Title:
---Waiting
for you---
Scriptwriter:
NanaJji (@nana_jji)
Cast(s):
Oh Sehun [EXO] || Kim Soo Jin [OC]
Genres:
Romance, School life, Teen, Sad, Hurt
Duration:
Oneshot (3000+ words)
Rating:
PG-15
Summary:
“Hanya
sebentar saja, tunggulah aku. Aku akan menepatinya.”
Hujan sudah berhenti sekitar satu jam yang lalu,
bahkan kini mentari kembali memancarkan sisa-sisa cahaya sebelum sore hari
menenggelamkannya. Namun gadis itu tak sedikitpun beranjak dari duduknya. Buku
di atas meja yang menjadi fokusnya beberapa jam yang lalu kini mulai
teralihkan. Sesekali ia menguap dan menatap jam dinding di ruangan itu.
Sekarang sudah pukul 5 sore, namun ia harus tetap berada disini.
‘Mungkin tidur
sebentar ‘tak akan apa,’ pikir gadis itu. Ia
pun mulai memejamkan matanya. Dengan cepat matanya tertutup dan mulai beranjak menuju
ke alam mimpi.
_~**-**~_
Namja
dengan peluh yang masih bercucuran di sekitar leher dan wajahnya nampak berlari
menaiki tangga. Terdengar begitu menggema di tengah koridor yang kosong. Tak
dipedulikannya setapak demi setapak lantai yang ia pijak menahan sakit, ia
tetap berlari.
Bukannya ia tidak mempunyai tujuan. Ia mempunyainya.
Jelas. Ruangan di ujung koridor sebelah kiri, tepat di depan kakinya berpijak
sekarang. Ia melangkah ̶ tak berlari lagi ̶ menghampiri seonggok tubuh yang
terduduk di sebuah bangku. Ia pun duduk disebelahnya.
Tubuh itu terlelap di atas meja. Sehun ̶ namja itu ̶ menghembuskan napas panjang.
Ia menyandarkan kepalanya di atas meja di sebelah sang gadis berada. Matanya
tak beralih sedikitpun dari gadis itu. Matanya mulai berkaca, raut wajahnya menunjukkan
kekhawatiran dan kesedihan.
Gadis itu mengerang pelan, membangunkan Sehun dari
lamunannya. Namja itu menengadahkan kepala menatap langit-langit kelas yang
terang disinari lampu. Menahan segala kepedihan yang ia rasakan tumpah melalui
bulir-bulir kristal di pelupuk matanya.
“Hunie-ya,
sejak kapan kau disini? Apa latihannya sudah selesai?” Pertanyaan itu
memaksanya menoleh kearah sumber suara. Beruntung ia dapat menahan kristal itu.
“Hm, ne.
Latihannya sudah selesai, aku baru saja sampai disini.” Sebuah senyuman
terkembang di wajah Sehun, terlihat begitu pilu dan menyedihkan. “Lebih baik
kita segera pulang, sudah malam. Eomma
dan appa-mu pasti khawatir.”
“Tenang saja. Mereka tahu bahwa aku bersamamu,
mereka percaya kau pasti akan menjagaku.” Gadis itu ̶ Soo Jin ̶ berdiri dan
membereskan semua bukunya. Senyuman selalu mengiringi kegiatannya.
“Uh, kau terlalu percaya diri. Siapa juga yang mau
menjagamu. Anak nakal!” Sehun mendahului langkah gadis itu. Membuat Soo Jin
harus berlari kecil mengejarnya.
“Benarkah? Yang ku tahu tidak begitu.” Soo Jin
melingkarkan tangannya di lengan Sehun, menyandarkan kepalanya di bahu namja itu.
“Huh! Kau memang anak sok tahu!” Sehun mengacak-acak
atas kepala Soo Jin, membuat anak-anak rambut gadis itu keluar berantakan.
Soo Jin tak protes sedikitpun. Ia suka Sehun
melakukannya. “Biar saja,” katanya.
_~**-**~_
Keesokkan harinya, Sehun kembali mendapati Soo Jin
tertidur di kelas saat menunggu dirinya. Dan seperti biasa, Sehun akan
memperhatikan wajah gadis itu hingga si empunya terbangun.
Ini sudah minggu kesekian Soo Jin selalu
menungguinya seperti ini. Kulit putih miliknya kini nampak lebih pucat.
