−TOPENG−
Bali, 1972.
Suasana desa yang biasanya sepi, kini penuh sesak oleh kerumunan warga. Jalanan desa yang sempit pun menjadi hunian mereka semua, mulai dari orang dewasa hingga anak kecil ikut serta menyaksikan acara hiburan di desa tersebut.
Diantara kerumunan warga desa, terlihat
sedikit mencolok seorang pria menggunakan jeans panjang dan kemeja berwarna
abu, serta kamera yang sedaritadi tak pernah lepas dari genggamannya−terlihat
begitu modern diantara warga desa yang menggunakan pakaian sederhana adat Bali.
Di tengah-tengah kerumunan, beberapa
penari baru saja mengakhiri tarian Puspanjali sebagai pembuka acara malam itu. Sang
pria modern−Bagas, melepaskan genggaman kameranya sejenak, membiarkan kamera
itu tergantung bebas di lehernya. Namun, tepuk tangan riuh para warga
membuatnya kembali terfokus ke tengah-tengah kerumunan.
Seorang penari Topeng Keras dengan
perawakan kecil−lebih kecil dari penari topeng biasanya−kini berjalan menuju
tengah kerumunan dengan gerakan tari seiring dengan suara tabuh yang mengalun
indah.
Bagas menatap penari itu dengan takjub,
matanya dengan setia mengikuti setiap gerakan yang diciptakan oleh sang penari.
Perlu beberapa detik untuk menyadarkannya, hingga ia mengambil kamera dan
langsung membidik penari tersebut dari segala sudut.
Begitu menikmati hingga tak terasa
tariannya pun selesai. Buru-buru Bagas menuju ke belakang panggung untuk
menemui si penari, namun nihil. Ia tak menemukannya, meski seluruh sudut telah
ia cari. Bahkan sudah belasan orang yang ia tanya, namun mereka hanya menjawab
tidak tahu dan berkata bahwa siapapun boleh menyumbangkan acara secara
sukarela, jadi siapa penyumbang acara mereka pun tak tahu, karena para penari
menyiapkan segalanya masing-masing.
_~**-**~_
“Dayu, darimana saja kamu??” Kata-kata
Aji menghentikan langkah tiyang. Tiyang tahu, tidak seharusnya tiyang keluar
tanpa pamit, namun bagaimana lagi, meski tiyang meminta ijin, Aji pasti tidak akan
mengizinkan.
“Tiyang dari rumah Sari, Ji.” Bohong,
tiyang memang berbohong. Jika tidak, Aji pasti marah besar.
“Aji harap kali ini Dayu jujur. Aji
tidak mau dengar besok pagi ada berita-berita aneh tentangmu.” Tiyang hanya
bisa tersenyum terpaksa mendengar perkataan Aji. Aji menggiring tiyang duduk di
bale, lalu melanjutkan kalimatnya.
“Dayu itu anak perempuan, jadi Dayu
harus tahu bahwa anak perempuan hanya bertugas di rumah. Urusan kerja dan
segalanya, itu urusan laki-laki.” Tiyang menghela napas panjang. Selalu ini
yang akan Aji katakan, tak pernah berubah. “Apalagi Dayu tahu keluarga kita
berkasta, tidak semudah itu untuk bertindak tanpa sepengetahuan orang lain.
Kita harus menjadi contoh untuk masyarakat luas.”
Tiyang hanya bisa diam mendengar nasehat
Aji. Tiyang tahu semua itu benar, maka dari itu tiyang selalu berbohong. Tiyang
tak ingin selalu tinggal di puri, tiyang juga ingin melakukan kesenangan
titiang. Jadi, maafkan tiyang karena telah mengecewakan Aji.
_~**-**~_
“Aji, tiyang mau keluar sebentar bersama
Sari,” pamit Dayu pada Aji. Di sebelahnya Sari tersenyum, berusaha meyakinkan
Aji.
“Sari, tolong jaga Dayu. Kamu sangat
tahu dia orang yang bagaimana,” nasehat Aji sedikit menyindir Dayu. Namun Dayu
malah tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu Aji pasti akan percaya jika ia pergi
bersama Sari. Mereka sudah berteman sejak kecil dan Dayu sudah menganggap Sari
sebagai kakaknya sendiri.
Dayu melangkahkan kakinya tak tentu
arah, sedangkan Sari tetap setia mengikutinya dari belakang. “Dayu, sebenarnya
kita mau kemana?” tanya Sari akhirnya setelah setengah jam lebih mereka
berjalan.
Dayu menghentikan langkahnya. “Tiyang
juga tidak tahu. Tiyang hanya bosan berada di puri,” jawab Dayu jujur sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling desa. Hingga tatapan Dayu tertarik oleh
sekelompok anak-anak yang sedang bermain. Tanpa sadar, langkahnya pun
membawanya kesana.
