Langsung ke konten utama

[Cerpen] Love Equation

Love Equation
.
.
.
Terkadang definisi tentang perasaan itu terlalu abu-abu
.
.
.

“Janji kau tidak akan mengatakannya pada orang lain!” Jena membentak dalam suara kecil, takut-takut akan ada yang mendengarkan ucapannya meski ia hanya sendirian di dalam kamar. Telepon genggamnya menempel di telinga kiri, sedang ia asik berguling di atas tempat tidur. Seragam sekolahnya pun belum benar-benar ia talangkan.
“Ya, aku berjanji,” suara di seberang menyahut. Belasan tahun sudah Elvian mengenal Jena dan laki-laki itu tahu benar bahwa sahabatnya sedang bahagia saat ini. Tapi riak bahagia yang sekarang ditunjukkan Jena, baru pertama kali Elvian dengar. Berbeda dari biasanya, Elvian punya firasat tentang itu. “Memangnya ada apa?”
“Tapi kau harus berjanji jangan menertawakanku!” Elvian menghembuskan napas perlahan. Jena benar-benar salah tingkah saat ini.
“Kau ingat sudah berapa kali menyuruhku berjanji, hm? Ku hitung-hitung sudah lebih dari lima kali, kau tahu?” Jena tersenyum lebar. Tanpa melihat pun Elvian tahu bagaimana gadis itu melakukannya. Matanya yang tak begitu besar akan menyipit seperti bulan sabit dan deretan giginya yang rapi ia tunjukkan begitu saja.
“Baiklah, aku akan memberitahumu.” Jena mengambil napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri sebelum ia memberitahu Elvian tentang perasaannya. “Aku menyukai seseorang, El.”
“Benarkah? Siapa?” respon Elvian cepat. Ia terkejut. Ini pertama kalinya Jena memberitahu Elvian hal semacam itu. Gadis itu selalu bercerita segala hal pada Elvian, jadi tidak mungkin jika perasaan itu menjadi yang kesekian, pastilah yang pertama dirasakan Jena.
Riak bahagia yang lain dari biasanya itu ternyata adalah riak jatuh cinta. Jadi benar firasat Elvian. Menambah satu hal lagi yang laki-laki itu tahu tentang Jena.
“Raffa. Aku menyukai Raffa,” jawab Jena gamblang. Meski sedikit malu-malu, akhirnya ia memberitahu Elvian tentang perasaannya. “Kau ingat saat dulu aku menertawakan Sheila hanya karena menyukai Raffa? Bahkan aku selalu menjelek-jelekkan laki-laki itu di hadapan Sheila hingga perasaan sukanya berubah menjadi benci. Dan kurasa saat ini aku sudah terkena karma.”
Dulu ketika para siswi sibuk berbincang mengenai Raffa bahkan tak segan-segan untuk menunjukkan rasa suka mereka, Jena hanya menatap laki-laki itu biasa. Apalagi setelah menjadi anggota OSIS membuatnya terlihat lebih keren−itu kata orang-orang−tapi menurut Jena tidak. Ya, dia sering menjelek-jelekkan Raffa waktu itu, namun hanya sekadar hiburan untuk mengerjai Sheila−teman sebangkunya. Namun setelah dua tahun euforia itu berlalu, Jena akhirnya baru merasakan bagaimana berada di posisi Sheila waktu itu. Dan sungguh, ia menyesal.
“El? Kau masih disana, kan?”
Lama hanya terdengar sunyi dari telepon seberang membuat Jena sangsi. Saking asiknya bercerita membuatnya sedikit melupakan eksistensi Elvian sebagai pendengarnya.
“Ya, kurasa kau memang sedang terkena karma,” jawab Elvian akhirnya. Beberapa menit setelahnya, sambungan telepon terputus.
.
.
.
Elvian menghempaskan begitu saja tubuhnya diatas tempat tidur. Pikirannya masih melayang mengingat percakapannya barusan dengan Jena. Apa benar yang tadi Jena katakan? Elvian harap itu tidak benar.
Bukan apa-apa. Hanya saja Elvian terlampau mengenal Raffa. Meski harus pindah keluar kota akibat pekerjaan ayahnya, ia terlebih dulu telah sekelas dengan Raffa selama dua tahun, sebelum Jena menjadi teman sekelasnya saat ini.
