Title:
SIDES
OF COIN
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Jessica
[SNSD] as Hazel || Krystal [f(x)] as Grace
Genre:
Psychology, fantasy, family, hurt
Duration:
Vignette
Rating:
PG-17
Summary:
Segala
yang ada di bumi memang saling berkaitan satu sama lain
.
Beware with
yourself…
.
.
Pemakaman adalah hal paling mengerikan yang tak pernah aku
bayangkan. Sebisa mungkin aku menjauh dari kata ‘pemakaman’ itu
sendiri. Atau lebih tepatnya, menjauh dari segala hal yang berkaitan dengan
kematian.
Tapi agaknya aku kurang beruntung hari ini, karena disinilah
aku. Berada di dalam sebuah gereja kuno di tepian kota yang di kelilingi hutan
lebat di sekitarnya. Entah opsi apa yang telah membuat gereja ini menjadi
tempat persembahyangan terakhir si korban.
Tapi kurasa gereja ini sangat cocok. Yah, setidaknya
berhasil membuat segalanya tampak mengerikan.
Orang-orang masih terus berdatangan sementara kursi-kursi di
gereja sudah hampir penuh. Aku melangkah pelan namun pasti menuju sebuah peti
yang berada di pelataran, dimana sosok ibu bagiku tengah tertidur pulas di
dalamnya. Aku ingin menangis, tapi air mataku terasa amat kering.
Aku benci memikirkan ini semua. Segalanya terlalu cepat dan
begitu aneh. Untuk apa ia bunuh diri? Masih terasa kental di ingatanku
bagaimana kemarin malam ia tersenyum manis sambil mengucapkan ‘selamat tidur’
untukku.
Dan hari ini ialah yang tertidur untuk selamanya.
Di dunia ini aku hanya hidup berdua dengan ibu dan satu
orang lagi diantara kami. Aku tak pernah menganggapnya ada, aku tak suka kala
seringkali ia menjadi provokator dalam pertengkaran kami, ia hanya sebatas
benalu bagiku. Dan bodohnya aku karena tak bisa mengenyahkan benalu itu dari
kehidupanku.
Aku bisa melihat pantulan dirinya dari kaca peti mati. Ia
memang tampak begitu sedih dan berduka, tapi ku tahu, di dalam hatinya ia
pastilah sedang bersuka-cita.
“Jadi, apa yang telah kau lakukan pada ibuku?” Aku mulai
melayangkan protes padanya, merasa begitu aneh dengan sikapnya yang tak pernah
bersahabat.
“Aku hanya mencoba untuk membunuhnya. Dan tebak! Percobaanku
berhasil!” Dia bersorak gembira di telingaku, membuatku semakin geram atas
tingkahnya.
“Jadi, haruskah aku mengucapkan selamat?” Ucapannya itu
seakan membuat lubang yang lebih besar dalam lukaku. Apa ia sama sekali tak
memiliki hati? Aku mulai meragukannya.
“Tentu.”
“Tapi, kenapa? Kenapa kau membunuhnya?”
“Kenapa? Kau tahu sendiri, dia adalah orang satu-satunya
yang tahu keadaan kita, bagaimana kita tinggal bersama dan dia tak pernah
menganggapku ada.”
“Karena kau memang tak pernah ada.”
“Kalian memang selalu begitu, tapi aku tidak bisa menganggap
kalian tidak ada. Jadi, lebih baik meniadakan kalian ‘kan?”
“Kau tak akan pernah bisa membunuhku!”
“Hmm, mungkin? Tapi aku rela mati hanya untuk membunuhmu.”
“Dan aku bersumpah akan membunuhmu meski aku harus mati.”
“Jadi, bagaimana kalau kita mati saja?”
Tepat setelahnya, pintu gereja terbuka lebar, dan beberapa
pria tinggi berseragam berjalan menghampiri kami. Seketika aku tahu bahwa
inilah saatnya.
“Kau pasti akan tertangkap!”
“Tak apa, semasih kau ikut bersamaku.”
Aku tak mengerti dengan yang ia katakan bahkan tak sempat
untuk mencerna karena sebuah pertanyaan lain muncul secara mendesak.
Mengapa polisi juga ikut menangkapku???
.
.
.
Sinar mentari pagi yang menelusuk melalui partikel-partikel
udara di ruangan itu membuatku terbangun. Masih setengah sadar kala aku
menyadari ruangan itu bukanlah seperti sel-sel penjara yang sering kutonton di
TV.
Ku kira aku sudah masuk penjara tadi malam, tapi ini lebih
parah daripada itu. Ruangan ini juga memiliki jeruji besi dengan setiap
dindingnya berlapis cat putih, begitupula dengan semua barangnya yang berwarna
tak jauh beda. Tak lupa bau-bau medis yang mengoar melalui penciumanku.
Dapat kulihat dari jendela, tempat ini di penuhi orang-orang
sakit, bukan secara fisik, melainkan psikis. Jadi aku mulai bertanya-tanya.
Sejak kapan aku gila??
Pintu kamar terbuka tanpa ku kehendaki dan seorang wanita
berpakaian putih-putih−yang lebih terkenal sebagai suster−datang menghampiriku.
“Hai,” sapanya lembut. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Apa temanmu sudah bangun? Siapa namanya?”
“Grace, dia masih tidur, kurasa.”
“Berarti kau adalah Hazel, benar ‘kan?”
Aku mengangguk lalu kembali terduduk di tepian ranjang.
“Sepertinya kau tahu sesuatu tentang aku dan Grace?” Dia hanya tersenyum
sekilas sebelum akhirnya menyuapiku dengan sesendok bubur hambar. “Sstt! Jangan sampai Grace mendengarnya,
nanti kau bisa di bunuh!”
