Title:
Hidden
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Main
Cast(s):
Lee Hong Bin [VIXX] || Kim Soo Jin [OC]
Genre:
Surrealism. Romance. Mystery.
Psychology.
Duration:
Vignette
Rating:
PG-15
Inspired by: VIXX - Hyde
Summary:
Menurut
Soojin, Hongbin adalah sebuah mimpi indah, ia sangat tahu.
Namun
Soojin tak tahu akan satu hal.
“Bahwa kenyataan tak pernah seindah
mimpi.”
.
.
Lee Hongbin.
Dia terlalu manis untuk
seukuran manusia, bahkan lebih manis dari gula ataupun cokelat. Katakanlah
seperti itu.
Ya, ia terlalu manis
hingga membuatku candu. Senyumnya, tingkahnya, bahkan tatapan matanya mampu
membuatku beku seketika. Tentu ia bukan es yang dingin, melainkan matahari
senja yang menghangatkan. Hanya saja, aku tak ingin tatapan itu berpaling
dariku.
Layaknya hari ini.
Perpustakaan nampak
lengang sore itu. Kami berencana membuat tugas politik ekonomi yang di beri
dosen beberapa jam yang lalu. Namun semua itu berakhir pada perdebatan kecil
kami perihal sistem perekonomian yang berjalan saat ini.
Beberapa kali aku dapat
mematahkan argumen Hongbin dengan beberapa argumen panjang yang harus
kukeluarkan. Namun tiba-tiba ia terdiam lalu menatapku cukup lama. Hal itu
terpaksa membuatku menghentikan sebuah argumen yang bahkan belum seberapa
keluar dari mulutku.
“Ada apa?” tanyaku
mengantisipasi sebelum aku membeku−untuk yang kesekian kali−akibat tatapannya.
Ia tersenyum manis, sangat manis melebihi rasa cokelat yang lumer di mulutku.
“Aku hanya tak ingin
melewatkan wajah cantikmu saat bersemangat.”
Ia menopang dagunya sambil menatapku intens.
Baiklah, kata-katanya itu teramat manis! Mungkin aku akan terserang diabetes setelah ini.
Aku tak merespon
ucapannya. Perhatianku kembali terfokus pada tugasku yang belum selesai padahal
sebentar lagi perpustakaan akan tutup. Namun ia masih menatapku. Oh, kali ini
penuh permohonan.
“Baiklah. Sebenarnya,
apa yang kau inginkan, Tuan Lee?” Aku mengenyampingkan bukuku lalu melempar
tatapanku kearahnya.
“Temani aku makan
malam,” ucapnya singkat lalu meraih tanganku. Menuntut kelima jariku ini untuk
mengikuti langkahnya.
Baiklah, aku tak suka
ia menarikku seperti ini. Aku tak suka ia berjalan di depanku. Ia begitu
bercahaya dan itu membuat mataku silau. Ugh!
Benar-benar silau. Bahkan sampai aku tak melihat apa-apa.
Tunggu dulu.
Aku sungguh tak dapat
melihat apapun.
Termasuk dirinya.
.
.
“Kau sudah bangun?”
Aku membuka mata.
Samar-samar kudapati Hongbin berjalan kearahku dengan senyum. Lagi-lagi senyum
itu. Senyum yang tak akan pernah membuatku mual meski sudah mengkonsumsinya sebanyak
mungkin.
Ku mencoba bangkit dari
tidurku. Tapi−
“Akh!!”
−seluruh badanku terasa
sakit.
Hongbin berlari
menghampiriku lalu membantuku untuk duduk. “Hongbin-ah, apa yang terjadi? Kenapa semua badanku terasa sakit?”
Hongbin kembali
tersenyum. “Tadi kau jatuh di kamar mandi lalu pingsan,” ucapnya lalu. Aku
hanya terdiam mendengar ucapan Hongbin. Mencoba menggali ingatanku akan
kejadian sebelumnya. Namun, nihil. Aku tak mengingat apapun.