Sebagai laki-laki, Elvian mengakui bahwa Raffa memang tampan, juga ramah. Itu pula yang menyebabkan Raffa mudah dekat dengan beberapa gadis. Dan sekali lagi Elvian harap, Jena bukan salah satunya.
Raffa beberapa kali pernah menyakiti sejumlah gadis yang akhirnya hanya berstatus sebagai mantannya. Elvian pernah bertanya perihal mengapa hal itu bisa terjadi dan jawaban Raffa hanya dua kata yang sampai saat ini masih diingatnya.
“Aku bosan.” Itulah jawaban Raffa saat itu. Elvian kembali bertanya mengapa. Namun Raffa hanya mengendikkan bahu. “Kurasa hubungan itu lebih baik diakhiri daripada aku harus berpura-pura menyukai mereka pada akhirnya.”
Terdengar cukup logis dan manusiawi. Dan Raffa melakukannya bukan dengan sengaja, awalnya ia benar-benar menyukai gadis itu, dan−yah−akhirnya ia merasa bosan.
Sejak mendengar jawaban Raffa, Elvian tak pernah lagi menatap laki-laki itu dengan sebelah mata. Mungkin Raffa adalah laki-laki yang cukup baik. Sekali lagi catat: CUKUP BAIK.
Andai saja Elvian tak harus pindah keluar kota, mungkin ia akan terus mengawasi gerak-gerik Raffa setelah ini. Sebagai sahabat, ia tak akan membiarkan Jena jatuh begitu cepat. Lagipula, Elvian yang sudah mengenal Jena sejak gadis itu hanya memakai popok saja tidak pernah menyakiti gadis itu, bagaimana ia bisa membiarkan orang yang baru mengenal Jena beberapa bulan melakukannya?
Huft…”' Elvian menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah. Mungkin ia terlalu banyak membuat persepsi ke depan mengenai kasus ini. Dilihatnya sinar mentari yang semakin redup melalui jendela bergorden biru di kamarnya. Hari sudah sore, terasa lebih baik bagi Elvian untuk mengistirahatkan badan sejenak sebelum nanti harus kembali berkutat dengan tugas-tugas yang semakin menumpuk di akhir tahunnya menjadi siswa SMA.
.
.
.
“El, apa kau tahu? Seharian ini, Raffa duduk di sebelahku!”
Keesokkan harinya sepulang sekolah, Jena langsung menghubungi Elvian demi menceritakan segala pengalamannya hari itu di sekolah.
“Benarkah? Memangnya Bella tidak sekolah? Oh, kau pasti sangat senang sekarang.” Seperti hari sebelumnya, Jena bahkan belum berganti pakaian, dan langsung menghubungi Elvian. Sahabatnya itu pun mau tak mau harus terburu-buru mengangkat telepon padahal ia baru saja akan memasuki kamar.
“Ya, Bella tidak masuk, dia sakit. Kurasa kau tidak perlu bertanya lagi soal itu.” Jena duduk di tepian kasur sambil membayangkan kembali kejadian hari itu.
“Hanya basa-basi. Apa Raffa masih suka bermain game sepanjang pelajaran? Juga perkataannya masih sekasar dulu? Ku kira kau tidak suka dengan laki-laki yang berkata kasar.”
“Semuanya masih seperti dulu. Ayolah, El. Kau baru pindah selama tiga bulan, bagaimana orang bisa berubah secepat itu? Ya, kau tahu aku memang tidak suka mendengar kata-kata kasar. Tapi yang Raffa katakan masih wajar di kalangan laki-laki, lagipula dia tidak berkata kasar padaku.”
Apa Jena yakin dengan ucapannya itu? Dulu ia bahkan memberikan ceramah panjang pada Elvian ketika laki-laki itu tak sengaja mengumpat akibat tersandung. Dan barusan ia mengatakan bahwa semua itu wajar? Sepertinya Jena benar-benar menyukai Raffa. Ia bahkan membela laki-laki itu sekarang.
Hmm. Raffa tak memberitahumu alasan mengapa ia ingin duduk di sebelahmu, sementara itu deretan bangku depan, dan ia benci itu?”
