Title:
Remember
Scriptwriter:
NanaJji (@nana.novita)
Cast(s):
Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC]
|| Jeon Jungkook [BTS]
Genre:
Hurt. Friendship.
Duration:
Vignette
Rating:
Teen
A/N: Baca part ini dulu ya biar makin nyambung ceritanyaa
Summary:
Aku yang terlalu
bodoh atau kenangan itu yang terlalu menyakitkan?
Aku
tidak punya argumen yang kuat untuk dua opsi itu.
.
.
.
Lima menit awal, aku masih bisa menolerir
keterlambatannya. Tapi, ayolah, ini sudah hampir tiga puluh menit, dan batang
hidungnya belum juga muncul. Jeon Jungkook, awas saja jika sampai satu jam aku
menunggu disini, besok dia akan mendapatkan karmanya. Dan baru saja aku ingin
merencanakan balas dendamku, laki-laki itu menelepon.
“Ya!! Kau
dimana?” tanyaku langsung tanpa sebuah sapaan. Terdengar dari seberang suara
Jungkook memelan, mungkin lebih tepatnya berbisik-bisik. Apa pula yang sedang
ia lakukan, dia pikir bisa meredakan amarahku dengan bersuara lembut seperti
itu.
“Soojin-ah,
jinjja, jinjja mianhae. Aku sedang ada masalah, aku tidak sengaja memutar
balik di jalan satu arah, sekarang aku sedang di kantor polisi. Kau tidak perlu
datang, Wonwoo hyung sudah menuju
kemari. Mianhae…eo?”
“N-neo gwen−“
Dan sambungan telepon terputus. Baru saja aku merasa
kasihan dan prihatin dengan laki-laki itu, tapi langsung saja kesalku kembali
datang. Seenaknya dia memutuskan teleponnya, apa dia tidak tahu bahwa aku
sedang khawatir. Nah, itu baru satu karma yang ia dapatkan karena kemarin
dengan bangganya pamer padaku tentang surat izin mengemudi yang ia dapatkan dua
hari yang lalu. Dan sekarang apa? Ia bahkan melanggar rambu lalu lintas dengan
alasan tidak tahu. Ck, dasar amatir.
Berantakan sudah rencana bersepeda sore ini dan
melayang pula uangku untuk menyewa sepeda tandom ini. Arght! Jeon Jungkook kau benar-benar harus mengganti semua
kerugianku, baik waktu ataupun uang! Alhasil kini aku harus mengendarai sepeda
tandom ini dengan keahlian menaiki sepedaku yang sangat minim. Bisa kalian
bayangkan bagaimana laju sepeda itu jadinya? Seperti ular di atas lantai,
bergerak tidak jelas. Dan sekali lagi aku harus mengutuk laki-laki bernama Jeon
Jungkook itu, karena saat ini aku sudah terduduk di tanah dengan sepeda tandom
yang menimpa tubuhku, belum lagi dengan luka yang kudapatkan di kedua lututku,
perih bukan main.
Lagi-lagi aku hampir mengumpat akibat bola basket
yang secara terang-terangan terlempar menuju sepedaku, dengan hasil akhir yaitu
keadaanku yang mengenaskan saat ini. Percobaan pertama, aku mencoba berdiri
setelah menyingkirkan sepeda yang amat berat itu, dan gagal. Baiklah, mungkin
aku perlu pelan-pelan karena luka di lututku. Tidak, tidak. Setelah percobaan
kedua yang berakhir gagal, ini bukan karena lukaku. Lebih parah dari itu, aku
merasakan sakit di pergelangan kaki kananku, dan sungguh aku tidak bisa berdiri
sekarang, kakiku terkilir.
“Maaf, aku, aku sungguh tidak sengaja. Apa kau
baik-baik sa−Soojin?” Aku langsung menoleh mendapat panggilan itu. Detik
kemudian, aku benar-benar terdiam kaku. Oh Sehun, ia laki-laki itu. Laki-laki
yang melempar bola dengan tidak sengaja mengenai sepedaku, laki-laki yang… yah,
laki-laki di masa laluku.
“Ah, a-aku baik-baik saja,” ujarku gagap akhirnya
sambil mencoba berdiri meskipun aku tahu tak akan berhasil. “Akh!” Dan, ya, itu
akhirnya, kakiku bertambah sakit saat kupaksa untuk berdiri.
Oh Sehun langsung berlutut di depanku dan memeriksa
pergelangan kaki kananku. Melihatnya yang sekarang tampak begitu khawatir
melihatku terluka sungguh seperti déjà vu.