“Tapi, mengapa aku−“
“Lebih baik sekarang
kita makan. Aku sudah membuat sup kesukaanmu.”
Aku bahkan tak ingat
bahwa aku sempat memasuki kamar mandi sebelumnya. Yang aku ingat hanyalah;
Tangan… sakit… dan
gelap.
_~**-**~_
Belum beberapa lama
mentari muncul di langit, namun aku dan Hongbin sudah menyibukkan diri di dalam
kelas sebelum mata kuliah pertama di mulai. Masih seperti hari kemarin, kami
tengah membuat tugas yang merajalela di berikan oleh para dosen beberapa hari
ini.
“Kau terlihat sangat
lelah,” ucap Hongbin yang berhasil mengalihkan pandanganku dari layar laptop
yang sedaritadi kupandangi.
Aku menatap Hongbin
dengan wajah memelas. Mencoba untuk bersikap manja seperti yang sedang ia
lakukan saat ini. Ia mengangkat tangannya lalu mengelus lembut kepalaku.
Menimbulkan kehangatan yang menyebabkan munculnya semburat-semburat merah di
pipiku.
“Apa kau butuh
semangat?” tanyanya. Aku mengangguk pelan.
Cup!
Tanpa permisi ia
mengecup pipi kiriku. Membuatku terdiam hingga beberapa detik kemudian baru
sadar kembali.
“YAAA!!!”
“Soojin-ah!”
Kami berdua menoleh
setelah mendengar namaku di panggil, padahal baru saja aku ingin memukul kepala
Hongbin.
Panggilan itu berasal
dari arah pintu kelas. Dan aku tahu betul siapa pemilik suara itu. Seorang sunbae dari klub akting yang aku ikuti.
Aku berdiri lalu meninggalkan Hongbin untuk menemui sunbae itu.
Kami berbincang
sejenak. Sebenarnya tak bisa di bilang berbincang, karena nyatanya ia hanya
memberitahuku bahwa pementasan beberapa hari lagi akan berlangsung. Dan itu
berarti aku harus segera menyelesaikan tugasku selaku sekretaris.
Aku kembali menghampiri
Hongbin dengan wajah kusut. Sontak membuatnya menatapku dengan khawatir. “Ada
apa?” tanyanya.
“Bukankah Myungsoo sunbae sangat tampan, Hongbin-ah?” Aku tersenyum ceria saat
mengatakannya. Hanya mencoba sedikit melemaskan otot-otot wajahku yang hanya
terfokus pada tugas belakangan ini.
Hongbin menatapku
datar. Tak ada respon yang keluar dari mulutnya.
“Aahh, rasanya aku mau pingsan setiap kali melihat Myungsoo sunbae berakting, bahkan lebih parah
jika ia tak berakting. Hongbin-ah,
kau tahu? Saat tadi ia bicara padaku, hampir saja aku tak bernapas. Waahh, aku
begitu mengidolakannya!!!”
Aku mulai mengoceh
panjang lebar tanpa mengiraukan wajah Hongbin yang mulai kesal.
“Maka dari itu, kau tak
boleh dekat dengannya jika kau masih ingin hidup. Kau selalu begitu setiap ada
laki-laki lain. Sudah ku katakan, kau hanya cocok denganku.”
“Huh, kau terlalu percaya diri!”
_~**-**~_
Aku bangun dengan
tergesa akibat mimpi buruk yang menyerangku semalaman. Mimpi itu terasa begitu
nyata, tapi aku tak dapat mengingat sekepingpun bagian dari mimpi itu. Aneh.
Tapi lebih aneh lagi
ketika aku membuka mata dan mendapati diriku bukan tertidur di atas kasur
dengan sprei berwarna biru bergambar tokoh smurf
yang lucu. Dan ruangan itu jelas-jelas bukan kamarku.