“Benarkah Raffa tak suka duduk di deretan depan?” Elvian mengangguk, meski ia tahu Jena tak akan bisa melihatnya. “Kau tahu? Bahkan ketika aku bertanya mengapa, alasannya malah membuatku lebih menyukainya! Katanya karena sebentar lagi ujian kelulusan, jadi dia ingin belajar dengan benar. Keren bukan?”
Elvian hanya bergumam. Dirinya sendiri ragu mendengar pernyataan Jena. Seingatnya, Raffa bukanlah laki-laki seperti itu. Ia tidak akan meninggalkan permainan di laptopnya sementara tersedia wifi gratis hanya untuk mendengarkan ceramah guru yang tak tentu arah. “Kau yakin itu alasannya?”
“Entahlah. Dia bahkan mengajakku bicara sepanjang pelajaran. Dan yang ku herankan, dia bertanya banyak hal tentang diriku. Apa menurutmu dia menyukaiku?”
“Raffa tidak suka gadis yang cerewet sepertimu,” jawab Elvian cepat. Semua ini membingungkannya. Memang tingkah Raffa tampak sedang mendekati Jena, tapi Elvian tahu, seorang Raffa tidak akan menyukai gadis seperti Jena.
“Aku tidak cerewet.”
“Ya, itu menurutmu.” Jena segera saja cemberut mendengar jawaban Elvian. Sahabatnya itu bahkan tak membiarkan Jena merasa bahagia, meski hanya sedikit.
“Ayolah, El. Mungkin saja tipe gadisnya sudah berubah. Lagipula, jika kau menyukai seseorang, kau tidak bisa mematoknya dari apa yang kau pikirkan. Ini menyangkut perasaan, El.” Jena tersenyum bangga mendengar ucapannya sendiri. Tentu saja kata bijak itu sedikit mustahil untuk ia katakan. Apa jatuh cinta sudah membuatnya lebih dewasa? “Apa lagi yang kau tahu dari Raffa, El? Ayolah, beritahu aku!”
“Sudah ku katakan Raffa tidak suka gadis yang cerewet, kau masih saja banyak bicara.” Jena diam seketika. Mempoutkan bibirnya tanda tak suka. “Dia suka gadis berambut panjang, cerdas, tinggi, dan tidak kekanakan sepertimu.”
“Rambutku panjang. Kalau cerdas, mungkin aku harus belajar lebih banyak lagi. Aku juga tidak pendek, tidak tinggi juga, sih. Apa aku harus belajar menjadi dewasa?”
“Entahlah, itu terserahmu. Aku mau tidur, kau selalu mengurangi jatah tidur siangku.” Jena tertawa kecil. Meski sedikit kesal dengan ocehan panjang lebar milik Jena, tapi Elvian pasti akan mendengarkan cerita gadis itu, sebagaimanapun sibuknya ia.
Sambungan telepon akhirnya terputus. Jena masih terus saja tersenyum. Setelahnya ia terdiam dan merenung.
“Apa jatuh cinta selalu membuat orang menjadi setengah gila seperti ini? Pantas saja rumah sakit jiwa tak pernah sepi. Penyebabnya sangat mudah: jatuh cinta.”
Jena menghembuskan napas berat. Bahkan setelah sangat bahagia, jatuh cinta membuat seseorang sedih seketika. Dan kali ini Jena dalam tahap kedua, ia merasa sedih.
“Apa benar yang Elvian katakan? Aku bahkan tidak termasuk dalam tipe gadis yang di sukai Raffa. Bagaimana ia bisa menyukaiku?”
Gadis itu terus bertanya-tanya sambil menatap langit-langit kamarnya. Terlalu lama berpikir membuat kelopak matanya terbuka semakin lemah−mengantuk. Tanpa berencana untuk mengganti seragam, Jena memejamkan sepasang netranya dengan tubuh yang terbaring di atas tempat tidur.
Terhitung sepuluh detik mata itu terpejam, namun terpaksa terbuka kembali kala ponsel yang berada di sebelah bantal mulai bergetar. Gadis itu mengoceh sendiri merutuki si pengirim pesan yang sudah mengganggu tidurnya. Di bukanya pesan itu. Dari nomor yang tak di kenal.
Hai! Ini benar Jena, bukan? Aku Raffa. Apa yang sedang kau lakukan?