“Besok setelah jam pelajaran selesai, pulanglah. Jangan
menungguku,” ucap Sehun di sela-sela perjalanan mereka pulang.
Soo Jin menghentikan langkahnya, seketika Sehun pun
berhenti. “Shireo!” bantah Soo Jin.
Ia memang sedikit keras kepala.
Sehun menarik tangan Soo Jin dan melingkarkannya di
salah satu sisi tangannya ̶ kebiasaan Soo Jin jika berjalan berdua dengannya.
Ia kemudian melangkah, mau tak mau Soo Jin pun ikut berjalan.
“Berhentilah atau kau akan sakit,” ucap Sehun
mencoba kembali menasehati Soo Jin. Namun yang dinasehati hanya mempoutkan
bibirnya sebal.
“Lihat saja besok, aku tidak janji,” jawab Soo Jin
asal.
“Napeun yeoja!”
_~**-**~_
Bel istirahat baru saja berbunyi. Sehun benar-benar
ingin berseru gembira mendengarnya. Huh, belakangan ini ia kurang fokus dalam
pelajarannya di sekolah. Seringkali ia tertidur di saat guru sedang
menerangkan, alhasil ia harus mendapat ceramah panjang lebar dan tugas yang
menumpuk.
Sehun melakukan sedikit peregangan pada
lengan-lengan dan tulang lehernya. Latihan dance
untuk perlombaan bulan depan benar-benar menguras habis tenaganya. Padahal
beberapa minggu lagi ujian akan diadakan.
Terdengar suara gemuruh berasal dari perut Sehun,
bahkan ia tak sempat sarapan pagi ini karena terlambat bangun. Namun senyum
kemudian mengembang di wajahnya, ia beruntung memiliki yeoja seperti Soo Jin. Pagi tadi, Soo Jin memberinya bekal makan
siang.
Sehun membuka bekalnya, hanya dua potong sandwich sederhana buatan Soo Jin, namun
Sehun sangat menyukainya. Baru selangkah tangannya memegang potongan sandwich pertama, Sehun terdiam.
‘Kemana perginya
yeoja itu? Biasanya, setelah jam istirahat ia akan langsung pergi kemari dan
mengajakku makan bersama. Lalu sekarang kemana perginya Jinie?’ pikir
Sehun, merasa ada sedikit kejanggalan dalam hari-harinya.
Sehun menutup kembali kotak bekalnya. Langkahnya
membawa ia pada sebuah ruang kelas. “Hm, apa kau melihat Soo Jin?” tanya Sehun
pada seorang murid di kelas itu.
“Oh, apa kau tidak tahu?” tanya murid laki-laki itu
sambil menatap Sehun dengan heran. Namun Sehun balik menatapnya bingung. “Tadi
pagi Soo Jin pingsan saat pelajaran olahraga.”
“Dimana dia sekarang?!” Pertanyaan itu meluncur
begitu saja dari mulut Sehun. Ia benar-benar panik dan khawatir.
“Di ruang kesehatan dengan ̶ hei!”
Sehun langsung berlari tanpa memperdulikan lawan bicaranya
yang kesal karena ucapannya ia potong. Yang ada di pikirannya saat ini hanya
satu. Soo Jin.
‘Oh Tuhan, aku
mohon jangan, jangan..’ Kata-kata itu terus
terucap dalam hati Sehun, sedangkan kakinya terus membawa ia berlari tanpa
peduli orang-orang di sepanjang perjalanan menatapnya heran ataupun sekedar
berteriak karena menjadi korban tabrakan Sehun.
Pintu ruang kesehatan terbuka dengan diiringi sebuah
suara. Brakk. Sehun membanting pintu itu. Baiklah, kali ini ia mulai tenang
setelah melihat Soo Jin terduduk diatas salah satu kasur di ruang kesehatan. Ia
tersenyum kearah Sehun, meskipun wajahnya terlihat sangat pucat.
Sehun langsung menghampiri Soo Jin dan memeluknya. “Nan gwenchanayo,” ucap Soo Jin sambil
melepas pelukan Sehun.
“Bukannya sudah kuberitahu, dasar anak nakal!” ambek
Sehun pada Soo Jin dan mendudukkan dirinya di sebelah gadis itu. “Nanti pulang
sekolah biar aku yang mengantarmu pulang,” ucap Sehun lagi. Matanya menerawang
ke depan, ia tak ingin menatap Soo Jin. Ia tak sanggup.
“Hm, ne.”