Ketika aku mencoba
untuk bangun, kepalaku terasa berputar. Refleks aku memegangi kepala, namun
sakit tiba-tiba terasa di keningku. Lalu ku raba perlahan. Ternyata sebuah luka
gores yang cukup panjang.
Dengan perlahan ku
singkap selimut yang telah memberiku kehangatan selama tertidur. Namun,
lagi-lagi aku harus terheran ketika mendapati beberapa lebam menghuni sejumlah
bagian di tangan dan kakiku.
Baru ketika aku ingin
bicara, ujung bibirku kembali terasa sakit. Oh, disana juga terdapat luka. Aku
segera menuju cermin yang ada di ruangan itu. Dan betapa aku ingin menangis
setelah mendapati jalanku yang terseok-seok.
Oh, apa sebenarnya yang
terjadi?!
“Kau sudah bangun
rupanya…”
Suara itu sontak
mengagetkanku. Hongbin, Lee Hongbin. Sosok itu menghampiriku dengan senyum
seperti biasanya. Namun tak sepenuhnya seperti biasa, aku tak tertarik dengan
senyum itu. Aku lebih penasaran dengan kejadian apa yang telah menimpaku. Maka
aku menghujaninya dengan pertanyaan.
“Hongbin-ah, mengapa aku bisa disini? Apa yang
telah terjadi padaku? Kenapa sekujur tubuhku penuh dengan luka?!”
Hongbin duduk di tepian
kasur dan menatapku dengan aneh, seakan aku baru saja bertanya, ‘Apakah matahari ada dua?’. Namun aku
tak akan berhenti hanya karena tatapan itu.
“Hongbin-ah, jelaskan padaku!”
Hongbin berdiri dari
duduknya lalu menghampiriku. Ia menggiringku untuk duduk di tepian kasur
seperti yang ia lakukan sebelumnya.
“Jadi begini, kau hanya
terlalu lelah akibat tugas yang menumpuk. Dan luka itu, kau ingatkan saat kau
jatuh di toilet beberapa hari yang lalu? Mungkin semua itu luka yang belum
hilang.”
Itu bukan beberapa hari
yang lalu. Tapi sudah lebih dari seminggu. Dan bahkan lukanya belum hilang?!
“Lalu mengapa aku bisa
ada disini?”
“Tadi malam kau ingin
kita mengerjakan tugas seni bersama, jadi kau datang kemari.”
Tidak, tidak. Kau yang
menyuruhku kemari, Lee Hongbin.
“Lebih baik sekarang−“
“Kau bohong,” tuduhku
begitu saja. Aku tak tahu entah mengapa kata itu keluar dari bibirku. Begitupula
persepsiku yang jauh berbeda dari yang Hongbin bicarakan, sontak membuatku
bingung. Tak hanya aku, tapi juga Hongbin.
“Apa maksudmu?”
“Kau berbohong. Kau
bohong padaku, Hongbin.” Tubuhku bergetar mengucapkan kata-kata itu. Sedikit
gentar, tidak, aku sangat takut untuk mengetahui kenyataan yang berada di luar
kendaliku, bahkan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
“Jangan mengajakku
bercanda seperti itu, Jinie-ya.
Memangnya apa yang telah terjadi padamu?” Aku terdiam mendengar ucapan Hongbin.
“Kalau kau mengatakan aku berbohong, berarti kau telah tahu semuanya. Lalu
untuk apa kau bertanya lagi padaku?”
Lagi-lagi aku terdiam.
Dan hanya bisa diam.
Mengapa aku bertanya
pada Hongbin? Karena memang aku tidak tahu. Lalu mengapa aku mengatakan ia berbohong?
Entahlah, itu hanya insting yang muncul dalam diriku.
Oh, aku tidak mungkin
menjawab seperti itu. Langit bisa saja runtuh dan menenggelamkan harga diriku
di dasar laut.