Jena terperanjat dari tempat tidur. Semua rutukan serta sumpah serapah yang beberapa detik lalu masih ia ucapkan menguap entah kemana, berganti dengan senyuman manis yang kini menghuni wajahnya. Ingin berteriak, tapi terlalu malu dengan penghuni rumah lainnya. Jadilah ia hanya membalas pesan itu. Dan untuk beberapa waktu ke depan, Jena tak akan mengalihkan pandang dari layar ponselnya.
“Aku harus segera memberitahu Elvian tentang ini!”
.
.
.
Hari itu langit pagi tampak sedikit mendung, bahkan tetes air hujan perlahan mulai menerpa permukaan. Namun tak sejalan dengan cuaca hari itu, Jena sampai di skeolah dengan senyum secerah langit musim semi. Di sampingnya, Bella melangkah dengan senyum yang sedikit kentara.
Yah, hari itu adalah ulang tahun mereka. Terlalu mustahil, tapi itulah kenyataannya. Mereka berulang tahun di hari yang sama. Hingga tak tampak raut keheranan sedikitpun di wajah Jena kala masuk ke dalam kelas dan mendapati sebuket bunga mawar di atas mejanya. Sekali lagi terjadi perbedaan diantara mereka, karena Bella tampak terkejut melihat buket bunga yang juga ada di atas mejanya.
“Dari siapa, Bel?” Itu pertanyaan yang di ajukan Jena pada Bella. Meski buket itu terlihat sedikit mirip, namun nyatanya buket bunga untuk Bella hanya terdiri dari mawar putih−persis seperti apa yang Bella suka.
“Tidak tahu, Jen. Tidak ada nama pengirimnya,” jawab Bella singkat. Raut wajahnya jelas tampak bingung. “Kau sendiri? Siapa pengirimnya?”
Jena segera mengecek kartu yang terdapat di dalam buket tersebut. “Dari Raffa, Bel,” jawab Jena setelahnya. “Tadi pagi juga ada kiriman buket bunga ke rumah, tapi tak ada nama pengirimnya. Apa mungkin itu juga dari Raffa?”
“Mungkin saja. Kalian cukup dekat belakangan ini.”
Jena mengangguk pelan. Memang benar yang di katakan Bella, Jena dan Raffa sudah sangat dekat beberapa bulan ini. Namun saat di tanya, keduanya selalu menjawab bahwa tak terjalin hubungan apapun diantara mereka. Meski Jena sendiri tahu bahwa dirinya menyukai Raffa, namun ia sedikit ragu dengan perasaan laki-laki itu.
“Hai! Selamat ulang tahun, Jen.”
Pikiran Jena melayang seketika. Di hadapannya berdiri Raffa yang menjulurkan tangannya untuk memberi selamat. Sedikit ragu, Jena membalas uluran tangan Raffa. “Thanks, Raff. Juga untuk bunganya.”
Ah, bukan apa-apa. Oh ya, selamat ulang tahun juga, Bel.” Kali ini giliran Raffa dan Bella yang bersalaman. Bella mengucapkan terima kasih dengan sedikit canggung. “Malam ini apa kalian ada acara?”
Bella menggeleng. “Aku juga tidak ada. Ayah dan bunda sedang pergi ke luar kota, jadi kami tidak bisa merayakannya bersama,” jawab Jena.
“Bagaimana kalau nanti malam kita pergi makan malam bersama? Aku yang akan membayar tagihannya, hitung-hitung sebagai hadiah ulang tahun kalian.”
“Ide bagus! Terlebih kau yang membayarnya.” Jena tersenyum lebar, hari ini mungkin akan jadi ulang tahun terindah dalam hidupnya.
Hmm, aku mungkin tidak akan ikut.” Di tengah kebahagiaan itu, Bella berujar tanpa rasa bersalah.
“Kau harus ikut, Bel. Bagaimanapun ini juga untuk merayakan ulang tahunmu. Aku juga akan mengajak Brian, jadi kau jangan khawatir.”
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Bella mengangguk. Terdengar sorakan gembira dari Raffa dan juga Jena. Tentu ini akan jadi acara yang sangat menyenangkan.
“Baiklah. Kalau begitu nanti aku akan menjemput kalian jam tujuh. Jadi bersiaplah.”
.
.
.
“Bagaimana makan malamnya? Pasti sangat menyenangkan, sampai-sampai kau tidak bisa menjawab teleponku.”