Suster itu tertawa, menertawakanku. “Hahaha, kau bicara apa,
Hazel?”
“Aku tidak bercanda. Grace sudah melakukannya pada ibuku!”
“Dia tidak akan melakukan itu jika kau melarangnya, Hazel.”
“Apa maksudmu?”
“Kau bisa melawannya, sehingga ia tak akan melakukan hal
itu. Aku tahu, kau lebih kuat di bandingkan Grace.”
Suster itu menepuk bahuku pelan lalu melangkah menuju pintu.
Namun dengan cepat aku mencegahnya.
“Boleh aku bertanya sesuatu?”
.
.
.
Aku tak mengerti dengan semua ini. Seperti mencari ujung
sebuah benang di dalam selembar kain. Segalanya nampak ambigu. Haruskah aku
menerima kenyataan ini? Atau lebih baik aku tetap pada pendirianku?
Ibu memang tak pernah memeberi tahuku siapa Grace
sebenarnya. Yang ku tahu hanya aku dan Grace memiliki suatu ikatan, entah apa.
Dan yang paling aku tidak mengerti adalah ucapan suster tadi.
“Kau yang telah
membunuh ibumu sendiri, Hazel.”
Ucapan itu seakan menohokku hingga ke ulu hati. Tentu itu
tidak mungkin, bahkan Grace sendiri sudah mengakui bahwa ialah yang telah
membunuh ibu. Lalu apa maksud ucapan suster itu??
“Jadi, suster itu sudah memberitahumu semuanya?” tanya
Grace. Ternyata ia sudah bangun dari tidurnya.
“Menguping? Bisakah kau hilangkan kebiasaan burukmu itu,
Grace?”
“Memang begitu ‘kan? Kebiasaan baik memang selalu ada padamu
dan hal-hal buruk adalah kebiasaanku.”
Tak dapat lagi aku menanggapi perkataan Grace. Dia benar,
memang. Pun tak ada kuasa di mulutku untuk membantah. Dia lebih tahu, bahkan
semuanya. Aku terdiam lama, Grace pun begitu.
“Kau ingat waktu kita kecil dulu? Kita selalu bermain
bersama, Grace.” Grace bersandar di dinding nampak acuh, tapi aku tahu bahwa ia
menyimak ucapanku. “Tapi mengapa semakin dewasa kita tidak dapat melakukannya?”
“Cih, semakin tua
seseorang maka ia akan semakin egois. Kau harusnya tahu, Hazel.”
“Maksudmu, kita egois?”
“Tidak, aku yang egois. Kau ingat saat kau menangis karena
mendapat hukuman atas tindakan yang bahkan tak pernah kau lakukan?”
Aku mengangguk. Tentu saja aku tidak pernah melupakannya.
Itu adalah kali pertama aku mendapat hukuman dan dimarahi oleh guru, padahal
Grace lah yang mendorong temanku hingga jatuh dan menangis.
“Masa itu kau selalu mendapat pujian, penghargaan atas
segala tindakan baik yang kau lakukan. Dan aku? Selalu mendapat cacian dan
hukuman. Lalu hari itu, aku ingin kau merasakan berada di posisiku. Dan aku
terus melakukannya hingga saat ini. Alhasil, orang-orang selalu memandangmu
tidak baik, Hazel.”
“Maka dari itu, aku selalu membencimu, Grace.”
“Percuma dengan segala benci yang kau tunjukkan padaku atau
dengan segala perilaku baik yang berusaha kau lakukan, orang akan tetap
memandangmu jahat, buruk, negatif. Karena kebaikan yang kau lakukan masih kalah
dengan kejahatan hasil karyaku.”
Grace memandangku dengan tajam. Darisana aku dapat melihat
sifat-sifatnya mencuat. Seperti katanya, ia egois, itu karena ia sangat iri
hati, tak bisa sedikitpun melihat kebahagiaan orang lain, dan juga karena−
oh, apa aku salah lihat?
−ia kesepian.
“Dan jangan pernah kau lupakan, bahwa orang-orang selalu
memandang kita sebagai satu kesatuan, hanya salah satu dari kita, dan itu
adalah kau.”
Sekali lagi, Grace benar. Aku heran, mengapa kebaikan selalu
mudah di pendam kejahatan? Mengapa ingatan orang-orang lebih mudah melekat pada
keburukan? Dan mengapa mereka selalu menganggapku sebagai Grace, meski kami
sesungguhnya berbeda.
Semua masalah ini membuatku teringat seseorang. Suster itu
atau lebih tepatnya, pada ucapan suster tadi.
“Kaulah yang
telah membunuh ibumu sendiri, Hazel.”
“Tidak, sus.
Grace yang melakukannya.”
“Bagaimana jika
Grace adalah dirimu sendiri?”
Dan aku mengerti sekarang. Bahwa perkataan suster itu memang
benar.
Aku adalah Grace dan Grace adalah aku, kami tumbuh bersama
dalam satu jiwa dan raga, namun kami tetap berbeda.
Meski aku tak menyukai Grace, namun ia tetap menjadi bagian
dari diriku. Mungkin lain kali aku harus mengajarinya hal yang lebih baik,
walaupun sikap dan sifat buruknya itu akan tetap ada.
Karena kau tahu, bahwa tak akan pernah ada jahat jika tak
ada baik, begitupun sebaliknya. Sama halnya seperti dunia ini, tak akan ada
kematian tanpa kehidupan. Akan selalu ada hal yang berkebalikan, meski kau tak
pernah menginginkannya.
.
.
Pernahkan
kau membayangkan bagaimana kehidupan di bumi apabila segala konteks di dalamnya
bernilai positif?
Jujur
saja, aku tak bisa membayangkannya….
.
.
.
FIN
Komentar
Posting Komentar