Tidak, bukan déjà vu. Melainkan
peristiwa lalu yang benar-benar terjadi. Perhatian Oh Sehun sepenuhnya pernah
menjadi milikku. Apa ia masih ingat semua itu, seperti aku?
.
.
.
Hening. Tak ada yang berani bersua setelah Oh Sehun
membopongku untuk duduk di kursi taman terdekat. Suasana yang sangat canggung,
bahkan suara angin pun terdengar jelas di telinga kami. Sesungguhnya begitu
banyak pertanyaan yang ada di otakku, tapi begitu susah rasanya untuk
kutanyakan saat ini. Mengapa ia tiba-tiba menghilang setelah masalah yang
sebenarnya dapat diselesaikan? Ak masih ingat bagaimana terkejutnya aku ketika
mendengar jawabannya saat itu. Aku hanya sebagai pelariannya. Rasanya aku ingin
mengumpat dan memakinya sekeras mungkin, tapi aku bukanlah gadis seperti itu.
Aku menerima semua alasannya dan ia memutuskan hubungan kami sebatas teman.
Tapi apa yang ia lakukan setelah itu? Ia bahkan menghilang dan membuat hubungan
kami tampak seperti ‘orang asing’ yang tak pernah bertemu, apalagi mengenal.
Dia mengingkari kata-katanya sendiri.
“Mian−“
“Oppa,
pernahkah oppa berpikir tentangku
selama ini?” potongku langsung. Ku tak ingin mendengar kata maafnya lagi. Sudah
terlalu banyak maaf yang ku terima darinya, tapi maaf itu sama sekali tidak
bisa memperbaiki keadaan. “Apa oppa
pernah berpikir akan jadi seperti apa hubungan kita seandainya tidak terjadi
masalah kemarin? Aku sering. Disaat aku pergi bersama teman-temanku, aku
membayangkan andai saja hubungan kita masih baik seperti dulu, pasti aku akan
sibuk mengecek ponselku untuk membalas semua pesanmu. Saat aku pergi ke
bioskop, aku membayangkan orang di sebelahku adalah dirimu, dan kita menonton
film berdua seperti adegan di drama-drama, tampak sangat romantis. Saat aku
mengerjakan tugas di malam hari, aku teringat bagaimana seringnya oppa meneleponku dulu, meski hanya
dengan pembicaraan yang tidak jelas arahnya. Saat aku melewati tempat yang
sering kita kunjungi dulu, mengingat bagaimana kedua mata kita saling terpaut
untuk pertama kali. Aku selalu mengingat dan membayangkan semua itu.”
Hening lagi. Oh Sehun tampak terkejut dengan ucapan
panjangku. Cukup lama kuberikan ia waktu untuk bersua, tapi tak ada sedikit pun
kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Aku sudah meyakinkan diriku bahwa aku
sudah melupakanmu. Tapi pikiran-pikiran seperti itu selalu muncul begitu saja.
Entah, aku yang terlalu bodoh atau memang kenangan itu yang terlalu menyakitkan.
Aku tidak punya argumen yang kuat untuk dua opsi itu.”
Aku menolehkan kepalaku kearah Oh Sehun yang
sedaritadi memperhatikanku dalam diam, perlahan senyuman tipis kuberikan
padanya. Aku tak tahu apa yang sekarang ia pikir dan rasakan. Mungkin ia
benar-benar menganggapku bodoh. “Dan satu lagi yang tak pernah bisa aku
lupakan. Oppa masih ingat malam itu?”
Kutatap dalam mata Oh Sehun, laki-laki itu tampak sangat penasaran malam mana
yang aku maksud. Tentu saja, kita sudah menghabiskan banyak waktu bersama, tapi
sungguh, malam yang satu itu tidak akan pernah aku lupa. “Ya, malam itu. Malam
ketika oppa memperkenalkanku dengan
orang tuamu.”
Skak mat. Oh Sehun bahkan tak mengambil napas barang
beberapa detik. Katakanlah bahwa aku puas melihat wajahnya seperti itu, sangat
puas bahkan. Tapi rasa sedih itu tetap menguasai. Bahkan ketika saat ini ia
duduk di sebelahku, aku masih tetap memikirkannya, membuat kemungkinan ini dan
itu yang dipenuhi kata ‘seandainya’. Aku menghembuskan napas berat, mencoba
untuk membuat diriku kembali menatap kenyataan. Aku tidak bisa terpuruk lagi
setelah jalan panjang yang aku lalui untuk meninggalkannya, tidak bisa untuk
mengulangnya lagi dari awal, karena aku tahu itu begitu susah.