Lalu apa? Tak
sekepingpun ingatan yang ada di dalam memori otakku. Dan, boom! Tiba-tiba aku mengatakan hal yang bahkan tak ku kehendaki dan
ku tak tahu apa yang ada di baliknya.
Dan pertanyaan yang
sama masih menghuni pikiranku hingga saat ini.
Sebenarnya, apa yang
terjadi padaku?
“Sepertinya kau sangat
lelah, sebaiknya untuk hari ini kau tidak perlu pergi ke kampus, lebih baik
istirahat untuk sementara.”
_~**-**~_
Aku bergerak-gerak
gelisah di atas tempat tidur. Aku ingin tidur, namun mataku tak dapat terpejam.
Baru beberapa menit lalu Hongbin meninggalkanku sendirian di apartement-nya, namun aku sudah ingin
berlari menemuinya.
Tidak. Kali ini bukan
karena senyumnya yang selalu membuatku candu. Bukan. Aku hanya ingin menemuinya
untuk menuntut sebuah penjelasan.
Aku masih belum dapat
menerima semua penjelasan yang Hongbin terangkan padaku. Aku merasa ada sesuatu
yang ganjil. Sesuatu yang berbeda. Dan sesuatu yang tak biasa.
Aku memutar kaki
kesana-kemari, mengelilingi ruang berbentuk persegi itu dengan gelisah. Aku
harus mencari sebuah petunjuk.
Sesekali aku memandangi
beberapa fotoku bersama Hongbin yang di pajang di beberapa sudut ruangan. Cukup
banyak bila dihitung dari masa pacaran kami yang baru terhitung enam bulan.
Namun, aneh saat aku
baru menyadari bahwa tak ada satu foto pun tentang keluarga Hongbin. Bahkan aku
tak pernah di perkenalkan pada keluarganya. Dan ia tak pernah sekalipun
menyebut-nyebut perihal orang tua ataupun saudara. Cukup aneh.
Lalu, apa hubungannya
dengan semua luka yang ada di tubuhku? Kurasa tidak ada. Jadi aku tak perlu
mengiraukannya lagi.
Aku kembali berbaring
di tempat tidur. Kurasa sudah cukup lelah untuk berpikir sekeras itu. Jadi, aku
memilih untuk istirahat.
.
.
“Sudah ku katakan
berulang kali, kau tak pantas untuk orang lain!!”
Soojin membuka matanya,
namun disana hanya gelap yang terlihat. Tak sedikitpun cahaya yang mampu
membuat indera Soojin bekerja. Layaknya orang buta, gadis itu meraba-raba
dengan kedua kaki serta tangannya. Namun sayang, kulitnya tak dapat merasakan
sedikitpun sentuhan. Pertanda bahwa disana memang tak terdapat benda apapun.
“Kuperingatkan sekali
lagi, bahwa kau hanyalah untukku. Hanya milikku!”
Suara itu lagi. Kali
ini indera pendengaran Soojin yang bekerja ekstra berat. Memainkan perasaannya
untuk menerka sumber dari suara itu.
“Dan aku tidak bisa
menolerir jika kau membangkang lagi. Kau sendiri yang akan menerima akibatnya.”
Soojin menghentikan
seluruh gerakannya yang sedaritadi begitu keras membantunya untuk mencari tahu.
Seluruh organ di tubuhnya telah ia fungsikan dengan maksimal, tak banyak yang
bisa ia lakukan di tempat yang entah ada dimana, terlebih tempat itu gelap, dan
Soojin benci itu.
Suara itu, sungguh
Soojin ingin mendengarnya sekali lagi. Hanya untuk memastikan bahwa apa yang ia
dapat dari hasil pemikiran kerasnya adalah salah. Suara itu… tidak mungkin itu−
“Hongbin?”
Suara gadis itu
menggema begitu keras. “Hongbin!” ucapnya sekali lagi. Namun, hanya hening yang
membalas. Kali ini ia melangkah kesana kemari dengan cepat, tak peduli apakah
nanti ada benda tajam yang diinjak oleh telapak kakinya. Ia tak peduli.