Tak seperti biasanya, Soo Jin langsung saja menurut. Ia tahu bahwa Sehun
benar-benar khawatir. Dan tentunya, ia masih tak punya tenaga untuk berdebat
dengan Sehun.
_~**-**~_
Motor sport
hitam itu melenggang di tengah keramaian kota Seoul. Si pengendara motor
menatap jalanan itu dengan kosong. Pikirannya jauh melayang entah kemana.
“Hunie-ya...”
Suara itu membangunkan Sehun ̶ si pengendara motor ̶ menatap Soo Jin di
belakangnya melalui spion motor. Gadis itu memeluk erat pinggang Sehun. “Bisa
tidak pelan-pelan saja?” tanyanya kemudian sambil menyandarkan kepala di
punggung Sehun.
Sehun mengurangi kecepatan motor sport miliknya. Merasakan pelukkan Soo
Jin semakin erat di pinggangnya. “Hunie-ya…”
Suara Soo Jin kembali terdengar, sangat lemah dan lirih.
“Ayolah Jinie-ya,
dirimu sedang sakit. Kau kira berbicara itu tak membutuhkan tenaga, kau harus
banyak istirahat.”
“Tapi…”
“Dasar bandel! Kau tahu hari ini kau sakit karena selalu
membangkang. Sudah kukatakan, jangan tunggu aku.”
“Maka dari itu, aku mohon, jangan buat aku menunggu
lagi…” Soo Jin kembali menenggelamkan kepalanya di punggung Sehun. “Karena aku
tidak akan memaafkanmu.”
Raut wajah Sehun kembali memudar. Ia tahu, ia sudah
sangat bersalah pada Soo Jin. Seharusnya ia selalu bisa menemani Soo Jin.
Namun, ia malah membuat Soo Jin selalu menunggunya.
“Kau harus istirahat, ujian sebentar lagi. Aku tak
mau melihatmu sakit.”
“Neodo…”
_~**-**~_
Peluh bercucuran di sekililing wajah Sehun, namun
dihiraukannya. Kakinya terus memacu, berlari semakin cepat. Lagi-lagi raut
kekhawatiran menyelimuti wajahnya. Perasannya tak karuan. Detak jantungnya
semakin cepat seiring kecepatan berlarinya yang terus ia tambah.
Sehun benar-benar tak tahu apa yang harus ia
lakukan. Ia bingung, bahkan teriakan Jung Seongsaengnim
yang akan mengajar di kelasnya pun tak ia hiraukan, ia tetap berlari.
Sampai di tempat parkir ia tetap tak mengistirahatkan
tubuhnya barang sedetikpun. Ia langsung mengendarai motor sport miliknya dan membawanya melenggang dengan kecepatan tinggi di
jalanan kota Seoul.
Sampai di tujuannya, Sehun kembali berlari menapaki
gedung bernuansa putih dan menyeruak bau obat-obatan itu. Langkahnya memecah
keheningan yang biasanya tercipta di diseluruh ruangan itu.
Kakinya membawa ia pada satu ruangan, Sehun
mendorong pintu dihadapannya dengan keras. Déjà
vu. Kejadian itu mengingatkan Sehun dengan beberapa hari yang lalu saat di
ruang kesehatan, yeoja yang berada di
balik ruangan itu pun masih sama. Kim Soo Jin.
Tapi tak seperti tempo hari di ruang kesehatan,
gadis itu tak memperlihatkan senyumannya pada Sehun, bahkan gadis itu tak
membuka matanya.
Kaki Sehun melangkah dengan berat dan tertahan.
Dilihatnya eomma Soo Jin, menangis di
atas sofa sambil memegang sebelah
dadanya. Disamping sofa, appa Soo Jin menyandarkan tubuh di
tembok. Dua pasang mata itu kini menatap Sehun sedih dan tatapan mata Sehun pun
tak kalah sedihnya dengan mereka. Bahkan hatinya kini terasa perih.
Sebulir kristal menuruni wajahnya, diiringi dengan
kristal yang lain. Ia menangis, untuk pertama kali dalam hidupnya. Bahkan
ketika dulu ia mengalami kecelakaan mobil yang mengharuskannya harus dirawat
berbulan-bulan, tak sekalipun ia menangis. Tapi hari ini semuanya tumpah begitu
saja, tanpa paksaan dan penolakan. Ia sungguh tak tahu bagaimana lagi
menggambarkan perasannya.