Dengan bahagianya, Dayu ikut bergabung
bersama anak-anak. Ada yang bermain dengkleng, meong-meong, engkeb-engkeban,
dan bermain gundu. Sari pun ikut senang melihat Dayu bisa tersenyum sebebas
itu, tanpa memikirkan masalah yang selama ini ia hadapi.
_~**-**~_
Bagas tak henti-hentinya membidik segala
objek di depannya. Ia sangat takjub dengan keindahan pulau Dewata ini. Benar
kata orang, tempat ini memang seperti surga dunia. Namun, di bandingkan berada
di kota, ia lebih senang berada di desa. Ia ingin merasakan suasana tradisional
Bali yang masih murni dan kental dijaga oleh masyarakat desanya.
Sesuatu menarik perhatiannya.
Diarahkannya kamera itu pada sekelompok anak yang sedang bermain permainan
tradisional Bali. Namun, lebih dari segalanya, suatu objek telah membawa
langkahnya mendekat.
Ya, satu-satunya gadis yang bermain di
tengah anak-anak itu. Membuat lingkaran bersama dalam permainan ‘Meong-Meong’,
tak apa meski ia harus menjadi si kucing yang mengejar-ngejar si tikus
musuhnya. Ia tetap gembira. Tak hanya ia, namun Bagas ikut gembira melihatnya.
“Om Suastiastu, apa ada yang bisa tiyang
bantu? Sepertinya anda bukan warga disini.” Pertanyaan Sari membuat Bagas
menghentikan kegiatannya, begitupun dengan semua anak-anak yang sedang bermain,
bahkan Dayu pun kini tengah menghampiri Sari.
“Hmm, O-om S-suastiastu,” ucap Bagas terbata
sambil menyatukan kedua tangannya di depan dada, meniru apa yang dilakukan
Sari. “I-iya, saya wisatawan dari Yogyakarta. Nama saya Bagas.” Bagas
mengulurkan tangannya kearah Dayu yang sudah berada di sebelah Sari.
Dayu terlihat sedikit bingung. “Aa..
nama tiyang Dayu,” ucap Dayu tanpa menyambut uluran tangan Bagas, hanya
mengatup kedua tangan di depan dada. Terlihat sedikit raut kecewa di wajah Bagas,
namun kemudian ia mengerti. Ia tak boleh berperilaku sembarang di tempat orang
lain.
“Nama tiyang Sari,” ucap Sari
memperkenalkan diri. Tatapan Bagas tetap tak teralihkan dari sosok Dayu di
hadapannya, sampai akhirnya deheman keras Sari menyadarkannya.
“Hmm, b-boleh saya ikut bergabung??”
tanya Bagas ragu sambil mengarahkan pandangannya kearah sekelompok anak yang
sedang bermain tadi.
“T-tentu,” jawab Dayu dan langsung
melangkahkan kakinya menuju sekelompok anak itu. Dayu dan Bagas ikut bergabung
untuk bermain meong-meong, sedangkan Sari hanya duduk di bale memperhatikan
sosok Bagas dan Dayu yang kini sudah mulai akrab.
Secercah perasaan mengganjal dalam hati
Sari, namun dengan segera ia menampiknya. Untuk saat ini, ia tak mau memikirkan
hal buruk yang kemungkinan besar akan terjadi kedepannya.
_~**-**~_
“Dayu, kita mau kemana lagi hari ini??”
tanya Sari heran sambil tetap mengikuti langkah Dayu yang terkesan tergesa-gesa.
“Kemarin tiyang berjanji untuk bertemu
lagi dengan Bagas pukul 10, tapi ini sudah pukul 11, tiyang terlambat satu
jam!” jawab Dayu masih tanpa menghentikan langkahnya, ia tak mau memperlama
waktu keterlambatannya lagi.
Sari masih terus mengikuti Dayu. Perasaan
mengganjal kemarin terlihat semakin jelas di matanya. Ia tak akan membiarkan
hal buruk terjadi pada Dayu yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.
Sesampainya di tempat kemarin, Dayu
langsung mencari-cari sosok Bagas, namun nihil. Mungkin Bagas sudah pergi
karena terlalu lama menunggu tiyang, pikir Dayu.
“Dayu!!” Sebuah suara yang sangat ia
kenal memanggil dirinya. Dayu berbalik dan menemukan sosok Bagaslah yang telah
memanggil namanya.
“Maaf, tiyang membuatmu menunggu lama,”
ucap Dayu penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa,” jawab Bagas santai.
“Lalu kamu mau mengantar saya kemana hari ini? Saya ingin memotret objek
menarik lainnya,” lanjut Bagas sambil mengangkat kameranya.