Bahkan gadis itu kini
mulai berjalan dengan limbung. Berlarian entah kemana, yang ia tahu saat ini
adalah ia perlu oksigen. Dadanya sesak. Sekeras apapun ia menarik napas hanya
mendatangkan lelah dan semakin sesak. Sangat sesak seperti lehermu sedang di
cekik ataupun paru-paru terasa di remas dengan kejam.
Ia tak bisa bernapas.
Seluruh organnya pun tak bekerja lagi.
“Soojin!”
Itu suara Hongbin.
Laki-laki itu mencarinya, mengkhawatirkannya.
Soojin mencoba untuk
berteriak, dan lagi-lagi itu hanya percuma.
“Soojin-ah!!”
.
.
Bilah-bilah cahaya
memaksa masuk ke dalam kelopak mata Soojin. Matanya perlahan bersirobok dengan
objek yang ada di hadapannya. Hongbin. Lee Hongbin, laki-laki itu ada disana.
“Hongbin…,” panggil
Soojin lirih. Seperti di dalam mimpi, seluruh tubuhnya tak dapat bergerak. Di
lihatnya Hongbin yang kini tersenyum kearah gadis itu, sebuah senyum yang membawa
Soojin pada satu kesimpulan. “Kau bukan Hongbin!!” teriaknya.
“Apa maksudmu? Aku Lee
Hongbin, Hongbin-mu.” Laki-laki itu mendekat kearah Soo Jin tanpa mengiraukan
si gadis yang terus berusaha menjauh, meski tak menghasilkan apapun.
Soojin menatap ke dalam
mata Hongbin. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Mata itu tak lagi menyebarkan
keteduhan sebagaimana biasanya, melainkan sebuah ancaman, keharusan, dan entah
mata Soojin yang salah, jauh di tempat terdalam di mata itu, Soojin dapat
melihat sebuah raut kesepian.
Jelas itu bukan
Hongbin.
“Hongbin tidak pernah
menyakitiku,” ujar Soojin lirih. Air matanya mulai turun satu per satu, semakin
deras kala matanya kembali bersirobok dengan manik kecokelatan Hongbin.
“Aku memang tak pernah
menyakitimu, sayang.” Hongbin mengelus lembut rambut Soojin, membuat gadis itu
terhanyut sejenak, namun seketika harapannya itu tenggelam kala tangan Hongbin
menarik keras rambutnya, menjambaknya hingga Soojin berteriak kesakitan.
Soojin menangis semakin
kencang, dirinya meringis, tubuhnya bergetar hebat. Seharusnya ia tahu semua
ini dari awal, sebelum semuanya berjalan sejauh ini. Seharusnya.
Tapi sekarang semua
sudah terlambat, terlambat untuk menyadari, terlambat untuk berandai bahwa
semua tak akan pernah terjadi.
Masih dalam
kesakitannya, Soojin menangis. Bukan karena sakit akan semua siksaan yang ia
terima, ia menangisi Hongbin, menangisi kekasihnya.
_~**-**~_
Langit masih nampak kelabu dari jendela kamar
itu. Seorang gadis terbaring lemah di atas kasur dengan seluruh pakaian dan
rambutnya acak-acakan.
Soojin berharap semua
ini hanyalah mimpi, meski ia tahu semuanya sudah tampak begitu jelas di depan
matanya. Perutnya mengeluarkan bunyi-bunyi tak tentu, mengingat terakhir kali
ia memasukkan benda-benda lembut ke dalam mulutnya sekitar dua hari yang lalu,
atau mungkin lebih. Ia tak pernah menghitung waktu lagi.
“Ada apa dengan
makanannya? Kau tidak suka?” Suara lembut itu mengalun di telinga Soojin. Suara
itu masih milik Hongbin tapi mata itu tidak, terutama hatinya.