Jena mengomel dalam hati. Baru saja gadis itu mengangkat telepon, bahkan ia belum sempat mengucapkan salam, dan langsung mendapatkan kata-kata pedas seperti itu. Elvian sendiri tidak tahu bahwa ia juga salah.
“Kau juga tidak menjawab teleponku tadi siang. Sudah beruntung aku memberitahumu melalui pesan.”
“Yasudahlah. Jadi bagaimana? Apa Raffa menyatakan perasaannya padamu?” Elvian segera mengalihkan pembicaraan, mengingat bahwa bukan hal itu yang ingin menjadi topik pembicaraan kali ini.
“Tidak. Ku pikir itu wajar, mengingat makan malam ini juga untuk merayakan ulang tahun Bella, bukan hanya aku. Tapi aku sudah memantapkan hati.”
“Memantapkan hati? Maksudmu?”
Jena diam sejenak. Sekali lagi untuk meyakinkan dirinya sebelum ia memberitahu Elvian tentang hal itu. “Jika Raffa belum juga menyatakan perasaannya, maka saat prom night nanti aku yang akan menyatakan perasaanku lebih dulu.”
“Kau yang lebih dulu menyatakan perasaan? Kau seorang gadis, Jen.” Elvian merasakan kepalanya mulai pening. Tingkah Jena belakangan ini memang tidak seperti biasanya, sedikit melenceng dari jalan lurus yang selama ini telah ia patri.
“Memangnya kenapa? Kurasa itu sah-sah saja. Derajat laki-laki dan perempuan sekarang juga sama.” Hembusan napas panjang kentara dari Elvian. Gadis itu lagi-lagi mengatakan hal yang berkebalikan dari apa yang selama ini telah ia umbar-umbar. Bukannya dulu ia yang selalu mengatakan bahwa laki-laki lah yang harus menyatakan perasaan lebih dulu?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang sering melanda Elvian belakang ini. Semuanya tampak membingungkan. Namun sampai saat ini, ada satu pertanyaan yang ingin Elvian yakinkan.
“Jen, apa kau yakin menyukai Raffa?” tanya Elvian penuh kehati-hatian. Wajah Jena di seberang langsung tampak tak suka.
“Kau kira aku bodoh? Aku sudah menanyakan tentang perasaan ini pada banyak orang, bahkan aku mencarinya di internet. Bagaimana aku selalu salah tingkah saat tatap kami bertemu, degup jantungku yang tak karuan saat dekat dengannya, tiap malam aku tersenyum memikirkannya, bagaimana aku−ah! Aku bahkan terlalu malu untuk menceritakan perasaanku!” Hening. Deru napas Jena masih terdengar menggebu. Sesungguhnya ia memang sangat marah mendengar pertanyaan sahabatnya itu. “Ku kira selama ini kau mengerti tentang perasaanku, El.”
Sambungan terputus, Jena yang melakukannya. Sementara Elvian masih terdiam di tempatnya, melempar ponselnya ke tempat tidur, baru kemudian disusul oleh tubuhnya. Laki-laki itu menyesal, menyesali diri yang tak mampu mengontrol perasaannya sendiri.
.
.
.
Elvian menatap ponselnya lama. Tak ada tanda-tanda bahwa benda itu akan berdering akibat panggilan atau setidaknya pesan yang masuk. Sudah sebulan lebih lamanya sejak terakhir kali Jena menelepon Elvian dan sampai sekarang gadis itu tak berkabar.
Ujian kelulusan telah berakhir beberapa hari yang lalu. Melihat langit sore yang berwarna jingga mengingatkan Elvian pada percakapan terakhirnya dengan Jena.
“Jika Raffa belum juga menyatakan perasaannya, maka saat prom night nanti aku yang akan menyatakan perasaanku lebih dulu.”
Elvian masih saja ragu akan pernyataan Jena. Beberapa kali ia menghubungi gadis itu namun tak pernah ada balasan. Jena benar-benar marah hingga memutuskan komunikasi diantara mereka berdua.
Lalu apa yang harus Elvian lakukan?
Laki-laki itu pun terus berpikir untuk mencari solusi atas pertanyaan itu. Hingga beberapa hari lagi prom night akan diadakan dan hasil dari pemikirannya tetap nihil.
Arght! Apa yang harus aku lakukan?”