“Oppa…”
Aku berdiri di hadapan Oh Sehun yang akhirnya mendongakkan kepalanya menatapku.
“Annyeong…”
Ku harap itu adalah kata terakhir yang aku ucapkan
dengan serpihan ‘rasa’ itu. Bila nanti kami harus bertemu lagi, aku harap rasa
itu sepenuhnya sudah hilang dan menemukan pemiliknya yang baru. Terakhir pula
kuberikan senyum penuh makna itu sebelum aku melangkah meninggalkannya, rasa
itu, dan semua memori kami.
Tik
Tik
Langkahku masih cukup kuat untuk kujalani diatas
kedua kakiku.
Tik
Tik
Tik
“Soojin-ah…”
Dan kakiku lemas seketika.
“Jawabanku iya. Iya, aku juga merasakan apa yang kau
rasakan. Setiap langkah aku selalu berpikir apa yang sedang kau lakukan, ingin
jari-jariku mengetik sebuah pesan untukmu, tapi aku terlalu takut. Di saat aku
sendiri, aku selalu membayangkan seandainya hubungan kita masih baik-baik saja,
aku ingin memelukmu saat itu, dan mengatakan bahwa aku merindukanmu. Tapi
sekali lagi, aku terlalu takut. Takut bahwa tindakan itu adalah salah. Aku
sudah cukup menyakitimu, aku tidak mau menyakitimu lagi. Maafkan aku…”
Badanku bergetar, aku tidak bisa menahannya. Aku ingin
berlari menuju pelukan laki-laki itu. Tapi aku sendiri pun tahu bahwa itu
salah. Aku meragu. Haruskah aku kembali padanya, tapi bagaimana jika benar ia
mungkin akan menyakitiku lagi? Dengan kekuatan yang tak seberapa aku kumpulkan,
aku membalikkan badanku, dan menghadapnya. Jarak beberapa meter itu terasa
begitu pendek, semakin mendorongku untuk jatuh dalam pelukannya. Tapi sekali
lagi ku katakan bahwa aku tidak bisa. Dan yang hanya bisa aku lakukan adalah
berdiri menatapnya dalam gusar.
“Dulu ku pikir, ini hanya rasa akibat kemiripanmu
dengan kekasihku dulu, ku pikir tak apa jika aku memutuskan komunikasi
denganmu, aku pikir aku sudah sangat menyakitimu dengan semua kenyataan itu.
Tapi ternyata aku salah. Rasa ini tidak sedangkal itu dan aku sadar bahwa aku
juga telah menyakiti diriku sendiri.”
“Oppa…”
Kakiku lemas, air mataku hampir saja terjatuh. Tapi air mata Oh Sehun lebih
dulu membasahi pipinya. Kulangkahkan kakiku hendak menghapus air matanya, tapi
laki-laki itu melangkah mundur.
“Tidak, Soojin-ah.
Seberapa lama pun aku pikirkan, kita tidak bisa kembali seperti dulu. Aku
sendiri ragu dengan diriku. Aku bukanlah pria baik-baik, aku sudah menyakitimu.
Aku sungguh tidak pantas untukmu.”
Aku terjatuh,
begitupula dengan air mataku yang jatuh satu per satu. Aku menangis, entah
karena apa. Aku sendiri tahu bahwa hubungan kami tidak mungkin kembali seperti
dulu, tetapi mengapa mendengarnya secara langsung dari Oh Sehun bisa
semenyakitkan ini?
“Ingin sekali aku egois dan membawamu tetap berada
di sampingku, Soojin-ah. Tapi aku
tidak boleh memikirkan diriku sendiri, aku harus memikirkanmu juga.” Oh Sehun
sudah berada di hadapanku, berlutut sambil mengusap kepalaku, persis seperti
apa yang dulu sering ia lakukan.
Kuraih tangannya dan menatapnya dengan mata yang
basah. Tapi detik kemudian dia melepaskan tanganku. “Tidak, Soojin-ah. Seseorang telah menunggumu, tinggalkan
aku, biarkan aku saja yang diam bersama memori itu. Buatlah memori baru
dengannya dan lupakan aku.” Oh Sehun menghapus air mataku lalu melangkah pergi.
Dengan mata berkaca-kaca, kulihat bayangannya semakin jauh.
Apa katanya? Meninggalkannya? Apa dia tidak sadar
bahwa barusaja ialah yang meninggalkanku? Dan… seseorang menunggumu, maksudnya?