_~**-**~_
“Hunie-ya…”
Suara itu membangunkan Sehun. Dirinya terbaring di
kursi samping ranjang rumah sakit itu, sedangkan kepalanya ia sandarkan pada
pinggir ranjang tersebut. Sehun mengangkat kepalanya, matanya yang masih tak
fokus menemukan senyuman yang sangat ia rindukan.
“Jinie-ya…”
Suara Sehun terdengar seperti bisikan. Selemah
itukah dirinya sekarang? Bahkan untuk mengucapkan kata itu ia sungguh tak
sanggup. Soo Jin yang terbaring di atas ranjang rumah sakit kembali
mengeluarkan senyuman indahnya, meski tak secerah biasanya.
“Katakan sekali lagi, Hunie-ya. Ucapkan namaku…”
Sehun menatap Soo Jin dalam. Soo Jin kembali
tersenyum memohon. Senyuman yang selalu tak dapat Sehun elak sampai saat ini.
Sehun pun menuruti permintaan gadis itu. “Jinie-ya…”
“Waeyo?
Kenapa kau memanggil namaku selemah itu? Apa kau tak ingin mengucapkannya? Aku
bahkan tak dapat mendengarnya, Hunie-ya…”
Mata Sehun masih menatap Soo Jin, sedikit pun tak
beralih dari wajah itu. Sampai kapan ia dapat melihat wajah itu selalu
menemaninya? Sampai kapan wajah itu akan memberikan senyum di setiap waktunya?
Sampai kapan mata itu memberikan tatapan teduh padanya?
“Hunie-ya,
ucapkan sekali lagi…”
Permintaan Soo Jin kembali menyadarkan Sehun. Ia
bahkan tak menyadari ketika pandangannya sudah kabur karena air yang telah
memaksa keluar dari pelupuk matanya. Sehun menengadahkan kepala, mencoba
menahan air itu dan menguatkan hatinya. Hingga akhirnya ia kembali memutuskan
menatap mata bulat Soo Jin.
“Jinie-ya,”
ucap Sehun tegas. “Soo Jin-ah…,”
ulang Sehun.
“Sekali lagi, Hunie-ya. Ucapkan dengan lengkap.”
“Kim Soo Jin…”
_~**-**~_
Dua minggu sudah Soo Jin dirawat di gedung berwarna
putih itu, ditemani bau menyengat obat-obatan yang menyeruak ke seluruh pelosok
ruangan. Dan satu lagi, Sehun selalu menemaninya.
Sesungguhnya lelaki itu tak menyukai bebauan di
tempat itu, dirinya akan merasa mual dan pening di kepala. Namun ia melawan
semua itu demi yeoja yang
terus-terusan berbaring diatas ranjang itu setiap harinya.
Bahkan ketika hari ujian datang, ia lebih memilih
menjawab ratusan soal itu di tempat yang mengharuskannya membaca dua sampai
tiga kali soal sebelum menjawabnya. Ia sulit untuk berkonsentrasi. Sesekali ia
akan menengok kearah Soo Jin yang dengan tenang menjawab soal-soal itu dan
membubuhkan jawabannya di atas lembar jawaban. Begitu setiap harinya hingga
proses ujian berakhir.
“Hunie-ya,
bagaimana dengan lombanya?” tanya Soo Jin di suatu sore yang cerah. Menikmati
langit jingga dengan burung-burung yang beterbangan melalui kaca jendela kamar
rumah sakit tempat ia dirawat.
Sehun yang duduk di tepian ranjang menatap Soo Jin
sejenak lalu kembali menatap langit sore musim semi. “Aku mengundurkan diri,”
ucapnya gamblang.
“Waeyo?
Bukankah itu mimpimu?”
“Ya, itu memang mimpiku. Tapi ada yang lebih penting
dari mimpi itu saat ini.”
“Tapi, Hunie-ya ̶ “
“Sudahlah, itu sudah berlalu. Bukankah aku masih
bisa mengejarnya tahun depan, tahun depannya lagi, begitu seterusnya. Aku tidak
akan menyerah.”
Soo Jin menatap Sehun dengan bimbang. Ia tak tahu
apa yang sedang Sehun pikirkan, ia ingin mengetahuinya.
“Maka dari itu, kau harus tetap disini,” ucap Sehun
sambil menepuk tempat di sebelahnya, “menungguku,” lanjutnya.