Soojin masih tak
menjawab pertanyaan tak penting itu. Sebisa mungkin ia ingin menjauh dari sosok
laki-laki itu, namun apadaya kala semua tubuhnya terikat tak berdaya.
Perlahan bulir air mata
menuruni pipinya, membuat aliran sungai kecil disana. Ia masih tak percaya dengan
semua ini, ingin rasanya ia memutar waktu dan memilih tak pernah bertemu dengan
Hongbin.
Hongbin, laki-laki itu
memang seperti sebuah mimpi indah yang menghampirinya setiap malam. Tapi,
Soojin seharusnya tahu, bahwa kenyataan tak pernah seindah mimpi.
Soojin hanya menangis
terisak. “Mengapa… mengapa kau lakukan ini padaku, Hongbin?”
“Aku hanya ingin terus
bersamamu, Soojin…”
Gadis itu terhenyak. Hongbin,
itu suara Hongbin-nya, laki-laki yang selama ini menjadi pusat dari segala
pikiran dan perasaannya. Hanya mendengar suara itu, Soojin dapat merasakan
kesedihan yang di rasakan kekasihnya itu.
“Maafkan aku, Hongbin.
Namun, tanpa semua ini pun seharusnya kau tahu bahwa aku akan selalu ada di
sampingmu, apapun yang terjadi.”
“Aku sudah sering
memperingatimu, tapi apa? Kau melirik laki-laki lain!” Hongbin berteriak
histeris, kedua tangannya meremas kepala dan menggenggam helaian-helaian
rambutnya dengan kuat.
“Ti…tidak, tidak
Hongbin. Aku tidak pernah melakukan itu….”
“Bagaimana aku bisa
percaya bahwa kau tidak akan meninggalkanku?!!” Hongbin menampar pipi Soojin
dengan keras, membuat gadis itu menerima perih yang tertahankan. Tentu semua
itu terasa sangat sakit, tak hanya untuk jasmaninya, namun lebih pada
rohaninya. Namun Soojin tahu, sakit yang ia rasakan tak sebanding dengan
sakitnya Hongbin saat ini.
Soojin mulai
menggerakkan kepalanya dengan perlahan, mengarahkan maniknya tepat pada wajah
Hongbin yang masih terduduk di tepian ranjang sambil meremas kepalanya.
“K-karena aku… aku
mencintaimu, Lee Hongbin…”
Air mata Hongbin
seketika jatuh. Namun setelahnya ia menggeleng-gelengkan kepala, agaknya masih
tak dapat menerima semua kenyataan ini dengan akal sehatnya.
“Hongbin, lihat aku,
Hongbin…” Sesuai perintah, laki-laki itu menoleh kearah Soojin. Menangkap sosok
gadis itu yang tak berdaya dengan luka di sekujur tubuhnya, rambut dan
pakaiannya yang berantakan, bahkan Hongbin rasa gadis itu sudah semakin kurus.
Namun meski begitu, Soojin tetap mengulum senyuman manis untuk kekasihnya.
“Karena aku mencintaimu,
Hongbin. Hanya dengan itu, bisakah kau percaya padaku?”
Kristal itu kembali
berjatuhan dari mata Hongbin silih berganti. Perlahan namun pasti, laki-laki
itu akhirnya menangis. Entah apa yang ia tangisi, terasa begitu sukar untuk
mengetahui.
Hongbin lalu memeluk
raga Soojin yang terbaring lemah. Menumpahkan segala bebannya dalam dekap gadis
itu.
“Maaf…,” ucapnya lemah.
Soojin pun mengukir
sebuah senyuman.
“Aku tak
akan pernah meninggalkanmu,, Hongbin. Meski aku ada di tempat yang jauh entah dimana,
aku akan tetap bersamamu, karena kau telah memiliki hatiku sepenuhnya.”
“Aku
mencintaimu, Hongbin…”
.
.
.
FIN
Komentar
Posting Komentar