Elvian melempar dirinya ke atas tempat tidur. Lagi-lagi sambil menatap layar ponselnya dengan serius, bahkan jika langit runtuh saat itu juga Elvian akan tampak tak peduli.
Hal ini begitu penting dari apapun saat ini. Tak heran jika laki-laki itu kebingungan seperti belut terkena garam. Bisa saja ia mati saat itu juga, atau setidaknya ia harus berusaha untuk dapat hidup lebih lama.
“Andai saja aku masih ada di kota yang sama, mungkin semuanya akan menjadi mudah.”
.
.
.
Prom night hari itu telah resmi di buka satu jam yang lalu. Lalu-lalang para siswa yang berpakaian rapi dengan setelan jas serta gaun cantik menyapa penglihatan di setiap jengkalnya.
Diantara kesibukan pesta yang begitu meriah, tampak seorang gadis dengan gaun hitam serta rambut panjangnya yang dibiarkan terurai, melangkah tanpa arah. Melewati setiap kumpulan siswa yang asik mengobrol, bahkan mengabaikan beberapa panggilan yang di tujukan padanya.
Netra Jena sibuk meneliti ke setiap sudut ruangan itu. Setelah memantapkan hati, ia pikir ini saat yang bagus untuk mengungkapkan perasaannya pada Raffa. Namun sejak setengah jam lalu, Jena belum juga menemukan batang hidung laki-laki itu.
Di kejauhan tampak lambaian tangan Bella yang semakin mendekat. Disaat yang sama, Jena merasakan sesuatu bergetar di dalam tas tangannya. Sebuah pesan, dari Raffa. Gadis itu dengan cepat membuka pesan itu.
Jen, bisa kita bertemu sebentar di taman belakang? Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.
Jena memasukkan ponselnya segera dan langsung pergi meninggalkan Bella yang baru saja sampai di hadapannya. “Maaf, Bel. Aku harus segera pergi,” potong Jena ketika Bella baru saja ingin menyapa gadis itu.
“Padahal, aku ingin menceritakan sesuatu padanya,” ujar Bella sedikit kecewa sambil menatap punggung Jena yang semakin menjauh.
.
.
.
“Sesungguhnya aku bingung harus memulai darimana, tapi… ini untukmu, Jen.” Raffa menyerahkan sebuah kotak berwarna merah muda itu kepada Jena yang berdiri hanya satu meter di hadapannya.
“Apa ini, Raff?” tanya Jena basa-basi. Di dalam hatinya ia berteriak histeris, tertawa bahagia akan perkiraannya selama ini bahwa Raffa menyukai dirinya.
“Ini sebagai tanda terima kasihku,” jawab Raffa sedikit ragu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, begitupula senyumnya yang terbuka lebar.
“Maksudmu?”
Hmm… bagaimana aku mengatakannya ya? Begini, selama ini kau sudah banyak membantuku, memberiku informasi sampai aku bisa mengungkapkan perasaanku. Aku…” Jelas terlihat bahwa Raffa sedikit gugup hingga bicaranya terputus-putus. “Aku baru saja menyatakan perasaanku pada Bella, aku menyukainya. Dan kami resmi menjadi sepasang kekasih berkat semua informasi yang ku dapat darimu. Sekali lagi terima kasih, Jen.”
Jena terdiam. Mengunci rapat-rapat bibirnya agar tak terisak, begitupula dengan membangun benteng di kelopak matanya untuk menahan kristal-kristal bening yang memaksa untuk keluar.
Baru sekarang Jena sadari bahwa di setiap percakapan panjang yang ia bangun bersama Raffa selalu ada ruang dimana percakapan itu mengacu pada Bella. Jena merasa sangat bodoh karena selama ini tidak menyadarinya sama sekali. Seharusnya ia tahu bahwa dirinya tidak sepeka itu untuk menyadari.
“Sebaiknya kita cepat kembali, aku dan band ku akan menyanyikan lagu sebentar lagi. Kau juga harus menonton kami,” ujar Raffa masih dengan semangatnya. Terlalu bahagia laki-laki itu saat ini sampai ia tak menyadari bahwa awan kelabu tengah mengitari gadis di hadapannya.
“Kau bisa pergi lebih dulu, nanti aku menyusul.”