Ayolah, tidak bisakah ia hanya pergi begitu saja tanpa meninggalkan tanda tanya
untukku? Baiklah, aku berhenti menangis karena memikirkan semua pertanyaan itu.
Jadi, apa itu caranya untuk membuatku berhenti menangis? Kau pintar, Oh Sehun.
Dengan sisa tenaga yang kumiliki aku mencoba untuk
berdiri, tetapi entah mengapa kakiku tetap terasa lemah dan kembali membuatku
terjatuh. “Ya! Oh Sehun!! Kau menyebalkan!!! Haruskah aku menjadi seperti ini
hanya karenamu?!!!!” Aku mengumpat pada bayangan Oh Sehun yang telah sirna
entah kemana. Percuma, aku tahu, tapi rasa aneh ini masih bergumul di dalam
hatiku. Kupikir aku perlu mengeluarkannya lagi.
“Soojin-ah,
apa yang kau lakukan?”
Aku seketika menoleh ke belakang dan wajah bingung
Jungkook menyambutku. “Jungkook-ah…”
panggilku dengan mata yang masih sembab dan wajah penuh bekas air mata.
Laki-laki itu langsung berjongkok di hadapanku.
“Wae? Gwenchana?” tanyanya khawatir. Aku
menggeleng. Aku rasa aku belum kuat bahkan untuk menceritakan segalanya pada
Jungkook. “Wae???” tanyanya lagi yang
melihatku hanya diam.
Aku kembali menggeleng. “Bisakah ku ceritakan nanti
saja? Untuk bangun saja aku bahkan tidak mampu.” Aku mencoba untuk bangun dan
kali ini berhasil berkat bantuan Jungkook.
Laki-laki itu merangkulku dan membantuku berjalan
menuju sepeda menyebalkan yang membuatku bertemu lagi dengan Oh Sehun. “Kau
ini, apa harus menangis di atas tanah seperti itu hanya karena aku tertilang
polisi? Lihat, celanamu kotor begitu.” Masih sempat pula ia mengomeliku dalam
keadaan seperti ini. Menyebalkan.
“Sssttt!”
Aku meletakkan jariku di bibirnya lalu membalikkan badanku. Rasa kesal itu
masih saja menggangguku. “Ya!! Kau
laki-laki cadel! Bisa-bisanya kau melakukan ini padaku! Kau laki-laki jahat
yang menyebalkan!!!!” teriakku sekuat tenaga, aku tahu Oh Sehun masih berada di
sekitar taman itu, entah aku tahu darimana, perasaanku mengatakan seperti itu.
Lebih lega rasanya, aku pun kembali membalikkan badan, dan hendak melangkah
lagi. Tapi terasa janggal karena Jungkook tak mengikuti langkahku. Laki-laki
itu berdiri kaku di di tempatnya. “Jungkook-ah,
kaja.” Kutarik ujung kaosnya hingga
ia tersadar, dia baru saja melamun di saat seperti ini, ck. Ada apa dengannya?
Sekarang ia bahkan melangkah lebih dulu meninggalkanku. “Ya, Jeon Jungkook. Apa kau tidak akan membantuku berjalan? Sungguh,
kakiku masih terlalu lemas,” ujarku dengan suara lemah. Aku memang sedang
marah, tapi aku tidak ingin memarahinya, Jungkook tidak salah apapun.
“Ah, eo. Mi-mianhae.” Jungkook kembali dan
menuntunku berjalan. Aku sungguh tidak mengerti dengan sikap anehnya, tadi ia
baik-baik saja ketika datang. Lalu sekarang?
“Ya,
Jungkook-ah, gwenchana?” Jungkook hanya tersenyum kaku padaku lalu langsung
memalingkan pandangannya. “Kenapa kau terus-terusan memegangi bibirmu?”
.
.
.
Sehun terkikik kecil dalam persembunyiannya di balik
pohon. Laki-laki itu memperhatikan kepergian Soojin yang berjalan tertatih di
bantu oleh Jungkook. “Sampai kapan kau akan tidak peka seperti itu, Soojin-ah? Jelas sekali laki-laki itu sudah ada
di sebelahmu dan kau masih bertanya-tanya, bahkan menyalahkanku. Pergilah
bersamanya, tertawa, dan berbahagialah dengan laki-laki yang selama ini selalu
di sampingmu, mencintaimu bahkan tanpa pernah kau tahu.
.
.
.
END
Komentar
Posting Komentar