“Ke sawah. Kebetulan sekarang sudah
musim panen, pasti pemandangannya sangat bagus.” Begitupun akhirnya mereka
bertiga pergi menuju sawah. Benar apa yang dikatakan Dayu, pemandangannya
begitu indah. Tanpa pikir panjang lagi, Bagas langsung memainkan kameranya demi
mendapatkan hasil bidikan terbaiknya.
_~**-**~_
“Dayu, darimana saja kamu??” Dayu yang
baru saja pulang langsung dihampiri oleh pertanyaan Aji.
“T-tiyang d-dari rumah Sari, Ji,” jawab
Dayu tergagap, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar.
“Tunggu, Aji ingin bicara sebentar
denganmu.” Seketika itu juga, Dayu mengurungkan niatnya dan duduk di sebelah
Aji.
“Dayu, Aji dengar dari orang-orang,
belakangan ini kamu sering pergi dengan laki-laki asing dari desa sebelah,
benar itu??” Aji menahan emosinya agar tidak meledak, ia harus bicara baik-baik
dahulu pada putrinya.
“Namanya Bagas, Aji. Dia wisatawan dari
Yogya.”
“Siapapun itu namanya, jauhi dia. Jangan
pernah bertemu dengannya lagi,” ucap Aji tanpa basa-basi lagi. Kemarahannya
sudah tak bisa ia tahan.
“T-tapi Aji−“
“Sudah berapa kali Aji memberitahumu.
Dayu dan laki-laki itu, kalian berbeda. Kamu harus ikuti kata-kata Aji!”
_~**-**~_
“Bagas, tiyang ingin bicara sesuatu,”
ucap Dayu lirih. Sedaritadi ia hanya menundukkan kepalanya. Namun ekspresi lain
ditunjukkan oleh Bagas, ia sangat ceria hari ini.
“Saya juga ingin mengatakan sesuatu,”
ucap Bagas melirik Dayu yang duduk di sebelahnya. Lagi-lagi ia tersenyum.
“Bagas lebih dulu, tiyang bisa bicara
setelahnya.”
“Baiklah. Mungkin ini terdengar sedikit
aneh, tapi saya harap kamu dapat mengerti. Saya menyayangi kamu, Dayu.”
Akhirnya kata-kata itu keluar dar mulut Bagas. Ekspresi sedih di wajah Dayu
bertambah dua kali lipatnya, bahkan cairan bening telah memaksa untuk menembus
benteng pertahanan di pelupuk mata Dayu.
“Sekarang, giliran Dayu yang bicara,”
lanjut Bagas. Ia terlalu gembira hari ini, sampai ia pun tak menyadari
kesedihan yang sedang menyelimuti Dayu di sampingnya.
“Kita tidak bisa bertemu lagi.”
Deg.
Sebuah kalimat itu mampu meruntuhkan
setiap senyuman yang keluar dari wajah Bagas. Otaknya masih menolak untuk
menerima kata-kata yang baru saja ia dengar. “K-kenapa??”
“Kita terlalu berbeda, Bagas. Jika
tiyang bisa menghilangkan perbedaan itu, pasti tiyang lakukan. Tapi.. tidak
bisa, tidak semudah itu, Bagas. Maafkan tiyang…” Akhirnya seluruh pertahannya
itu kini roboh, air mata mengalir deras di pipi Dayu, seiring dengan langkahnya
yang semakin jauh meninggalkan Bagas.
_~**-**~_
“Dayu, apa benar kamu−“
“Ya, tiyang akan di jodohkan,” ucap Dayu
lemah. Ia sudah tak menangis lagi, ia rasa air matanya sudah habis untuk itu.
Bahkan bekas-bekas air mata masih terlihat jelas di wajah cantiknya.
“Maafkan tiyang, tiyang tidak bisa
membantumu…” Sari tahu bagaimana perasaan Dayu saat ini, ia pun turut sedih
melihat Dayu seperti ini, seakan tak ada lagi gairah hidup baginya.
“Tidak apa-apa, memang kita tidak bisa
melakukan apa-apa.”
Hening.
“Dayu, maafkan tiyang, tapi tiyang harus
mengatakan ini.” Sari menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan,
baru ia melanjutkan kalimatnya. “Bagas sudah kembali ke Yogya tiga hari yang
lalu.”
_~**-**~_
Bali, 1980.
Tepuk tangan riuh para warga menyambut
kedatangan seorang penari Topeng Keras. Melihat banyaknya warga yang menonton
membuat si penari semakin bersemangat untuk menari. Sungguh, ia sangat bahagia
melakukannya. Sampai suara tabuh berakhir pun ia tetap bahagia.
Sang penari topeng sudah selesai menari,
namun seorang anak kecil malah berteriak-teriak semangat. “Ibu, Ibu!! Tiyang
ingin melihat penari itu lagi!!” rengek si anak kecil.
Si ibu pun bingung di buatnya. Dengan
langkah tergesa-gesa si ibu mencari sang penari di belakang panggung,
meninggalkan anak dan suaminya di kerumunan warga.