Jena masih sempat menatap lambaian tangan Raffa yang semakin menjauh, memastikan laki-laki itu pergi sebelum ia bisa menangis sepuasnya. Hanya butuh beberapa detik agar tubuh Raffa menghilang dari penglihatan Jena dan gadis itu tak mampu lagi untuk menahan kesedihannya. Bulir-bulir air mata mengalir deras diiringi dengan isakkannya yang terdengar begitu memilukan.
Jena terkulai di atas rerumputan taman. Isakkannya terdengar tanpa henti, napasnya satu-satu. Tentu saja ini begitu menyakitkan baginya, sama sekali tak terpikirkan dan terbayangkan. Pada akhirnya semua kebahagiaan itu berakhir menyakitkan.
Terdengar suara langkah kaki mendekat, namun Jena tetap tak peduli. Segala yang ia butuhkan saat ini hanyalah menangis, melampiaskan segala kesedihannya melalui air mata. Berharap dengan semakin banyaknya air mata yang keluar, maka kesedihannya akan ikut lenyap.
“Jen…”
Panggilan itu jelas di tujukan pada Jena. Gadis itu tetap menangis di atas rerumputan, sama sekali tak peduli dengan gaunnya yang akan kotor, juga panggilan namanya yang seakan angin lalu.
Langkah kaki itu semakin mendekat dan berhenti tepat di samping gadis itu. Tanpa aba-aba apapun, Jena sudah merasakan dirinya dalam pelukan seseorang. Gadis itu tetap menangis, malah semakin deras kala hidungnya mencium aroma maskulin yang telah bertahun-tahun di hirupnya. Jena tahu, tahu betul siapa orang yang saat ini memeluknya.
Elvian. Laki-laki itu dan benar dia. Entah datang darimana, yang jelas saat ini Jena hanya ingin menangis, dan Elvian dengan lapang dada menerima tangisan itu membasahi kemejanya.
“Menangislah sepuasmu sekarang semasih aku disini, namun esok jangan pernah membiarkan orang lain melihatmu menangis. Jangan biarkan mereka melihatmu lemah, Jen.”
.
.
.
Langit berbintang masih setia menghiasi malam itu. Suara dentuman musik yang menggema hingga terdengar keluar juga terus menemani malam. Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan Jena untuk benar-benar tenang, meski bekas air mata telah menghancurkan semua riasannya, namun setidaknya gadis itu tidak terisak lagi.
Elvian telah mendudukkan Jena di sebuah kursi taman yang tak jauh dari tempat ia tadi, begitupula ia yang duduk di sebelahnya. Gadis itu hanya diam, tatapan matanya menerawang ke depan. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.
“Cinta itu menyakitkan, ya.”
Jena yang masih menatap ke depan berujar.  Elvian merasa lelah, lelah akan semua masalah ini. Ia sudah menduga akan terjadi seperti ini, tapi tetap ia tak bisa memaksa Jena untuk menghindarinya.
“Tapi rasa sayang tidak pernah menyakitkan. Cinta terlalu egois, perasaan itu terlalu ingin memiliki. Sedangkan kasih sayang membiarkan cinta itu dimiliki orang lain, asal orang yang disayanginya menemukan kebahagiaan.” Saat ini Elvian benar-benar ingin egois. Mengapa orang lain bisa egois, sedangkan ia tidak? “Memang terdengar mustahil. Tidak mungkin manusia membiarkan orang terkasihnya dimiliki orang lain, karena manusia memang egois, Jen.”
Jena masih diam. Sepertinya ia memikirkan apa yang Elvian katakan. “Ya, mungkin kau benar, El. Seharusnya aku mengikuti saja kata-katamu.” Jena menyesal. Elvian sudah memperingatkannya berkali-kali namun ia tetap membangkang, dan sakitnya sekarang tentu karena kesalahannya sendiri, ia tak bisa menyalahkan orang lain.
Hening tercipta cukup lama. Angin malam pertengahan bulan April memang berhembus tak tentu. Kadang terlalu dingin untuk dinikmati, begitu sebaliknya yang terlalu panas untuk menemani malam.
“Awalnya aku ingin memiliki rasa sayang itu. Tapi aku tetap manusia, terlalu egois,” ujar Elvian membelah sunyi malam. Jena sama sekali tidak merespon, ia sendiri bingung apa yang sedang Elvian coba untuk katakan.