_~**-**~_
Soo Jin merasakan sesuatu menjanggal di
tenggorokkannya. Ia berlari menuju toilet dan memuntahkannya di wastafel. Rasa asin yang sarat akan besi
berhasil di kecap indranya. Cairan berwarna merah pekat itu keluar dari mulutnya.
Darah.
Soo Jin langsung membasuh mulutnya dan
membersihkannya dengan tissue setelah
sebelumnya membiarkan air itu menghanyutkan cairan merah mengerikan itu. Soo
Jin menatap cermin di hadapannya. Dengan perlahan ia memperhatikan setiap inci
wajahnya.
Berbeda.
Jauh berbeda. Ia yang dulu dan yang muncul di cermin
saat ini. Bahkan ia merasa tak mengenali sosok yang dipantulkan cermin itu, ia
merasa asing. Benarkah itu dirinya?
“Jinie-ya!”
Mendengar suara itu Soo Jin dengan cepat membiasakan
diri dengan senyum. Ia melangkah keluar toilet lalu menghampiri Sehun yang
sudah duduk di samping ranjang seperti biasanya.
“Kenapa lama sekali?” tanya Soo Jin pura-pura
terlihat kecewa. Ia tak ingin memperlihatkan sedikitpun rasa sakitnya pada
Sehun.
“Mian
telah membuatmu menunggu lama.”
“Bukankah kau selalu membuatku menunggu?”
“Mianhae…,”
ucap Sehun sekali lagi penuh dengan penyesalan.
“Hahaha! Kau terlihat sangatt lucu!” Soo Jin tertawa
puas melihat mimik bersalah Sehun yang membuat Sehun sontak menatapnya kaget.
“Aku hanya bercanda, Hunie-ya.”
“Kau ini! Senang ya mengerjaiku?” ucap Sehun
pura-pura marah. Soo Jin masih saja tertawa tanpa menghiraukan kemarahan Sehun.
Ia tahu benar, Sehun tidak akan marah.
“Hehehe. Ngomong-ngomong, apa yang kau bawa?” Soo
Jin meneliti kantung plastik yang ada di atas meja. Sehun pun melangkahkan kaki
untuk mengambil barang yang hampir saja ia lupakan dan menyerahkannya pada Soo
Jin.
Soo Jin membuka bungkusan itu dan betapa senangnya
ia begitu melihat isi di dalamnya. “Samgyubsal?! Aahh, kau membelikannya
untukku?”
“Tentu saja, kau menyukainya kan?” Soo Jin
mengangguk dengan semangat. Tangannya bergerak menutup kembali bungkusan itu. “Waeyo? Kau tidak memakannya?” tanya
Sehun heran. Setidaknya yang ia tahu Soo Jin sangat menyukai makanan itu, tapi
mengapa ia tak langsung memakannya?
“Aku ingin memakannya di bawah langit yang luas,
bisa ‘kan?”
_~**-**~_
Sehun menggandeng tangan Soo Jin memasuki lift. Soo Jin pun dengan setia mengekori
langkah Sehun. Cahaya matahari mulai meredup, menyisakan langit jingga sebelum
ia berangkat ke peraduannya.
Bunyi pintu lift
berdenting mengiringi sepasang namja
dan yeoja itu keluar dari dalamnya. “Hunie-ya, kenapa kita berhenti disini?” tanya
Soo Jin begitu turun dari lift dan
masih menemukan koridor dengan beberapa ruang rawat.
“Kurasa lift-nya
hanya sampai lantai 5,” jawab Sehun sambil mengamati sekeliling, berusaha untuk
mencari jalan agar mereka dapat sampai di atap gedung. “Sepertinya kita harus
menaiki tangga itu.” Sehun menunjuk kearah sebuah tangga yang terletak di
samping kiri yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Kajja!”
Soo Jin menarik tangan Sehun untuk mengikutinya kearah tangga. Sehun tersenyum
melihat tingkah Soo Jin. Ia tahu, Soo Jin tak akan menyerah sebelum
keinginannya tercapai.
“Hu..hu, Hu..nie-ya,
ma..masih ada b..berapa tangga lagi?” Soo Jin menarik napasnya satu-satu.
Mereka baru saja melewati satu lantai, namun tenaganya sudah begitu terkuras.
Sehun menghentikan langkahnya lalu menatap Soo Jin.
“Kau lelah?” tanyanya. Namun Soo Jin menggeleng lemah. Ia mulai melangkahkan
kakinya lagi, namun Sehun mencegahnya. “Naiklah,” ucap Sehun sambil berjongkok
di hadapan Soo Jin.