“Apa kamu mencari tiyang, Dayu??” Suara
yang sangat ia kenal menyapa telinganya, seketika itu juga Dayu membalik
tubuhnya.
Di hadapannya kini tengah berdiri sosok
penari yang tengah ia cari-cari sedaritadi. “B-Bagas??” tanyanya ragu.
Sang penari kemudian membuka topengnya.
Dan benar saja, sosok Bagas ada di balik topeng tersebut. Dayu terlihat sangat
terkejut. Sosok yang selama delapan tahun menghilang, kini ada di hadapannya.
Ia terus memandangi wajah Bagas dengan penuh rasa tak percaya.
“Permisi, Pak Made.” Sebuah suara
memecah keheningan diantara mereka berdua. Bagas menoleh kesamping kearah orang
yang telah memanggilnya. Orang itu berbicara sebentar dengan Bagas kemudian
pergi begitu saja yang membuat suasana hening kembali menyelimuti Dayu dan
Bagas.
“Jadi?” tanya Dayu berusaha untuk
membuka suara. Ia butuh penjelasan atas apa yang telah dicerna oleh otaknya.
“Pak Made?” tanyanya lagi.
“Ya, selama ini tiyang sudah
menghilangkan semua perbedaan itu, Dayu.”
Ucapan Bagas tiba-tiba memutar kembali
memori masa lalu Dayu. Ini benar-benar diluar dugaan. Susah untuknya menerima
semua keadaan ini. “Kamu lihat mereka??” Tunjuk Dayu pada seorang laki-laki
yang tengah menggendong anak perempuan, mereka tertawa bahagia menonton hiburan
yang ada di tengah kerumunan warga. Bagas mengangguk.
“Itu adalah suami tiyang dan anak itu
adalah anak tiyang, usianya sudah lima tahun.”
Bagas bahagia mendengarnya, meskipun ada
sedikit rasa kecewa dalam hatinya, tentu saja. “Tiyang ikut senang,” ucapnya
jujur. “Bahkan tiyang sangat berterima kasih pada Dayu. Karena Dayu, tiyang
mendapatkan hidup tiyang yang sebenarnya.”
Dayu tak mengerti dengan apa yang
dikatakan Bagas, begitupun tatapannya yang sarat akan ketidakmengertian. Bagas
tahu apa maksud tatapan itu, ia kemudian mulai menjelaskan.
“Tepat di saat seperti ini, delapan
tahun yang lalu. Bukankah Dayu yang menari topeng seperti yang tiyang lakukan
tadi..?” Bagas terkikik geli mengingat ia baru saja membongkar kebohongan yang
selama ini di tutupi Dayu.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanya Dayu
panasaran. Ia tak pernah mengatakan ini pada siapapun, kecuali Sari. “Jadi,
Sari yang−“ Belum selesai Dayu melanjutkan kata-katanya ia sudah terkikik geli
yang kini sudah berubah menjadi tawa. Ya, kini Dayu dan Bagas tertawa bahagia,
mereka sudah menemukan kehidupan mereka masing-masing.
Sebagaimana
pun kerasnya kita menyatukan diri, tapi jika takdir berkata tidak, maka semua
seakan percuma. Namun, suatu hari nanti kita pasti akan bertemu, karena kita
percaya akan adanya reinkarnasi.
Bali, 2014.
“Bagas!!!” Bocah laki-laki itu
menghentikan langkahnya ketika mendengar namanya di panggil. Ia menoleh kearah
Dayu yang berada jauh di belakangnya.
“Kamu ninggalin saya!” Dayu telah sampai
di hadapan Bagas. Gadis kecil itu menopang kedua tangan di lututnya dengan napas
yang masih terengah-engah setelah berlari mengejar Bagas.
“Siapa yang sampai terakhir di rumah,
dia yang kalah!!” Bagas memproklamasikan tantangannya. Dayu terlihat sangat
terkejut, baru ia hendak memukul lengan bocah itu, Bagas sudah berlari jauh di
depannya.
“BAGAS!!!” Dayu mau tak mau berlari
mengejar Bagas meski ia masih lelah, namun ia tak mau kalah.
Sepasang sahabat kecil itu saling
mengejar penuh tawa. Tanpa perlu mereka tahu bagaimana masa depan mereka nanti.
Cukup untuk menjalani kehidupan mereka hari ini dengan bahagia, begitupun
dengah hari-hari berikutnya.
---TAMAT---
A/N:
ini cerpen sebenernya pernah author kirim pake lomba,, tapi gak tau kelanjutannya...
daripada basi trus berjamur di leppie, mending post kan ya??? hehehehe....
giman? gimana ceritanya??
aneh? gaje? atau malah gak ngerti??
di comment... comment yukss....
Komentar
Posting Komentar