“Aku mencintaimu, Jen. Jadi maukah kau menjadi milikku?”
Hal kedua dalam hari ini yang membuat Jena terdiam kaku. Ini sama sekali buka seperti yang di harapkannya. Bukan pernyataan cinta dari Elvian, tapi dari Raffa. Kenapa semuanya semakin membingungkan? Tapi Jena tetap harus memutuskan. Ia tak bisa membiarkan semuanya berjalan tanpa arah, harus ada jalan keluar dari semuanya.
“Seperti katamu, El. Cinta terlalu egois untuk memiliki. Dan aku mencintai Raffa. Aku tidak bisa mencintamu. Maafkan aku, El.” Jena berdiri hendak meninggalkan sahabatnya-atau yang ia pikir sahabatnya. Tak kuasa lagi menahan segala beban yang terasa begitu berat untuk di tahan seorang diri. Maka lebih jika ia pergi secepatnya. Namun, langkah Jena segera saja terhenti oleh ucapan Elvian.
“Tapi Raffa mencintai orang lain. Kau hanya akan tersakiti, Jen.”
“Lalu bagaimana dengamu? Ku kira selama ini kau sudah membuang perasaan itu jauh-jauh dan menganggapku hanya sebagai sahabatmu, tidak lebih. Tapi kau ternyata belum berubah, El.”  Air mata sudah bergumul di pelupuk mata Jena, hanya tinggal menunggu gadis itu mau membiarkannya mengalir di atas pipi mulusnya.
“Lebih baik semuanya berakhir sampai disini. Maaf, aku tidak mau menyakitimu lebih lama, El.”
Kali ini Jena benar-benar pergi. Meninggalkan Elvian serta persahabatannya di belakang hanya sebagai kenangan. Begitu juga memoar indah yang sempat Raffa ukir di buku kehidupannya. Jena akan melupakan segalanya.
Kenangan indah yang membuatnya tersenyum sepanjang saat, ternyata hanya menjadi jalan pintas menuju keegoisan manusia. Bahkan persahabatan yang selama ini ia nilai suci, ternodai oleh egoistis cinta.
Jena mengusap air matanya, menatap jalanan yang semakin sepi menuju tengah malam. Bulan masih menggantung cantik diatas sana namun terasa mengejek bagi Jena saat ini. Ia kembali ingat akan perkataannya beberapa bulan lalu, dimana rasa cinta yang indah itu menggerogoti hatinya.
“Rasa cinta mampu membuat orang normal menjadi gila seketika.”
Waktu itu Jena masih belum mengerti apa-apa, ucapannya pun hanya sebatas kiasan semata. Dan kali ini, Jena benar-benar tahu apa makna dari ucapannya itu.
“Tolong aku...”
.
.
.
FIN

A/N:
ini request dari temen aku, DIVA!! sorry kalo mengecewakan :'( ini udah mampet idenya....
oh ya,, alurnya resmi dari diva :)
semoga gak terlalu mengecewakan yaa... /tears/
comment juseyo.... ^^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Vignette] Only Hope

Title:  Only Hope Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Jeon Jungkook [BTS] || Kim Soojin [OC] || Park Yooji [OC] || Kim Yugyeom [GOT7] || Kim Namjoon [BTS] Genre: Romance. Friendship. Hurt. Duration: Vignette Rating: Teen Summary: Salahku yang terlalu berharap padamu

[Oneshot] Brother and Sister Complex

  Title: Brother and Sister Complex Author: Na n aJji (@nana.novita) Length: Oneshot Genre: Romance, family, friendship Main Casts: Kim Myung Soo (INFINITE) || Kim Soo Jin (OC) Rating: PG-15 Summary: Seperti sebuah napza. Berawal dari sebuah kebersamaan, hingga akhirnya membuatnya menjadi candu.

[Vignette] Biscuit

Title: BISCUIT Scriptwriter: NanaJji (@nana.novita) Cast(s): Oh Sehun [EXO] || Kim Soojin [OC] || Kim Jongin [EXO] Genre: Comedy. Friendship. Duration: Vignette Rating: G Summary: Haruskah ia memberitahu Soojin tentang apa yang ingin ia beli? . “ Oppa sungguh ingin membeli itu?” tanya Soojin tak percaya. Sehun hanya dapat mengangguk dengan polos. . . .