“Tapi ̶ “
Sehun menatap Soo Jin berusaha memberikan keyakinan
pada yeoja itu. Dengan ragu Soo Jin
naik keatas punggung Sehun, kedua tangannya yang membawa bungkus samgyubsal
melingkari leher Sehun. Mereka pun kembali melangkah menuju atap gedung dengan
Soo Jin yang berada di atas gendongan Sehun.
“Woaaa!!! Yeppeunde!!”
Soo Jin terpesona melihat langit oranye sore itu. Mereka sudah sampai di atap
gedung. Sehun membantu Soo Jin untuk duduk diatas kursi panjang yang ada
disana.
Lama hening menyelimuti suasana diantara mereka
berdua. Masing-masing sibuk menatap langit jernih berwarna jingga itu sambil
menunggu sang mentari kembali ke peraduannya.
“Hunie-ya…”
Suara Soo Jin memecah keheningan itu, membuat Sehun menatap kearahnya. Soo Jin
menatap lekat sepasang mata Sehun. Sungguh, ia akan sangat merindukan mata itu.
“Wae?”
Sehun yang merasa aneh ditatap seperti itu akhirnya melayangkan sebuah
pertanyaan.
“Hunie-ya…bisakah
kau menungguku sampai hari kelulusan kita?”
“Maksudmu? Aku tak mengerti…”
Soo Jin mengalihkan pandangannya kearah langit luas,
sebelum akhirnya ia menjawab. “Aku ingin kau kembali ke rumah, jangan selalu
menungguiku di rumah sakit ini. Aku tahu kau tak menyukainya.”
“Andwae.
Aku tidak ̶ “
“Hanya sampai hari kelulusan kita. Aku akan datang
menemanimu. Jadi tunggulah aku, jebal…”
Air mata menuruni pipi porselen Soo Jin. Ia tak dapat menahan kesedihannya
lagi.
“Jinie-ya…”
Sehun menarik bahu Soo Jin untuk menatapnya. Dan ia dapat melihat yeoja-nya itu sedang menangis. Ia tahu
persis bagaimana rasa sakit yang Soo Jin rasakan.
Perlahan Sehun mengangkat dagu Soo Jin.
Meminimalisir jarak diantara mereka berdua, hingga Sehun merasakan dingin di
permukaan bibirnya. Sesakit itukah yeoja-nya?
Bibir yang selalu tersenyum manis kearahnya, bibir yang selalu mengucapkan
kata-kata indah di telinganya, bibir yang akan terkatup rapat jika ia sedang
marah, dan sekarang bibir itu terasa sangat dingin.
Air mata Sehun tak dapat dibendung lagi. Air mata
itu jatuh menemani tangisan Soo Jin. Air mata yang menghiasi ciuman pertama itu,
benar-benar sangat menyakitkan, namun mereka berdua tidak akan pernah
melupakannya.
_~**-**~_
Tiga hari sudah sejak Soo Jin meminta Sehun untuk
tak menemuinya. Mereka hanya berkomunikasi melalui telepon, namun sejak kemarin
Soo Jin tak pernah mengangkat teleponnya.
Sehun berdiri di depan gerbang sekolah lengkap
dengan seragam sekolah yang rapi melekat di tubuhnya. Hari ini tepat di hari
kelulusannya membuat jantung Sehun berdegup lebih cepat. Bukan karena ia takut
akan hasil belajarnya selama tiga tahun ini, melainkan ia tak sabar untuk
bertemu dengan Soo Jin.
Ia memasuki gedung dimana akan diadakan acara
kelulusan secara resmi. Tak seperti biasanya, diantara ratusan siswa yang
berlalu lalang Sehun tak bisa menemukan Soo Jin. Matanya memandang dengan liar
kesana kemari untuk mencari sosok jenjang itu, tapi nihil! Ia tetap tak
menemukannya.
Pengumuman yang menyuruh seluruh siswa untuk
menduduki tempat yang sudah disedikan pun akhirnya berbunyi. Namun Sehun tetap tak
menemukan Soo Jin. Sehun melangkahkan kaki menuju deretan bangku dan matanya
tetap meneliti setiap bangku untuk keberadaan Soo Jin.
Sebuah tangan tiba-tiba menepuk bahunya. Seorang yang
ia kenal berasal dari kelas sebelah menunjuk pada satu bangku di deretan paling
depan. Sehun pun hanya mengangguk dan tersenyum pada pria itu.
