkul Soojin sambil mengacak rambut gadis itu, ia tertawa kecil. “Kadang
kau harus lebih menyadari tentang penyebab perubahan seseorang, Jinie-ya. Kau terlalu polos,” ujar laki-laki
itu kemudian.
Soojin
mempoutkan bibirnya tak suka. “Memangnya kenapa jika aku polos? Toh aku tetaplah aku.” Soojin berucap
dengan bangga. Tangannya mengusap-usap rambut, mencoba merapikan hasil karya
Jungkook sebelumnya.
Tapi
baru saja Soojin berhasil merapikan rambut itu, tangan Jungkook kembali
mengacaknya, bahkan lebih berantakan dari sebelumnya. “Ya! Jeon Jungkook, berhenti mengacak rambutku!” teriak Soojin
dengan geram. Sedangkan si pelaku utama telah berlari kecil meninggalkannya.
Dengan
terpaksalah Soojin harus mengejar Jungkook dan mencoba membalas dendam atas
perbuatannya. Dan pada akhirnya mereka saling mengejar satu sama lain. Meski
orang-orang di sekitar menatap mereka aneh, namun Jungkook merasa senang.
Laki-laki itu tak bisa berhenti menatap Soojin ataupun hanya sekadar
memperhatikan setiap gerakan gadis itu, kemudian ia tersenyum tulus.
“Kepolosan itulah yang membuatmu
tampak berbeda. Dan kuakui, karenamu saat ini mungkin aku merasa sangat gila.”
.
.
.
FIN
Komentar
Posting Komentar