Sehun tahu apa maksud pria itu. Sehun melangkah
menuju bangku itu yang sengaja telah disediakan untuknya. Ia tahu, bangku Soo
Jin tepat berada di sebelahnya.
Hanya tiga bangku yang belum di huni oleh para
siswa, Sehun duduk di tengah-tengahnya. Hatinya tak sabar menunggu kedatangan
Soo Jin. Namun perasaan kecewa langsung menghuni dirinya begitu melihat siswa
lain lah yang menduduki bangku di sebelah kirinya.
Sehun menengokkan kepala ke samping kanan. Disana ia
menemukan Jung Seongsaengnim sedang
menaruh sebuah buket bunga krisan dan lili putih. Sebelum Jung Songsaengnim pergi, ia menepuk pelan
bahu Sehun dan tersenyum menahan tangis.
Apa maksudnya semua ini?!
Sehun segera mengambil buket bunga itu dan menemukan
surat di dalamnya. Hatinya tak ingin membaca surat itu, ia takut. Takut apa
yang ia pikirkan akan terjadi, namun ia harus membukanya.
Congratulations
for your graduation, Kim Soo Jin. Hope you life happily in heaven. God bless
you.
Surat itu begitu menohok hati Sehun. Harapannya
benar-benar gugur, hatinya hancur. Sangat. Sehun menatap sekeliling, matanya
kabur karena air mata. Ia berharap ia akan menemukan Soo Jin disana, berdiri
menatapnya dengan senyum yang selama ini ia rindukan. Namun lagi-lagi
harapannya harus pupus, karena nyatanya tak ada sosok Soo Jin disana.
Tak mempedulikan apapun, Sehun berlari keluar
gedung. Ia harus menemukan Soo Jin, dimanapun!
_~**-**~_
Belasan karangan bunga memenuhi tempat itu. Puluhan
orang berlalu-lalang dengan pakaian hitam-hitam, membuat kepala Sehun berputar
seketika. Kakinya berlari menuju ruangan di ujung sana. Tak peduli dengan
beberapa pasang mata yang menatapnya aneh. Ia tetap berlari ke tempat itu,
tempat dimana Soo Jin sedang tersenyum kearahnya.
Sehun berhenti tepat dihadapan gadis itu. Matanya
bersinar, senyum cerah yang sudah sejak lama tak pernah Sehun lihat menghuni
wajah itu.
“Sehun-ah…”
Terdengar suara eomma Soo Jin memanggil nama Sehun sambil terisak. Namun Sehun
tak menghiraukannya. Kakinya melangkah maju, tangannya terangkat meraih lembut
wajah Soo Jin.
Kembali hanya dingin yang terasa di permukaan
kulitnya. Dingin yang merambat melalui lempengan kaca yang melapisi wajah Soo
Jin. Wajah itu nyatanya hanyalah sebuah figura sang gadis. Kenyataan itu begitu
menusuk hati Sehun. Tak ada yang lebih sakit dari ini, bahkan ketika ratusan
peluru menembus organ-organ tubuhnya, tak sebanding dengan semua ini.
Sehun memeluk sosok gadisnya yang tak nyata itu, ia
hanya akan abadi dalam figura tersebut. Tak ada senyuman murni yang akan ia
lihat, hanya sebuah senyum yang diabadikan melalui foto dua dimensi itu.
Pipi Sehun telah basah oleh air mata. Ia menangis
sejadi-jadinya mengiringi kepergian sang gadis yang ingin sekali tak ia percaya.
“Aku sudah menunggumu, Jinie-ya…Kembalilah…”
Sehun terus melapalkan kata-kata itu. Meski ia tahu,
berapa kali pun, sekeras apapun ia mengucapkannya, nyatanya gadis itu tak akan
kembali. Ia telah meninggalkan Sehun, meninggalkan semua kehidupannya di bumi,
untuk selamanya…
Hunie-ya…hanya
tunggu aku sebentar saja. Aku mohon, hanya sekali ini. Karena aku tak akan
pernah memintamu menungguku lagi, aku berjanji.
A/N:
I'm overdose with Sehun /please na/ curcol bentar//
ah, gak ngerti sama ide yang tiba-tiba muncul di otakku sehingga mengeluarkan ff absurd nan gaje ini...
review is always needed!!!
Komentar
Posting Komentar